Anda di halaman 1dari 3

SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL DI INDONESIA BELUM EFEKTIF

Darwin Kadarisman
Sejak awal diterapkannya sertifikasi halal pada 1994 penulis merupakan salah
seorang yang meragukan effektivitasnya. Pemikiran ini berdaasrkan bahwa di negara yang
mayoritas penduduknya muslim (90%), akan besar sekali sasaran (beban kerja) yang harus
dicapai. Secara manajerial pilihan ini kurang tepat. Lebih mudah memberikan labelisasi
haram atau memisahkan lokasi produksi dan penjualan produk-produk yang haram
bagi umat Islam. Dapat dibayangkan berapa lama proses sertifikasi halal akan dilakukan
untuk mengsertifikasi 87.942 industri pangan skala besar, sedang dan kecil serta 823.872
industri pangan skala rumah tangga, restoran, rumah makan dan jasa boga (data pada 2002)
? Akan banyak kendala yang dihadapi seperti jumlah lembaga sertifikasi halal, jumlah
auditor halal, kesadaran produsen, komunikasi biaya dan sebagainya. Apalagi jika
lembaga sertifikasi tidak bisa otomatis mengeluarkan sertifikat halal meskipun telah
memiliki auditor halal seperti pada sistem manajemen mutu ISO-9000. Apakah bentukbentuk fatwa untuk halalnya suatu produk mesti dikeluarkan oleh lembaga tertentu ? Dulu
juga begitu, hanya lebai yang boleh memotong ayam agar sah halalnya. Apakah fatwa
tidak cukup untuk makanan apa yang halal, bagaimana proses membuat pangan yang
halal, lalu didelegasikan kepada auditor dan lembaga sertifikasi untuk mengeluarkan
sertifikat ? Auditor dan lembaga sertifikasinya yang semestinya dilatih, dimonitor atau
diaudit secara berkala. Terbukti pula produsen suatu bumbu masak yang merupakan
industri besar dan telah mengantongi sertifikat halal, pada beberapa tahun yang lalu bisa
tergelincir menggunakan ingredien yang diragukan kehalalannya karena memang dalam
memperoleh sertifikat tersebut tidak dipersyaratkan adanya sistem manajemen halal.
Akan tetapi yang terpenting dalam pencapaian tujuan adalah mengerjakan hal
yang benar (do the right thing), baru disusul dengan mengerjakan dengan benar
(do thing right). Kita harus berpikir secara mendalam dan komprehensif untuk menentukan
hal yang benar tersebut, dengan menganalisis secara mendalam fakta-fakta strategis.
Hasil Survei Efektivitas Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Sejak awal agak ragu akan efektivitas sertifikasi dan labelisasi halal karena kita
meniru Malaysia dan Singapura, yang penduduk muslimnya dibawah 50%. Dalam kondisi
seperti di kedua negara tersebut atau negara lain yang umat muslimnya minoritas, memang
umat Islam harus dibantu agar tidak salah dalam memperoleh makanan yang halal. Tetapi
1

di negara-negara muslim seperti Saudi Arabia, Pakistan, Iran dan sebagainya mestinya
berlaku sistem seluruhnya halal, yang tidak halal tidak boleh masuk ke negara tersebut.
Hasil penelitian Jihan dan Kadarisman (2003) menunjukkan bahwa delapan tahun
setelah sertifikasi halal diterapkan (2002), baru 624 perusahaan yang memiliki sertifikasi
halal, terdiri dari 496 industri besar, 204 industri kecil dan rumah tangga, 13 restoran dan
jasa boga serta 11 industri obat-obatan. Jumlah tersebut kalau dibandingkan dengan
seluruh sasaran yang harus dicapai, baru 0.07%. Presentase industri besar memang relatif
lebih tinggi yaitu 41,3% (dari jumlah industri besar pangan) karena mereka mengerti
benar dampak sertifikasi halal terhadap kemajuan bisnis mereka. Ini berarti, pangsa
pasarnya meningkat tetapi pada saat bersamaan pangsa pasar industri kecil dan menengah
akan menurun jika produknya sama. Ini sudah terlihat pada industri kecil mie basah dan
kering. Di kota Bandung hanya tinggal 16 industri dengan kapasitas 10 20 kg perhari.
Cukup menarik juga untuk dikemukanan

