TINJAUAN PUSTAKA
2.1
dari jantung ke jaringan dan kembali ke jantung. Sirkulasi paru terdiri dari
lengkung tertutup pembuluh-pembuluh yang mengangkut darah antara jantung dan
paru, sedangkan sirkulasi sistemik terdiri dari pembuluh-pembuluh yang
mengangkut darah antara jantung dan sistem organ (Sherwood, 2008). Sejumlah
cairan interstisial masuk ke pembuluh limfe dan berjalan melalui pembuluh ini ke
sistem vaskular. Darah mengalir melalui pembuluh terutama karena gerakan maju
yang diberikan kepadanya oleh pemompaan jantung, meskipun pada sirkulasi
sistemik, recoil diastolik dinding arteri, tekanan pada vena oleh otot rangka selama
berolahraga, dan tekanan negatif dalam rongga dada selama inspirasi juga
menggerakkan darah ke depan. Tahanan terhadap aliran sedikit bergantung pada
viskositas darah tetapi sebagian besar bergantung pada diameter pembuluh darah,
terutama arteriol. Seluruh darah mengalir melalui paru, tetapi sirkulasi sistemik
terdiri atas beragam sirkuit yang terdapat dalam susunan paralel. Susunan ini
menimbulkan banyak variasi dalam aliran darah regional tanpa mengubah aliran
sistemik total (Ganong, 2008).
Semua darah yang dipompa oleh sisi kanan jantung mengalir ke paru untuk
menyerap O2 dan mengeluarkan CO2. Darah yang dipompa oleh sisi kiri jantung
dibagi-bagi dalam berbagai perbandingan ke organ-organ sistemik melalui
pembuluh-pembuluh yang tersusun paralel dan bercabang dari aorta.
Gambar 2. Distribusi Curah Jantung saat Istirahat. Paru menerima semua darah
yang dipompa ke luar oleh sisi kanan jantung, sedangkan organ-organ sistemik
masing-masing menerima sebagian dari darah yang dipompa oleh sisi kiri jantung.
Persentase darah yang diterima oleh berbagai organ dalam keadaan istirahat
diperlihatkan oleh angka-angka. Distribusi curah jantung ini dapat disesuaikan
mengikuti keadaan. (Sumber: Sherwood, 2012)
keharusan karena organ ini tidak memiliki perangkat enzim untuk menunjang
kebutuhan metabolisme secara anaerobik. Sebaliknya, organ-organ pencernaan,
ginjal, dan kulit dapat mentoleransi penurunan aliran darah untuk jangka waktu
yang relatif lama. Sebagai contoh, selama berolahraga, sebagian darah yang secara
normal mengalir ke organ-organ pencernaan dan ginjal dialihkan ke otot-otot
rangka. Demikian juga, darah yang mengalir ke kulit sangat berkurang selama
tubuh terpajan ke lingkungan yang dingin untuk menahan panas tubuh (Sherwood,
2008).
2.1.2 Mekanisme Sirkulasi Darah
Sirkulasi sistemik dan paru masing-masing terdiri dari sistem pembuluh yang
tertutup. Arteri yang mengangkut darah dari jantung ke jaringan, bercabang-cabang
menjadi suatu pohon pembuluh-pembuluh darah yang semakin kecil, dengan
berbagai cabang menyalurkan darah ke berbagai bagian tubuh. Sewaktu suatu arteri
kecil mencapai organ yang diperdarahinya, arteri tersebut bercabang-cabang
menjadi banyak arteriol. Di dalam organ, arteriol bercabang-cabang lagi menjadi
kapiler, pembuluh terkecil, tempat semua pertukaran antara darah dan sel-sel di
sekitarnya terjadi. Pertukaran di kapiler merupakan tujuan akhir dari sistem
sirkulasi, semua aktivitas lain dari sistem ini diarahkan untuk memastikan distribusi
adekuat darah segar ke kapiler untuk pertukaran dengan semua sel. Kapiler-kapiler
kembali menyatu untuk membentuk venula kecil, yang terus bergabung membentuk
vena kecil yang keluar dari organ. Vena-vena kecil secara progresif bersatu untuk
membentuk vena yang lebih besar yang akhirnya mengalirkan darah ke jantung.
