Anda di halaman 1dari 8

PEMURNIAN MINYAK JELANTAH MENGGUNAKAN

AMPAS TEBU SEBAGAI ADSORBEN


A. Fuadi Ramdja, Lisa Febrina, Daniel Krisdianto
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya
Abstrak
Minyak goreng memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Minyak goreng pada umumnya digunakan
untuk memasak. Dengan kondisi harga minyak goreng yang semakin melambung tinggi, membuat sejumlah
kalangan masyarakat untuk berpikir kreatif mendaur ulang minyak goreng bekas pakai. Melalui penelitian,
diketahui bahwa ampas tebu memiliki daya adsorpsi yang kuat terhadap kadar air, kandungan asam lemak
bebas, serta angka penyabunan yang terdapat pada minyak bekas pakai. Variabel penelitian berupa
intensitas pemakaian minyak, lama perendaman serta ukuran partikel ampas tebu yang digunakan. Kondisi
optimum yang diperoleh berada pada intensitas penggorengan selama 4 jam dengan penurunan kadar air
mencapai 0,0050%; perendaman ampas tebu selama 2x24 jam dengan adsorpsi kadar asam lemak bebas
hingga mencapai 0,0999%; serta ukuran partikel ampas tebu sebesar 150 m yang menurunkan angka
penyabunan dengan titik terendah mencapai 161,5042.
Kata kunci: Ampas Tebu, Minyak Goreng Bekas Pakai, Adsorpsi
Cooking oil is high enough economic value. Cooking oil generally used to cook. In the condition
which the price of cooking oil is higher than before, making some community to think creative by recycling
the oil which has been used cooking oil. According the research, we know that reed waste have strong
adsorption potency to water content, free fatty acid content, and also safonification value of used cooking oil.
The variable of this research are oil using intensity, the rinsing time, and also the size of reed waste particle.
The optimum condition reaches to frying intensity in 4 hour with the reduction water content reach 0.0050%;
the rinse of reed waste in 2x24 hours with free fatty acid intensity adsorption to 0.0999%; and also the size of
reed waste particle is 150 m which decrease safonification value with minimum level reaches 161.5042.
Keywords: Reed Waste, Used Cooking Oil, Adsorption
PENDAHULUAN
Minyak goreng merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolah
bahan bahan makanan. Minyak goreng sebagai
media
penggoreng
sangat
penting
dan
kebutuhannya semakin meningkat. Kini krisis
minyak goreng nyaris merata di hampir seluruh
kota di negara yang menjadi salah satu penghasil
minyak kelapa sawit terbesar di dunia ini.
Dengan kondisi harga minyak goreng yang
semakin melambung tinggi, membuat sejumlah
kalangan masyarakat untuk berpikir kreatif
mendaur ulang minyak goreng bekas pakai atau
yang biasa disebut dengan minyak jelantah.
Dewasa ini telah ditemukan suatu teknologi
daur ulang mengolah minyak jelantah menjadi
minyak layak pakai kembali dalam keadaan bersih
tanpa kotoran, dengan menggunakan ampas tebu
sebagai bahan penyerap. Bahan penyerap tebu

yang sudah dijadikan partikel bisa langsung


digunakan dengan mudah oleh ibu-ibu rumah
tangga untuk memproses minyak jelantah menjadi
minyak layak pakai. Penggunaan ampas tebu juga
merupakan satu solusi mengurangi limbah padat
perkotaan.
Oleh karena itu, kami berusaha untuk
meneliti proses pemurnian minyak jelantah
sehingga dapat digunakan kembali menjadi
minyak goreng layak pakai sesuai kadar analisis
minyak goreng yang bagus (baru). Selain itu kami
membandingkan pula kadar analisis akhir setelah
diproses menggunakan adsorben ampas tebu.

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

I.

