PENDAHULUAN
Public-private
partnership
merupakan
salah
satu
cara
untuk
Di satu sisi, Public Private Partnership ini dapat berjalan dan berkembang dengan
baik yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai dan pemasukan. Hal itu terjadi terutama
di sektor-sektor jalan raya, jembatan, bandar udara, jalan kereta api, power plant dan
telekomunikasi. Sebagai contoh program Private Finance Initiative (PFI) di Inggris
(United Kingdom), dimana terdapat penghematan sebanyak 15% bila dibandingkan
dengan kontrak traditional (Zhang, 2005). Contoh lainnya adalah income yang kontinyu
didapat selama periode konsesi pada sektor jalan tol di Indonesia (Jasa Marga, 2003).
Namun di sisi lainnya, berbagai masalah/kendala terjadi selama pelaksanaan
kerjasama dengan pola ini. Salah satu masalah yang terjadi adalah kebijakan Pemerintah
yang kurang kondusif atau kekuatan oposisi Pemerintah yang terlalu mendominasi,
seperti yang terjadi Lao PDR (Pahlman, 1996). Kendala lainnya dapat berupa kondisi
politik yang tidak stabil, seperti halnya yang terjadi di Thailand (Ogunlana, 1997).
Sebenarnya masalah-masalah tersebut wajar terjadi, mengingat banyaknya resiko dan
ketidakpastian sepanjang implementasi Public Private Partnership (PPP), banyaknya
pihak-pihak/partisipan yang terlibat dalam kerjasama ini, serta tidak banyak pengalaman
yang dimiliki oleh negara atau daerah yang menggunakan pola PPP.
Di Indonesia, khususnya di Surabaya juga banyak terdapat gedung-gedung yang
merupakan fasilitas publik, yang menggunakan pola PPP dengan tipe Build Operate
Transfer (BOT) dan Build Transfer Operate (BTO). Berbagai kendala juga terjadi
selama implementasi kerjasama, antara lain investor tidak mendapat profit seperti yang
diharapkan, yang disebabkan tidak stabilnya kondisi perekonomian di Indonesia. Seperti
halnya yang terjadi di Pusat Perbelanjaan Tunjungan Center Surabaya, dimana terjadi
pemutusan kontrak oleh investor sebelumnya yang telah menjalani masa konsesi selama
20 tahun, dengan alasan tidak tercapainya tujuan investor (Dinas Perlengkapan Pemkot
Surabaya, 2005). Namun hal itu belum tercakup dalam klausul Perjanjian Kerjasama
(PKS), sehingga aturan tambahan jika hal-hal seperti tersebut diatas terjadi, belum ada
klausul yang mengatur dan memerlukan perjanjian tambahan.
Dari fenomena tersebut, maka perlu kiranya diidentifikasi faktor-faktor yang
menentukan keberhasilan pada pelaksanaan PPP. Penelitian sebelumnya (Li et all, 2005)
membahas identifikasi critical success factor pada PPP di UK, identifikasi critical
success factor pada proyek BOT (Tiong,1996), dan identifikasi critical success factor
pada pengembangan infrastruktur (Zhang,2005). Penelitian ini akan melakukan
identifikasi Critical Success Factor apa sajakah yang menentukan keberhasilan pada
pelaksanaan PPP yang berbentuk BOT/BTO pada setiap fasenya. Dari hasil identifikasi,
akan diperoleh informasi mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan pada pelaksanaan
kontrak PPP sehingga dapat menjadi pedoman bagi kontrak PPP selanjutnya.
1.2. Permasalahan
Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
b.
b.