Anda di halaman 1dari 8

GENG PREMAN VAN JAKARTA (dari

majalah TEMPO)
Posted on November 16, 2010 | 1 Comment

TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah
melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. “Saya lari ke atas,” kata Logo Vallenberg,
pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman atau geng reman lawannya,
di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. “Anak buah saya berkumpul di lantai tiga.”

Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden
Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat
warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti
Bandung, Semarang, Parung, Ciputat, dan Pamulang.

Wafat pada akhir 2008, Baharudin meninggalkan banyak warisan buat keluarganya, antara lain
aset delapan koperasi berbadan hukum, yang cabangnya tersebar di sejumlah kota. Pengadilan
Agama Jakarta Timur pun menetapkan istri dan empat anak Baharudin sebagai ahli waris. Konflik
keluarga berawal ketika Masthahari, adik Baharudin, menuntut hak waris.Masthahari menyewa
jasa pengamanan dari Umar Kei, 33 tahun, pemuda dari Kei, Maluku. Tak mau kalah, Burhanuddin
meminta pengawalan Alfredo Monteiro dan Logo Vallenberg dari kelompok Timor. Di lapangan,
merekalah yang berhadapan.

Serangan itu datang pagi-pagi. Lima orang datang ke kantor Koperasi Bosar Jaya. “Kami dari
Koperasi Mekar Jaya ingin mengambil alih kantor,” kata Jamal, seorang penyerang. Tak lama
kemudian datang Umar Kei, yang meminta Logo dan kelompoknya meninggalkan kantor. Ditolak,
Umar memanggil anak buahnya yang datang dengan enam mobil. Menurut Logo, mereka
bersenjata golok dan pedang samurai. Umar memerintahkan anak buahnya menyerang.

Para penyerang menyabet Logo. “Anak buah saya tak bersenjata,” kata Logo. Bentrokan tak
berlanjut karena petugas kompleks pertokoan itu telah datang. Belakangan Logo tahu, Umar
bekerja dengan bendera Lembaga Bantuan Hukum Laskar Merah Putih. “Mereka
mengatasnamakan koperasi simpan-pinjam Mekar Jaya,” katanya.

Kepada Tempo, Umar mengatakan, dia datang untuk mengajak berunding. Ia meminta Logo dan
teman-temannya meninggalkan kantor karena sengketa keluarga itu ditangani pengadilan.
Sebelum menghadapi Logo, Umar mengatakan bahwa gengnya sudah lebih dulu berhadapan
dengan anggota Brimob, kelompok Banten, Forum Betawi Rempug, dan kelompok Ongen Sangaji
yang disewa Burhanuddin Harahap. “Mereka mundur menghadapi kelompok saya,” katanya.

Sengketa waris pun menjadi pertikaian berdarah.

lll
KELOMPOK Umar Kei dan kelompok Alfredo-Logo terhubung dalam usaha jasa pengamanan.
Di ceruk “bisnis kekerasan” ini, ada pemain lain semacam Kembang Latar pimpinan Bahyudin,
Petir di bawah komando Alo Maumere, Forum Betawi Rempug yang dipimpin Lutfi Hakim, Badan
Pembina Potensi Keluarga Besar Banten pimpinan Dudung Sugriwa, dan Pemuda Pancasila.

“Subsektor” bisnis ini merentang dari penagihan utang, jasa penjagaan lahan sengketa,
pengelolaan jasa parkir, sampai pengamanan tempat hiburan dan perkantoran di Ibu Kota. Usaha
pengamanan kantor antara lain dipilih Abraham Lunggana alias Lulung, 50 tahun. Mendirikan
perusahaan PT Putraja Perkasa pada awal 2000, ia masuk jasa pengelolaan parkir dan pengamanan.
Putraja memiliki anak perusahaan, PT Sacom. Abraham mengklaim mempekerjakan sekitar 4.000
orang. “Dulu sempat lebih besar dari itu,” kata dia.

