Oleh :
Yunita Khoirotus Salamah
011413243044
LEMBAR PENGESAHAN
Asuhan Keperawatan Neonatus dengan Respiratory Disstress Syndrom
(RDS) di Ruang NICU IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya, telah disahkan oleh
pembimbing pada :
Hari
Tanggal
:
Surabaya, 2015
Pembimbing Akademik
Pembimbing Klinik
Euvangelina, S.Keb, Bd
Pamiani, S.Kep, Ns
2015
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR
PENGESAHAN
.............................................................................................................................
2
UCAPAN
TERIMA
KASIH
.............................................................................................................................
3
DAFTAR
ISI
.............................................................................................................................
4
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
........................................................................................................
5
1.2 Tujuan
........................................................................................................
6
1.2.1 Tujuan
umum
................................................................................................
6
1.2.2 Tujuan
khusus
................................................................................................
6
1.3 Pelaksanaan
........................................................................................................
6
1.4 Sistematika
Penulisan
........................................................................................................
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan penyebab utama
kematian neonatal di dunia. Permasalahan RDS menjadi target untuk peningkatan
pengobatan dan teknologi untuk Neonatal Intensive Care (NICU). RDS
merupakan penyebab gangguan pernapasan utama yang terjadi pada bayi prematur
dan kejadian RDS berpengaruh pada tingkat prematuritas.
RDS disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom
gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir
dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.
Sindrom ini merupakan penyebab terbanyak angka kesakitan dan kematian
pada bayi BBLR di dunia. Di Amerika Serikat, sindrom ini terjadi sekitar 20.000 30.000 pada bayi baru lahir tiap tahunnya. 2 Menurut penelitian Lemons et all
tahun 2001, RDS terjadi pada 78% neonatus dengan berat badan lahir 501-1.500
gram yang mana 71% terjadi pada bayi dengan berat badan lahir 501 750 gram,
54% terjadi pada bayi dengan berat badan lahir 751-1.000 gram. Sindrom ini
terjadi pada 36% bayi dengan berat badan lahir 1.001-1.250 gram dan 26% terjadi
pada bayi dengan berat badan lahir 1.250-1.500 gram.
Angka kejadian RDS yang berhubungan dengan umur gestasi dan berat
badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan
kurang dari 6%
pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya
RDS. Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang
kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator
dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik
penggunaan surfaktan buatan, surfaktan
surfaktan
dari
sejenis
lembu/bovine
dipertanggungjawabkan
dan
maupun
sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi
atau kerusakan surfaktan.
Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mempelajari lebih lanjut tentang
asuhan keperawatan pada neonatus dengan RDS di Ruang IRD NICU RSUD dr.
Soetomo Surabaya pada laporan ini.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Melakukan asuhan keperawatan pada neonatus dengan Respiratory
Distress Syndrome (RDS) dengan menggunakan manajemen asuhan keperawatan.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Menjelaskan konsep dasar teori Respiratory Distress Syndrome (RDS).
2) Menjelaskan konsep dasar asuhan keperawatan neonatus dengan Respiratory
Distress Syndrome (RDS).
3) Mampu melakukan pengkajian dan pengumpulan data pada bayi dengan
Respiratory Distress Syndrome (RDS).
4) Dapat mengidentifikasi dan merumuskan diagnosa keperawatan bayi dengan
Respiratory Distress Syndrome (RDS). berdasarkan masalah.
5) Dapat menentukan intervensi, melakukan tindakan dan evaluasi pada bayi
dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS).
1.3 Pelaksanaan
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Respiratory Distress Syndrome (RDS)
2.1.1 Pengertian
Distres pernapasan pada neonatus memiliki banyak sebab, termasuk sedasi
ibu yang berlebihan, cedera kepala janin sewaktu persalinan, aspirasi darah atau
cairan amnion, dan hipoksia intrauterin akibat belitan tali pusat di leher. Namun,
penyebab tersering adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS), yang juga
dikenal sebagai Penyakit Membran Hialin (PMH) karena terbentuknya membran
di rongga udara perifer pada bayi yang meninggal akibat penyakit ini. (Maitra &
Kumar 2009)
RDS adalah penyakit yang mengancam jiwa dimana paru-paru bayi belum
terbentuk sempurna dan belum dapat berfungsi diluar rahim. Kondisi ini
umumnya dialami bayi prematur. (American Lung Association 2008)
RDS adalah keadaan insufisiensi paru dimana normalnya perjalanan
penyakit ini dimulai saat lahir atau beberapa saat setelah kelahiran dan mencapai
kondisi parahnya setelah hari kedua kehidupan. Jika tidak ditangani maka akan
menyebabkan kematian akibat hipoksia progresif dan gagal napas. RDS terjadi
akibat defisiensi dan imaturitas surfaktan paru bersama imaturitas struktur paru
dan utamanya, tapi tidak khusus, pada bayi preterm. (Sweet et al. 2010)
EuroNeoStat pada 2006 menyatakan insiden RDS 91% pada usia gestasi
23-25 minggu, 88% pada 26-27 minggu, 74% pada 28-29 minggu dan 52% pada
30-31 minggu (Sweet et al. 2010). Insiden RDS pada persalinan aterm melalui
seksio sesarea elektif sebesar 2.2 per 1000 kelahiran (Morrison, Rennie & Milton
1995).