Arteriol, kapiler, dan venula secara kolektif disebut sebagai mikrosirkulasi karena
pembuluh-pembuluh tersebut hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop.
11
12
Arteri
Arteri berfungsi sebagai jalur cepat untuk menyampaikan darah dari jantung
13
14
turun menjadi 0 mmHg karena timbul kontraksi jantung berikutnya dan mengisi
kembali arteri sebelum semua darah keluar.
- Arteriol
Tidak seperti arteri, dinding arteriol hanya sedikit mengandung jaringan ikat
elastik. Namun, pembuluh ini memiliki lapisan otot polos yang tebal yang banyak
dipersarafi oleh serat saraf simpatis. Lapisan otot polos berjalan sirkuler
mengelilingi arteriol, sehingga apabila berkontraksi, lingkaran pembuluh menjadi
lebih kecil, dengan demikian resistensi meningkat dan aliran melalui pembuluh
berkurang (vasokonstriksi).
2.2
Fisiologi Otot
Sel otot, seperti juga neuron, dapat dirangsang secara kimiawi, listrik dan
15
16
A (Sherwood, 2008). Dengan demikian, pita I hanya berisi filamen tipis tetapi tidak
seluruh panjang filamen tersebut.
Dibagian tengah setiap pita I yang memadat terlihat sebuah garis Z vertikal.
Daerah antara dua garis Z disebut sarkomer. Sarkomer adalah komponen terkecil
suatu serat otot yang mampu berkontraksi. Selama pertumbuhan, otot mengalami
peningkatan panjangnya karena penambahan sarkomer, bukan karena peningkatan
ukuran sarkomer.
Pada otot polos tidak memperlihatkan gambaran serat-lintang. Otot ini
memiliki aktin dan miosin-II yang bergeser satu sama lain untuk menghasilkan
kontraksi. Akan tetapi, filamen-filamen itu tidak tertata dalam susunan yang teratur,
seperti pada otot rangka dan jantung, sehingga tidak memperlihatkan gambaran
serat lintang. Garis Z digantikan oleh badan padat (dense bodies) yang terdapat di
sitoplasma dan melekat ke membran sel, dan badan-badan ini berikatan ke filamen
aktin melalui aktinin-. Otot polos juga mengandung tropomiosin, namun tidak
memiliki troponin. Isoform aktin dan miosin otot polos berbeda dengan otot rangka.
Di dalam otot polos terdapat retikulum sarkoplasma, tetapi berkembang dengan
baik. Secara umum, otot polos mempunyai sedikit mitokondria dan sangat
bergantung pada proses glikolisis untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya
(Ganong, 2008). Potensial membran tidak mempunyai nilai potensial istirahat
yang sebenarnya, yaitu relatif rendah saat jaringan tersebut aktif dan lebih tinggi
bila dihambat, sehingga menjadi tidak stabil.