II.
2.1

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Minyak
Minyak merupakan salah satu kelompok
yang termasuk kelompok lipida. Satu sifat yang
khas dan mencirikan golongan lipida (termasuk

minyak) adalah daya larutnya dalam pelarut


organik (misalnya ether, benzene, khloroform)
atau sebaliknya ketidak-larutannya dalam pelarut
air.
Dalam teknologi makanan, minyak dan
lemak memegang peranan penting. Karena
minyak dan lemak memiliki titik didih yang tinggi
(sekitar 2000C) maka biasa dipergunakan untuk
menggoreng makanan sehingga bahan yang
digoreng akan kehilangan sebagian besar air yang
dikandungnya dan menjadi kering. Minyak dan
lemak juga memberikan rasa gurih spesifik
minyak yang lain dari gurihnya protein. Juga
minyak memberi aroma yang spesifik.
2.2

Minyak Jelantah
Minyak yang telah dipakai menggoreng
biasa disebut minyak jelantah. Kebanyakan
minyak jelantah sebenarnya merupakan minyak
yang telah rusak. Minyak yang tinggi kandungan
LTJ (Lemak Tak Jenuh)-nya memiliki nilai
tambah hanya pada gorengan pertama saja,
sementara yang tinggi ALJ (Asam Lemak Jenuh)nya bisa lebih lama lagi, meski pada akhirnya
akan rusak juga. Oleh proses penggorengan
sebagian ikatan rangkap akan menjadi jenuh.
Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat
menyebabkan ikatan
rangkap
teroksidasi,
membentuk gugus peroksida dan monomer siklik.
2.3

Proses Refinery Minyak Jelantah


Pemucatan adalah suatu tahap proses
pemurnian untuk menghilangkan zat-zat warna
yang tidak disukai dalam minyak. Warna minyak
mentah dapat berasal dari warna alamiah, yaitu
warna yang dihasilkan oleh aktivitas biologis
tanaman penghasil minyak, maupun warna yang
didapat pada saat diproses untuk mendapatkan
minyak dari bahan bakunya.
Selain dari proses pemucatan, minyak
jelantah bisa dipakai kembali dalam keadaan
bersih tanpa kotoran, dengan menggunakan ampas
tebu sebagai bahan penyerap. Bahan penyerap
tebu yang sudah dijadikan partikel bisa langsung
digunakan dengan mudah oleh ibu-ibu rumah
tangga untuk memproses minyak jelantah menjadi
minyak layak pakai. Ampas tebu dalam analisa itu
berfungsi sebagai bahan penyerap yang bagus,
selain itu penggunaan ampas tebu merupakan satu
solusi mengurangi limbah padat perkotaan.

2.4

Analisis Minyak
Analisa lemak dan minyak yang umum
dilakukan pada bahan makanan dapat digolongkan
dalam tiga kelompok tujuan ini :
1. Penentuan kuantitatif atau penentuan kadar
lemak atau minyak yang terdapat dalam
bahan makanan.
2. Penentuan kualitas minyak (murni) sebagai
bahan makanan yang berkaitan dengan proses
ekstraksinya, atau ada tidaknya perlakuan
pemurnian lanjutan misalnya penjernihan
(refining), penghilangan bau (deodorizing),
penghilangan warna (bleaching), dan
sebagainya. Penentuan tingkat kemurnian
minyak ini sangat berhubungan erat dengan
kekuatan daya simpannya, sifat gorengnya,
baunya maupun rasanya. Tolok ukur kualitas
ini termasuk angka asam lemak bebas (Free
Fatty Acid atau FFA), bilangan peroksida,
tingkat ketengikan, dan kadar air.
3. Penentuan sifat fisis maupun kimiawi yang
khas atau mencirikan sifat minyak tertentu.
2.5 Penentuan Kualitas Minyak
2.5.1 Kadar Air
Air bila terdapat dalam minyak dapat
mempercepat terjadinya hidrolisa minyak menjadi
gliserol atau asam lemak (FFA). Bila minyak
terhidrolisa, maka minyak akan menjadi tengik
sehingga dapat menurunkan kualitas minyak.
Reaksi hidrolisa minyak dapat terjadi selama
penyimpanan.
2.5.2 Kadar Asam Lemak Bebas (Free Fatty
Acid / FFA)
Asam lemak bebas ditentukan sebagai
kandungan asam lemak yang terdapat paling
banyak dalam minyak tertentu. Demikian asam
lemak bebas sebagai berikut ini dipakai sebagai
tolok ukur jenis minyak tertentu :
Tabel 2.1 Jenis - Jenis Asam Lemak Bebas
Sumber
Asam lemak
Bobot
minyak
terbanyak
molekul
Kelapa sawit
Palmitat
256
C 16 H 32 O 2
Kelapa, inti
Laurat C 12 H 24 O 2
200
sawit
Susu
Oleat C 18 H 34 O 2
282
Jagung,
Linoleat
278
Kedelai
C 18 H 32 O 2
Suhardi, Bambang dan Slamet, 1997