2.1.2 Etiologi dan Patogenesis
10
PREMATURITAS
Penurunan sintesis, penyimpanan dan pengeluaran surfaktan
Penurunan surfaktan alveolus
Atelektasis
Perfusi tidak merata
Hipoventilasi
Peningkatan
gradien
perfusi
Kerusakan epitel
Kebocoran plasma
ke dalam alveolus
11
yaitu: (1) Idiopatik, penyebab yang tidak diketahui. (2) Iatrogenik, persalinan
prematur buatan. (3) Sosio-dermografik diantaranya adalah psiko-sosial
(kecemasan/ depresi, stress, pekerjaan, perilaku merokok dan minum minuman
beralkohol, berat badan sebelum hamil, pertambahan berat badan selama hamil,
komposisi diet, aktivitas seksual) dan dermografik (usia ibu, status marital,
kondisi
sosial-ekonomi,
ras/etnik).
(4)
Maternal,
sehubungan
dengan
12
minggu memiliki risiko RDS dua kali lipat dibandingkan yang lahir pada usia
gestasi 39 minggu (Ghartey et al. 2012).
Gambar 2.2. Hubungan antara usia gestasi dan RDS. Alur insiden RDS pada setiap
usia gestasi. Disadur dari Robertson PA, Sniderman SH, Laros RK
Jr, et al. (1992) Neonatal morbidity according to gestational age and
birth weight from five care centre in the United States, 1983-1986.
American Journal of Obstetrics and Gynecology 166: 1629.
(Dargaville 2006)
2) Jenis kelamin
Tingginya insiden dan keparahan RDS pada bayi jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan dijelaskan oleh peningkatan hormon androgen pada
laki-laki, yang mana menunda pematangan paru dengan cara menekan produksi
surfaktan oleh sel pnemosit tipe II (Pillow & Jobe 2008). Sebelumnya
Papageorgiou et al. sudah mengungkapkan bahwa pencegahan terhadap RDS
menggunakan betametason lebih efektif pada janin perempuan dibanding laki-laki
(Papageorgiou et al. 1981). Dipertegas lagi oleh Dani et al. bahwa RDS lebih
sering ditemukan pada jenis kelamin laki-laki (Dani et al. 1999). Anadkat et al.
bahkan lebih khusus menyebutkan bahwa faktor risiko ini tanpa memperhatikan
usia gestasinya (Anadkat et al. 2012).
3) Etnis / Ras.
Bayi preterm kulit hitam lebih jarang mengalami RDS dibanding bayi kulit
putih pada usia gestasi yang sama dan kondisinya tidak separah kulit putih (Pillow
13
& Jobe 2008). Pertentangan muncul dari Patricia E. Thomas yang menyebutkan
bahwa ras kulit hitam tidak lagi merupakan faktor risiko signifikan terhadap RDS,
dimana ditemukan ras kulit hitam memiliki kecenderungan kematian 1.3 kali lebih
besar terhadap RDS. Kemudian disimpulkan bahwa ras kulit hitam tidak merespon
sebaik kulit putih terhadap pemberian surfaktan dan penelitian genomik masih
perlu dilakukan untuk mengeksplorasi terapi yang cocok untuk kelompok ini
(Thomas 2011).
Di Amerika Serikat, insiden RDS pada etnis Hispanik tercatat sebesar 1.8
per 1000 kejadian, etnis Asia Amerika/ Kepulauan Pasifik sebesar 2.4 per 1000,
etnis Kaukasia sebesar 3.9 per 1000, etnis Afro-amerika 4.7 per 1000, dan
tertinggi pada etnis Amerika Indian/ penduduk asli Alaska sebesar 5.3 per 1000
kejadian (American Lung Association 2010). Beberapa penelitian lain juga
menguatkan etnis sebagai faktor resiko independen terhadap kejadian RDS (Haas
et al. 2011; Anadkat et al. 2012).
4) Berat lahir
Berat lahir bayi dinilai dalam 1 jam setelah lahir, kecuali yang lahir di
rumah (Damanik 2010). Berat lahir dikatakan normal antara 2500-4000 gram.
