TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASMA
2.1.1. Definisi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran
pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi
kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif,
sehingga
memudahkan
terjadinya
bronkokonstriksi,
edema
dan
prevalensi
penyakit
asma
berkisar
antara
1-18%
(GINA,
2011).
11/1000
penduduk
dan
obstruksi
paru
2/1000
penduduk
898
43
1653
3
2.32%
661
138
1537
6
2.17%
329
60
2210
10
0
397
104
2210
3
2.90%
sel goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang
menyebabkan penyempitan saluran pernapasan (GINA, 2008).
Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran
pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos
bronkus, edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran
pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan
tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang
berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan
bronkus,
menyebabkan
tidak
sesuainya
ventilasi
dengan
perfusi.
yang
perubahannya
bersifat
ireversibel
disebut
proses
penyakit
(Rahmawati, 2003).
Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernapasan, sel goblet,
kelenjar sub mukosa, didapati pada bronkus pasien asma, terutama pada
yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada
pasein asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi, yang
dapat menyebabkan penebalan dinding saluran pernapasan. Selama ini
asma diyakini sebagai kondisi obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
2010).
Riwayat
adanya
mengi
rekuren,
meningkatkan
Tumor trakeo-bronkial
n. Aneurisma aorta
o. Kecemasan
2.1.7. Penatalaksanaan Asma (Mangunegoro, 2004)
Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen:
a. Edukasi
b. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala
c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
f. Kontrol secara teratur
g. Pola hidup sehat
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka
panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu:
a. Medikasi (obat-obatan): Obat asma dikelompokkan atas dua golongan
yaitu: obat-obat pengontrol asma (Controller), yaitu anti-inflamasi dan
obat pelega napas (Reliever), yaitu bronkodilator.
b. Pemberian medikasi.
c. Penanganan asma mandiri.
b. Pemberian Obat-obatan
Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi
(diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena).
Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi)
adalah:
1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran
pernapasan.
2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.
3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu
mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui
inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral.
Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara,
yaitu:
1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI)
2) IDT dengan alat bantu (spacer)
3) Breath-actuated MDI
4) Dry powder inhaler (DPI)
5) Turbuhaler
6) Nebulizer
Kekurangan IDT adalah sulit mengkordinasikan dua kegiatan
(menekan inhaler dan menarik nafas) dalam waktu bersamaan, sehingga
harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil. Penggunaan
alat bantu (spacer) bertujuan mengatasi kesulitan dan memperbaiki
penghantaran
obat
melalui
IDT.
Spacer
lazim
digunakan
pada
penatalaksaan asma anak dan pada pasien asma yang sangat sulit
melakukan inspirasi dalam, untuk menghidu obat yang dikeluarkan dari
inhaler. Selain itu, spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan
orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan
kandidiasis bila menggunakan inhalasi corticosteroid (meskipun hal ini
sangat jarang terjadi pada pasien dengan higiene mulut yang baik), serta
mengurangi bioviabiliti dan risiko efek samping sistemik. Beberapa studi di
luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis 2 kerja singkat
dengan
IDT
dengan
menggunakan
spacer
memberikan
efek
digunakan
saat
karena
mereka
yang
langsung
merasakan
dampak
usaha
ini
dapat
terlaksana
dengan
baik,
maka
faktor
merupakan
hal
yang
sangat
mendasar
dalam
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi
200-500 ug
22-400 ug
500-1000 ug
100-250 ug
400-1000 ug
500-1000 ug
400-800 ug
1000-2000 ug
250-500 ug
1000-2000 ug
>1000 ug
>800 ug
>2000 ug
>500 ug
>2000 ug
Anak
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi
Beclomethasone
Dipropionate
Budesonide
Flinisolide
Fluticasone
100-400 ug
100-200 ug
500-750 ug
100-200 ug
800-1200 ug
400-800 ug
200-400 ug
1000-1250 ug
200-500 ug
800-1200 ug
>800 ug
>400 ug
>1250 ug
>500 ug
> 1200 ug
faal
paru,
hiperesponsif
saluran
pernapasan),
bahkan
b. Corticosteroid Sistemik
Obat corticosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut
bila pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma
akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 57 hari biasa digunakan
sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai
terapi awal pada asma yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan
penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa
diberikan apabila pasien asma persiten sedang-berat tidak mampu
membeli steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring
ketat terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan kejadian efek
samping obat yang akan lebih mudah muncul pada pemberian obat
secara sistemik. Dengan demikian, pemberian corticosteroid oral jangka
panjang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini, untuk
mengurangi kemungkinan efek samping obat yang terjadi:
c. Methylxanthine
Theophylline adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine
dan merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua
golongan bronkodilator lain yaitu agonis 2 dan anticholinergic. Sampai
saat ini, theophylline tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi
pemberian theophylline dilakukan secara oral atau pemberian sistemik
(parenteral) lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat.
