Anda di halaman 1dari 52

KAJIAN EROSI PADA BERBAGAI KEMIRINGAN DENGAN METODE

USLE (UNIVERSAL LOSS EQUATION) di LAHAN PERTANIAN IPDN


JATINANGOR
(Studi Kasus di Lahan Pertanian IPDN, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten
Sumedang)

USULAN PENELITIAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Pertanian Pada Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran

Disusun Oleh:
Frans Jeckson
240110100072

JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014

LEMBAR PENGESAHA N
SKRIPSI
Nama

: Frans Jeckson

NPM

: 2401100100072

Judul

: Kajian Erosi Pada Berbagai Kemiringan Dengan Metode Usle


(Universal Loss Equation) Di Lahan Pertanian Ipdn Jatinangor
(Studi Kasus Di Lahan Pertanian Ipdn, Kecamatan Jatinangor,
Kabupaten Sumedang)

Jurusan

: Teknik dan Manajemen Industri Pertanian

Jatinangor, Maret 2014


Menyetujui dan Mengesahkan,
Komisi Pembimbing

Ketua Jurusan TMIP,

Ketua,

Prof. Dr. Ir. Hj. Nurpilihan Bafdal, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Hj. Nurpilihan Bafdal, M.Sc.

NIP. 19480623 197602 001

NIP. 19480623 197602 001

Komisi Pembimbing
Anggota,

Prof. Dr. Ir. Hj. Nurpilihan Bafdal, M.Sc.


NIP. 19480623 197602 001

DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4

BAB II

Latar Belakang.................................................................................1
Identifikasi Masalah.........................................................................4
Tujuan Penelitian..............................................................................4
Kegunaan Penelitian.........................................................................5

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Curah Hujan......................................................................................6
2.2 Penggunaan Lahan............................................................................7
2.3 Tekstur dan Struktur Tanah...............................................................8
2.4 Aliran Permukaan...........................................................................10
2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Aliran Permukaan..................12
2.6 Naungan...........................................................................................13
2.7 Pendugaan Aliran Permukaan..........................................................15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian..........................................................25
3.2 Alat dan Bahan Penelitian..............................................................25
3.2.1 Alat Penelitian....................................................................25
3.2.2 Bahan Penelitian.................................................................26
3.3 Metodologi Penelitian.....................................................................26
3.4 Tahapan Penelitian..........................................................................26
3.5 Prosedur Penelitian.........................................................................29
3.5.1 Persiapan Penelitian............................................................29
ii

iii

3.5.2 Pelaksanaan Penelitian........................................................30


3.5.3 Menentukan Bilangan CN Berdasarkan Grafik..................31
3.5.4 Uji Statistik.........................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Laju Infiltrasi Tanah Berdasarkan Kelas Tekstur Tanah .........................9
Tabel 2. Klasifikasi Hujan Harian Berdasarkan Intensitasnya............................11
Tabel 3. Klasifikasi Kemiringan Lereng.............................................................13
Tabel 4. Kriteria Kelompok Hidrologi Tanah Menurut U.S. SCS, 1972.............17
Tabel 5. Bilangan Kurva (CN)1) Aliran Permukaan untuk Berbagai Komplek
Tanah-Penutup Tanah (Kondisi Kandungan Air Tanah Sebelumnya: II,
dan Ia = 0,2S).........................................................................................19
Tabel 6. Batasan Besar Curah Hujan untuk Tiga Kondisi Kandungan Air Tanah
Sebelumnya...........................................................................................21

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Halaman
Pengukuran Luas Naungan Tanaman................................................14

Gambar 2.

Grafik Bilangan Kurva Metode SCS................................................20

Gambar 3.

Bentuk Fisik Tanaman Jagung..........................................................24

Gambar 4.

Penentuan Bilangan CN dari Grafik.................................................31

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara Agraria. Pemerintah Indonesia masih
menetapkan sektor pertanian sebagai sektor utama negara yang harus
diperhatikan. Sektor pertanian dinilai sangat penting dalam menentukan ekonomi
suatu negara. Negara yang memiliki sistem pertanian yang baik merupakan negara
yang kuat dalam hal ketahanan pangan. Kemajuan sektor pertanian dalam satu
negara bergantung pada berbagai faktor. Faktor faktor tersebut terdiri atas faktor
faktor yang mendukung kemajuan suatu pertanian di sebuah negara dan faktor faktor yang merugikan suatu kegiatan pertanian pada suatu negara.
Faktor pertumbuhan penduduk yang terjadi di Indonesia merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi keadaan sistem pertaniannya. Laju pertumbuhan
penduduk yang semakin tinggi setiap tahunnya membuat tingginya angka
permintaan akan suatu komoditas pertanian. Tingginya permintaan akan
komoditas pertanian inilah yang harus diseimbangkan dengan laju penyediaan
komoditas

pertanian tersebut. Pada saat ini di Indonesia sering sekali laju

permintaan produk - produk pertanian tidak sejalan dengan laju penyediaan


produk produk pertanian itu sendiri. Hal ini didukung dengan seringnya
Indonesia melakukan import komoditas pertanian dari negara lain.
Kegiatan masyarakat pada suatu DAS semakin meningkat seiring laju
pertumbuhan masyarakat. Hal tersebut kemudian diperburuk dengan perubahan
tata guna lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. Hal ini tentunya membuat
lahan pertanian semakin sedikit serta membuat pemerintah kesulitan dalam
menyediakan pasokan komoditas pertanian dalam negeri. Karena sedikitnya lahan
yang tersedia untuk pertanian, banyak masyarakat yang memilih untuk membuka
lahan kembali. Banyak lahan yang dikonversi menjadi lahan pertanian dimana
lahan tersebut tadinya merupakan hutan. Hal ini semakin memperburuk keadaan.
Perubahan tata guna lahan tersebut akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada

tanah sehingga ketika hujan datang akan menyebabkan terjadi erosi. Erosi dapat
dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan bahwa suatu DAS mengalami
degradasi lahan. Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau
bagian tanah dari sautu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik disebabkan
oleh pergerakan air ataupun angin (Arsyad dalam Damen 2011).
Seiring dengan meningkatnya laju erosi, produktivitas lahan tersebut juga
akan menurun. Menurunnya produktivitas lahan karena erosi menjadi salah satu
faktor yang memperburuk laju penyediaan produk pertanian lokal dengan kualitas
yang baik. Hanya saja kenyataan di lapangannya adalah nilai erosi tidak dapat
dihilangkan. Erosi tetap selalu ada meskipun nilainya sangat kecil. Erosi juga
secara langsung dapat menyebabkan kerusakan pada tanah. Secara perlahan erosi
akan mencuci unsur unsur hara pada tanah.
Selain dapat menurunkan produktivitas lahan, erosi juga dapat berdampak
buruk bagi kesehatan masyarakat. Hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi
pada suatu DAS akan menyebabkan terjadinya erosi. Dalam hal ini tanah yang
tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan terjadinya erosi dalam jumlah
besar. Erosi yang bercampur dengan banjir ataupun genangan air akan memberi
dampak negatif terhadap kesehatan manusia yang bersentuhan langsung dengan
air tersebut. Selain dampak negatif terhadap kesehatan manusia erosi juga dapat
menyebabkan kekurangan air pada musim kemarau.
Masalah kerusakan tanah oleh erosi menjadi masalah yang serius di
Indonesia. Untuk mencegah terjadinya laju erosi yang tinggi perlu dilakukan
kegiatan pengolahan tanah. Suatu fase terpenting dalam pengolahan tanah ialah
pencegahan erosi yang disebabkan oleh pengaruh manusia terhadap keseimbangan
alam (Arsyad, 1976). Banyak terjadi kehilangan kehilangan unsur hara ketika
dilakukan kegiatan kegiatan yang merubah tata guna lahan.
Karena alasan alasan tersebut maka perlu dilakukan suatu penelitian yang
mengkaji tentang besarnya laju erosi. Sehingga dimasa yang akan datang
masyarakat dapat memprediksikan besarnya laju erosi yang terjadi pada suatu
lahan dengan berbagai karakter lahan tertentu. Memprediksikan erosi pada suatu
lahan berguna untuk menetapkan cara cara pencegahannya. Dengan

memprediksi besarnya suatu erosi pada suatu lahan, masyarakat dapat memilih
cara pengolahan tanah yang baik.
Menurut Arsyad tahun 1976, dalam menghitung besarnya erosi diperlukan
perhitungan ataupun penetapan besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan.
Penetapan nilai erosi yang masih dapat dibiarkan dinilai sangat perlu karena tidak
ada nilai erosi yang nol apalagi di lahan pertanian yang berlereng. Pendugaan
untuk mengetahui besarnya laju erosi yang terjadi pada suatu wilayah dapat
dilakukan dengan menggunakan dua cara, pertama dengan pengukuran langsung
di lapangan dengan mengukur kenampakan secara visual yang dapat langsung
dilihat seperti alur atau parit yang terbentuk atau kedua dengan pendugaan yang
menggunakan metode empiris (model persamaan) tertentu (Murdis dalam Damen
2011). DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai
fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara
lain, dari segi fungsi tata air (Asdak, 2007).
Respon DAS dalam mentransformasi aliran sangat tergantung dari beberapa
hal, diantaranya curah hujan, kemiringan permukaan DAS, struktur dan sifat
tanah, tingkat kejenuhan tanah dan faktor retensi aliran (vegetal cover). Strategi
pengelolaan DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS
sebagai zona penahan air di bagian hulu dan mempengaruhi besarnya angka
limpasan (run-off) dan erodibilitas permukaan yang menyebabkan terjadinya
aliran besar dengan konsentrasi sedimen (suspensi) yang tinggi (I Gede,2008).
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji besarnya erosi di wilayah pertanian
IPDN yang berlereng. Wilayah pertanian IPDN termasuk ke dalam wilayah SubDAS Cikeruh. Dimana pada DAS tersebut terjadi perubahan tata guna lahan yang
drastis tiap tahunnya. Banyak kawasan pertanian yang merupakan persawahan
mengalami perubahan tata guna lahan menjadi lahan pemukiman. Tata letak
bangunan yang tidak beraturan menyebabkan laju erosi sangat tinggi ketika
intensitas hujan juga tinggi.
Pembangunan pemukiman yang tidak beraturan membuat lahan yang dapat
dipakai untuk pertanian menyempit sehingga hal tersebut membuat kerapatan
vegetasi juga ikut mengecil. Pada DAS tersebut juga banyak dibangun apartemen

apartemen yang menyerap air dalam jumlah besar. Sehingga pada DAS tersebut
sudah sangat kurang lahan pertanian bahkan lahan kehutanan yang dipakai untuk
menyerapakan air ke dalam tanah. Ketika terjadi intensitas hujan yang tinggi akan
terjadi banjir dimana banjir yang tercipta akan terlihat seperti lumpur. Pada daerah
tersebut juga terjadi pendangkalan sungai yang diakibatkan tingginya laju erosi
yang terjadi.