Anak buah Lulung menangani pengamanan Blok F, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempat
para pedagang kelontong. Ia mengambil alih “kekuasaan” yang sebelumnya dipegang oleh seorang
jawara bernama Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, 62 tahun. Ucu dulu
menyingkirkan penguasa sebelumnya, Rosario Marshal alias Hercules, seorang pemuda asal
Timor Timur. Perusahaan Lulung juga mengelola perparkiran di sejumlah kantor, termasuk Rumah
Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan (lihat “Pemburu Utang, Penjaga Parkir”).

Persaingan antarkelompok sering sangat keras dan bisa diakhiri dengan pertumpahan darah. Akhir
September lalu, dua kelompok berhadapan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jalan
Ampera. Mereka menghadiri sidang bentrok berdarah, yang melibatkan sejumlah pemuda Kei
dengan penjaga keamanan Blowfish Kitchen and Bar, Gedung Menara Mulia, Jakarta Selatan.
(lihat “Dari Blowfish ke Ampera”).

Menurut Agrafinus Rumatora, 42 tahun, dari kelompok Kei, penjaga keamanan Blowfish dipegang
kelompok Flores Ende pimpinan Thalib Makarim. Perkelahian pada April lalu itu menewaskan
dua pemuda Kei, yakni Yoppie Ingrat Tubun dan M. Soleh. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menghadirkan terdakwa pelaku pembunuhan dua orang itu. Ternyata sidang ini menyulut
pertikaian lebih besar. Tiga orang dari kelompok Kei tewas, puluhan lainnya luka-luka. Seorang
sopir bus pengangkut kelompok ini menjadi korban.

Daud Kei, Wakil Ketua Angkatan Muda Kei (AMKei), menganggap pertikaian dua kelompok itu
lebih besar. Daud, 38 tahun, tangan kanan John Kei, ketua organisasi itu, mengatakan, “Ini bukan
antara Kei dan Flores, tapi antara Maluku dan Flores Ende. Jangan salah tulis,” katanya.

Setelah bentrokan di Ampera, Alfredo Monteiro dan Logo diperiksa polisi. Alfredo mengatakan
bahwa polisi menduga ia dan Logo berkaitan dengan Thalib Makarim. Logo memang pernah
bekerja untuk Thalib. “Cuma dua bulan,” katanya. Polisi lalu menangkap enam tersangka,
semuanya dari kelompok Flores Ende. “Bagaimana mungkin tidak ada tersangka satu pun dari
mereka (kelompok Kei)?” kata Zakaria “Sabon” Kleden, 66 tahun, tokoh yang sangat dihormati di
kalangan kelompok etnis.

lll
PERALIHAN penguasa bisnis jagoan di Ibu Kota bukanlah suksesi yang mulus. Pada 1990-an,
area ini dikuasai Hercules. Ia semula pemuda Timor yang direkrut Komando Pasukan Khusus,
atau Kopassus, pada saat proses integrasi wilayah itu ke Indonesia. Terluka dalam kecelakaan
helikopter, ia dibawa Gatot Purwanto, perwira pasukan yang dipecat dengan pangkat kolonel
setelah insiden Santa Cruz, ke Jakarta.

Hercules menetap di Jakarta, dan segera merajai dunia para jagoan. Ia menguasai Tanah Abang.
Namanya pun selalu dekat dengan kekerasan. Kekuasaan tak abadi. Pada 1996, ia tak mampu
mempertahankan kekuasaannya di pasar terbesar se-Asia Tenggara itu. Kelompoknya dikalahkan
dalam pertikaian dengan kelompok Betawi pimpinan Bang Ucu Kambing, kini 64 tahun.

Sejak itu ia tak lagi berkuasa. Tapi namanya telanjur menjadi ikon. Seorang perwira polisi
mengatakan, setiap pergantian kepala kepolisian, Hercules selalu dijadikan “sasaran utama
pemberantasan preman”.