Berat lahir yang rendah (<2500 gr) digolongkan menjadi tiga, yaitu Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) antara 1500-2500 gram, Bayi Berat Lahir Sangat Rendah
(BBLSR) antara 1000-1499 gram, dan Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah/ Bayi
Berat Amat Sangat Rendah (BBLER/BBLASR) dengan berat <1000 gram
(Saifuddin et al. 2009).
Dani et al. (1999) menemukan dari 734 bayi dengan RDS, kelompok
paling banyak ada pada yang memiliki berat lahir < 1500 gram (Dani et al. 1999).
Fehlmann et al. (2010) mengungkapkan meskipun terapi kortikosteroid antenatal
telah diberikan, insiden RDS masih sangat tinggi pada bayi dengan berat lahir
sangat rendah dengan rerata berat lahir 1100.5 gram (Fehlmann et al. 2010).
14
15
usia gestasi yang lebih tua, bayi yang lahir lebih dulu memiliki insiden RDS yang
lebih rendah dibanding yang lahir belakangan atau second born twin (Marttila,
Kaprio & Hallman 2004). Namun Hacking et al. mengungkapkan bahwa risiko
yang dimiliki second born twin tersebut bergantung pada usia gestasinya (Hacking
et al. 2001). Kemudian Canpolat et al. menjelaskan lagi bahwa dibanding menjadi
second born twin,
memiliki berat lahir paling rendah diantara saudara kembar tersebut (Canpolat et
al. 2006).
Bagaimana second born twin berisiko RDS diduga berhubungan dengan
proses persalinan. Sebagaimana persalinan pervaginam diketahui menjadi faktor
pelindung kejadian RDS, second born twin diduga tidak mendapatkan manfaat
perlindungan terhadap RDS pada tingkat yang sama dengan presenting twin,
proses persalinan lebih cepat, sehingga dapat mewarisi risiko RDS lebih tinggi.
(Arnold et al. 1987)
7) Asfiksia Perinatal
Menurut AAP dan ACOG, asfiksia perinatal pada seorang bayi
menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (1) Asidemia metabolik atau
campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas, yaitu pH<7, pada sampel darah
yang diambil dari arteri umbilikal. (2) Nilai Apgar 0-3 pada menit ke 5. (3)
Manifestasi nerologi pada periode BBL segera, termasuk kejang, hipotonia, koma
atau ensefalopatia hipoksik iskemik. (4) Terjadi disfungsi sistem multiorgan
segera pada periode BBL. (Dharmasetiawani 2009)
Asfiksia pada bayi baru lahir dihubungkan dengan kejadian RDS
(Firmansyah & Lubis 2004). Utamanya dengan Apgar skor <4 pada menit pertama
(Lahra, Beeby & Jeffery 2009; Gouyon et al. 2007). Diduga sehubungan dengan
syok kardiovaskular dan dihubungkan dengan hipertensi pulmonar persisten
(Pillow & Jobe 2008). Yu-Chan Hsu et al. menyebutkan fetal distress, Apgar skor
rendah dan asidosis metabolik berkontribusi pada kejadian RDS (Hsu et al. 1998).
Secara mikroskopik, vasokontriksi alveolus dapat menjelaskan bagaimana
iskemia bisa terlibat dalam patofisiologi RDS. Lesi patologis dari hyaline
membrane disease menunjukkan nekrosis iskemik terlokalisir dari epitel terminal
airways. Hasil akhirnya berupa mekanisme blocking dengan menghasilkan
gangguan pada epitel pernafasan dan masuknya protein ke saluran nafas. Hal ini
16
juga menghasilkan efek lain berupa disfungsi surfaktan melalui proses inaktivasi.
Surfaktan dapat dengan mudah mengalami denatured oleh protein, diantaranya
protease, yang dapat disebabkan oleh fenomena imunologi, fenomena biokimia
dari infiltrat inflamasi, dan surfaktan itu sendiri yang masuk dalam jaringan fibrin
membran hialin. (Ainsworth 2005)
Immaturitas sel
pnemosit tipe II
Asfiksia Perinatal
Vasokontriksi Pulmonal
Aktivitas surfaktan
tidak adekuat
Kerusakan epitel
sel alveoli
Kerusakan sel
endotel
Ateletaksis
Edema Paru
17
18
maturasi surfaktan melalui analisis cairan amnion, tetap masih ada insidensi
penyakit membran hialin sebesar 10% pada bayi dengan ibu DM. (Hazinski 2006)
Produksi surfaktan cenderung dihambat pada janin dengan ibu DM tipe A,
B, dan C, dan cenderung dipercepat oleh janin dengan ibu DM tipe D, E dan F.