Gambar 1. Pendangkalan Sungai di Lahan Pertanian IPDN


(Dokumentasi Pribadi)
Metode yang digunakan dalam memprediksi besarnya erosi dalam
penelitian ini adalah metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Metode USLE
(Universal Soil Loss Equation) dikembangkan oleh Wischeimer dan Smith pada
tahun 1978. Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk memprediksi
erosi di berbagai kondisi lahan secara umum (Bafdal dkk, 2011). Metode ini
dikembangkan oleh USDA dan dapat dikembangkan pada lahan pertanian maupun
non pertanian. Metode metode yang telah dikembangkan merupakan model
empiris (parametrik) yang dikembangkan berdasarkan proses hidrologi dan fisis
yang terjadi selama peristiwa erosi dan pengangkutannya daari DAS ke titik yang
ditinjau (Suripin dalam Bafdal dkk, 2011). Metode yang paling umum dikenal di
dunia adalah metode yang dikembangkan oleh Wieschmeir (1999) yang dikenal
dengan model Universal Loss Equation (USLE)(Bafdal dkk, 2011).

Mengetahui besarnya suatu erosi pada suatu lahan akan berguna pada semua
aspek pertanian. Pokok yang paling utama dalam menghitung besarnya erosi
adalah mencegah kehilangan top soil dimana top soil merupakan tanah dengan
tingkat kesuburan nomor satu. Untuk membentuk satu sentimeter lapisan tanah
top soil dari parent material (bahan induk) dibutuhkan waktu 300 sampai 1000
tahun (Bennet dalam Bafdal dkk, 2011)

1.2 Identifikasi Masalah


Latar belakang tersebut mendorong penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui besarnya laju erosi yang terjadi di wilayah pertanian IPDN yang
terletak pada wilayah sub-DAS Cikeruh. Besarnya erosi yang terjadi dapat
membantu masyarakat mengetahui cara cara pengolahan tanah yang baik dan
benar. Laju pertumbuhan penduduk yang pesat di Kecamatan Jatinangor membuat
terjadinya sejumlah perubahan tata guna lahan sehingga hal ini menyebabkan
lahan pertanian semakin mengcil. Sedikitnya lahan pertanian membuat para petani
melakukan pembukaan lahan yang menjadikan lahan berlereng sebagai tempat
melakukan kegiatan pertanian. Melakukan kegiatan pertanian pada lahan
berlereng dengan tidak menaati kaidah kaidah dalam bercocok tanam
menyebabkan tingginya laju erosi pada wilayah tersebut yang kemudian secara
langsung berdampak buruk pada daerah pemukiman dalam DAS tersebut. Secara
umum belum diketahui besarnya erosi pada wilayah pertanian IPDN.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Mengetahui jumlah erosi aktual pada lahan pertanian bagian hulu dengan
empat kemiringan lereng yang berbeda-beda yang ditanami jagung,
kacang tanah, dan singkong.
2. Mengetahui jumlah erosi teoritis pada lahan pertanian dengan empat
kemiringan lereng yang berbeda-beda yang ditanami jagung, kacang tanah,
dan singkong

1.4 Kegunaan penelitian


Kegunaan dari penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak pihak yang
memerlukan, yang akan melakukan penelitian serupa mengenai erosi dan
aliran permukaan pada lahan pertanian bagian hulu yang memiliki
kemiringan lereng yang berbeda - beda.
2. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi instansi terkait (Dinas
Pertanian dan Pangan, Kabupaten Sumedang) dalam menentukan kebijkan
yang menyangkut rencana pengelolaan dan pelestarian (konservasi) lahan
pertanian IPDN bagian hulu yang memiliki kemiringan lereng yang
berbeda-beda di daerah Kabupaten Sumedang.
3. Menjadi dasar bagi pemerintah dalam menentukan kebijaksanaan dalam
melakukan pengembangan di wilayah sub-DAS cikeruh sehingga lahan
yang terdapat di wilayah tersebut tidak mengalami penurunan kualitas.
4. Menjadi bahan referensi dalam merencanakan kegiatan kegiatan
penggunaan lahan yang lebih baik lagi di masa - masa yang akan datan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Erosi

2.1.1 Pengertian Erosi


Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian
tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik
disebabkan oleh pergerakan air ataupun angin (Arsyad dalam Damen
2011). Erosi menjadi permasalahan yang kompleks akibat adanya
perubahan tata guna lahan. Kerusakan yang terjadi pada suatu DAS
dapat dilihat dari besarnya jumlah sedimentasi dalam sauatu waduk.
Besar dari laju erosi maksimum tergantung pada laju pembentukan
tanah yang terjadi di daerah itu sendiri. Mekanisme terjadinya erosi
diidentifikasi tiga tahap yaitu detachment, transportation, dan
sedimentation (Asdak, 2010). Foster et al (1977), dalam Triyani
(2008) mengemukakan proses erosi tanah meliputi pelepasan butir
butir tanah akibat pukulan jatuhnya air hujan dan pengangkutan butir
butir tanah oleh aliran permukaan atau limpasan permukaan dalam
alur dan pengangkutan butir butir tanah oleh air dalam alur.
Mekanisme terjadinya erosi pertama tama terjadi ketika hujan
datang kemudian hujan tersebut akan menghantam tanah dan
menghancurkannya menjadi partikel partikel tanah. Partikel
partikel tanah tersebut kemudian dibawa oleh air limpasan atau run
off ke tempat yang lebbih rendah. Setelah melalui tahap pengangkutan
maka erosi yang tadi dibawa akan mengendap.
2.1.2 Klasifikasi Erosi
Arsyad (1976) berpendapat bahwa erosi ditinjau dari bentuknya dapat
dibagi menjadi lima yaitu :

1. Erosi alur (rill erosion) terjadi karena air terkonsentrasi dan mengalir pada
tempat tempat tertentu dipermukaan tanah sehingga pemindahan tanah
lebih banyak terjadi pada tempat tersebut. Erosi alur biasanya terjadi pada
tanah tanah yang ditanami dengan tanaman yang ditanam berbaris
menurut lereng atau akibat pengolahan tanah menurut lereng atau bekas
tempat menarik balok balok kayu.
2. Erosi permukaan (sheet erosion) adalah pengangkutan lapisan tanah yang
uniform tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah. Kekuatan jatuh butir
butir hujan dan aliran air dipermukaan tanah merupakan penyebab utama
erosi ini.
3. Erosi parit (gully erosion) proses terjadinya sama dengan erosi alur, tetapi
saluran saluran yang terbentuk sudah demikian dalamnya sehingga tidak
dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa.
4. Erosi tebing sungai (streambank erosion) adalah erosi yang terjadi pada
tebing sungai disebabkan oleh arus sungai yang melanda tempat tempat
belokan atau tempat tempat yabng mudah hanyut.
5. Longsor (landslide) adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau
pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume besar. Jadi
berbeda dari bentuk bentuk erosi lainnya, pada longsor pengangkutan
tanah itu terjadi sekaligus.

Bafdal dkk (2011) berpendapat bahwa erosi berdasarkan kejadiannya


dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. Natural erosion atau erosi secara alami; yaitu macam erosi yang terjadi
secara alami tanpa campur tangan manusia.
2. Accelerate erosion atau erosi yang dipercepat; yaitu erosi yang terjadi
karena ulah manusia yang tidak mengikuti kaidah kaidah konservasi
tanah dan air.

Rahim 2000 dalam Triyani 2008 berpendapat bahwa daerah yang


relatif miring dan tanahnya relatif dalam (solum 90) adalah 20
ton/ha/thn setara dengan 2,5 mm/tahun sedangkan daerah dataran
dengan kemiringan datar dengan landai (0 5%) adalah 10 ton/ha/thn
atau setara dengan 1 mm/tahun.
Menurut Arsyad (1989) yang dimaksud erosi oleh air adalah merupakan
kombinasi dua sub proses yaitu :
1.

Penghancuran struktur tanah menjadi butir butir primer oleh energi


tumbukan butir butir hujan yang jatuh menimpa tanah dan perendaman
oleh air yang tergenang (proses dispersi).