Theophylline mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga
mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga
sebagai obat
Tabel 2.4. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis
2
Durasi (lama kerja)
Cepat
Onset
Singkat
Fenoterol
Prokaterol
Salbutamol/albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat
Lama
Formoterol
Salmaterol
b. Methylxanthine
Merupakan bronkodilator yang efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis 2 kerja singkat. Aminophylline lepas lambat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala, karena durasi kerjanya yang
lebih lama daripada agonis 2 kerja singkat. Manfaat aminophylline
adalah untuk respiratory drive dan memperkuat otot-otot pernapasan dan
mempertahankan respon terhadap agonis 2 kerja singkat. Timbulnya
efek samping obat dapat dicegah dengan memberikan dosis yang sesuai
dan melaksanakan pemantauan.
c. Anticholinergic
Anticholinergic
inhalasi
(ipratropium
bromide)
menghambat
d. Adrenaline
Dapat digunakan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis 2 , atau tidak respons dengan agonis 2 kerja
singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada
penderita usia lanjut atau dengan gangguan vaskuler. Pemberian
intravena
dapat
diberikan
bila
dibutuhkan,
tetapi
harus
dengan
glucocorticosteroid
oral
dan
atau
inhalasi
kombinasi
therapy
yaitu
meningkatkan
terapi
secara
bertahap
jika
therapy
Dokter
untuk
Paru
Indonesia
penatalaksanaan
(PDPI)
asma
menyarankan
yaitu
memulai
(misalnya
setelah
satu
bulan
terapi)
maka
diperlukan
(Semua dari
tanda-tanda)
Terkontrol
sebagian
Pengukuran pada
setiap minggu
Gejala siang
Tidak ada
> 2 x / minggu
(< 2 x / minggu)
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
> 2 x / minggu
Keterbatasan
aktivitas
Gejala/terbangun
malam
Penggunaan obat
pelega/agonis 2
Tidak
terkontrol
Tiga atau
lebih
gambaran
asma
terkontrol
sebagian
ada pada
setiap
minggu
(< 2 x / minggu)
Fungsi Paru
Normal
< 80 % prediksi
atau nilai terbaik
individu
Tidak ada
1 atau lebih/tahun
Ada dalam
1 minggu
bahwa
kualitas
hidup
yang
berhubungan
dengan
penyakit.
Kualitas
hidup
juga
digunakan
untuk
pengkajian/assessment
konvensional
penilaian
keparahan
penyakit
aktivitas
kehidupan
sehari-hari
atau
terganggu
status
sedangkan
nilai
yang
tinggi
menunjukkan
kemampuan
Nilai
yang
rendah
menunjukkan
bahwa
kesehatan
fisik
dimensi
Kesehatan
Fisik
(Physical
Component
Scale).
Masing-masing skala dinilai 0-100, dan skor yang lebih tinggi menandakan
kualitas hidup yang lebih baik.
0.97
(Miedingera,
2006).
Miedingera,
2006,
melakukan
(2005)
kemudian
mengembangkan
kuesioner
yang
diperuntukkan untuk remaja dan dewasa dengan nama AQLQ (S) yaitu
Asma Quality of Life Questioner (Standard). Namun kuesioner inipun
dimodifikasi dengan nama AQLQ 12+. Hal ini dikarenakan batas usia klinis
penderita asma diturunkan yaitu 12 tahun. Terdapat sedikit perubahan
antara AQLQ (S) dengan AQLQ 12+. Dalam penelitiannya Juniper (2005)
mendapatkan hasil pengukuran yang sama atara usia 12-17 tahun dengan
usia.12 tahun. Hal ini berarti AQLQ 12+ dapat digunakan pada usia 12
tahun ke atas (cocok untuk usia remaja > 12 tahun dan usia dewasa).
Selain kuesioner untuk remaja dan dewasa, Juniper sebelumnya
telah mengembangkan kuesioner pengukuran untuk anak-anak dengan
nama PAQLQ (Paediatric Asma Quality of Life Questioner) (Scala, 2001).