17
18
19
berjalan tegak lurus dari permukaan membran sel otot ke dalam bagian tengah serat
otot. Potensial aksi lokal di tubulus T menginduksi perubahan permeabilitas di
suatu jaringan membranosa terpisah di dalam serat otot, yaitu retikulum
sarkoplasma. Segmen retikulum sarkoplasma yang terpisah-pisah membungkus
setiap pita A dan I. Ujung-ujung akhir setiap segmen membesar untuk membentuk
daerah-daerah berbentuk kantung. Kantung lateral tidak berkontak langsung dengan
tubulus T. Kantung lateral retikulum sarkoplasma menyimpan Ca ++. Penyebaran
potensial aksi ke tubulus T mencetuskan pengeluaran Ca ++ dari retikulum
sarkoplasma ke dalam sitosol. Ca++ yang dilepaskan berikatan dengan troponin dan
mengubah bentuknya, sehingga mereposisi molekul-molekul troponin dan
tropomiosin menyebabkan tempat pengikatan jembatan silang aktin terbuka. Bagian
aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang miosin, yang
sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian adenosin trifosfat (ATP)
menjadi adenosin difosfat (ADP) dan fosfat inorganik (Pi) dalam prosesnya
menghasilkan energi oleh ATPase miosin di jembatan silang. Pengikatan aktin dan
miosin di jembatan silang menyebabkan jembatan silang menekuk, menghasilkan
suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filamen tipis ke arah dalam. Pergeseran
ke arah dalam dari semua filamen tipis yang mengelilingi filamen tebal
memperpendek sarkomer (yaitu kontraksi otot). Selama gerakan mengayun yang
kuat tersebut, ADP dan Pi dibebaskan dari jembatan silang. Perlekatan sebuah
molekul
ATP
baru
memungkinkan
terlepasnya
jembatan
silang,
yang
20
21
22
akan
meningkatkan
aktivitas
inotropik
myocardium.
Karena
23
otot rangka dan meningkatnya pompa otot akan memungkinkan percepatan aliran
darah kembali ke jantung, (3) Aktivitas pernapasan yang meningkatkan aliran balik
vena dan adanya vasodilatasi perifer akan menurunkan tahanan vaskuler sebagai
akibat rangsangan simpatis pada pembuluh darah kapiler dan keadaan ini akan
meningkatkan isi sekuncup. Beberapa kondisi lain dapat mempengaruhi curah
jantung seperti ansietas dan excitement, makan, suhu lingkungan yang tinggi,
dapat meningkatkan curah jantung, sedangkan perubahan posisi tubuh dari
berbaring ke berdiri, aritmia jantung dan penyakit jantung dapat menurunkan curah
jantung (Masud, 1989)
Frekuensi denyut jantung maksimum saat berolahraga menurun seiring
dengan pertambahan usia. Pada anak-anak, denyut jantung meningkat hingga
mencapai 200 kali atau lebih per menit; pada orang dewasa, denyut jantung jarang
melebihi 195 kali per menir, dan pada orang tua, peningkatan yang terjadi bahkan
lebih rendah (Ganong, 2008).
24
Gambar 8. Aliran Darah melalui suatu bagian otot betis selama kontraksi
ritmis. (Sumber: Ganong, 2008)
Jika tegangan yang terjadi lebih besar daripada 70% tegangan maksimum, aliran
darah akan terhenti sama sekali. Namun, di antara kontraksi, aliran darah akan
sangat meningkat sehingga aliran darah per satuan waktu di suatu otot yang
berkontraksi secara ritmik meningkat sampai 30 kali lipat. Aliran darah dalam otot
yang beristirahat meningkat dua kali setelah simpatektomi sehingga penurunan
pelepasan impuls vasokonstriktor tonik juga dapat berperan. Namun, begitu
olahraga dimulai, mekanisme lokal akan mempertahankan sejumlah besar aliran
darah. Mekanisme lokal yang mempertahankan sejumlah besar aliran darah otot
saat berolahraga adalah penurunan Po2 jaringan, peningktana Pco2 jaringan, dan
akumulasi K+ serta metabolit vasodilator lain (Ganong, 2008)
25
26
yang dipicu oleh mediator inflamasi yang dihasilkan oleh sel yang rusak maupun
mati. Karakteristik peradangan berupa nyeri (dolor), pembengkakan (tumor),
kemerahan (rubor), peningkatan suhu (kalor) serta penurunan fungsi (function
leissa). Pada keadaan ini terjadi kerusakan pembuluh darah yang menimbulkan
perdarahan pada jaringan. Pada stadium lanjut terjadi proses penjendalan yang
difasilitasi oleh trombosit, faktor penjendalan darah dan fibroblast yang membentuk
jaringan parut. Apabila terjadi kegagalan maupun keterlambatan proses
penyembuhan, respon tubuh memasuki fase kronis. Pada fase ini sudah tidak
dijumpai tanda peradangan yang dominan kecuali penurunan fungsi dan rasa nyeri.