2. Pengangkutan butir butir primer tanah oleh air yang mengalir diatas
permukaan tanah.
Hopley (1999) berpendapat ada lima pengaruh besar terhadap permasalahan
erosi dalam suatu DAS, yaitu :
1. Hilangnya Vegetasi
Hal ini disebabkan oleh kegiatan penebangan hutan, praktek praktek
pertanian, penyiapan lahan untuk pemukiman, terbakarnya hutan dan
padang rumput.
2. Lereng yang Curam
Sebelah barat dataran pantai merupakan lahan berbukit bukit pendek
dengan lereng lereng curam dan puncak puncak yang sempit.
3. Tanah yang Buruk
Tanah tanah di DAS tercuci relatif dalam, yang melemahkan
kesatuan strukturnya. Bila tanah tanah ini terbuka akibat pembukaan
lahan dan kebakaran, maka dapat terjadi erosi dan menghasilkan sejumlah
besar sedimen berbutiran halus.
4. Curah Hujan yang Tinggi
Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya erosi.
5. Pembangunan Infrastruktur

10

Jalan dan bangunan biasanya meningkatkan limpasan air dan


konsentrasinya dalam masa pendek.
2.1.3 Proses Terjadinya Erosi
Proses terjadinya erosi bermula pada saat air hujan turun dan menabrak
lapisan tanah kemudian tanah akan dibawa oleh air limpasan dan mengendap.
pada saat terjadinya hujan sebagian air hujan akan masuk dan menyerap ke dalam
tanah sedangkan sisanya akan menjadi run off. Sebagian air hujan akan tertahan
oleh tajuk vegetasi sehingga air hujan tidak langsung menabrak tanah. Hal ini
membuat air hujan tidak terlalu menghancurkan tanah menjadi partikel partikel
tanah.
Gustiani (2007) berpendapat akan terjadi kelebihan air pada permukaan
tanah ketika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi. Berikut adalah gambar
diagram proses terjadinya erosi oleh air.
Tanah dari Lereng

Atas
Penghancuran
Tanah oleh
Curah Hujan

Penghancuran
Tanah oleh Aliran

Daya Angkut
Curah Hujan

Permukaan

Penghancuran
Tanah oleh Aliran
Permukaan

Penghancuran
dalam Perjalanan

Total Tanah yang

Total Daya Angkut

Dihancurkan

Total Tanah yang Dihancurkan < Daya Angkut


Total Tanah yang Dihancurkan > Daya Angkut

Tanah yang di Angkut ke Lereng Bawah

11

Gambar 1. Diagram Proses Terjadinya Erosi Air (Hardjowigeno,1995)


2.2

Faktor Faktor yang Mempengaruhi Erosi


Arsyad (1976) berpendapat erosi air disebabkan oleh kegiatan dispersi dan

pengangkutan oleh air hujan yag mngalir dipermukaan tanah. Jika tidak ada aliran
permukaan maka tidak akan ada erosi. Sebaliknya jika butir butir hujan tidak
dapat menghancurkan butir butir tanah menjadi dispersi dab jika aliran
permukaan dapat dicegah mendispersikan tanah maka tidak akan ada erosi. Erosi
dapat ditentukan oleh beberapa faktor.
2.2.1 Faktor Iklim
Faktor iklim menjadi salah satu faktor penentu besarnya suatu erosi.
Indonesia sendiri berada pada garis khatulistiwa. Hal ini membuat negara
Indonesia beriklim tropis yang artinya hanya memilki dua musim yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Pada saat musim hujan akan terjadi erosi terlebih lagi
apabila hujan yang turun mempunyai intensitas yang tinggi. Arsyad (1979)
berpendapat di daerah yang beriklim basah, faktor yang sangat mempengaruhi
erosi adalah hujan. Hujan yang terjadai sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur,
angin, kelembaban, dan radiasi matahari (Sosrodarsono dan Takeda, 1978).
Hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dan pengaruhnya terhadap erosi
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Hujan Terhadap Erosi pada Lahan Berlereng 15 %
Ditanami Jagung Mengikuti Kontur

12

Tanggal Jatuh

Jumlah Hujan

Maksimum

Waktu hujan

Erosi(tanah

Hujan

(mm)

Intensitas

terangkut

Hujan

ton/ha)

(mm/jam/10
menit)
18 & 19 Juni

65

7,5

30 jam

35 menit
5 Juli

47,5

70

1 jam

128

52 menit
27 Juli

22,5

87,5

15 menit

5,5

(sumber : Baver hal 432)


Faktor iklim memiliki peran yang paling utama dalam menentukan besarnya
jumlah erosi dalam suatu DAS. Bafdal dkk (2011) berpendapat parameter
parameter hujan dapat dibagi menjadi empat yaitu :
1. Jumlah hujan.
2. Intensitas hujan.
3. Durasi atau lamanya kejadian hujan.
4. Distribusi hujan.
Faktor yang paling mempengaruhi aliran permukaan dan juga erosi adalah
jumlah curah hujan selama terjadinya hujan. Intensitas huja adalah jumlah curah
hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu
yang terjadi pada satu kurun waktu air hujan terkonsentrasi (Wesli, 2008). Hujan
merupakan salah satu bentuk presivitasi uap air yang berasal dari awan yang
terdapat di atmosfer, air hujan yang jatuh di permukaan daratan sebagian akan
berinfiltrasi ke dalam tanah dan yang sebagiannya lagi akan mengalir di atas
permukaan tanah sebagai aliran permukaan atau run off (Kartasapoetra, 1990
dalam Indo Takki, 2013).
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di
seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu.

13

Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah/daerah dan dinyatakan dalam mm
(Sisrodarsono, 1987 dalam Indo Takki, 2013).
Intensitas hujan dinyatakan dalam milimeter per menit atau per jam.
Intensitas tersebut umumnya diklasifikasikan sebagaimana tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Intensitas Hujan
Laju Hujan (mm/jam)
Kurang dari 6,25
6,25 12,5
12,5 50
Lebih dari 50
(Sumber : Arsyad tahun 1976 halaman 29)

Klasifikasi
Kecil (gerimis)
Sedang
Lebat
Sangat Lebat

Durasi hujan adalah lamanya hujan yang terjadi pada satu hari (24 jam);
satu minggu, satu musim tanam ataupun satu tahun kalender sedangkan durasi
hujan adalah penyebaran hujan; biasanya penyebaran hujan ibni sering tidak
merata (Bafdal dkk, 2011).
Menurut Foth tahun 1995, dalam Bafdal tahun 2011 derajat curah hujan dan
intensitas hujan diklasifikasikan sebagaimana tertera pada Tabel 3
Tabel 3. Derajat Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Derajat Hujan

Intensitas Curah Hujan

Kondisi

(mm/mnt)
Hujan sangat lemah

< 0,02

Tanah agak basah atau


dibasahi sedikit

Hujan lemah

0,02 0,05

Tanah menjadi basah semua


tetapi sulit membuat pudel

Hujan normal

0,05 0,25

Dapat dibuat pudel dan bunyi


curah hujan terdengar

Hujan deras

0,25 1

Air tergenang di seluruh


permukaan tanah dan bunyi
keras hujan kedengaran dari
genangan

14

Hujan sangat deras

>1

Hujan seperti ditumpahkan


dan saluran drainase meluap

(Sumber : Foth, 1995)


Penelitian Bolls (1998) menggunakan data curah hujan bulanan di 47
stasiun penakar hujan di pulau Jawa yang dikumpulkan selama 38 tahun untuk
menghitung erosivitas hujan tahunan dalam hubungannya dengan erosi alur dalam
jangka lama dari lahan berlereng antara 3 20 % (Bafdal dkk, 2011),
menggunakan rumus :
EI30 = 6,119 (R)1,21(H)-0,47(Rm)0,53
Dimana :
EI30 adalah indeks erosivitas hujan bulanan rata rata
R adalah curah hujan bulanan rata rata (cm)
H adalah jumlah hari hujan rata rata bulanan (hari)
Rm adalah curah hujan maksimum selama 24 jam dalam 1 bulan
Morgan tahun 1963 dalam Bafdal dkk 2011 menyimpulkan bahwa rata
rata kehilangan tanah perkejadian hujan meningkat seiring dengan meningkatnya
intensitas hujan seperti tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan antara Intensitas Hujan dan Kehilangan Tanah
Maksimum Intensitas
Hujan 5 menit (mm/jam)

Jumlah Kejadian Hujan

Rata rata Erosi per


Kejadian Hujan (kg/m2)

0 25,4

40

0,37

25,5 50,8

61

0,60

50,9 76,2

40

1,18

76,3 101,6

19

1,14

101,7 127

13

3,42

127,1 152,4

3,63

152,5 177,8

3,87

177,9 - 254

4,79

15

(Sumber : Morgan, 1986)


2.2.2 Topografi
Derajat dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang berpengaruh
terhadap aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 1976) erosi pada umumnya akan
sangat kecil apabila lahan datar ataupun landai. Untuk menentukan upaya dalam
pencegahan erosi perlu dilihat kembali keseragaman bentuk lerengnya. Derajat
kemiringan lereng sangat penting dalam menentukan besarnya jumlah erosi.
Apabila pada lereng yang memiliki kemiringan 15 % sudah terjadi erosi yang
cukup banyak maka pada lereng dengan kemiringan 30 % erosi yang terjadi akan
berlipat ganda jumlahnya.
Menurut Nurpilihan tahun 2000 dalam Bafdal dkk tahun 2011 secara umum
erosi akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng.
Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa erosi akan meningkat apabila lereng
semakin curam atau semakin panjang. Damen (2011) menyatakan apabila lereng
semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat, sehingga kekuatan
mengangkut meningkat pula, dan lereng yang semakin panjang menyebabkan
volume air mengalir menjadi semakin besar. Biasanya panjang lereng yang
menghasilkan erosi dalam jumlah besar juga akan didukung oleh intensitas hujan
akan tetapi untuk hujan dengan intensitas rendah erosi mungkin akan menurun
dengan memanjangnya lereng (Arsyad, 1976 hal 56).
Morgan tahun 1986, dalam Bafdal dkk tahun 2011 menyimpulkan bahwa
erosi akan meningkat sejalan dengan kemiringan lahan. Kemiringan suatu lahan
merupakan tingkat kecuraman lereng yang dinyatakan dalam derajat ataupun
dalam persen. Pada umumnya kemiringan lereng dinyatakan dalam satuan persen.
Menurut Isa (1990) kemiringan lereng dapat diklarifikasikan menjadi lima kelas
diantaranya, dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Kelas