Pada kehamilan nondiabetes, meningkatnya penginduksi kortisol dalam produksi
lesitin terjadi saat usia gestasi 34 minggu. Insulin diketahui merupakan antagonis
kortisol, oleh karena itu dampak hiperinsulin dalam peningkatan risiko RDS
nampak dari bayi dengan DM. (Glista 1986)
b. Hipertensi
Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg pada
dua kali pengukuran yang dilakukan dalam selang 4 jam. Klasifikasi hipertensi
dalam kehamilan yaitu terbagi menjadi hipertensi kronik, hipertensi gestasional,
preeklamsia dan eklamsia. Yang termasuk dalam hipertensi kronik adalah mereka
yang ditemukan gejala hipertensi sebelum usia kehamilan menginjak usia 20
minggu. Sebaliknya hipertensi gestasional ditujukan pada mereka yang
didiagnosis hipertensi saat kehamilan selewati usia 20 minggu. Saat hipertensi
gestasional disertai dengan proteinuria maka disebut preeklamsia dan jika muncul
kejang maka disebut eklamsia. Dikatakan proteinuria bila ditemukan 300 mg
protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan 1+ dipstick. (Angsar 2009)
Sebelumnya, secara umum disebutkan hipertensi pada kehamilan diduga
menurunkan insiden RDS (Hazinski 2006). Namun bukti untuk ini malah
menunjukkan hasil yang sebaliknya (Tubman TRJ 1991; Lahra, Beeby & Jeffery
2009). Sebuah studi retrospektif di Netherland oleh Hellen L. Torrance et al.
terhadap 187 neonatus dengan berat lahir dibawah persentil 10 dan usia gestasi
<34 minggu, menyimpulkan bahwa pematangan paru tidak dipercepat oleh
insufisiensi plasenta. Bayi KMK dari ibu dengan sindrom HELLP memiliki
kondisi pernapasan yang lebih buruk dibanding yang berasal dari ibu sehat.
Kemungkinan, janin dari ibu dengan sindrom HELLP mengalami stres oksidatif
yang menyebabkan lebih kepada kerusakan paru dibanding pematangan paru
(Torrance et al. 2007). Penelitian yang melibatkan kelompok preeklamsia juga
menemukan kecenderungan RDS tinggi pada kelompok tersebut (Jelin et al. 2010;
Wang et al. 2012).
11) Caesarean Section sebelum awitan persalinan (preonset labor)
19
21
dengan dinding dada yang compliant. Akibatnya, volume tidal menurun dan oleh
karena itu bayi bernafas cepat dan dalam (takipnea). (Hazinski 2006)
Seperti yang telah diungkapkan di atas, ada kecenderungan alveoli dan
ujung bronkiolus kolaps diakhir ekspirasi, sebagai responnya bayi biasanya
bernafas dalam (grunting), cara untuk menjaga tekanan aliran udara positif di
akhir pernapasan dan meminimalkan (tapi tidak benar-benar menghilangkan)
tertutupnya jalan udara dan alveoli. Periode apnu dan irama pernapasan irreguler
umum terjadi seiring peningkatan usaha bernafas dan bayi menjadi fatigue.
(Hazinski 2006)
Tidak ada gejala klinik yang khusus untuk
Extrapulmonary
Hipotensi
Oliguria
Hipotonia
Ileus
Exaggerated neonatal jaundice
2.1.5 Diagnosis
Foto toraks adalah alat yang sangat diperlukan untuk penegakan diagnosa
dan manajemen RDS dan harus dilakukan pada semua bayi dengan gangguan
napas tanpa memandang usia gestasinya. Gambarannya akan membedakan RDS
dengan penyebab lain dan memberi gambaran derajat keparahan penyakit
(Dargaville 2006). Kadang-kadang rontgen awal normal, hanya berkembang
gambaran khas pada 6-12 jam. Mungkin ada banyak variasi pada foto bergantung
pada fase pernapasan dan penggunaan Continuous Positive Airways Pressure
(CPAP) sehingga sering mengakibatkan korelasi yang jelek antara rontgen dan
perjalanan klinis. (Kliegman 2010)
Berdasarkan gambaran foto toraks maka RDS dibagi menjadi 4 stadium,
yaitu; 1) stadium 1, nampak pola retikuloglanular (ground glass appearance); 2)
stadium 2, nampak gambaran pada stadium 1 ditambah air bronchogram; 3)
22
23
kehidupannya.
Beberapa
studi
juga
menunjukkan
derajat
penting
adalah
pencegahan
prematuritas,
termasuk
menghindarkan Caesarean Section yang tidak perlu atau kurang sesuai waktu,
manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran berisiko tinggi, dan
ramalan serta kemungkinan pengobatan imaturitas paru dalam uterus (in utero).