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

Hubungan kadar asam lemak (%FFA)


dengan angka asam dapat dituliskan sebagai
berikut:
Angka Asam =

BM..KOH
% FFA
BM Asam lemak bebas / 10

Angka asam = Faktor konversi x % FFA


Faktor konversi untuk Oleat
= 1,99
Faktor konversi untuk Palmitat
= 2,19
Faktor konversi untuk Laurat
= 2,80
Faktor konversi untuk Linoleat
= 2,01
2.5.3 Penentuan Angka Penyabunan
Angka penyabunan (Saponification Value)
menunjukkan secara relatif besar kecilnya
molekul asam-asam lemak yang terkandung dalam
gliserida. Angka penyabunan dinyatakan sebagai
banyaknya mg KOH yang dibutuhkan untuk
menyabunkan minyak secara sempurna dari 1
gram minyak tersebut.
2.6

Tebu (Sugar Cane)

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ampas Tebu


Komposisi
% Kandungan
Kimia
Abu
Lignin
0,79
Pentosa
12,70
Sari (alkohol,
27,90
benzena)
2,00
Selulosa
44,70
Kelarutan
3,70
dalam air panas
Sumber: Balai Besar Penelitian & Pengembangan
Industri Selulosa, 1986
Selama ini pemanfaatan ampas tebu
(sugar cane bagasse) yang dihasilkan masih
terbatas untuk makanan ternak, bahan baku
pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk
bahan bakar boiler di pabrik gula. Di samping
terbatas, nilai ekonomi yang diperoleh juga belum
tinggi. Oleh karena itu, diperlukan adanya
pengembangan proses teknologi sehingga terjadi
diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian yang
ada.
III.
3.1

METODOLOGI PENELITIAN
Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Intensitas / lama penggorengan minyak : 2
jam, 4 jam, dan 6 jam

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

Lama perendaman : 1x24 jam, 2x24 jam,


dan 3x24 jam
Ukuran partikel ampas tebu : 150 m, 180
m, dan 225 m

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
1. Erlenmeyer
2. Alat titrasi
3. Beaker Gelas
4. Hot Plate
5. Pipet Tetes
6. Termometer
7. Pengaduk
8. Ayakan
9. Kertas Saring
10. Neraca Analitis
11. Blender
3.2.2 Bahan
1. Minyak jelantah
2. Minyak goreng baru
3. NaOH/KOH
4. Indikator PP
5. Ampas tebu
6. Aquadest
7. Akohol
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Pengolahan ampas tebu
1. Siapkan ampas tebu yang diperoleh dari sisasisa penggilingan sari tebu.
2. Kemudian cuci bersih ampas tebu tersebut
dari kotoran-kotoran yang melekat.
3. Setelah dicuci, keringkan ampas tebu tersebut
di bawah terik matahari.
4. Selanjutnya giling ampas tebu yang telah
kering hingga menjadi bubuk tebu.
5. Bubuk tebu tersebut di ayak dengan berbagai
variasi ukuran diameter partikel.
3.3.2 Proses penjernihan minyak
1. Siapkan minyak goreng yang telah dipakai
beberapa kali (jelantah) dan juga minyak
goreng yang bagus (baru).
2. Analisis terlebih dahulu kandungan pada
minyak jelantah dan minyak yang baru.
3. Siapkan sebanyak 100 ml minyak jelantah
dalam erlenmeyer.
4. Kemudian masukkan bubuk ampas tebu ke
dalam masing-masing minyak tersebut.
5. Rendam minyak dan ampas tebu tersebut
hingga kondisi optimum, lalu disaring.