Tahap peradangan merupakan bagian dari proses penyembuhan, walaupun
demikian respon peradangan yang berlebihan dapat memperlambat proses
penyembuhan akibat dari limbah metabolisme yang berlebihan sehingga pada fase
akut dilakukan usaha untuk menekan respon peradangan (Bleakley et al, 2004).
2.4.1. Efek Fisiologis Otot dan Sirkulasi pada Cold Water Immersion
Pada teknik ini, menggunakan modalitas terapi yang dapat menyerap suhu
jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme konduksi.
27
Efek pendinginan yang terjadi tergantung jenis aplikasi terapi dingin, lama terapi
dan konduktivitas (Bleakley et al, 2004). Inti dari teknik berendam air dingin adalah
menyerap kalori area lokal cedera sehingga terjadi penurunan suhu. Semakin lama
waktu berendam, penetrasi dingin semakin dalam. Jaringan otot dengan kandungan
air yang tinggi merupakan konduktor yang baik sedangkan jaringan lemak
merupakan isolator suhu sehingga menghambat penetrasi dingin (Ernst et al, 1994).
Aplikasi air dingin dapat mengurangi suhu daerah yang sakit, membatasi
aliran darah dan mencegah cairan masuk ke jaringan di sekitar jika terdapat luka.
Hal ini akan mengurangi nyeri dan pembengkakan. Berendam air dingin dapat
mengurangi sensitivitas dari akhiran syaraf yang berakibat terjadinya peningkatan
ambang batas rasa nyeri. Teknik ini juga akan mengurangi kerusakan jaringan
dengan jalan mengurangi metabolisme lokal sehingga kebutuhan oksigen jaringan
menurun.
Respon neurohormonal terhadap berendam air dingin adalah sebagai berikut :
Pelepasan endorphin
Penurunan transmisi saraf sensoris
Penurunan aktivitas badan sel saraf
Penurunan iritan yang merupakan limbah metabolisme sel
Peningkatan ambang nyeri
Perendaman air dingin akan menimbulkan respon fisiologis mirip dengan
pemulihan aktif tanpa perlu mengeluarkan energi yang ekstra. Ketika sebagian
besar dari tubuh terbenam, tekanan hidrostatik bekerja pada cairan tubuh dalam
daerah terbenam. Cairan dari ruang ekstravaskuler bergerak ke dalam sistem
vaskular mengurangi peningkatan volume otot dan peradangan jaringan lunak.
Selain itu, volume darah meningkat dan didistribusikan menuju rongga sentral,
28
yang pada gilirannya meningkatkan preload jantung, stroke volume, cardiac output,
dan aliran darah ke seluruh tubuh (Wilcock. 2005). Pada 15 menit pertama setelah
berendam air dingin (suhu 10 C) terjadi vasokontriksi pembuluh darah arteriola
dan venula secara lokal. Vasokontriksi ini disebabkan oleh aksi reflek dari otot
polos yang timbul akibat stimulasi sistem saraf otonom dan pelepasan epinehrin
dan norepinephrin. Walaupun demikian apabila dingin tersebut terus diberikan
selama 15 sampai dengan 30 menit akan timbul fase vasodilatasi yang terjadi
intermiten selama 4 sampai 6 menit (Hurme et al, 1993). Selain menimbulkan
vasokontriksi, sensasi dingin juga menurunkan eksitabilitas akhiran saraf bebas
sehingga menurunkan kepekaan terhadap rangsang nyeri. Aplikasi dingin juga
dapat mengurangi tingkat metabolisme sel sehingga sisa metabolisme menjadi
berkurang. Penurunan sisa metabolisme pada akhirnya dapat menurunkan spasme
otot. Pada umumnya dingin lebih mudah menembus jaringan dibandingkan dengan
panas. Ketika otot sudah mengalami penurunan suhu akibat aplikasi dingin, efek
dingin dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan panas karena adanya lemak
subkutan yang bertindak sebagai insulator. Di sisi lain lemak subkutan merupakan
barier utama energi dingin untuk menembus otot. Pada individu dengan tebal lemak
subkutan setebal 2 cm, energi dingin dapat menembus jaringan otot dalam waktu 10
menit (Ernst et al, 1994).
