Tinjauan Pustaka APP
Tinjauan Pustaka APP
Anatomi
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung.
Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch ( analog dengan
Bursa Fabricus ) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10cm ( kisaran 3-15cm ) dengan diameter 0,5-1cm dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit
di bagian proksimal dan melebar dibagian distal. Basis appendiks terletak di bagian postero
medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis apendiks.
Apendiks verviformis disangga oleh mesoapendiks ( mesenteriolum ) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi
a.Apendikularis ( cabang a.ileocolica). orificiumnya terletak 2,5cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria ( oto longitudinal dan sirkuker ) dan serosa. Apendiks mungkin tidak
terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar
dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan apendiks. Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf,
pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa
terdiri dari satu lapis columnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding luar ( outer longitudinal muscle ) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan apendiks taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
apendiks.
Gejala klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah
retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum)
2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti
terlihat pada gambar dibawah ini.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri
ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka
appendiks mengalami ganggren.
Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya
berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT ( Gut associated Lymphoid tissue )
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama masa pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi
penghancuran lumen apendiks komplit.
Definisi Appendicitis
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.26 Penelitian Collin
(1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi
yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan
sebab lainnya 1%.
Patofisiologi Appendicitis
Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding
organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa
menjadi langkah awal terjadinya appendicitis.28 Obstruksi intraluminal appendiks menghambat
keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada
dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka
pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar
memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel
meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada
mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai
dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan
ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh
fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut supuratif. Edema dinding
appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren, warnanya menjadi
hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi
radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah.
3
Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi.
Epidemiologi
Penelitian Nwomeh (2006) di Amerika Serikat pada 788 penderita appendicitis didapat
proporsi kulit putih 81%, kulit hitam 12%, dan lainnya 7%.30 Penelitian Salari (2007) di Iran
pada 400 penderita appendicitis didapat 287 orang (71,7%) laki-laki dan 113 orang (28,3%)
perempuan, serta kelompok umur 5-14 tahun 58 orang (14,5%), 15-19 tahun 114 orang (28,5%),
20-24 tahun 99 orang (24,8%), 25-34 tahun 102 orang (25,5%), dan 35 tahun 27 orang (6,8%).
Penelitian Penfold et al (2008) di Amerika Serikat pada anak umur 2-20 tahun didapat bahwa
perforasi appendicitis lebih cenderung di pedesaan (69,6%) daripada perkotaan (30,4%)
(p=0,042).
Determinan Appendicitis
a. Faktor Host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa muda.
Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia 10-19 tahun
dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000 penduduk.37 Hal ini
berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan limfoid mencapai
puncak pada usia pubertas.
2. Jenis Kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate (SSMR)
pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.14 Penelitian
Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6 per 100.000
penduduk dengan rasio 1,07: 1.17 Kesalahan diagnosa appendicitis 15-20% terjadi pada
perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan appendicitis seperti pecahnya
folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik, kista ovarium, dan penyakit
ginekologi lain.
3. Ras
anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan
ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus
besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau
keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
1. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
2. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
3. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
4. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding
appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan
serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
Gejala Appendicitis
2. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan
kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
3. Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
4. Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri lokal.
Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa lebih tinggi di
daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
5. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di
daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal. Rasa nyeri ditemukan
di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi appendiks di pelvic. Letak
appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm 3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum
yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat
4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 9697%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema
dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus
atau batu ureter kanan.
Komplikasi
Penatalaksanaan apendiksitis :
a. Sebelum operasi
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3. Rehidrasi
4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena
5. Obat obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk
membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai
b. Operasi
1. Apendiktomi
2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika
3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau abses
mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi
dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan
c. Pasca Operasi
1. Observasi TTV
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah
3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien
dipuasakan
5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai
fungsi usus kembali normal.
6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan
Teknik Operasi
Teknik operasi appendiktomi ialah sebagai berikut :
Lakukan insisi
Setelah sampai menemukan ujung sekum, pisahkan dari mesoappendix.
Dasar dijepit dan diikat dengan simpul sederhana
10
Pencegahan Appendicitis
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa
diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,
dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding
kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan
yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang
teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap
11
hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan
dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga
terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal
kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke
saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi
yang menimbulkan peradangan pada appendiks.
Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat
terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendiks
perforasi atau apendiks gangrenosa
12