bahwa dari 50 industri yang belum

mempunyai sertifikasi halal yang disurvei (sebagaian besar industri kecil menganggap
produknya sudah halal), tidak merasa bahwa bahan yang mereka gunakan kemungkinan
diragukan

kehalalannya. Kalau kita lihat kenyataan disekitar kita sebenarnya sangat

banyak usaha pangan seperti itu misalnya Dodol, Geplak, Bika Ambon, Krupuk, Restoran
Padang, Restoran Parahiangan dan sebagainya. Mereka sebagai muslim yang taat tidak
merasa ada masalah dengan produk mereka. Mereka juga secara sadar melakukan
pengendalian untuk kehalalan produk mereka. Suatu ketika memang bisa jadi meragukan
bila tidak memiliki sertifikat dan mencantumkan label halal, terutama jika semakin banyak
usaha yang telah memilikinya.
Memposisikan Diri Menjadi Umat Minoritas
Dengan menerapkan sertifikasi dan labelisasi halal bisa jadi tanpa disadari telah
memposisikan umat Islam menjadi minoritas ? Seharusnya di negara yang berpenduduk
90% muslim, masyarakat tidak boleh dihinggapi perasaan ragu memperoleh makanan yang
halal. Berbeda jika umat muslim bepergian ke negara-negara non muslim seperti Amerika,
Cina, Jepang dan lain-lain. Kalau berkunjung ke Saudi Arabia, perasaan seperti ini tidak
ada. Dengan sertifikat halal ini umat muslim sama dengan umat Yahudi (minoritas) yang
ingin memperoleh makanan halal di Amerika. Mereka mencari makanan ke toko-toko
yang menjual Kosher Food. Amerika Serikat membuat standar Kosher Food untuk
melindungi umat Yahudi. Mungkin penerapan sertifikasi halal ini tidak berada on the
2

right track dan perlu didiskusikan lagi secara mendalam dengan pikiran jernih, agar
dapat menentukan hal yang benar yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang.
Kecenderungan menerapkan labelisasi haram ketimbang sertifikasi dan labelisasi
halal mungkin perlu dipertimbangkan. Ini berarti kalau suatu hotel berbintang menyajikan
juga makanan haram dalam menunnya , harus mencantumkan label haram (gambar kepala
babi) didepan pintu masuknya atau pada daftar menu tersebut. Pemerintah juga semestinya
memisahkan tempat penjualan produk-produk yang bagi umat Islam haram hanya pada
lokasi tertentu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menerapkan sistem semuanya
halal ini antar lain:
1.

Agar seluruh bahan mentah makanan olahan dan ingredien

yang masuk ke

Indonesia memiliki label halal. Label halal ini dapat dikeluarkan asosiasi muslim yang
ada di negara importir yang telah menjalin MOU dengan lembaga tertentu atau diaudit
oleh lembaga tertentu di Indonesia (LP POM MUI)
2.

Mengendalikan seluruh rumah potong hewan di Indonesia agar memotong hewan


sesuai syariah Islam.

3.

Secara bertahap menutup seluruh pabrik minuman beralkohol. Impor minuman


beralkohol harus distop atau sangat dibatasi. Tempat penjualannya harus terpisah pada
tempat tertentu.

4.

Meneliti dan mengaudit pabrik-pabrik ingredien pangan jika diduga menghasilkan


produk yang diragukan kehalalannya. Untuk produk baru tidak diberikan izin apabila
diragukan kehalalannya.
Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat lebih efektif untuk melindungi umat Islam

dalam memperoleh makanan yang halal.

Anda mungkin juga menyukai