Dalam perawatan nyeri yang disebabkan karena cedera, terapi dingin
dilakukan sampai pembengkakan berkurang. Terapi dingin biasanya digunakan
pada 24 sampai 48 jam setelah terjadinya cedera dan dipakai untuk mengurangi
sakit dan pembengkakan (Hubbard et al, 2004).
29
kekuatan aerobik maksimal mereka dan karena itu menghasilkan sejumlah besar
panas. Wanita berolahraga pada persentase yang sama dari kekuasaan maksimal
aerobik laki-laki akan dingin pada tingkat yang lebih cepat, yang menggambarkan
ketidakseimbangan antara produksi dan kehilangan panas (Wittmers, 1996).
2.4.3. Cold Water Immersion setelah Berolahraga
Suhu, durasi dan frekuensi perendaman air dingin bervariasi antara percobaan
yang berbeda seperti melakukan olahraga dan pengaturan. Onset nyeri otot
biasanya muncul setelah olahraga dan kegiatan olahraga. Perendaman air dingin
(CWI), melibatkan orang-orang yang membenamkan diri dalam air pada suhu
kurang dari 15 C, kadang-kadang digunakan untuk mengelola nyeri otot setelah
latihan dan untuk mempercepat waktu pemulihan. Ada beberapa bukti bahwa
perendaman air dingin mengurangi nyeri otot pada 24, 48, 72 dan bahkan pada 96
jam setelah latihan dibandingkan dengan pengobatan 'pasif'. Bukti dari empat
percobaan menunjukkan bahwa peserta penelitian menganggap bahwa perendaman
air dingin meningkatkan pemulihan / mengurangi kelelahan segera setelah itu.
Sebagian besar percobaan tidak menganggap komplikasi yang berkaitan dengan
perendaman air dingin (Bleakley et al, 2004).
2.4.4. Kontra Indikasi Terapi Dingin
Cold therapy sangat mudah digunakan, cepat, efisien dan ekonomis. Akan tetapi
terdapat beberapa kondisi yang dapat dipicu oleh cold therapy. Individu dengan
riwayat gangguan tertentu memerlukan pengawasan yang ketat pada terapi dingin.
Beberapa kondisi tersebut diantaranya adalah :
terjadinya dingin atau emosi. Pada keadaan ini timbul sianosis yanga pabila
berlanjut dapat mengakibatkan kerusakan anggota tubuh perifer (Swensonet
al., 1996:193).
Vasculitis (peradangan pembuluh darah) (Swensonet al., 1996:193).
Gangguan sensasi saraf misal neuropathyakibat diabetes mellitus maupun
(Hocutt, 1982:316).
Paroxysmal cold hemoglobinuria yang merupakan suatu kejadian
pembentukan antibodi yang merusak sel darah merah bila tubuh dikenai
dingin. (Hocutt, 1982:316)
Endorphin
32
Beta endorfin bekerja pada neuron supraspinal. Inti sel dari subtansia grisea
banyak diinervasi oleh akson neuron hipotalamus penghasil beta endorfin. Endorfin
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis sebagai respon dari stress atau nyeri. Endorfin
mengikat reseptor opioid pada neuron, menghambat pelepasan neurotransmiter dan
mempengaruhi transmisi dari impuls nyeri ke otak. Olahraga memicu pengeluaran
endorfin dalam waktu sekitar 30 menit setelah olahraga dimulai. Endorfin
merupakan anti nyeri yang penting. Banyak bentuk olahraga meningkatkan kadar
beta endorfin dalam darah, khususnya ketika intensitas olahraga mencapai ambang
anaerobik dan hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar serum laktat. Usia,
jenis kelamin, dan mental selama olahraga juga mempengaruhi kadar beta endorfin.
