PTERIGIUM
PTERIGIUM
PENYAJIAN KASUS
I.
II.
IDENTITAS
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Pekerjaan
Tanggal Masuk RS
: Ny. S
: Perempuan
: 74 tahun
: Klender
: IRT
: 27 Februari 2015
ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Mata kiri buram
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS dengan keluhan mata kiri buram sejak 3 bulan
yang lalu. Selain buram pasien merasakan mata kiri terasa perih dan
kadang-kadang terlihat merah. Pasien juga merasakan mata kiri terasa
mengganjal. Pasien menyangkal adanya gatal, kotoran pada mata, dan
berair.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit ini sebelumnya.
Hipertensi (+). Diabetes Mellitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga OS yang mengeluhkan hal yang sama
Riwayat Psikososial
OS setiap hari hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya OS tidak berobat ke dokter, hanya memberikan tetes
mata yang di jual bebas.
III.
STATUS OFTALMOLOGIKUS
OD
OS
: Orthophoria ODS
Palpebra
Konjungtiva
IV.
Cornea
C.O.A
panjang 5 mm
Infiltrat (-), sikatriks (-)
Kedalaman sedang,
Iris
Pupil
Lensa
Vitreous Humor
mm, RC (+)
Pseudopakia
(tidak dapat dilihat)
mm, RC (+)
Katarak imatur
(tidak dapat dilihat)
Visus dan Refraksi
OD
: 6/40
OS
: 6/40
RESUME
Ny. S, usia 74 tahun, datang dengan keluhan buram pada mata kiri sejak 3
bulan yang lalu. Pasien juga merasa mata kiri terasa perih dan kadang-kadang
terlihat merah. Pasien juga merasa mengganjal pada mata kiri.
Pada
pemeriksaan
oftalmologikus
ditemukan
adanya
jaringan
fibrovaskular dari nasal dengan puncak pada limbus kornea mata kiri dengan
panjang 5 mm, berwarna merah muda. Visus Os 6/40.
V.
DIAGNOSIS
VI.
DIAGNOSIS BANDING:
Pseudopterigium
VII.
RENCANA PEMERIKSAAN :
Tes sonde
Tes fluoresein
VIII.
TERAPI:
Non Medikamentosa : Memakai pelindung mata (mis. Kaca mata)
Medikamentosa
1. Obat
Over-the-counter (OTC) artificial tears/topical lubricating drops
Tetes mata Anti-inflamasi
: Prednisolone acetate 1%
2. Operasi
IX.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN
I.
ANATOMI
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak
mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva inimengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.2
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
dibawahnya.
Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. 2
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
4
tebal 40m.2
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 2040m.
endotel
melekat pada
membrane
descement
melalui
II. PTERIGIUM
Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip
sayap, khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal
dalam fisura interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke kornea,
bagian puncak (apeks) lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat
digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan
kemudian bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva. 12
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah
poliferasi jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah)
nasal konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya
menutupi permukaannya. 13
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah
yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga
dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan
relatif angka kejadian di lintang bawah.3
Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam
fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi
inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.3
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.3
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.
Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.3
Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.2
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang
menyebabkan pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan
benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi
menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini. 12
Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.6
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.6
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra
violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian
nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan
bagian temporal.6
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen
dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.3
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E
. Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman
oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal,
tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.9
Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain:
Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat
dari iritasi dan peradangan.11
A.
Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan
menghancurkan lapisan bowman pada kornea
B.
C.
Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
Derajat 1
Derajat 2
Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah
satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi
ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar
perlahan-lahan,
pada
akhirnya
menyebabkan penglihatan
terganggu,
Dengan
memvisualisasikan
menggunakan
pterygium
slitlamp
tersebut.11 Dengan
diperlukan
untuk
menggunakan
sonde
di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti
pada pseudopterigium.10
Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan.6
2.
Pseudopterigium
Pterigium
umumnya
didiagnosis
banding
dengan
kornea
sebelumnya,
seperti
ulkus
kornea.
Selain
Sebab
Pterigium
Pseudopterigium
Proses degeneratif
Reaksi
tubuh
dibawahnya
Kekambuhan
Residif
Tidak
Usia
Dewasa
Anak
dimasukkan
Terapi
1.
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 12 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan
pada kornea.10
2.
Bedah
utama
dari
terapi
pembedahan
pterigium
adalah
minimal
grafttersebut.
jaringan
LawrenceW.
dan
Hirst,
orientasi
MBBS,
akurat
dari
dari
Australia
pterygia
primer
dan
setinggi
37,5
persen
autograft
konjungtiva
adalah
pelestarian
bulbar
sekarang
menganjurkan
penggunaan
MMC
hanya
Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut
Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom. 3
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
Infeksi
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea. 3
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka
ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva
atau transplant membran amnion pada saat eksisi.3
Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet
dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.6
Follow up
Menilai adanya komplikasi post operasi, seperti diplopia akibat
terpotongnya musculus rectus oculi medial, ditemukan adanya perforasi
kornea, penilaian strabismus dari gerakan bola mata, pada graft konjuntivanya
ada yang terbuka atau tidaknya, dan tanda-tanda peradangan pada intraokuler
akibat otot terpotong.14
Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata
dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di
karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari pterigium.
Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas lakilaki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun
karena faktor degeneratif. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan
gejala apapun(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal,
merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari
stadiumnnya..
Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan
pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yang
tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat
lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea
sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat
tidak diperlukan pembedahan. Dengan pengecualian pasien meminta pembedahan
dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang progresif pasien akan mengeluh tentang
irtitasi atau penglihatan yang terganggu akibat pertumbuhan pterigium tersebut.
Bila pterigium telah menjalar mendekati pupil, tindakan pembedahan harus
dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management
of Pterygium
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 117
3. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
5. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ;1996. p.142
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
7. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcher edisi 17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
8. www.en.wikipedia.org/wiki/Pterygium_(conjunctiva)
9. www.eyewiki.aao.org/Pterygium
10. www.inascrs.org/pterygium/
11. www.mdguidelines.com/pterygium18
12. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorlands Illistrated Medical
Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
13. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
14. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012.
Management
of
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm
Pterygium.