Sangat Baik

Kriteria
Kemiringan
Besar Lereng (%)
Lereng
Datar

03

Harkat

16

Baik
Sedang
Jelek
Sangat Jelek
(Sumber : Isa, 1990)

Landai
Miring
Agak Curam
Curam

48
9 15
16 30
>30

2
3
4
5

2.2.3 Vegetasi
Vegetasi merupakan tutupan lahan yang berfungsi untuk menghindari
tabrakan langsung air hujan terhadap tanah. Suatu tanaman penutup tanah yang
baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan
pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi (Arsyad, 1976 hal 58).
Menurut Arsyad (1976) pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan
erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yaitu :
1. Intersepsi hujan oleh mahkota tanaman.
2. Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air.
3. Pengaruh akar dan kegiatan kegiatan biologis yang berhubungan dengan
pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap porositas tanaman.
4. Transpirasi yang mengakibatkan keringnya tanah.
Selain empat pengaruh diatas vegetasi juga dapat berfungsi sebagai
penambah bahan organik pada tanah sehingga akan memperbesar kemampuan
tanah dalam menyerap dan menahan air. Tanaman penutup tanah (cover crop)
mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga mengurangi
kecepatan aliran permukaan, dan selanjutnya memotong kemampuan aliran
permukaan untuk melepas dan mengangkut partikel tanah (Bafdal dkk, 2011).
Tutupan lahan menjadi suatu faktor penting untuk mencegah terjadinya
erosi dalam jumlah yang sangat besar. Secara keseluruhan hutan merupakan
pengendalian erosi yang paling efektif menahan laju erosi sementara pertumbuhan
rumput yang padat dapat mengendalikan erosi kedua setelah hutan (Nurpilihan
tahun 1998 dalam Bafdal dkk tahun 2011).
Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran (1978); Coster (1938) melakukan
penelitian tentang pengaruh seresah dan tumbuhan penutup tanah terhadap erosi
yang tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh Seresah dan Tumbuhan Penutup Tanah Terhadap Erosi

17

No.

Macam Penutup Tanah

Hutan Akasia
kg/petak

Hutan Campuran
kg/m2/tahun

Seresah dan penutup tanah

14,95

0,03

Hanya seresah tanpa penutup tanah

38,65

0,06

Tanpa seresah tanpa penutup tanah

586,65

4,39

(Sumber: *Lembaga Ekologi, 78/79, ** Coster, 1983)


Menurut Arsyad (1976) intersepsi hujan oleh tanaman mempengaruhi erosi
dengan dua cara yaitu :
1. Mempengaruhi air yang sampai ke tanah sehingga mengurangi aliran
permukaan.
2. Mengurangi kecepatan jatuh butir butir hujan sehingga tidak merusak
agregat tanah.
Pada Tabel 7 tampak jumlah jumlah hujan yang sampai ke tanah berkisar
antara 45 sampai 88 persen tergantung jenis tanamannya dan juga populasi
tanaman tersebut.
Tabel 7. Pengaruh Tanaman terhadap Intersepsi Hujan
Tanaman Presentase Hujan Yang Sampai Ke Tanah
Wolny
Jumlah Tanaman per 4 m2
0
36
64
100
144
Jagung
100
62,9
60,7
57
44,5
Kedelai
100
88,4
78,2
65,9
64,3
Oats
100
......
78,5
78,4
78,9
(Sumber: Baver, 1959)

Haynes

Smith
Dkk

68
65
93

84,5
85,4
93,1

Tanaman yang menutupi permukaan tanah dengan rapat tidak hanya


memperlambat aliran air tetapi juga mencegah pengumpulan air secara cepat
(Arsyad, 1976).
2.2.4 Faktor Tanah
Menurut Arsyad (1983) tanah terdiri dari bercmacam macam tipe yang
memiliki kepekaan yang berbeda beda terhadap erosi. Sifat sifat tanah yang
mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah (Hardjowigeno tahun 1992
dalam Damen tahun 2011) :

18

1.
2.
3.
4.

Tekstur tanah
Bentuk dan kematangan struktur tanah
Daya infiltrasi atau permeabilitas tanah
Kandungan bahan organik
Beberapa jenis tanah lebih peka terhadap erosi. Hal ini disebabkan adanya

perbedaan kepekaannya atau erodibilitasnya. Tekstur tanah ialah perbandingan


relatif (%) fraksi fraksi pasir debu dan liat, tanah itu sendiri mengandung
partikel partikel yang beraneka ragam ukurannya ada yang berukuran koloid,
sangat halus, kasar, dan sangat kasar (Bafdal dkk, 2011). Foth (1995) membuat
beberapa

ciri

ciri

karakteristik

pemisahan

tanah.

Tabel

8 berikut

menggambarkan beberapa ciri dan karakteristik pemisahan tanah.


Tabel 8. Beberapa Ciri Ciri Karakteristik Pemisahan Tanah
Jenis

Diameter (mm)

Diameter (mm)

USDA

SI Soil Science gram

Pasir sangat kasar

2,00 1,00

Society
-

90

Pasir kasar
Pasir sedang
Pasir halus
Pasir sangat halus

1,00 0,50
0,50 0,25
0,25 0,10
0,10 0,05

2,00 0,20
0,20 0,02
-

720
5700
46000
722000

0,05 0,002
Dibawah 0,002

0,02 0,002
Dibawah 0,002

5776000
90250853000

Debu
Liat
(Sumber: Foth,1995)

Jumlah partikel/

19

Gambar 2. Segitiga tekstur memperlihatkan batasan pasir, debu dan liat dari
berbagai kelas tekstur. Sumber : Foth, 1995
Berdasarkan tipe dan kedudukan agregat, struktur mikro dapat dibedakan
menjadi 3 kelompok (Suripin tahun 2001 dalam Bafdal dkk tahun 2011):
1. Remah lepas : keadaan tanah tampak lepas, mudah dipindahkan atau
didorong ke tempat lain.
2. Remah sedang : tanah cenderung agak bergumpalan, hal ini tampak leih
jelas dari profil tanahnya, susunan lapisan lapisan tanahnya tampak
adanya agregasi dan terdapat pula lubang lubang atau menggerongong,
menyebabkan air mudah menerobos ke lapisan bawah. Hal ini
memudahkan tanah untuk pertanian, atau pekerjaan pengolahan tanah.
3. Tanahnya yang lengket biasanya sangat kompak jika dalam kondisi
gumpalan, bila dilakukan penggalian sangat berat, dan sangat susah pula
untuk diolah. Dalam keadaan kering gumpalan gumpalan sangat keras,
sedangkan pada kondisi basah sangat lengket.
Permeabilitas

tanah

untuk

airmerupakan

konduktivitas

hidrolik.

Konduktivitas hidrolik tanah bergantung pada banyak faktor, yaitu temperatur,


ukuran partikel tanah, porositas tanah, ukuran pori, dan permeabilitas tanah
(Bafdal dkk, 2011).

20

Sangat lambat
Lambat

Kecepatan Permeabilitas
Inchi/ jam
Cm/ jam
<0,05
<0,13
0,05 0,20
0,13 2,00

Agak lambat

0,20 0,80

0,51 2,00

Sedang
Agak cepat

0,80 2,50
2,50 5,00

2,00 6,35
6,35 12,70

4
5

cepat

5,00 10,00

12,70 25,40

>10,00

>25,40

Keterangan

Sangat cepat
(Sumber: Foth, 1995)

Simbol Angka
1
2

Banyaknya air perkolasi melalui profilt tanah ditentukan oleh permeabilitas


horizon yang paling paadat. Jika horizon ini terdapat pada lapisan dalam tanah
maka permeabilitas seluruh profil tergantung pada kecepatan air bergerak dalam
horizon ini.
Tanah mempunyai empat tekstur yaitu (Bafdal dkk, 2011) :
1. Tekstur liat
2. Tekstur debu
3. Tekstur lempung
4. Tekstur pasir

SIFAT _ SIFAT TANAH


2.2.5Faktor Manusia
Manusia menjadi faktor yang paling utama dalam proses terjadinya erosi.
Perubahan tata guna lahan yang kurang baik membuat besarnyua nilai erosi yang
terjadi yang disebabkan oleh perlakuan manusia terhadap lingkungan. Perubahan
tata guna lahan tersebut akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada tanah
sehingga ketika hujan datang akan menyebabkan terjadi erosi. Erosi dapat
dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan bahwa suatu DAS mengalami
degradasi lahan. Suatu fase terpenting dalam pengolahan tanah ialah pencegahan
erosi yang disebabkan oleh pengaruh manusia terhadap keseimbangan alam
(Arsyad, 1976).

21

Banyak

faktor

yang

menentukan

apakah

sebidang

tanah

akan

dipergunakan secara bijaksana dan dapat memberikan pendapatan yang cukup


(Arsyad,1976) , antara lain :
1. Tingkat kesuburan dan sifat sifat fisik tanah
2. Luas tanah pertanian per keluarga
3. Kekurangan pengetahuan dan penguasaan teknologi
4. Harga hasil panen
5. Per[ajakan
6. Ikatan hutang
7. Pasar dan sumber kebutuhan
8. Infrastruktur dan kesejahteraan rakyat
Menurut Harjoamidjojo (1992), peranan manusia merupakan faktor utama
dalam proses erosi. Peranan manusia bisa saja positif apabila manusia itu sendiri
mengerti cara mengolah tanah yang baik sehingga erosi tidak akan tinggi.
Sebaliknya peran manusia akan negatif apabila melakukan penggundulan hutan di
daerah daerah resapan, hal ini menyebabkan erosi tinggi serta menyebabkan
kekurangan air pada musim kemarau.