6.

Langkah selanjutnya analisis minyak yang


sebelumnya telah direndam dengan ampas
tebu.

3.4 Prosedur Analisa


3.4.1 Penentuan Kadar Air dalam Minyak
Penentuan kadar air minyak dapat
dilakukan dengan cara Thermogravimetri sebagai
berikut :
Ditimbang 10 gram minyak dalam botol
timbang bermulut lebar, kemudian dioven pada
suhu 1050C sampai berat konstan, selanjutnya
ditimbang. Pengurangan berat minyak dinyatakan
sebagai berat air yang menguap dari minyak.

ditutup dengan pendingin balik, didihkan


dengan hati-hati selama 30 menit.
2) Selanjutnya dinginkan dan tambahkan
beberapa tetes indikator phenolphthalein (PP)
dan titrasilah kelebihan larutan KOH dengan
standar 0,5 N HCL. Untuk mengetahui
kelebihan larutan KOH ini perlu dibuat titrasi
blanko, yaitu dengan prosedur yang sama
kecuali tanpa bahan minyak.
3) Angka penyabunan dinyatakan sebagai
banyaknya mg KOH yang dibutuhkan untuk
menyabunkan minyak secara sempurna dari 1
gram minyak tersebut.
Angka penyabunan =

A-B
Kadar air =
100 %
A

28,05 ( titrasi blanko - titrasi contoh)


berat sampel (g)

IV.

A = berat minyak sebelum dioven


B = berat minyak setelah dioven
3.4.2 Penentuan Asam Lemak Bebas (FFA)
1) Bahan harus diaduk merata dan berada dalam
keadaan cair pada waktu diambil contohnya.
Timbang sebanyak 28,2 0,2 g contoh dalam
Erlenmeyer. Tambahkan 50 ml alkohol netral
yang
panas
dan
2
ml
indikator
phenolphthalein (PP).
2) Titrasilah dengan larutan 0,1 N NaOH yang
telah di standarisasi sampai warna merah
jambu tercapai dan tidak hilang selama 30
detik.
3) Persen asam lemak bebas dinyatakan sebagai
oleat pada kebanyakan minyak dan lemak.
Untuk minyak kelapa dan minyak inti kelapa
sawit dinyatakan sebagai laurat, sedang pada
minyak kelapa sawit dinyatakan sebagai
palmitat.
4) Asam lemak bebas dinyatakan sebagai %
FFA atau sebagai angka asam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam penelitian ini terlebih dahulu
diamati keadaan fisik dan kandungan minyak
goreng yang bagus sebagai tolok ukur
keberhasilan penelitian ini. Minyak yang bagus
tidak berbau serta berwarna kuning bening dan
jernih. Kadar airnya 0,1819 %, kadar FFA 0,0998
%, dan angka penyabunannya 133,7048.
Selanjutnya dilakukan proses pemurnian sampel
minyak hasil pengorengan yang diambil dari
penjual gorengan. Minyak yang diperoleh berbau
tengik bekas gorengan dan berwarna kuning
keruh.
Setelah dilakukan perendaman dengan
ampas tebu, minyak dengan lama perendaman
1x24 jam masih memiliki bau dari gorengan.
Untuk lama perendaman 2x24 jam, minyak masih
sedikit berbau sedangkan untuk lama perendaman
3x24 jam minyak sedikit sekali berbau tengik.
Minyak jelantah yang telah direndam dengan
ampas tebu rata-rata berwana kuning bening
mendekati warna minyak bagus.
Hasil Analisa Kadar Air dalam Minyak