Stress adalah penginduksi poten dari pelepasan beta endorfin. Selama reaksi stress
tersebut, corticotropin releasing hormone (CRH) memecah POMC untuk
melepaskan ACTH dan beta endorfin. Beberapa mekanisme yang mungkin dapat
menginduksi beta endorfin dalam sirkulasi darah yaitu analgesia, asam laktat yang
berlebih, dan faktor metabolik. Mekanisme yang berbeda dapat mempengaruhi
pelepasan endorfin, hal ini tergantung pada jenis olahraga yang dilakukan
(Leuenberger. 2006).
Transmisi Saraf
Olahraga berkaitan erat dengan peningkatan denyut jantung, tekanan arteri,
dan aktivitas saraf simpatis. Dua mekanisme telah terlibat dalam respon setelah
berolahraga . Yang pertama adalah refleks pressor berasal otot yang berkontraksi.
Refleks ini berasal dari reseptor sensorik yang sensitif terhadap metabolit iskemik
yang dihasilkan selama kontraksi otot. Refleks ini memiliki serat aferen dengan
myelin tipis atau tidak bermielin sama sekali (unmyelinated).
33
34
tekanan arteri dan aktivitas saraf simpatis. Konstriksi pembuluh darah pada otot
yang berelaksasi dan peningkatkan tekanan arteri, menyebabkan aktivasi simpatis
harus meningkatkan perfusi otot yang berkontraksi. Secara teleologis, fungsi ini
akan tampak paling baik jika stimulus simpatis ke otot merupakan aktivasi aferen
oleh stimulus kimia dan bukan stimulasi mekanoreseptor atau komando pusat.
Sebagai contoh, jika perintah pusat adalah stimulus untuk meningkatkan aktivasi
simpatik otot, peningkatan aktivitas dapat terjadi sebelum atau tanpa adanya
akumulasi metabolit iskemik pada otot yang berkontraksi. Dengan kondisi tersebut,
peningkatan
aktivitas
simpatis
memungkinkan
konstriksi
pembuluh
dan
mengganggu perfusi otot yang terlibat dalam proses berolahraga. Sebaliknya, jika
metabolit iskemik memicu peningkatan aktivitas simpatik otot, maka iskemia bisa
menghambat efek vasokonstriktor dari aktivitas simpatis pada otot yang terlibat
dalam proses olahraga. Dari hasil penelitian Mark, AL, dkk. Mengambil
kesimpulan dari hasil evaluasi microneurography, yaitu menunjukkan bahwa
pengaruh otonom komando pusat dan aferen otot kimia sensitif selama latihan otot
sangat dibedakan. Komando pusat memicu peningkatan denyut jantung, tetapi
tampaknya menghambat peningkatan otot aktivitas saraf simpatis, sedangkan
stimulasi aferen otot kimia sensitif meningkatkan aktivitas saraf simpatik tetapi
memiliki sedikit pengaruh pada denyut jantung (Mark, AL dkk. 1985).
Aktivitas sel saraf aferen kimiawi tersebut berkaitan dengan penumpukan
sampah metabolisme dalam jumlah berlebihan yang menyebabkan meningkatnya
tekanan osmotik di dalam dan luar sel-sel otot. Peningkatan tekanan osmotik akan
35
daraipada
menghabiskan
waktu
sepanjang
hari
(Berger,
1992;
Potter&Perry, 2009).
Semakin tinggi ambang nyeri seseorang menyebabkan semakin ringan nyeri
yang dipersepsikan. Sebaliknya, semakin rendah ambang nyeri seseorang
menyebabkan semakin berat nyeri yang dipersepsikan.
36
Skema 1. Kerangka Konsep Atlet dengan atau tanpa Cold Water Immersion
37