2.2 Penggunaan Lahan ( Land Use )


Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada suatu objek
dan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kejadian (intervensi)
manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 2006).
Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir bila
dibandingkan dengan faktor lain. Perlu pula diketahui bahwa perubahan tata guna
lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan (runoff). Hujan

22

yang jatuh ke tanah, airnya akan menjadi aliran permukaan di atas tanah dan
sebagian meresap ke dalam tanah tergantung kondisi tanahnya (Kodoatie dan
Sjarief, 2008 dalam Indo Takki, 2013).
Faktor penutupan lahan vegetasi cukup signifikan dalam pengurangan atau
peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup
lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke wilayah hujan tersebut, faktor
penutupan lahan ini memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa
terjadi kecepatannya mendekati nol. Ketika suatu kawasan hutan menjadi
pemukiman, maka penutupan lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutupan
lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran. Yang terjadi ketika
hujan turun, kecepatan air akan meningkat sangat tajam di atas lahan ini. Namun
resapan airyang masuk ke dalam tanah relatif tetap kecuali lahannya berubah.
Kuantitas totalnya berubah karena tergantung dari luasan penutup lahan (kodoatie
dan sjarief, 2008 dalam Indo Takki, 2013).
Perubahan tata guna lahan pada kawasan konservasi menjadi kawasan
terbangun dapat menimbulkan banjir, tanah longsor dan kekeringan. Banjir adalah
aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan
menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak 2010).
Aliran/genangan air ini dapat terjadi karena adanya luapan-luapan pada
daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang
cukup bagi debit aliran yang lewat (Asdak 2010). Hal tersebut terjadi karena pada
musim penghujan air hujan yang jatuh pada daerah tangkapan air (catchments
area) tidak banyak yang dapat meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak
melimpas sebagai debit air sungai. Jika debit sungai ini terlalu besar dan melebihi
kapasitas tampung sungai, maka akan meyebabkan banjir. Peta Penggunaan Lahan
berisi tentang distribusi batas-batas penggunaan lahan seperti hutan, sawah, air,
kebun rawa, dll (Kodoatie dan Sjarief, 2008 dalam Indo Takki, 2013).

2.3 Tekstur dan Struktur Tanah


Tekstur adalah ukuran butir dan proporsi kelompok ukuran butir-butir
primer bagian mineral tanah. Butir-butir primer tanah terkelompok dalam liat

23

(clay), debu (silt), dan pasir (sand). Menurut USDA (Soil Survey Staff 1975) liat
berukuran (diameter) < 0,002 mm, debu berdiameter 0,002 0,05 mm, dan pasri
berdiameter 0,005-2 mm. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir
berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut
memiliki profil yang dalam, maka erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur pasir
halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi cukup tinggi. Akan tetapi, jika terjadi
aliran permukaan butir-butir halus akan mudah terangkut (Arsyad, 2010).
Tekstur tanah sangat berperan terhadap terjadinya erosi, sebagai contoh
bahwa tekstur pasir mempunyai daya ikat antar partikel tanah yang kurang mantap
sehingga kemantapan agregat tanahnya rendah dibandingkan dengan tekstur liat
yang mempunyai daya ikat antar partikel tanah yang sangat kuat sehingga agregat
tanahnya sangat sulit dihancurkan oleh butiran hujan. Kemantapan agregat tanah
yang rendah sangat rawan terhadap pelepasan partikel tanah oleh butir hujan
sehingga mudah dibawa oleh limpasan hujan, sebaliknya tekstur tanah pasir
sangat mudah meloloskan air ke dalam tanah sehingga air banyak yang
terawetkan di dalam tanah (Nurpilihan dkk, 2011).
Struktur tanah yang optimal dalam bidang pertanian adalah struktur remah,
yang mempunyai perbandingan antara bahan padat dengan ruang pori-pori
relative seimbang. Keseimbangan perbandingan volume tersebut menyebabkan
kandungan air dan udara mencukupi bagi pertumbuhan tanaman, dan
menyebabkan akar cukup kuat bertahan. Tanah yang berstruktur remah memiliki
pori-pori diantara agregat tinggi dibandingkan dengan struktur tanah yang padat,
sehingga dapat meloloskan air ke dalam tanah sehingga pada gilirannya limpasan
hujan di atas permukaan tanah kecil (Nurpilihan dkk, 2011).
Tekanan terhadap tanah menimbulkan berbagai bentuk degradasi termasuk
didalamya adalah erosi, penurunan kesuburan tanah dan kerusakan sumberdaya
air. Keadaan tanah terbuka dapat terhantam oleh curah hujan sehingga
menyebabkan tanah menjadi lemah. Percikan air hujan merupakan media utama
pelepasan partikel tunggal tanah dari massa tanah, saat butiran air hujan mengenai
permukaan tanah yang gundul atau tanpa vegetasi, partikel tanah dapat langsung
terlepas dan terlempar ke segala arah, untuk lahan yang berlereng akan terjadi

24

dominasi kesatu arah yaitu kearah yang lebih landai di bawahnya, pelepasan butirbutir tanah tentunya akan menyumbat pori-pori tanah sehingga akan menurunkan
kapasitas dan laju infiltrasi. Bersamaan dengan hal tersebut dimana kondisi
intensitas hujan telah melebihi laju infiltrasi tentu akan terjadi genangan air di
permukaan tanah yang kemudian menjadi runoff, aliran permukaan ini
menyediakan energi untuk mengangkut partikel yang terlepas, saat energi dan atau
runoff menurun maka partikel tanah akan terendapkan pada lahan tersebut jika
terdapat pada daerah yang subur maka akan menurunkan kesuburan tanah di
bawahnya karena tertimbun oleh endapan baru dan jika jumlah debit aliran besar
tentu menjadi malapetaka berupa banjir yang dapat merusak (Irianto, 2006).
Soil Conservation Service (SCS) telah mengembangkan suatu sistem
klasifikasi tanah yang mengelompokkan tanah ke dalam empat kelompok yang
ditandai dengan huruf A, B, C, dan D. Sifat-sifat tanah yang bertalian dengan
keempat kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Laju infiltrasi tanah berdasarkan kelas tekstur tanah
Grup
Tanah

Laju

Tekstur

Infiltrasi

8 12

B
C

48
14

01

Pasir, pasir berlempung dan


lempung berpasir
Lempung berdebu, lempung
Lempung pasir berliat
Lempung berliat, lempung debu

berliat, liat berpasir, liat berdebu, liat


Sumber : U.S. SCS, 1972 dalam Indo Takki, 2013

2.6

Naungan
Naungan merupakan suatu tanaman yang dapat melindungi areal

permukaan tanah khususnya dari tumbukan butiran air hujan. Struktur dari
naungan berfungsi sebagai pengendali besarnya energy kinetik hujan yang akan

25

mengenai tanah dimana luasan dan bentuk strata dari tutupan naungan akan
mempengaruhi besarnya intersepsi butiran hujan dan jumlah percikan air hujan
(Nurpilihan dkk, 2011).
Menurut Yuliman (2002) mengungkapkan bahwa pengukuran penutup
kanopi tanaman atau naungan dilakukan setiap kejadian hujan dengan
menggunakan meteran sehingga diketahui berapa centi meter atau berapa meter,
pada pengukuran luas naungan yang perlu diperhatikan adalah jumlah atau
kerapatan tajuk tanaman yang dapat menutupi lahan dan luas yang tidak tertutupi
oleh daun tanaman. Penanaman tanaman di lahan miring haruslah diatur waktu
tanamnya agar pada saat terjadi puncak hujan tanah sudah ternaungi oleh
tanaman, namun demikian haruslah dengan menggunakan prinsip kaidah-kaidah
teknik konservasi tanah dan air yaitu tanah harus tertutup rapat sementara
produksi tidak terganggu (Nurpilihan dkk, 2011).
Pada pengukuran luas naungan yang perlu diperhatikan adalah jumlah atau
kerapatan tajuk tanaman yang dapat menutupi lahan dan luas yang tidak tertutupi
oleh daun tanaman. Menurut Yuliman, (2002) luas naungan dapat dihitung sebagai
berikut :
1. Luas Naungan per tanaman (m2) :
(1/4 x x d2)(2.1)
2. Luas lahan yang ternaungi (persatuan luasan area m2) :
((Luas Naungan per tanaman m2) x jumlah tanaman).(2.2)
3. Luas lahan yang tidak ternaungi (per satuan luasan area m2) :
(Luas plot (m2) Luas lahan yang ternaungi (m2)).(2.3)
4. Presentase Naungan :
(Luas lahan yang ternaungi/Luas plot) x 100%...............................(2.4)

26

Gambar 1. Pengukuran luas naungan tanaman


sumber : Yuliman (2002)
Kerapatan tanaman juga dapat mempengaruhi luasan lahan yang tertutup
tanaman, semakin rapat tanaman yang ada dipermukaan lahan maka semakin kecil
terjadinya aliran permukaan dan erosi, untuk memberikan perlindungan yang
cukup besar terhadap erosi paling sedikit 70 persen dari permukaan tanah harus
tertutup oleh tajuk tanaman (Yuliman, 2002).
2.7.1

Klasifikasi Kelompok Tanah


Arsyad (2010) mengemukakan bahwa SCS telah mengembangkan suatu

system klasifikasi tanah yang mengelompokkan tanah ke dalamempat kelompok


hidrologi yang ditandai dengan huruf A, B, C, dan D. Sifat-sifat tanah yang
bertalian dengan keempat kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
Kelompok A : pasir dalam, loess dalam, debu beragregat
Kelompok B : loess dangkal, lempung berpasir
Kelompok C : lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan
organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi.
Kelompok D : tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat,
plastis, dan tanah-tanah saline tertentu.
Kelompok tanah SCS tersebut dapat ditentukan di tempat dengan
menggunakan salah satu ketiga cara berikut:
1. Sifat-sifat fisik tanah
2. Peta tanah detail
3. Laju infiltrasi minimum tanah

27

Sifat-sifat tanah yang dimaksudkan pada butir 1 telah dikemukakan diatas,


sedangkan peta tanah detail memberikan deskripsi secara rinci mengenai sifatsifat tanah yang diperlukan dan memberikan lokasi tanah tersebut dengan jelas.
Hubungan laju infiltrasi minimum dengan kelompok tanah adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Kriteria Kelompok Hidrologi Tanah menurut U. S. SCS, 1972
KHT

Keterangan

Potensi aliran permukaan rendah, termasuk


tanah liat berpasir dengan solum dalam,

8 - 12

4-8

dangkal, permeabilitas sedang tinggi.