Pada masa kejayaan Hercules, ada Yorrys Raweyai. Pada awal 1980-an, ia bekerja menjadi
penagih utang. Kekuatan pemuda asal Papua ini ditopang Pemuda Pancasila, organisasi yang
mayoritas anggotanya anak-anak tentara. Dia menjadi ketua umum organisasi itu pada 2000 dan
melompatkan kariernya di politik. Dia kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai
Golkar.

Pemuda Pancasila juga menjual jasa pengamanan lahan, penagihan, dan penjaga keamanan.
Ordernya diterima dari perusahaan resmi yang memiliki jaringan dengan Pemuda Pancasila.
“Habis, mau kerja apa, mereka tidak punya ijazah,” Yorrys menunjuk anggota kelompoknya. Soal
cap preman, dia berkomentar enteng, “Saya anggap koreksi saja.”

Pada generasi yang sama, Lulung, bekas preman Tanah Abang, kini menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Partai Persatuan Pembangunan. Usahanya dimulai dari
pengumpul sampah kardus bekas hingga barang bekas. “Karier”-nya mencorong ketika kemudian
bermain dalam usaha pengamanan Tanah Abang.

Untuk melestarikan kekuatan, Lulung memilih jalur resmi. Ia mendirikan PT Putraja Perkasa, lalu
PT Tujuh Fajar Gemilang, dan PT Satu Komando Nusantara. Perusahaan ini disesuaikan dengan
“kompetensi inti” Lulung: jasa keamanan, perparkiran, penagihan utang. “Kami masuk lewat
tender resmi,” ujarnya.

Pada 1996, ketika Hercules berhadapan dengan Bang Ucu, Lulung memilih “berkolaborasi”
dengan kelompok Timor. Alhasil, ia dikejar-kejar teman-temannya di Betawi. Bang Ucu
menyelamatkannya. Itu sebabnya, kini Lulung rajin menyetor dana ke Ucu.

Dari Nusa Tenggara Timur ada nama Zakaria “Sabon” Kleden. Mendarat di Betawi pada 1961,
Zaka-begitu dia disapa-mengatakan menjadi preman pertama asal daerahnya. “Dulu istilahnya
geng. Ada geng Berland, Santana, dan Legos,” tuturnya kepada Tempo.

Riwayat Zaka tak kalah berdarah. Ia mengaku sempat memutilasi korbannya. Ia juga mengatakan
telah menembak mati beberapa orang. “Saya membela harga diri saya,” ujarnya. Tapi ia
mengatakan tak pernah dinyatakan bersalah. “Saya sering ditahan, tapi tidak pernah dihukum
penjara,” kata pria yang sangat dihormati kelompok preman terutama dari daerah Nusa Tenggara
Timur itu. Tiga tahun lalu, Zaka menjalankan bisnis sekuriti, PT Sagas Putra Bangsa.

Dari eranya, Zaka menyebutkan nama ketua geng seperti Chris Berland, Ongky Pieter, Patrick
Mustamu dari Ambon, Matt Sanger dari Manado, Jonni Sembiring dari Sumatera, Pak Ukar dan
Rozali dari Banten, Effendi Talo dari Makassar. “Komunikasi di antara kami baik, maka jarang
bentrok berdarah,” tuturnya.

Pada awal 2000, muncul Basri Sangaji. Tapi dia terbunuh dalam penyerangan berdarah di Hotel
Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. “Bisnis”-nya diteruskan anggota keluarga Sangaji: Jamal dan
Ongen. Ongen kini mantap dengan karier politiknya, menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah
Partai Hanura Jakarta. “Target saya ketua Dewan Pimpinan Pusat,” ujarnya.

Menjelang 1980-an kelompok-kelompok preman etnis juga membentuk organisasi massa. Dimulai
dari Prems-kependekan dari Preman Sadar-pimpinan Edo Mempor. Tetap saja, bisnis mereka
penagihan, perpakiran, dan jaga tanah sengketa. “Ini awal mulanya preman berbalut ormas,” kata
seorang mantan serdadu yang kini jadi preman.