Penentuan kadar asam lemak bebas (Free Fatty


Acid) pada minyak :
% FFA =

ml NaOH N berat molekul asam lemak


100
berat contoh 1000

3.4.3 Penentuan Angka Penyabunan


1) Timbang minyak dengan teliti antara 1,5
5,0 gram dalam Erlenmeyer 200 ml. Tambah
50 ml larutan KOH yang dibuat dari 40 gram
KOH dalam 1 liter alkohol. Setelah itu

10

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

0.15
2 jam penggorengan
4 jam penggorengan

0.1

6 jam penggorengan
0.05
0
1 x 24 jam 2 x 24 jam 3 x 24 jam
Lama Perendaman

Gambar 4.1 Grafik hubungan antara kadar air


terhadap lama perendaman dengan
ukuran partikel ampas tebu 225 m
Pada grafik di atas diperlihatkan bahwa
rata- rata pada waktu perendaman yang semakin
lama dapat menurunkan kadar air hingga di bawah
0,02 %, angka ini lebih rendah dari pada kadar air
yang terdapat pada minyak bagus, yaitu 0,1819 %.
Bahkan pada kadar air minyak 4 jam
penggorengan selama perendaman 1x24 jam
sebesar 0,0050 %. Kadar air inilah yang paling
rendah pada minyak selama penelitian ini. Kadar
air untuk waktu penggorengan minyak selama 2
jam menunjukkan rata-rata kenaikan yang lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena kandungan air
yang terdapat dalam minyak jelantah
yang
digunakan sebagai sampel lebih tinggi
dibandingkan dua sampel yang lainnya.

Kadar Air (%)

0.2
0.15
0.1

2 jam penggorengan
4 jam penggorengan

0.05

6 jam penggorengan

sekali, masih di bawah kadar air minyak bagus.


Hanya saja pada minyak 2 jam penggorengan
dengan lama perendaman 2x24 jam memiliki
kadar air yang lebih tinggi bahkan di atas kadar air
minyak 2 jam penggorengan pada analisa awal.
Untuk perendaman ampas tebu dengan ukuran
partikel 180 m ini kadar air yang diperoleh
sedikit lebih tinggi. Jika diperhatikan secara teliti,
maka terjadi penyimpangan yang begitu signifikan
dari grafik tersebut. Kenaikan kadar air begitu
tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini
kemungkinan besar terjadi akibat kesalahan
prosedural analisa pada saat mengukur kandungan
air.
0.2

Kadar Air (%)

Kadar Air (%)

0.2

0.15
2 jam penggorengan
4 jam penggorengan

0.1

6 jam penggorengan
0.05
0
1 x 24 jam

2 x 24 jam
3 x 24 jam
Lama Perendaman

Gambar 4.3 Grafik hubungan antara kadar air


terhadap lama perendaman dengan
ukuran partikel ampas tebu 150 m
Grafik ini menunjukkan perubahan kadar
air yang lebih stabil untuk minyak dengan lama
penggorengan 4 jam dan 6 jam. Kestabilan dicapai
karena didukung oleh ukuran partikel ampas tebu
yang semakin kecil, sehingga daya adsorpsi akan
semakin baik. Pada minyak dengan waktu
penggorengan selama 2 jam, perendaman ampas
tebu selama 1x24 jam memiliki kadar air yang
lebih tinggi dibandingkan ampas tebu dengan
lama perendaman 2x24 jam dan 3x24 jam. Hal ini
disebabkan karena waktu perendaman yang
singkat mengurangi kemampuan adsorpsi
maksimal ampas tebu untuk menyerap kandungan
air pada minyak jelantah.