Potensi aliran permukaan agak tinggi,
tekstur berliat, solum dalam, kandungan

(mm/jam)

permeabilitas cepat.
Potensi aliran permukaan agak rendah,
seperti pada kelompok A tetapi bersolum

Laju Infiltrasi

1-4

liat tinggi, permeabilitas rendah.


Potensi aliran permukaan tinggi, tekstur
berliat, solum dangkal, kandungan liat

0-1

tinggi, permeabilitas rendah


Sumber : Arsyad (2000) dalam Anita Rahayu (2009)
2.7.2

Klasifikasi Kompleks Penutup Tanah


Klasifikasi komplek penutup tanah SCS terdiri atas tiga factor yaitu

penggunaan tanah, perlakuan atau tindakan yang diberikan, dan keadaan


hidrologi. Terdapat sekitar 14 macam penggunaan tanah yang digunakan pada
Tabel untuk menduga CN. Penggunaan tanah pertanian seringkali dibagi ke dalam
perlakuan atau tindakan yang diberikan seperti penanaman menurut kontur atau
pembuatan teras. Pembagian ini meunjukkan potensi pengaruhnya terhadap aliran
permukaan. Kondisi hidrologi mencerminkan tingkat pengelolaan tanah yang
digunakan yang dibedakan ke dalam kategori buruk, sedang dan baik (Arsyad,
2010).

28

2.7.3

Pendugaan Bilangan Kurva


Tabel 4 merupakan kompilasi tabel CN yang menunjukkan nilai CN untuk

berbagai penggunaan tanah, perlakuan dan kondisi hidrologinya. Nilai CN


diberikan untuk setiap kelompok tanah. Sebagai contoh, nilai CN untuk tanah
hutan (No. 13 pada Tabel 4) dengan tanaman penutup yang baik pada kelompok
tanah B adalah 55 untuk kelompok tanah C nilai CN lebih tinggi yaitu 70. Jika
penutup tanah pada tanah hutan kelompok B ini buruk, CN menjadi 66 (Arsyad,
2012).

Tabel 5. Bilangan Kurva (CN)1) Aliran Permukaan untuk Berbagai Komplek


Tanah-Penutup Tanah (Kondisi Kandungan Air Tanah Sebelumnya: II,
dan Ia = 0,2 S)

29

No

Penggunaan Tanah/Perlakuan/Kondisi

77
61
57
54
51
98

85
75
72
70
68
98

90
83
81
80
79
98

92
87
86
85
84
98

98
76
72
89
81

98
85
82
92
88

98
89
87
94
91

98
91
89
95
93

- kondisi baik :75% atau lebih tertutup rumput


- kondisi sedang 50-75% tertutup rumput
Bera larikan menurut lereng

39
49
77

61
69
86

74
79
91

80
84
94

Tanaman semusim:
Di dalam
- menurut lereng buruk
baris
Di
dalam
- menurut lereng baik
baris
Di
dalam
- menurut kontur buruk
baris
Di dalam
- menurut kontur baik
baris
Di dalam
- menurut kontur dan teras-buruk
baris
Di
dalam
- menurut kontur dan teras - baik
baris padian - menurut lereng buruk
Padi
Padi padian - menurut lereng baik
Padi padian - menurut kontur buruk
Padi padian - menurut kontur baik
Padi padian - menurut kontur dan teras -buruk
Padi padian - menurut kontur dan teras - baik

72
67
70
65
66
62
65
63
63
61
61
59

81
78
79
75
74
71
76
75
74
73
72
70

88
85
84
82
80
78
84
83
82
81
79
78

91
89
88
86
82
81
88
87
85
84
82
81

Penggunaan Tanah/Perlakuan/Kondisi
1No Permukiman
Persentase rata-rata
Luas Kapling
kedap air
- 500 m dan lebih kecil
65
- 1000 m
38
- 1300 m
30
- 2000 m
25
- 4000 m
20
2
Tempat parkir diaspal, atap dan jalan aspal
Jalan umum
- beraspal dan saluran pembuangan air
- kerikil
- tanah
4
Daerah perdagangan dan pertokoan (85% kedap)
5
Daerah industri (72% kedap)
6
Tempat terbuka, padang rumput yang dipelihara,
taman, lapangan golf, kuburan dan lain-lain :

7
8

Kelompok Hidrologi
Tanah

30

No
10

11

12
13

14

Penggunaan Tanah/Perlakuan/Kondisi
Leguminosa
Hidrologi ditanam rapat :
- menurut lereng buruk
- menurut lereng baik
- menurut kontur buruk
- menurut kontur baik
- menurut kontur dan teras buruk
- menurut kontur dan teras baik
Padang rumput pengembalaan :
- buruk
- sedang
- buruk
- menurut kontur buruk
- menurut kontur sedang
- menurut kontur baik
Padang rumput dipotong baik
Hutan :
- buruk
- sedang
- baik
Perumahan petani

Kelompok
Hidrologi Tanah
A

66
58
64
55
63
51

77
72
75
69
73
67

85
81
83
78
80
76

89
85
85
83
83
80

68
49
39
47
25
6
30
45
36
25
59

79
69
61
67
59
35
58
66
60
55
74

86
79
74
81
75
70
71
77
73
70
82

89
84
80
88
83
79
78
83
79
77
86

Sumber: Arsyad (2010)


Selain menggunakan Tabel 5 di atas, bilangan kurva (CN Number) dapat dicari
dengan menggunakan grafik berikut:

Gambar 2. Grafik bilangan kurva metode SCS

31

Sumber: http://www.utdallas.edu/
2.7.4

Kandungan Air Tanah Sebelumnya


Menurut Arsyad (2010) kandungan air tanah sebelumnya memengaruhi

volume dan laju aliran permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh factor ini
maka SCS menyusun tiga kondisi kandungan air sebelumnya, yang diberi tanda
dengan angka Romawi I, II, II. Keadaan tanah untuk ketiga kondisi tersebut
adalah sebagai berikut :
Kondisi I

: Tanah dalam keadaan kering tetapi tidak sampai pada titik layu,
telah pernah ditanami dengan hasil memuaskan.

Kondisi II

: Keadaan rata-rata.

Kondisi III

: Hujan lebat atau hujan ringan dan temperature rendah telah


terjadi dalam lima hari terakhir, tanah jenuh air.

Tabel berikut memberikan batas besarnya curah hujan untuk ketiga kondisi
kandungan air tanah sebelumnya:
Tabel 6. Batasan besar curah hujan untuk tiga kondisi kandungan air tanah
sebelumnya.
Kondisi Kandungan Air
Tanah Sebelumnya
I
II
III
Sumber: Arsyad (2010)

Total Jumlah Curah Hujan 5 hari Sebelumnya (mm)


Musim Dorman
Musim Tumbuh
< 13
13-28
> 28

< 35
35 53
> 35

Dalam perencanaan, kandungan air tanah sebelumnya sering kali lebih merupakan
ketetapan kebijaksanaan bukan merupakan keadaan tanah setempat sebelumnya.
2.8

Kalibrasi dan Validasi SCS


Kalibrasi didefinisikan sebagai proses penyesuaian parameter model yang

berpengaruh terhadap kejadian aliran. Proses kalibrasi merupakan upaya untuk


memperkecil penyimpangan yang terjadi. Proses kalibrasi dikatakan berhasil jika

32

nilai parameter telah mencapai patokan ketelitian yang ditentukan (Setiawan,


2010).
Dalam praktek kalibrasi terda4pat tiga cara yang dapat ditempuh yaitu (a)
pengaturan parameter secara manual berdasarkan pengamatan, b) pengaturan
parameter secara otomatis yang dilakukan oleh program komputer dengan control
ketelitian yang dikehendaki, dan c) kombinasi antara coba ulang secara manual
dan otomatis (Fleming, 1975 dalam Setiawan, 2010)
Validasi adalah proses evaluasi terhadap model untuk mendapatkan
gambaran tentang tingkat ketidakpastian dalam memprediksi proses hidrologi.
Umumnya validasi dilakukan dengan menggunakan data di luar periode yang
digunakan untuk kalibrasi. Suatu kriteria biasanya digunakan untuk menilai
keandalan suatu model setelah proses kalibrasi dan validasi. Secara visual
keandalan tersebut diamati dengan melihat koherensi (kemiripan) antara output
terukur (yang pada prinsipnya mewakili alam) dan output terhitung (yang
mewakili hasil simulasi oleh model). Koherensi, misalnya, dapat dilihat dari
kemiripan antara debit terukur dan terhitung atau scatter plot antara debit terukur
dan terhitung. Dalam hal ini, koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan
koherensi yang lebih baik. Secara kuantitatif, keandalan model dalam
mereproduksi kejadian alam (proses hidrologi) diantaranya dapat dinilai secara
statistik dengan melihat besarnya efisiensi model NSE (Nash Sutcliffe Efficiency)
yang tinggi (Indarto dkk, 2008) dan koefisen determinasi yang tinggi (Suryani dan
Agus 2005, dalam Sulaeman, 2014).
Menurut Klemes (1986) dan Refsgaard (2000) dalam Indarto dkk (2008),
ada beberapa prosedur kalibrasi dan validasi model. Keempat jenis kalibrasi di
bawah ini dapat diaplikasikan untuk situasi yang berbeda, tergantung pada
ketersediaan data.
1. Metode The split sample test, adalah metode klasik, diterapkan pada kasus
dimana data untuk kalibrasi tersedia cukup lengkap dan karakteristik fisik
DAS bisa dianggap relatif tidak berubah. Pada kasus ini, periode dimana
data tersedia dibagi menjadi dua bagian : bagian pertama untuk kalibrasi
dan bagian kedua untuk validasi.

