Anda di halaman 1dari 12

Tinjauan Pustaka

Anatomi
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung.
Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch ( analog dengan
Bursa Fabricus ) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10cm ( kisaran 3-15cm ) dengan diameter 0,5-1cm dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit
di bagian proksimal dan melebar dibagian distal. Basis appendiks terletak di bagian postero
medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis apendiks.
Apendiks verviformis disangga oleh mesoapendiks ( mesenteriolum ) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi
a.Apendikularis ( cabang a.ileocolica). orificiumnya terletak 2,5cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria ( oto longitudinal dan sirkuker ) dan serosa. Apendiks mungkin tidak
terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar
dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan apendiks. Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf,
pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa
terdiri dari satu lapis columnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding luar ( outer longitudinal muscle ) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan apendiks taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
apendiks.
Gejala klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah
retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum)

2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti
terlihat pada gambar dibawah ini.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri
ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka
appendiks mengalami ganggren.
Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya
berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT ( Gut associated Lymphoid tissue )
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama masa pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang

mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi
penghancuran lumen apendiks komplit.
Definisi Appendicitis
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.26 Penelitian Collin
(1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi
yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan
sebab lainnya 1%.
Patofisiologi Appendicitis
Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding
organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa
menjadi langkah awal terjadinya appendicitis.28 Obstruksi intraluminal appendiks menghambat
keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada
dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka
pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar
memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel
meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada
mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai
dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan
ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh
fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut supuratif. Edema dinding
appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren, warnanya menjadi
hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi
radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah.
3

Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi.
Epidemiologi
Penelitian Nwomeh (2006) di Amerika Serikat pada 788 penderita appendicitis didapat
proporsi kulit putih 81%, kulit hitam 12%, dan lainnya 7%.30 Penelitian Salari (2007) di Iran
pada 400 penderita appendicitis didapat 287 orang (71,7%) laki-laki dan 113 orang (28,3%)
perempuan, serta kelompok umur 5-14 tahun 58 orang (14,5%), 15-19 tahun 114 orang (28,5%),
20-24 tahun 99 orang (24,8%), 25-34 tahun 102 orang (25,5%), dan 35 tahun 27 orang (6,8%).
Penelitian Penfold et al (2008) di Amerika Serikat pada anak umur 2-20 tahun didapat bahwa
perforasi appendicitis lebih cenderung di pedesaan (69,6%) daripada perkotaan (30,4%)
(p=0,042).
Determinan Appendicitis
a. Faktor Host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa muda.
Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia 10-19 tahun
dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000 penduduk.37 Hal ini
berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan limfoid mencapai
puncak pada usia pubertas.
2. Jenis Kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate (SSMR)
pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.14 Penelitian
Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6 per 100.000
penduduk dengan rasio 1,07: 1.17 Kesalahan diagnosa appendicitis 15-20% terjadi pada
perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan appendicitis seperti pecahnya
folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik, kista ovarium, dan penyakit
ginekologi lain.
3. Ras

Penelitian Ponsky (2004) di Children's National Medical Center Amerika Serikat


dengan desain Case Control pada anak umur 5-17 tahun didapat penderita ruptur
appendicitis 1,66 kali lebih besar pada anak keturunan Asia (Odds Ratio [OR]: 1,66; 95%
Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23) dan 1,13 kali lebih besar pada anak kulit hitam
(OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30) dibandingkan anak bukan penderita ruptur appendicitis.38
Penelitian Smink (2005) di Boston dengan desain Case Control pada anak umur 0-18
tahun didapat penderita ruptur appendicitis 1,24 kali lebih besar pada anak kulit hitam
(OR: 1,24; 95% CI: 1,101,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak hispanik (OR: 1,19;
95% CI: 1,101,29) dibandingkan anak bukan penderita ruptur appendicitis.
b. Faktor Agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada di usus
besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan Eschericia coli,
Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan Bacteriodes splanicus. Bakteri
penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%.
c. Faktor Environment
Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan
dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak
dan rendah serat.40 Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Kebiasaan konsumsi rendah
serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga
memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.
Klasifikasi Appendicitis
Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut
1. Appendicitis Akut
a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,

anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan
ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus
besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau
keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
1. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
2. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
3. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
4. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika

ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding
appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan
serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
Gejala Appendicitis

Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:


1. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di
kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-samar,
ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam biasanya
rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran bawah kanan.
Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.

2. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan
kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
3. Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
4. Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri lokal.
Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa lebih tinggi di
daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
5. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di
daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal. Rasa nyeri ditemukan

di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi appendiks di pelvic. Letak
appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm 3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum
yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat
4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 9697%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema
dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus
atau batu ureter kanan.
Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor keterlambatan


dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya,
sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke
rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling sering pada
anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua. 43 Anakanak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum
berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi
gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam.19 Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
Penatalaksanaan
9

Penatalaksanaan apendiksitis :
a. Sebelum operasi
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3. Rehidrasi
4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena
5. Obat obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk
membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai
b. Operasi

1. Apendiktomi
2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika
3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau abses
mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi
dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan
c. Pasca Operasi

1. Observasi TTV
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah
3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien
dipuasakan
5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai
fungsi usus kembali normal.
6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan
Teknik Operasi
Teknik operasi appendiktomi ialah sebagai berikut :

Lakukan insisi
Setelah sampai menemukan ujung sekum, pisahkan dari mesoappendix.
Dasar dijepit dan diikat dengan simpul sederhana

10

Selanjutnya langkah inversi pangkal adalah opsional. Sebuah penjepit ditempatkan

untuk memegang simpul selama inversi.


Simpul dalam terikat pada pangkal menjamin bahwa tidak ada ruang tertutup untuk
pengembangan abses

Pencegahan Appendicitis
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa
diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,
dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding
kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan
yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang
teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap
11

hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan
dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga
terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal
kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke
saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi
yang menimbulkan peradangan pada appendiks.
Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat
terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendiks
perforasi atau apendiks gangrenosa

12

Anda mungkin juga menyukai