Anda di halaman 1dari 3

Memosisikan Pengidap LGBT

(Telaah Kontroversi Komik Anak-Anak Why? Puberty)


Oleh : Fazlur Rahman AS
Praktisi Hukum di Banjarmasin

Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia itu harus dihormati,
dilindungi dan dipenuhi haknya atas dasar Hak Asasi Manusia demikian ucap
Natalius Pigai, salah satu dari anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) RI dalam sebuah wawancara di stasiun TV swasta (10/8).
Pada talkshow tersebut turut hadir Fahira Fahmi Idris, seorang aktivis dan caleg DPD
RI terpilih periode ini. Kedua narasumber ini hadir untuk menyoroti kontroversi
beredarnya komik impor dari Korea berjudul Why? Puberty. Komik yang sejatinya
ditujukan untuk anak-anak tersebut dianggap mengandung konten yang tidak
sesuai, yaitu percakapan antara anak dan ibunya tentang mencintai sesama jenis
dan arahan untuk menghormatinya. Berbeda dengan Natalius, Fahira menentang
beredarnya komik tersebut. Ketidaksesuaian dengan norma dan akar budaya
bangsa Indonesia adalah alasan agar konten semacam ini tidak menyeruak kembali,
terutama dihadapkan langsung kepada anak-anak yang semestinya mendapatkan
pendidikan reproduksi yang benar.
Beranjak dari hal tersebut, Natalius memberikan penekanan bahwa LGBT adalah
realita sosial masa kini di Indonesia yang harus diterima keberadaannya, bahkan
perlu dijelaskan kepada anak-anak. Negara juga dianggapnya harus memenuhi
tugas dalam penegakan HAM, yaitu to respect (menghormati), to protect
(melindungi) dan to fulfill (memenuhi) setiap hak warga negara. Benarkah hal
demikian adanya, dan haruskah Indonesia melegalkan LGBT? Untuk hal tersebut
penulis memiliki sebuah perspektif.
Legalisasi atau setidaknya pengakuan terhadap keberadaan LGBT merupakan
diskursus yang sudah sangat lama, bahkan mungkin fenomena tersebut, khususnya
homoseksual, telah ada seiring dengan peradaban manusia. Kebanyakan negara
pada hari ini melarang eksistensi mereka secara terbuka, bahkan Rusia dan
Singapura memiliki aturan sendiri untuk menjerat pelaku LGBT dengan hukum
pidana. Hal pokok yang menjadi diskusi kali ini ialah, bagaimana memosisikan
pelaku LGBT di Indonesia, khususnya dari sudut pandang legalisasi atas dasar
hukum. Ini berkaitan dengan hak-hak kewarganegaraan, semisal melangsungkan
pernikahan, dan dokumentasi hukum lainnya.
Pertama, pandangan yang menganggap wajar dan menerima keberadaan mereka
sebagai hak seorang manusia untuk mengekspresikan dirinya, pandangan ini
sekaligus berupaya melegalkan LGBT atas dasar kesamaan kedudukan dimuka
hukum. Kedua, adalah pendapat yang lebih moderat, yakni mengakui
keberadaannya namun tidak setuju atas legalisasi secara hukum. Ketiga, yaitu

pandangan yang menolak LGBT dan menyatakan itu tidak sesuai dengan budaya
bangsa Indonesia dalam Pancasila serta bertentangan dengan ajaran agama.
Kiranya pendapat yang kedua dan ketiga diatas telah mencerminkan pula sebagian
besar pendapat masyarakat Indonesia, khususnya kalangan tradisional dan
agamawan. Meskipun berbeda, namun jika kita mengembangkan pendapat kedua
dan ketiga diatas, maka ditemukanlah satu benang merah. Keduanya sejatinya
tidak menghendaki adanya LGBT di Indonesia. Hal ini dapat kita lakukan dengan
menelusuri dan menetapkan sikap kita terhadap LGBT.
Racun Pemikiran Terhadap Anak
Sejak lama, Plato, seorang tokoh Yunani Kuno telah menyebutkan hubungan seks
sesama jenis merupakan hal yang tidak normal, lebih lanjut agama samawi
manapun, khususnya Islam telah menggolongkannya sebagai perbuatan keji. Begitu
pula dengan penelitian ilmiah bahwa hal tersebut tidak sehat dan dapat
menimbulkan penyakit. Demikian banyak alasan-alasan yang dapat membuat kita
mantap menyatakan bahwa LGBT itu tidak baik dan tidak dibenarkan dalam ajaran
kemanusiaan dan ajaran agama. Eksistensi LGBT bukan untuk diakui dan dipelihara,
melainkan untuk ditanggulangi dan dicegah keberadaannya.
Kembali pada konteks komik anak-anak diatas. Pembelaan Natalius terhadap
keberadaan komik dapat didengar dari pernyataannya yang meminta pemirsa tidak
mengelak bahwa LGBT adalah realita sosial yang harus diakui dan dihormati, dan
tetap mewacanakan legalisasinya di Indonesia. Adanya bagian dalam komik yang
menyarankan si anak menghormati pelaku percintaan sesama jenis justru
dianggapnya sebagai hal yang baik. Hal inilah yang bertolak belakang dengan
Fahira, dan mungkin sebagian besar dari kita. Semestinya anak-anak diberikan
pendidikan seks yang normal dan melindungi anak dari pengaruh buruk atas
kesalahpahaman dalam fungsi seksual. Dalam hal ini kita mengingat kasus pedofilia
dengan terdakwa bernama Emon beberapa waktu lalu.
Negara Harus Melindungi HAM Warga Negara Normal
Kita sadar betul bahwa negara harus pro aktif dalam setiap permasalahan. Mudahmudahan kontroversi komik anak Why? Puberty menjadi kontroversi yang terakhir.
Pertama, Negara dapat melakukan beberapa langkah untuk melindungi warga
negaranya dari hal serupa, misalnya melakukan penyensoran khusus oleh yang
berwenang atas semua konten buku yang ditujukan untuk anak-anak. Meski
demikian pencegahan yang terbaik tentu saja melalui filter dari keluarga.
Kedua, negara harus menentukan sikap terhadap LGBT. LGBT merupakan penyakit,
paling tidak kebiasaan LGBT ialah penyebab datangnya penyakit seperti HIV/AIDS.
Jika Negara menyatakan LGBT sebagai hal yang abnormal, maka sudah barang
tentu menjadi kewajiban negara untuk turun tangan. Pemerintah dapat membuat
legislasi peraturan perundang-undangan tentang upaya pencegahan dan
penanggulangan LGBT di Indonesia. Hak pelaku LGBT ialah untuk dilindungi dari
kekerasan, selain itu ia juga berhak untuk diterapi agar bisa hidup dengan nyaman.

Negara wajib melindungi pelaku LGBT, akan tetapi negara juga wajib melindungi
warga negara yang normal dari ancaman LGBT.
Cara terbaik bagi Negara dalam melaksanakan kewajiban untuk menghargai,
melindungi dan memenuhi hak-hak pelaku LGBT ialah dengan cara
menyembuhkannya, karena hidup dengan normal adalah hak setiap warga Negara.
Sekian.
Korespondensi
Email : vanbanjar@gmail.com
HP : 0812.3369.3396
Alamat : Jl. Melati IV Angsoka 1 RT.3 No.21 Kebun Bunga Banjarmasin

Anda mungkin juga menyukai