33

2. Metode The proxy-basin test, adalah suatu seri evaluasi untuk DAS-DAS
yang identik. Hal ini diterapkan pada kasus dimana data tidak tersedia
pada DAS yang dimaksud (yang akan dikalibrasi).
3. Metode The differential split-sample test, adalah suatu test differensial
pada suatu DAS. Metode ini diterapkan jika model akan digunakan untuk
simulasi: fluk, kadar lengas tanah atau variabel lain pada suatu DAS, tetapi
pada kondisi iklim yang berbeda dengan data yang tersedia. Misalnya, jika
model akan digunakan untuk simulasi debit pada periode humid (musim
hujan atau periode basah), maka model harus dikalibrasi terlebih dahulu
untuk periode kering dengan data historis yang tersedia dan harus
divalidasi untuk periode basah.
4. Metode The differential split-sample test, adalah suatu test differensial
pada suatu DAS. Metode ini diterapkan jika model akan digunakan untuk
simulasi: fluk, kadar lengas tanah atau variabel lain pada suatu DAS, tetapi
pada kondisi iklim yang berbeda dengan data yang tersedia.

2.9

Tanaman Jagung
Tanaman jagung manis (Zea mays sacharata Sturt) dan kacang merah

(Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman pangan yang mempunyai peranan


penting sebagai sumber karbohidrat dan protein. Jagung manis mempunyai
sumbangan yang besar dalam meningkatkan produksi pangan dalam negeri,
namun produktivitasnya masih rendah. Rendahnya hasil jagung tersebut akibat
penggunaan benih dan teknologi usaha tani serta budidaya yang masih kurang
intensif (Rahayu et al.. 2003 dalam Ainun dkk, 2010).
Tanaman

jagung

mengagumkan

dalam

cara

penangkapan

dan

penyimpanan energi dan dalam waktu dua bulan dapat mencapai ketinggian 2 - 3
meter. Untuk jagung berumur (110 hari) pada keadaan normal, jumlah daun total
telah terbentuk pada umur 30 hari dan titik tumbuh tidak lagi membentuk daun
tetapi sudah berdiferensiasi membentuk tassel (Koswara 1982 dalam Rukmana
1992).

34

Jagung merupakan tanaman golongan rumputan kedua yang paling luas


dibudidayakan di Indonsia setelah padi. Tanaman jagung tidak memerlukan
persyaratan tanah yang khusus. Namun beberapa persyaratan ideal yang
dikehendaki tanaman jagung diantaranya pH tanah 5,6 7,5 dan berdrainase baik.
Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain andosol, latosol, grumosol dan
tanah berpasir. Tanah dengan tekstur lempung atau liat (latosol) berdebu
merupakan tanah terbaik untuk pertumbuhan jagung. Iklim yang dikehendaki oleh
sebagian besar tanaman jagung adalah daerah daerah beriklim sedang hingga
daerah beriklim sub tropis atau tropis basah. Oleh karena itu jagung apat tumbh di
daerah yang terletak antara 0 50 LU hingga 0 - 40LS. Pada lahan yang tidak
beririgasi pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85
200 mm/bulan secara merata. Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan
sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi pertumbuhannya akan terhambat.
Suhu yang dikehendaki jagung antara 21C34C. untuk pertumbuhan jagung
yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23C27C (Purwono dan Heni,
2008 dalam Sulaeman, 2014). Adapun kenampakan dari tanaman jagung dapat
dilihat pada Gambar 3 dibawah ini:

Gambar 3. Bentuk Fisik Tanaman Jagung


Sumber: http://rajaseed.co.id

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai dengan
bulan Februari 2013. Penelitian ini dilaksanakan di lahan pertanian IPDN yang
terletak di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang yaitu di areal hulu kiara
payung, dengan ketinggian 900 mdpl, suhu udara rata-rata 23 27 0 , dengan
kemirngan lahan yang beragam yakni: lahan agak miring 8%, lahan miring 15 %,
lahan agak terjal 25 %, lahan terjal 32 %.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat Penelitian
Adapun alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai
berikut :
1. Hagameter sebagai alat pengukur kemiringan lereng.
2. Gelas ukur untuk mengukur curah hujan aktual.
3. Ember berkapasitas 9 liter sebagai alat ukur volume pembuangan
limpasan air permukaan.
4. Meteran roll dengan ukuran 50 meter untuk mengukur lahan dalam
pembuatan plot.
5. Meteran bangunan dengan ukuran 3 meter untuk mengukur lebar
daun tanaman.
6. Cangkul untuk mengolah tanah dan pembuatan gulud sebagai batas
plot untuk menahan air yang masuk dari lahan lain.
7. Tali rapia sebagai menandakan batas luas plot penelitian.
8. Plastik sebagai wadah untuk sedimen.
9. Alat penakar hujan (Ombrometer) sebagai alat pengukur curah hujan.
10. Perangkat keras (Hardware) Laptop Asus K47A sebagai alat analisis
pendugaan volume air limpasan.
11. Alat tulis sebagai alat nulis data.
3.2.2 Bahan Penelitian
Adapun bahan-bahan yang digunkan pada penelitian ini ialah sebagai
berikut:
35

36

1. Terpal berukuran 5 x 6 sebagai plot untuk menampung air limpasan


permukaan dan sedimen.
2. Empat lahan yang memiliki empat kemiringan lereng yang berbedabeda dengan ukuran plot 22 x 3 meter.
3. Guludan tanah sebagai pembatas plot.
4. Tanaman yang ditanami oleh petani.

3.3 Metodologi Penelitian


Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analisis.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai
status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat
penelitian dilakukan (Arikunto, (2005) dalam Moch. Sulaeman (2014)). Dalam
penelitian ini metode deskriptif analisis akan digunakan untuk memecahkan
permasalahan aliran permukaan dengan mendeskripsikan parameter dan variable
yang mempengaruhi besarnya aliran permukaan di daerah hulu yakni areal lahan
pertanian IPDN dengan empat kemiringan lereng yang berbeda-beda serta
mengikuti tanaman yang ditanam oleh petani di lahan pertanian IPDN. Plot
tampungan yang digunakan, menggunakan plot tampungan system pemanenan air
hujan (Rainwater Harvesting).

3.4 Tahapan Penelitian


Adapun tahapan tahapan dari penilitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan serta membuat plot penelitian dengan 4 lahan yang memiliki
kemiringan lereng berbeda-beda dengan masing-masing memiliki seluas
22 x 3 m.
2. Pencarian data sifat fisik dan kimia tanah serta data kemiringan dan
panjang lereng.
3. Pengukuran curah hujan dari alat ombrometer dengan menggunakan gelas
ukur.
4. Pengamatan dan pengukuran di lapangan untuk mendapatkan data aliran
permukaan.
5. Melakukan perhitungan jumlah aliran permukaan yang diperoleh dari plot
penelitian.

37

6. Memprediksi aliran permukaan menggunakan metode Soil Conservation


Service (SCS).
7. Melakukan Uji statistik untuk membandingkan data hasil pengukuran dan
prediksi.

38

Mulai

Penentuan lokasi penelitian

Membuat plot penelitian dan


persiapan lahan

Kejadian hujan
Tidak

Data aliran permukaan


aktual (Qa), Curah hujan,
dan Naungan tanaman

Kecukupan
data
Ya
Prediksi jumlah

Uji Statistik

aliran permukaan
dengan metode SCS

Kesimpulan

Selesai

Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian

39

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Persiapan Penelitian
a. Persiapan Lahan
Persiapan plot penelitian terdiri dari beberapa tahapan ialah: 1).
Menentukan lokasi plot penelitian; 2). Menyiapkan alat alat serta bahan
bahan yang akan digunakan untuk penelitian seperti terpal digunakan
sebagai penampung, turus bambu digunakan untuk menahan terpal jika
tertampung air dan tanah. Dibagian hilir plot, dibuat guludan sebagai
saluran tempat masuknya air ke lubang penampung; 3). Mengukur
kemiringan lahan untuk menentukan lokasi plot penelitian dengan
menggunakan meteral roll 50 m; 4). Mengukur panjang dan lebar lahan
untuk menentukan bak penampungannya; 5). Menggali lahan tersebut
hingga terbentuk bak penampungan dengan dimensi 2 x 1 x 1 m dengan
mengukur terlebih dahulu menggunakan meteran bangunan 3 m; 6).
Memasang terpal sebagai penampung hujan, air larian, dan sedimen
dengan menurus bambu untuk menahan terpal dengan cara menegakkan
bambu ke terpal lalu ditancapkan ke tanah memakai 8 turus bambu; 7).
Membuat guludan sebagai penahan agar air dari lahan lain air tidak masuk
ke dalam areal plot, kemudian membuat seperti saluran agar air larian
dapat mengalir ke arah bak penampungan.
b. Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Tanah
Pengambilan sampel tanah pada plot penelitian ini dilakukan apabila data
sifat fisik dan kimia tanah pada tempat plot penelitian belum diketahui.
Pengambilan sampel tanah ini diperlukan untuk menentukan nilai
erodibilitas tanah. Tanah yang telah diambil akan dianalisis di
Laboratorium untuk mengetahui sifat fisik tanah (tekstur, struktur,
permeabilitas) dan sifat kimia tanah (kandungan bahan organik) pada
tanah tersebut. Contoh tanah untuk uji tanah merupakan contoh tanah
komposit, yaitu contoh tanah campuran dari 10 hingga 15 tanah individu.
Contoh tanah individu diambil dari dari lapisan olah atau lapisan
perakaran (0-20 cm), contoh tanah ini harus mewakili lahan yang akan