Selain itu pencegahan stres dingin, asfiksia lahir dan hipovolemia mengurangi
resiko dan keparahan RDS. (Kliegman 2010)
Bayi yang beresiko RDS harus dilahirkan di pusat kesehatan yang
menyediakan pelayanan yang diperlukan, termasuk ventilasi mekanik. Jika
memungkinkan, persalinan harus ditunda untuk memaksimalkan keuntungan
terapi kortikosteroid antenatal. (Sweet et al. 2010)
Meta-analisis yang melibatkan 21 penelitian (3885 wanita dan 4269 bayi)
menyebutkan pemberian kortikosteroid antenatal secara signifikan menurunkan
kejadian RDS neonatal dan kematian neonatal (Robert & Dalziel 2006).
Pemberian kortikosteroid antenatal dianjurkan pada usia gestasi 24-34 minggu
(Maitra & Kumar 2009).
Banyak hormon yang secara positif ataupun negatif mempengaruhi
pematangan paru dalam sistem eksperimennya. Agen yang mempercepat
pematangan paru adalah kortikosteroid, hormon tiroid, epidermal growth factor
25
dan
cyclic
adenosine
monophosphate.
Substansialnya
berperan
dalam
bukti
manfaat
kortikosteroid
masih
belum
ditetapkan.
Efek
27
28
RDS tetap berlanjut. (Sweet et al. 2010). Terapi surfaktan telah sangat banyak
mengubah penatalaksanaan respirasi neonatal dalam dua dekade ini. Sudah
dipastikan bahwa terapi surfaktan itu, entah diberikan sebagai profilaksis atau
terapi penyelamatan pada bayi yang beresiko, telah menurunkan resiko
pnemothoraks dan kematian neonatal. Penelitian saat ini difokuskan pada
penentuan dosis optimal, waktu pemberian, metode pemberian dan preparat
surfaktan terbaik, meskipun banyak penelitian sudah pernah dilakukan pada era
rendahnya penggunaan steroid antenatal dan CPAP. (Sweet et al. 2010)
2.2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Neonatus dengan RDS
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
1) Riwayat maternal
-
Tipe persalinan
Persalinan diketahui meningkatkan sintesis surfaktan. Jadi seksio sesarea
sebelum awitan persalinan dapat meningkatkan resiko RDS (Maitra &
Kumar 2009).. Perbandingan antara persalinan pervaginam dengan seksio
sesarea juga dilakukan oleh Hansen et al. (2008) pada 2.687 bayi aterm dan
Werner et al. (2012) pada 2.885 bayi preterm, dan didapatkan hasil mereka
yang dilahirkan melalui seksio sesarea dihubungkan dengan meningkatnya
risiko morbiditas pernapasan (Hansen et al. 2008) diantaranya RDS (Werner
et al. 2012). Risikonya berkurang dengan adanya proses persalinan sebelum
saesar, tapi masih tetap tinggi (Gerten et al. 2005; Kamath et al. 2009).
30
inflamasi, dan surfaktan itu sendiri yang masuk dalam jaringan fibrin
membran hialin. (Ainsworth 2005)
2) Status infant saat lahir
-
31
hipertensi pulmonar persisten (Pillow & Jobe 2008). Yu-Chan Hsu et al.
menyebutkan fetal distress, Apgar skor rendah dan asidosis metabolik
berkontribusi pada kejadian RDS (Hsu et al. 1998).
-
2009).
Namun
sebelumnya
penelitian
pada
tahun
1981
32
Murmur sistolik
4) Integumen
-
5) Neurologis
-
Immobilitas, kelemahan
6) Pulmonary
-
Nafas grunting
Nasal flaring
7) Status Behavioral
-
Lethargi
8) Pemeriksaan penunjang
-
Data laboratorium
33
Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60
mmHg, saturasi oksigen 92% 94%, pH 7,31 7,45
Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak
tinggi
termoregulasi
b.d
imaturnya
susunan
saraf
pusat
gangguan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
b.d
kelemahan
Tujuan
Pola nafas efektif .
Dalam 1x24 jam
Kriteria Hasil :
RR 40-60 x/mnt
Sianosis (-)
Sesak (-)
Ronchi (-)
Wheezing (-)
1.
2.
3.
4.
5.
Resiko tinggi
termoregulasi
tidak efektif b.d
SSP imatur
Termoregulasi menjadi
efektif dalam 1x24
jam
Kriteria hasil:
- Tanda-tanda
vital dalam
batas normal
(suhu 36,537,5)
1.
2.
3.
Intervensi
Observasi pola Nafas.
R/ membantu membedakan periode perputaran
pernapasan normal dan serangan apneu.