PAQLQ digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien asma usia 7 s.d
17 tahun. Scala (2001) mengembangkan kuesioner PAQLQ-A dengan
menterjemahkan kuesioner PAQLQ ke dalam bahasa Portugis. Hasil
pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach
adalah 0.909.
a. Domain Perilaku
Benyamin
Bloom
(1908)
seorang
ahli
psikologi
pendidikan
1) Tahu
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang diketahui sebelumnya.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
atau rangsangan, antara lain dapat menyebutkan, mendefinisikan dan
mengatakan.
dapat
dilihat
dari
penggunaan
kata
kerja
seperti
dapat
2). Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap yang secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Alport (1954) dalam Notoadtmodjo (2007) menjelaskan bahwa
sikap itu mempunyai 3 komponen pokok:
1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3) Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)
Sikap terdiri dari empat tingkatan (Notoatmodjo, 2007; Maulana,
2009), yaitu:
1) Menerima (receiving)
Menerima,
diartikan
bahwa
seorang
(subjek)
mau
dan
mengerjakan
dan
2) Merespon (responding)
Memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga
1) Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil, dan merupakan praktik tingkat pertama.
3) Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka
ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
4) Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikan tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
b. Determinan Perilaku
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku secara
umum
termasuk
adherensi
pasien
menurut
Lawrence
Green
Predisposing factors
Enabling factors
Behaviour
Reinforcing factors
obat
inhalasinya
merupakan
faktor
setiap
yang
hari.
utama
Adherensi
dalam
terhadap
keberhasilan
pada
pasien.
pasienlah yang
Adherence
Concordance
a. Kompleksnya Pengobatan
Kompleksnya pengobatan yang diberikan akan mempengaruhi
adherensi pengobatan pasien. Penggunaan obat asma dengan cara
inhalasi sering dirasakan rumit oleh pasien. Hal ini membuat pasien
cenderung memilih pengobatan yang lebih mudah, walaupun tidak sesuai
standar, seperti penggunaan obat secara oral.
(pencegah),
karena
obat
pelega
secara
langsung
c. Kepercayaan Pasien
Pasien
penyakitnya.
pergi
berobat
Penelitian
sering
menunjukkan
karena
kepercayaan
tentang
bahwa
kepercayaan
tentang
berat. Penyakit asma adalah penyakit kronis, yang dalam kondisi ringan
memberikan gejala klinis yang bersifat reversibel, sehingga pasien asma
kadangkala menganggap penyakitnya tidak menimbulkan masalah yang
berat pada dirinya.
Kepercayaan individu terhadap upaya pengobatan dan pelayanan
kesehatan
dapat
merujuk
dikemukakan oleh
sikap
pasien
terhadap
pengobatan.
Sikap
terhadap
meningkatkan
adherensi
pengobatan
pasien
asma.
Pada
dapat
mudah dimengerti dan diingat oleh pasien. Informasi yang diberikan juga
jangan terlalu berlebihan, karena pasien sering sekali melupakan separuh
dari informasi yang diberikan, meskipun informasi yang diberikan sudah
jelas (Bauman, 2005).
Jacobs (2001) membuktikan adanya hubungan antara konsultasi
dan edukasi dari dokter umum dengan kualitas hidup pasien asma dan
PPOK. Pada studi ini dokter umum dianjurkan untuk memberikan
konsultasi secara teratur selama 3 bulan kepada pasien asma ringan dan
pasien PPOK. Tepat sehari sebelum konsultasi rutin, pasien diminta untuk
mengisi berupa kuisioner tentang penyakit dan kualitas hidup di ruang
tunggu dan memberikannya kepada dokter umum di awal konsultasi.
Dengan demikian, informasi tentang kualitas hidup pasien diberikan
kepada dokter umum dengan cara yang terstruktur dan ditambahkan ke
sistem pemantauan yang ada. Kuesioner yang terdiri dari 27 pernyataan
dan menjadi lima dimensi kualitas hidup: keluhan fisik, faktor emosi,
keterbatasan fisik dan sosial dan ketidakhadiran (dari tugas-tugas
domestik atau bekerja) disebabkan penyakit. Pada saat konsultasi dokter
mencatat:
a. Intervensi diagnostic seperti spirometri, tes alergi atau foto thorax.
b. Terapi obat-obatan yang diberikan, nasihat untuk berhenti merokok,
waktu konsultasi lanjutan.
c. Edukasi kesehatan tentang penyakit, pemakaian obat, regimen
pengontrol, gaya hidup.
d. Konseling tentang aspek fisik, emosional, dll.
digunakan,
dan
bentuk
berbagai
pendekatan
(teknik)
yang
bersifat
menyeluruh