40

dikembangkan atau yang dimintakan rekomendasinya. Setelah dianalisis


maka untuk menentukan nilai erodibilitas tanah tersebut, dapat
menggunakan nomograf.
c. Pengukuran Kemiringan dan Panjang Lereng
Pengukuran kemiringan dan panjang lereng dilakukan apabila data
mengenai panjang dan kemiringan lereng pada plot tidak diketahui.
3.5.2 Pelaksanaan Penelitian
a. Pengamatan Curah Hujan dan Aliran Permukaan
Pengukuran curah hujan aktual diamati di lokasi plot penelitian dengan
menggunakan alat penakar hujan manual. Pengamatan volume curah hujan
dilakukan per kejadian hujan. Dengan mengetahui volume curah hujan dan
luas permukaan dari alat penakar manual maka volume curah hujan dapat
diubah ke dalam satuan kedalaman curah hujan. Untuk data aliran
permukaan diperlukan untuk mendukung data erosivitas hujan. Aliran
permukaan hanya diukur per kejadian hujan saja, dengan cara pengukuran
manual, menampung air hujan dan menghitung volume yang tertampung
di ember dengan satuan ml.
b. Pengukuran Luas Naungan Tanaman
Pengukuran naungan tanaman pertama dilakukan pada awal mulai
pengukuran curah hujan dan air limpasan, ini dilakukan dengan setiap
kejadian hujan dengan cara mengambil satu sampel tanaman dari tiap
guludan, karena tiap plot memiliki system gulud dan tanam yang berbedabeda

sehingga

jumlah

tanaman

tiap

plot

berbeda-beda.

Untuk

pengukurannya, diukur panjang dan lebar daun yang terpanjang diantara


daun lainnya dalam satu tanaman yang menaungi tanah serta tinggi dari
tanaman tersebut dengan menggunakan meteran bangunan 3 m. Cara
perhitungan luas dan persentase naungan adalah dengan menggunakan
persamaan 2.1 2.4.

41

3.5.3 Menentukan Bilangan CN Berdasarkan Grafik


Bilangan CN selain didapatkan dari Tabel 4 juga dapat dicari
menggunakan grafik (Gambar 2). Adapun cara untuk menentukan bilangan CN
dari grafik adalah sebagai berikut :
1. Menentukan besarnya curah hujan aktual dalam satuan inchi (sumbu X).
2. Menarik garis lurus ke arah sumbu Y dari titik curah hujan pada langkah.
3. Menentukan besarnya direct runoff aktual dalam inchi (sumbu Y).
4. Menarik garis lurus ke arah sumbu X dari titik direct runoff pada langkah
3 sehingga ditemukan titik potong X dan Y.
5. Menentukan angka CN sesuai pertemuan titik potong X dan Y.

Gambar 5. Penentuan bilangan CN dari grafik


3.5.4 Uji Statistik
Koefisien determinasi dan efisiensi model Nash Sutcliffe (R2) adalah
besaran yang akan dicari baik pada proses kalibrasi maupun validasi. Koefisien
determinasi menunjukkan seberapa dekatnya nilai yang dihasilkan oleh hasil
simulasi dengan nilai sesungguhnya di lapangan. Koefisien yang mendekati satu
menandakan nilai hasil simulasi memiliki nilai yang cukup dekat dengan nilai
sesungguhnya (Harakita, 2010 dalam Sulaeman, 2014). Besarnya koefisien
determinasi dihitung dengan persamaan di bawah ini.

42

...(3.1)

Dimana:
R2 = Koefisien determinasi
Qm = Aliran permukaan aktual yang terukur
Qp = Aliran permukaan hasil simulasi
m = Aliran permukaan aktual rata rata yang terukur
p = Aliran permukaan hasil prediksi rata rata simulasi
n = Jumlah Pengamatan
(Sumber : Suryani, E dan Agus, 2005 dalam Sulaeman, 2014).
Adapun efisiensi model (Moriasi, et al 2007 dalam Sulaeman, 2014)
dihitung dengan persamaan :

(3.2)

Dimana Yobs adalah aliran permukaan terukur ; Ysim adalah aliran


permukaan hasil simulasi; Ymean adalah rata-rata aliran permukaan terukur.
Menurut Suryani. E dan Agus (2005), nilai kevalidan model dapat diukur
dengan nilai determinasi dan efisiensi model yang tinggi. Rentang nilai tersebut
menurut Moriasi et al (2007) dalam Sulaeman (2014) digolongkan menjadi
empat kategori yakni sangat baik (0,75 < NSE 1,00), baik (0,65 < NSE
0,75), memuaskan (0,50 < NSE 0,65), dan tidak memuaskan (NSE 0,50).

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., Dariah, A., Mulyani, A. 2008. Strategi dan Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional.
Jurnal Litbang Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. 27 (2). 46.
Ainun Marliah, Jumini, dan Jamilah. 2010. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan
Pada Sistem Tumpang Sari Beberapa Varietas Jagung Manis Dengan
Kacang Merah Terhadap Pertumbuhan dan Hasil. Jurnal Agrista. Vol 14
No. 01.
AL-Jabari, S.,Majed Abu Sharkh and Ziad Al Mimi. 2009. Estimation Of Run off
For Agricultural Watershed Using SCS Curve Number and GIS.
Thirteenth International Water Technology Conference. Hurghada, Egypt.
Tersedia pada http://www.iwtc.info/2009_pdf/14-6.pdf. [Diakses pada
tanggal 28 November 2013].
Anita Rahayu, 2009. Penggunaan Metode Soil Conservation Services (SCS)
Untuk Memprediksi Aliran Permukaan Pada Lahan Perkebunan Kelapa
Sawit, Unit Usaha Rejosari, Ptp Nusantara Vii Lampung. Skripsi
Mahasiswa Ilmu Tanah. Bogor: IPB.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air.IPB Press. Bogor.
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press.Yogyakarta.

43

44

Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Bafdal, N. 2000. Pengaruh Naungan Terhadap Laju Erosi Pada Berbagai
Kemiringan Pola Tanam dan Kemiringan Lahan. Bandung: Lembaga
Penelitian Universitas Padjadjaran.
BMG. 2008. Curah Hujan dan Potensi Bencana Gerakan Tanah. Tersedia pada
:http://pirba.hrdpnetwork.com/e5781/e5795/e6331/e15201/eventReport15
215/CurahHujan_PotensiGertan_BMKG.pdf [Diakses 15 Februari 2014]
T. Ferijal. 2012. Prediksi Hasil Limpasan Permukaan Dan Laju Erosi Dari Sub
Das Krueng Jreu Menggunakan Model Swat. Jurnal Agrista. Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Indarto, Idah Adriyani, dan Elida Novita. 2008. Kalibrasi Model IHARCES Pada
Dua DAS Identik. Jurnal Dinamika Teknik Sipil. 08 (01). 89-100.
Indo Takki. 2013. Pendugaan Hidrograf Limpasan Permukaan Dengan Watershed
Modelling System Pada Sub-Das Tadeang Di Kabupaten Maros.
[Skripsi]. Makassar: Teknologi Pertanian UNHAS.
Karin Nadira D. 2012. Analisis Nilai Koefisien Run Off untuk Pengendalian
Direct Run Off (Studi Kasus DAS Citarum Hulu). [Skripsi]. Bandung:
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB.
Irianto, G., 2006. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air, Strategi Pendekatan
dan Pendaya gunaannya. Papas Sinar Sinanti, Jakarta
Joni Pranto. 2007. Prediksi Aliran Permukaan Pada Tata Guna Lahan Yang
Berbeda Dengan menggunakan Metode Rasional. Skripsi Mahasiswa
Ilmu Tanah. Universitas Sumatera Utara. Medan

45

Moch. Sulaeman. 2014. Kajian Jumlah Aliran Permukaan Pada Lahan Curam
dengan Strip Akar Wangi (Vetiveria zizanioides syn. Andropogon
zizanoides) dan Beberapa Sistem Tanam. [Skripsi]. Jatinangor: Fakultas
Teknologi Industri Pertanian UNPAD.
Nurpilihan, dkk. 2012. Buku Ajar Teknik Pengawetan Tanah dan Air.Universitas
Padjadjaran press. Jatinangor.
Rukmana, T. 1992. Pengaruh Varietas dan Papulasi Tanaman Jagung (Zea Mays L)
Terhadap Produksi Jagung Semi (Babycorn) [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian IPB.
Ronaldo Toar Palar, L. Kawet, E.M. Wuisan, H. Tangkudung. 2013. Studi
Perbandingan Antara Hidrograf SCS (Soil Conservation Service) Dan
Metode Rasional Pada Das Tikala. Jurnal Sipil Statik Vol. 1 No.3, 171
176.
Sadro, Wellyanto. 2009. Analisis Data Debit Dan Penentuan Koefisien Limpasan.
Departemen Geofisika Dan Meteorologi. Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Bogor: IPB.
Setiawan, E. 2010. Penggunaan Solver Sebagai Alat Bantu Kalibrasi Parameter
Model Hujan Aliran. Jurnal Spektrum Sipil. 01 (01). 72-79.
Suyono S. 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Wahid. 2011. Tanaman Hibrida Petani Lebih Untung. Tersedia Pada:
http://rajaseed.co.id/berita-124-tanaman-hibrida-petani-lebih-untung.html
[Diakses pada tanggal 19 Februari 2014].

46

Yuliman,Z. 2002. Pengaruh Beberapa Macam Tanaman Terhadap Aliran


Permukaan dan Erosi [Tesis]. Semarang : Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai