Anda di halaman 1dari 3

Asas dan Dasar Pajak

Di dalam pajak, dikenal adanya beberapa asas yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir,
dan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata asas antara lain diberikan pengertian sebagai
sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.
Sudikno Mertokusumo dalam Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa asas hukum atau prinsip
hukum bukanlah merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam
dan di belakang dari setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifatsifat umum dalam peraturan hukum konkrit tersebut.[1]
a.
Asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara (Rechtfilosofis)
Asas ini mencari dasar pembenar terhadap pengenaan pajak oleh Negara. Terdapat beberapa
teori mengenai asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara, yakni:
1)
Teori Asuransi
Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap
orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini
menyamakan pajak dengan premi asuransi, di mana pembayar pajak (wajib pajak) disamakan
dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung, sementara itu, Negara
dipersamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi.[2]
2)
Teori Kepentingan (equivalentie)
Teori ini mengatakan bahwa Negara mengenakan pajak terhadap rakyat, karena Negara telah
melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya
kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenar mengapa
Negara mengenakan pajak adalah karena Negara telah berjasa kepada rakyat selaku wajib
pajak, dimana pembayaran pajak itu besarnya equivalent (setara) dengan besarnya jasa yang
sudah dapat diberikan oleh Negara kepadanya.[3]
3)
Teori kewajiban pajak mutlak
Teori ini sering juga disebut Teori Bhakti. Teori ini didasarkan pada organ theory dari Otto von
Gierke, yang menyatakan bahwa Negara itu merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap
warga Negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga individu tidak mungkin dapat hidup.[4]
4)
Teori daya beli
Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota
masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat.[5]
5)
Teori pembenaran pajak menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak
lain daripada pengorbanan setiap anggota keluarga (anggota masyarakat) untuk kepentingan
keluarga (bersama) tanpa mendapatkan imbalan.[6]
b.
Asas pembagian beban pajak
Asas ini mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana agar beban pajak itu dikenakan kepada
rakyat secara adil, di dalam asas ini terdapat:
1)
Teori daya pikul
Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing.
Daya pikul menurut
W.J de Langen yang dikutip oleh Rochmat Soemitro dalam Sri
Pudyatmoko mengatakan bahwa kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang
tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak
untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarga.[7]
2)
Prinsip benefit (benefit principle)
Menurut asas ini pengenaan pajak seimbang dengan benefit yang diperoleh wajib pajak dari
jasa-jasa publik yang di berikan oleh pemerintah. Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan
prinsip benefit ini untuk mengukur aspek keadilan dalam perpajakan.[8]
3)
Asas Pengenaan Pajak
Asas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa/pemerintah Negara mana
yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tertentu.
Dalam hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu Negara, berhadapan dengan
Negara lain. Mengenai hal ini dapat diterapkan:

a)
Asas Negara tempat tinggal (domisili)
Asas ini sering juga disebut asas domisili, yakni Negara di mana seseorang bertempat tinggal
tanpa memandang kewarganegaraannya mempunyai hak yang tak terbatas untuk mengenakan
pajak terhadap orang-orang itu dari semua pendapatan yang diperoleh orang itu dengan tidak
menghiraukan dimana pendapatan itu diperoleh.[9]
b)
Asas Negara sumber
Asas Negara sumber yang mendasarkan penarikan pajak pada tempat di mana sumber itu
berada. Negara dimana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas
hasil yang keluar dari sumber itu.[10]
c)
Asas kebangsaan
Asas yang mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status wajib pajak yang dikenakan
pajak adalah semua orang yang mempunyai kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa
memandang tempat tinggalnya.[11]
Dalam kaitannya dengan asas pengenaaan pajak, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang
Pajak Bumi dan Bangunan sendiri menentukan bahwa yang menjadi subjek pajak/wajib pajak
adalah orang atau badan yang secara nyata memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki,
menguasai dan/atau memperoleh manfaat dari bangunan. Dari isi ketentuan tersebut maka
subjek pajak pada PBB tidak terbatas pada orang yang berkebangsaan Indonesia, atau
berdomisili di Indonesia saja melainkan lebih dari itu orang yang memperoleh manfaat dari objek
pajak dari Indonesia pun juga dapat dikenai pajak. Pajak Bumi dan Bangunan nampaknya
cenderung menggunakan asas sumber, karena yang berwenang mengenakan pajak adalah
pemerintah dari Negara di mana sumber itu berada yang berupa kekayaan (bumi dan/atau
bangunan) itu berada.
4)
Asas Pelaksanaan Pemungutan Pajak
Dalam asas ini,terkait di dalamnya beberapa asas yakni:
a)
Asas Yuridis
Menurut asas ini hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas baik untuk Negara maupun warganya. Pajak di Negara hukum
segala sesuatunya harus ditetapkan dalam undang-undang. Hukum pajak harus dapat
memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihakpihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak yakni pihak fiscus dan wajib pajak.[12]
b)
Asas Ekonomis
Pajak selain memiliki fungsi anggaran akan tetapi juga memiliki fungsi mengatur. Oleh karena
fungsi yang demikian maka pemungutan pajaknnya:
1.
Harus diusahakan jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan;
2.
Harus diusahakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya mencapai
kebahagiaan;
3.
Harus diusahakan jangan sampai merugikan kepentingan umum.[13]
c)
Asas finansial
Asas ini berkaitan dengan fungsi anggaran, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya
ke dalam kas Negara. Sehubungan dengan hal itu pemungutan pajak agar hasil yang diperoleh
besar maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.[14]
Asas-asas pemungutan pajak, Adam Smith dalam bukunya
An Inquiry IntoThe Nature
and Cause of The Wealth of Nations dalam Erly Suandy mengajarkan tentang asas-asas
pemungutan pajak yang dikenal dengan nama Four Canons atau Four Maxims yaitu sebagai
berikut:
a.
Equality Equity yaitu pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang
dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah
perlindungan pemerintah. Dalam hal Equality tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan
diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus
diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda.
Asas Equity lebih menunjuk pada rasa keadilannya bahwa pengenaan pajak tersebut harus adil
dan merata.
b.
Certainty yaitu pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai

subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya.
c.
Convenience of Payment, yaitu pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi
wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang
dikenakan pajak.
Economic of Collections, yaitu pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri karena
tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan
pajak yang akan diperoleh.[15]
[1] Ibid,.hal 16.
[2] Ibid,.hal 23.
[3] Ibid,.hal 23.
[4] Ibid,.hal 24.
[5] Ibid,.hal 25.
[6] Ibid,.hal 26.
[7] Ibid,.hal 26.
[8] Ibid,.hal 26.
[9] Ibid,.hal 27.
[10] Ibid,.hal 27.
[11] Ibid,.hal 27.
[12] Ibid,.hal 28.
[13] Ibid,.hal 28.
[14] Ibid,.hal 28.
[15] Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hal 27-28.

Anda mungkin juga menyukai