Posisikan sedikit ekstensi dengan mengganjal bahu
memakai kain
R/ melancarkan aliran napas
Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.
R/hipoksia, asidosis metabolic, hipoglikemia dapat
memperberat serangan apnetik.
Beri O2 sesuai program dokter dan observasi respon
terhadap oksigen
R/perbaikan kadar Oksigen dapat meningkatkan
fungsi pernapasan
Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.
R/ perbaikan sirkulasi oksigen
Observasi suhu
R/ hipotermi cenderung membuat bayi stress karena
dingin
Tempatkan bayi dalam incubator/couve
R/membantu mempertahankan lingkungan
termonetral
Pantau system pengaturan suhu
R/ hipotermi dapat meningkatkan laju metabolism
kebutuhan oksigen, glukosa, dan kehilangan air.
34
Resiko gangguan
nutrisi kurang dari
kebutuhan b.d
kelemahan
(ketidakmampuan
untuk menyusu)
4.
5.
Nutrisi
tubuh
terpenuhi dalam 3x24
jam
1.
Kriteria hasil :
- Reflek hisap dan
menelan baik
- Muntah (-)
- Kembung (-)
- Berat badan
meningkat 15 gr/hr
- Turgor elastis.
2.
3.
4.
5.
6.
Kecemasan orang
tua b.d kurang
pengetahuan
orang tua dan
kondisi krisis.
Cemas
berkurang
dalam 1x24 jam
Kriteria hasil :
Orang tua tampak
tenang
Orang
tua
tidak
bertanya-tanya lagi.
Orang
tua
berpartisipasi dalam
proses perawatan.
1.
2.
3.
4.
5.
2.2.4 Implementasi
Merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan,
mencakup tindakan mandiri maupun kolaboratif.
Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasar anlisis dan
kesimpulan perawat.
35
BAB 3
TINJAUAN KASUS
RM
: 1230xxxx
MRS
: 30 Desember 2014
Pengkajian
A. PENGKAJIAN DATA
1.
Identitas
Nama bayi
Umur
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
: By. Ny. R
: 12 hari
: Laki-laki
: 30 Desember 2014, pukul 00.55 WIB
Nama Ibu
Umur
Agama
Suku
Alamat
Diagnosa medis
: Ny. R
Nama Suami
: 34 tahun
Umur
: Islam
Agama
: Jawa
Suku
: Dsn. Selatan Desa Pegantenan, Pamekasan
: NP, BBLR SMK, RDS grade III, pneumonia
:
:
:
:
Tn. H
30 tahun
Islam
Jawa
2. Riwayat Keperawatan
a. Prenatal
36
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI:
1. WBC
2. LY
3. MO
4. GR
5. LY#
6. MO#
7. GR#
8. RBC
9. Hgb
10. HCt
11. MCV
12. MCH
13. MCHC
14. RDW
15. PLT
16. MVP
HASIL
SATUAN
NORMAL
18,6
31
12,7
60,57
3,03
0,15
5,57
5,06
17,4
55,6
104
37,1
35,5
15,7
221
7,34
103/ul
%
%
%
103/ul
103/ul
103/ul
106/ul
g/dl
%
Fl
Pg
g/dl
%
103/ul
fL
3,40-5,00
20,5-51,1
1,7-9,3
52,2-75,2
1,2-3,4
0,1-0,6
1,4-6,5
4,00-6,00
11,0-18,0
35,0-60,0
80,0-99,9
27,0-31,0
33,0-37,0
11,6-13,7
150-450
7,80-11,00
- Tanggal 2-1-2015 dipasang ventilator SIMU FiO2 40%, PEEP 5, PIP 16, Fset 40.
- Tanggal 5-1-2015 Hb 13gr/dl, Hct 40,1%, Leukosit 14.600/uL, Trombosit
182.000/uL, albumin 2,5 u, bilirubin direct 1.13, CRP 123.10, Na 139, K 5.1,ca 8.4,
cl 112
- Tanggal 6-1-2014 hasil kultur darah terdapat bekteri Acinetobacter Doumonnii, Hb
14,2, Hct 45,8%, Leukosit 14.600/uL, trombosit 182.000/uL, albumin 2,78 u, CRP
64.03, Na 140, K 5.8,ca 8.7, cl 112
- tanggal 7-1-2014 hasil laboratorium BGA: PH 7.339, PCO2 33.9, PO2 91, BE 8,
HCO3 18.2.
37
kesan pneumoni
tanggal 7-1-2015 dilepas ventilator diganti dengan CPAP FiO2 25%, PEEP 6,
PHigh 9.
trombosit 400.000/uL, bilirubin direct 0.66, SGOT 51, SGPT 24, albumin 3,25 u,
CRP 14.07, Na 135, K 5.8,ca 9
3. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : gerak tangis lemah
HR
: 154 x/menit
RR
: 54x/menit
Suhu
: 36,2 C
BB saat ini
: 1800 gram
: merah muda
Kepala
Wajah
Mata
Hidung
Mulut
Leher
Dada
Paru-Paru
Jantung
: murmur (-)
Perut
: supel, bising usus (+), tali pusat segar dan sudah diikat,
tidak ada perdarahan tali pusat
Alat Kelamin
38
: (+)
Refleks
5. Data penunjang
-
Thermoregulasi
B. ANALISIS DATA
NO
1
TANGGAL
12-1-2015
DATA
S:O:
- BBL 1800gr
- BB sekarang
1800 gr
- Hb 4,21
- GDA 72
- Albumin 3,25
- reflek hisap dan
menelan kurang
- anemis (-)
- bising usus +
- retensi (-)
- muntah (-)
- PASI 12x1 cc
- Cairan
parenteral :
D12,5% 152 cc/24
jam
ETIOLOGI
Prematur
Toleransi menurun
MASALAH
Resiko nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
Penurunan kebutuhan
nutrisi
39
-Aminosteril
57cc/24jam
-KCL 2 cc/24 jam
-NaCL 2 cc/24 jam
-Ca Gluconas 4
cc/24 jam
12-1-2015
S:O:
- Suhu : 36,2 o C
- akral dingin,
pucat basah
- suhu incubator 32
o
C
Prematur
Kemampuan pengaturan
suhu oleh hipotalamus
kurang
Hipotermi
C. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1) Resiko tinggi termoregulasi b.d imaturnya
40
D. ASUHAN KEPERAWATAN
INTERVENSI, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
DIAGNOSIS
KEPERAWATAN
(Tujuan, Kriteria Hasil)
1.Diagnosa keperawatan:
hipotermi
2.Tujuan: Termoregulasi
menjadi efektif dalam 2 jam
3.Kriteria hasil:
- Tanda-tanda
vital
dalam batas normal
(suhu 36,5-37,5)
- CRT < 3 dtk
- Akral hangat kering
merah
INTERVENSI
1. Observasi suhu
2. Tempatkan bayi dalam
incubator/couve
3.
Pantau system
pengaturan suhu
RASIONAL
1. hipotermi cenderung
membuat bayi stress
karena dingin
2. membantu
mempertahankan
lingkungan
termonetral
3. hipotermi dapat
meningkatkan laju
metabolism
kebutuhan oksigen,
glukosa, dan
kehilangan air
TGL/J
AM
12-1-15
10.00
IMPLEMENTASI
1. mengobservasi suhu bayi,
suhu : 36,2 o C, akral
dingin
2. membungkus bayi dengan
kain hangat dan
menaikkan suhu incubator
1 derajat celcius
TGL/J
AM
12-1-15
10.00
EVALUASI
S=
O=
Akral bayi dingin, pucat
basah
Suhu : 36,4 o C
A= masalah teratasi
sebagian
P= lanjutkan intervensi 1-3
I= - membungkus bayi
dengan plastic
- membungkus bayi
dengan kain hangat
- menaikkan suhu
incubator 1 derajat
42
1. Diagnosa keperawatan:
risiko gangguan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh
2.Tujuan: setelah diberikan
asuhan keperawatan 3x24jam
tidak terjadi gangguan nutrisi
3.Kriteria hasil:
a. Berat badan meningkat
10%/tetap
b. Hb, Albumin, GDA
dalam batas normal
c. reflek hisap dan menelan
baik
d. anemis (-)
e. bising usus + 6-12x/menit
f. retensi (-)
g. muntah (-)
h. Kembung (-)
i. Turgor elastis.
12-1-15
10.00
12-1-15
12.00
S=
O=
Berat = 1800 gram
Turgor kurang elastic,
CRT <2 detik, reflek
hisap danmenelan
lemah, bising usus (+)
8x/menit, retensi (-),
muntah (-), BAB (-) /
BAK (+) 30 cc
A= risiko terjdi
P= lanjutkan intervensi 1-5
43
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal/Ja
m
13-1-15
08.00
14-1-15
08.00
Diagnosis
Catatan Perkembangan
Hipotermi
S=
O=
Akral bayi dingin
Suhu : 35,8 o C
Suhu incubator 33 o C
A= masalah belum teratasi
P= lanjutkan intervensi
I= - membungkus bayi dengan plastic
- membungkus bayi dengan kain hangat
- menaikkan suhu incubator 1 derajat
S=
O=
Akral bayi dingin
Suhu : 36,1 o C
A= masalah belum teratasi
P= lanjutkan intervensi di RKL
45
BAB 4
PEMBAHASAN
46
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan tinjauan kasus yang telah dijabarkan asuhan keperawatan
yang dilaksanankan telah sesuai dengan konsep asuhan keperawatan neonatus
dengan RDS yang dimulai dengan pengkajan data subyektif dan obyektif, analisis
data, sehingga ditemukan masalah keperawatan yaitu ganggun pola nafas
berhubungan dengan defisiensi surfaktan (imaturitas paru) dan resiko gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan lemahnya daya cerna dan
absorbsi makanan. Intervensi dan pelaksanaan asuhan keperawatan telah
dilaksanakan sesuai kebutuhan pasien dan kondisi yang ada.
5.2 Saran
1) Untuk mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memberikan
pelayanan yang lebih baik
2) Untuk Institusi Kesehatan
Mempertahankan kinerja yang baik, serta mengembangkan ilmu- ilmu baru
untuk upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif pada kasus- kasus
kegawatdaruratan neonatal.
DAFTAR PUSTAKA
47
48
49
50
Lahra, MM, Beeby, PJ & Jeffery, HE 2009, Maternal versus fetal inflamation and
respiratory distress syndrome: a 10-year hospital cohort study, Arch Dis
Child Fetal Neonatal, vol. 94, no. 1, hh. F13-F16.
Lewis, DF, Futayyeh, S, Towers, CV et al. 1996, Preterm delivery from 34 to 37
weeks of gestation: is respiratory distress syndrome a problem?,
American Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 174, no. 2, hh. 525528.
Maitra, A & Kumar, V 2009, Penyakit pada masa bayi dan anak, dalam V
Kumar, AK Abbas & N Fausto (eds.), Robbins & Cotran dasar patologis
penyakit, edk 7, trans. U Brahm, EGC, Jakarta, hh. 496-498.
Marttila, R 2003. Epidemiological and genetic study of respiratory distress
syndrome in preterm infants, diakses tanggal 11 Maret 2013, available
from: http://herkules.oulu.fi/isbn9514272145/html/x497.html.
Marttila, R, Kaprio, J & Hallman, M 2004, Respiratory distress syndrome in twin
infants compared with singletons, American Journal of Obstetric and
Gynecology, vol 191, hh. 271-276.
Morrison, JJ, Rennie, JM & Milton, PJ 1995, Neonatal respiratory morbidity and
mode of delivery at term: influence of timing of elective caesarean
section, Br J Obstet Gynaecol, vol. 102, no. 2, hh 101-106.
Olsen, IE, Groveman, SA, Lawson, ML, Clark, RH & Zemel, BS 2010, New
intrauterine growth curves based on United States data, Pediatrics, vol
125, no. 2, hh. e214-e224.
Papageorgiou, AN, Colle, E, Kostopoulus, EF & Gelfand, MM 1981, Incidence
of respiratory distress syndrome following antenatal betamethasone: role
of sex, type of delivery, and prolonged rupture of membrane, Pediatrics,
vol. 67, no. 5, hh. 614-617.
Pillow, JJ & Jobe, AH 2008, Respiratory disorder of the newborn, in LM Taussig
& LI Landau (eds.), Pediatric respiratory medicine, 2nd edn, Mosby
Elsevier, Philadelphia, hh. 365-372.
Porto, AMF, Coutinho, IC, Correia, JB & Amorim, MMR 2011, Effectiveness of
antenatal corticosteroids in reducing respiratory disorders in late preterm
infants: randomised clinical trial, BMJ, vol. 342, hh. 855-858.
Pribadi, A 2009, Peran kortikosteroid dalam pengelolaan persalinan prematur,
dalam SR Krisnadi, JS Effendi & A Pribadi (eds.), Prematuritas, PT.
Refika Aditama, Bandung, hh. 165-172.
Pudjiadi, A, Hegar, B, Handryastuti, S et al. 2011, Pedoman Pelayanan Medis
IDAI edk. 2, IDAI, Jakarta, hh. 66-77.
Robert, D & Dalziel, S 2006, Antenatal corticosteroid for accelerating fetal lung
maturation for women at risk of preterm birth, Cochrane Database of
Systematic Review, no. 3, hh. 1-141.
51
52
Werner, EF, Savitz, DA, Janevic, TM et al. 2012, Mode of delivery and neonatal
outcomes in preterm, small-for-gestational-age newborns, Obstetrics and
Gynecology, vol 120. No. 3, hh. 560-564.
William, W & Mayer, B 2011, Sistem pernapasan, dalam JP Kowalak (ed.),
Buku ajar patofisiologi, trans. A Hartono, EGC, Jakarta, hh. 218-266.
53