0
1 x 24 jam

2 x 24 jam
3 x 24 jam
Lama Perendaman

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara kadar air


terhadap lama perendaman dengan
ukuran partikel ampas tebu 180 m
Grafik ini menunjukkan rata-rata minyak
yang telah diolah memiliki kadar air yang sedikit

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

11

Kadar FFA (%)

0.2
0.15
2 jam penggorengan
4 jam penggorengan

0.1

6 jam penggorengan
0.05
0
1 x 24 jam

2 x 24 jam
3 x 24 jam
Lama Perendaman

Gambar 4.4 Grafik hubungan antara kadar FFA


terhadap lama perendaman dengan
ukuran partikel ampas tebu 225 m
Kadar asam lemak bebas yang diperoleh
pada percobaan dengan ukuran partikel ampas
tebu 225 m hanya sedikit sekali turunnya dari
analisa awal. Pada minyak 6 jam penggorengan
grafik yang diperlihatkan semakin lama
perendaman semakin kecil pula kadar asam lemak
bebasnya. Namun untuk minyak 2 dan 4 jam
penggorengan justru naik secara perlahan. Dugaan
sementara, kandungan FFA pada sampel awal
untuk minyak dengan waktu penggorengan selama
2 jam dan 4 jam telah memiliki kadar yang tinggi
dibandingkan dengan minyak yang digoreng
selama 6 jam. Hal ini dapat dibuktikan dengan
meihat tipe perubahan yang terjadi pada grafikgrafik selanjutnya.

Kadar FFA (%)

0.2
0.15
2 jam penggorengan
4 jam penggrengan

0.1

6 jam penggorengan
0.05
0
1 x 24 jam

2 x 24 jam
3 x 24 jam
Lama Perendaman

Gambar 4.6 Grafik hubungan antara kadar FFA


terhadap lama perendaman dengan
ukuran partikel ampas tebu 150 m

0.2
0.15
2 jam penggorengan
4 jam penggorengan

0.1

6 jam penggorengan
0.05
0
1 x 24 jam

2 x 24 jam

3 x 24 jam

Lama Perendaman

Gambar 4.5 Grafik hubungan antara kadar FFA


terhadap lama perendaman dengan
ukuran partikel ampas tebu 180 m
Pada grafik di atas, untuk minyak dengan 4
jam penggorengan, kadar asam lemak bebas yang
diperlihatkan selama 1x24 jam hingga 3x24 jam

12

perendaman
semakin
meningkat
bukan
sebaliknya. Namun terjadi penurunan kadar asam
lemak bebas dari analisa awal. Kenaikan kadar
FFA, khususnya untuk minyak dengan
penggorengan selama 2 jam dan 4 jam
membuktikan bahwa dugaan kita pada grafik
sebelumnya adalah benar. Disebutkan bahwa
sejak awal kandungan asam lemak bebas pada
minyak yang digoreng selama 2 jam dan 4 jam
memiliki kadar yang lebih tinggi bila
dibandingkan minyak deengan penggorengan
selama 6 jam. Akibatnya, ampas tebu tidak
bekerja secara maksimal untuk menyerap
kandungan FFA dalam minyak tersebut.
Adsorpsi kandungan asam lemak bebas
oleh ampas tebu terhadap minyak jelantah dengan
lama penggorengan selama 6 jam bekerja dengan
lebih baik, menurunkan kandungan asam lemak
bebas minyak jelantah secara perlahan. Semakin
lama waktu perendaman, maka daya adsorpsi
ampas tebu akan bekerja dengan lebih maksimal.

Kadar FFA (%)

Hasil Analisa Kadar Asam Lemak Bebas


(FFA-Free Fatty Acid)

Ampas tebu dengan ukuran partikel paling


kecil ini mampu menurunkan kadar asam lemak
bebas yang terkecil hingga 0,0999% pada minyak
selama 4 jam penggorengan. Dari ketiga grafik
yang menunjukkan kadar FFA di atas dapat
disimpulkan bahwa semakin lama perendaman
maka akan berpengaruh pada kadar FFA yang
dihasilkan. Sehingga diperoleh waktu perendaman
yang optimum.
Plot grafik memberikan perubahan yang
lebih baik terhadap penurunan kadar asam lemak
bebas
dibandingkan
dengan
grafik-grafik
sebelumnya. Diperoleh kondisi perendaman
optimum dalam analisa kadar FFA minyak
jelantah. Perubahan terjadi, khususnya untuk
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

Hasil Analisa Angka Penyabunan

300
Angka Penyabunan

minyak yang mengalaami penggorengan selama 4


jam dengan lama waktu perendaman ampas tebu
2x24 jam.
Hal ini juga membuktikan bahwa ukuran
partikel ampas tebu juga turut mempengaruhi
daya adsorpsinya untuk menyerap sejumlah asam
lemak bebas yang terikat pada minyak jelantah.
Artinya, semakin kecil ukuran partikel ampas
tebu, maka kemampuan adsorpsi akan semakin
baik. Tentunya hal ini juga didukung oleh
lamanya waktu perendaman optimum ampas tebu
dalam minyak jelantah untuk melakukan proses
adsorpsi.

250
200

2 jam penggorengan

150

4 jam penggorengan
6 jam penggorengan

100
50
0
1 x 24 jam

2 x 24 jam

3 x 24 jam

Lama Perendaman

Gambar 4.8 Grafik hubungan antara angka


penyabunan
terhadap
lama
perendaman dengan ukuran partikel
ampas tebu 180 m

300

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

13

Angka Penyabunan

Semakin
lama
perendaman,
angka
penyabunan yang diperlihatkan semakin menurun
atau makin kecil. Namun angka penyabunan ini
cukup besar mengingat minyak selama 2, 4, dan 6
jam memiliki angka penyabunan hanya 171,6535;
172,0644; dan 164,8890. Sedangkan hasil
penelitian menunjukkan angka penyabunan pada
minyak setelah diolah justru semakin meningkat.
Secara sekilas dapat dilihat bahwa semakin
lama waktu perendaman, maka angka penyabunan
pada minyak akan semakin kecil, akibat adanya
daya adsorpsi yang bekerja secara maksimal.

Sama halnya dengan Grafik 4.7, grafik di


atas juga memperlihatkan angka penyabunan yang
semakin lama perendaman semakin kecil pula
angka penyabunan. Namun sama pula seperti
grafik
sebelumnya,
bahwa
penelitian
menunjukkan kenaikan angka penyabunan setelah
minyak tersebut diolah.
Untuk laju penurunan angka penyabunan
pada grafik ini, perubahan tidak terjadi secara
drastis. Pada waktu perendaman selama 1x24 jam
dan 2x24 jam, terjadi perubahan yang begitu kecil.
Tetapi lain halnya dengan perendaman selama
3x24 jam. Perubahan yang tidak begitu besar ini
disebabkan karena daya adsorpsi dalam rentang
waktu perendaman ampas tebu tidak begitu jauh
berbeda.
Ukuran partikel ampas tebu yang semakin
kecil juga sangat mempengaruhi kemampuan
ampas tebu dalam mengadsorpsi. Semakin kecil
ukuran partikel ampas tebu, maka proses adsorpsi
akan berjalan semakin baik. Dapat dibandingkan
dengan Grafik 4.7, bahwa penurunan angka
penyabunan jauh lebih baik, yang didukung
dengan waktu perendaman ampas tebu yang
semakin lama yaitu 3x24 jam.
Kondisi optimum untuk angka penyabunan
terkecil belum ditemui pada hasil analisa Grafik
4.8 ini.

250
200

2 jam penggorengan

150

4 jam penggorengan
6 jam penggorengan

100
50
0
1 x 24 jam

2 x 24 jam 3 x 24 jam
Lama Perendaman

Gambar 4.7 Grafik hubungan antara angka


penyabunan
terhadap
lama
perendaman dengan ukuran partikel
ampas tebu 225 m

2.

Angka Penyabunan

300
250
200

2 jam penggorengan

150

4 jam penggorengan
6 jam penggorengan

100

3.

50
0
1 x 24 jam 2 x 24 jam 3 x 24 jam
Lama Perendaman

4.

Gambar 4.9 Grafik hubungan antara angka


penyabunan
terhadap
lama
perendaman dengan ukuran partikel
ampas tebu 150 m
Berbeda dengan kedua grafik sebelumnya,
hasil penelitian yang tergambar pada grafik di atas
menunjukkan angka penyabunan yang semakin
kecil. Angka penyabunan yang paling kecil adalah
161,5042, yaitu pada minyak 6 jam penggorengan
yang direndam dengan ampas tebu selama 1x24
jam. Hal ini membuktikan bahwa ukuran partikel
ampas tebu yang semakin kecil dapat membantu
menurunkan angka penyabunan pada minyak.
Terjadi satu kali kenaikan besarnya angka
penyabunan, terutama untuk minyak jelantah
dengan lama penggorengan 6 jam dengan waktu
perendaman 2x24 jam. Kemudian pada
perendaman 3x24 jam, minyak jelantah ini
mengalami kenaikan yang sangat kecil sekali. Hal
ini disebabkan karena minyak sudah begitu jenuh,
sehingga ukuran partikel dan lama perendaman
ampas tebu sangat sedikit mempengaruhi kerja
adsorpsi serta perubahan angka penyabunan.
Dalam analisa Grafik 4.9 ini ditemukan
kondisi optimum , dimana nilai angka penyabunan
terkecil dapat diperoleh, dan dapat disimpulkan
bahwa diameter serta lama waktu perendaman
cukup besar mempengaruhi perubahan besarnya
angka penyabunan pada minyak jelantah ini.

VI.

Kadar air dalam minyak dapat diturunkan


hingga 0,0050 %, kadar FFA minyak bekas
pakai dapat diturunkan hingga 0,0999%, dan
angka penyabunan dapat mencapai angka
terendah 161,5042. Sehingga minyak ini
masih dapat digunakan kembali untuk
berbagai keperluan.
Lama perendaman mempengaruhi hasil
penjernihan minyak yang diharapkan. Dari
hasil penelitian membuktikan bahwa waktu
yang optimal adalah 2x24 jam.
Semakin kecil diameter partikel adsorben
(ampas tebu), pada penelitian ini yaitu 150
m, maka penyerapan zat pengotor
berlangsung semakin optimal.

DAFTAR PUSTAKA

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain :
1. Adsorben yang umum digunakan dalam
proses pemucatan minyak terdiri dari tanah
pemucat (bleaching earth), arang pemucat
(bleaching carbon), dan serat. Ampas tebu
merupakan serat yang dapat digunakan
sebagai adsorben untuk mengikat pengotor
pada minyak.

Aidil, Muhammad dan Lince. 2003. Kemampuan


Adsorpsi Tempurung Kelapa Sawit dengan
Reaksi
Karbonisasi
dalam
Proses
Pemucatan Minyak Goreng Curah
Inderalaya: Jurusan Teknik Kimia UNSRI.
Andiani,
Ria,
Halimatussyakdiah.
2003.
Pemucatan
Minyak
Curah
dengan
Bleaching Earth. Inderalaya: Jurusan
Teknik Kimia UNSRI
Badan Standarisasi Nasional-BSN. 1998. Cara
Uji Minyak dan Lemak. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2002. Minyak
Goreng. Jakarta.
Herlina, Netti dan M. Hendra S. Ginting. 2002.
Lemak dan Minyak. Medan: Fakultas
Teknik, Jurusan Teknik Kimia, Universitas
Sumatera Utara.
isekolah. org. 2008. Unand Temukan Teknologi
Olah Minyak Jelantah
Ketaren, 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan
Lemak
Pangan.
Jakarta:
Penerbit
Universitas Indonesia.
Vogel, 1985.Buku Teks Analisis Anorganik
Kualitatif Makro dan Semimikro, Edisi I.
Jakarta: PT. Kalman Media Pustaka.
Witono, Johanes Anton. Produksi Furfural dan
Turunannya: Alternatif Peningkatan Nilai
Tambah Ampas Tebu Indonesia (Sebuah
Wacana bagi Pengembangan Industri
Berbasis Limbah Pertanian). Jakarta:
Program Studi Teknik Kimia, Departemen
Teknik Gas dan Petrokimia, Universitas
Indonesia.
www.wikipedia.com, 2008. Tebu (Sugar Cane).

14

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

V.

Anda mungkin juga menyukai