Kelompok itu berdiri hingga kini. Ada Angkatan Muda Kei, Kembang Latar, Petir, Forum Betawi
Rempug, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Badan Pembina Potensi Keluarga Besar
Banten, juga Angkatan Muda Kei.

lll

SETELAH bentrok berdarah di Ampera, nama Thalib Makarim muncul ke permukaan. Para
pesaingnya menyebut dia menyediakan pengamanan klub hiburan malam, seperti Blowfish,
DragonFly, X2, dan Vertigo. Thalib resminya seorang pengacara. Dia pernah mendampingi artis
kakak-adik Zaskia Adya Mecca dan Tasya Nur Medina, yang diculik oleh Novan Andre Paul
Neloe. Ia juga menjadi anggota tim pengacara pengusaha Tomy Winata, ketika menggugat majalah
Tempo pada 2005.

Thalib tercatat bekerja untuk kantor pengacara Victor B. Laiskodat & Associates di Melawai,
Jakarta Selatan. Tapi, ketika Tempo mendatangi kantor ini, ia tak lagi bekerja di sana. “Lima tahun
lalu sudah keluar,” kata Mie Gebu, staf kantor ini. Beberapa orang yang berjanji bisa
menghubungkan dia dengan Tempo juga gagal menemukannya. Ia juga tak pernah memenuhi
panggilan polisi, yang menangani kasus Ampera.

Sumber Tempo di kalangan preman menyebutkan, Thalib merupakan pengganti Basri Sangaji. Ia
menguasai tempat-tempat hiburan elite di Jakarta Selatan. “Termasuk lingkungan pasar Blok M-
Melawai,” katanya.

Adapun kelompok John Kei, menurut salah satu pentolannya, Agrafinus, berfokus pada jasa
penagihan dan pengacara. Kelompok ini tidak masuk ke bisnis pengamanan tempat hiburan,
perparkiran, ataupun pembebasan tanah. “Level kami bukan kelas recehan seperti itu,” katanya.
Sebab itulah, Daud Kei membantah tuduhan pertikaian di Blowfish dan Ampera dilatari perebutan
lahan bisnis. “Kami etnis Maluku tidak ada bisnis penjagaan tempat hiburan,” dia menegaskan.

Namun, menurut seorang preman senior, pertikaian antarkelompok separah itu umumnya karena
berebut suplai atau meminta jatah. Sebab, perputaran uang di tempat-tempat dugem (dunia
gemerlap) itu luar biasa besar. “Bayangin aja, dari suplai tisu, snack, minuman, sampai narkoba
ada,” tuturnya.

Berbeda dengan John Kei, Umar Kei meluaskan bisnisnya ke pembebasan tanah, termasuk
penjagaannya. Di lahan ini juga bermain Forum Betawi Rempug dan Badan Pembina Potensi
Keluarga Besar Banten. Adapun perparkiran umumnya dipegang ormas lokal Betawi atau Banten,
contohnya Haji Lulung.

Dari semua bisnis yang dilakoni kelompok etnis itu, sumber Tempo menuturkan, penghasilan
terbesar ada di proyek pembebasan tanah. “Nilainya setara dengan uang jajan setahun,” katanya.
Mereka biasa menyebut penghasilan ini sebagai “jatah preman”, yang dipelesetkan menjadi “jatah
reman”. Di tingkat kedua, penjagaan tempat hiburan malam. Kali ini jatahnya dipakai untuk “uang
jajan sebulan”. Sedangkan bisnis perpakiran menghasilkan jatah reman berupa “uang jajan harian”.

Tak mengherankan bila dunia para jagoan ini sering diwarnai pertikaian, bahkan sampai berdarah-
darah.

Sejarah Preman Jakarta

29 September 2010
Bentrokan antara kelompok Maluku (Kei) dan Flores (Thalib Makarim) ketika sidang kasus
Blowfish di Jalan Ampera, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Korban tewas dari
kelompok Maluku: Frederik Philo Let Let, 29 tahun, Agustinus Tomas (49), dan seorang sopir
Kopaja Syaifudin (48).

31 Juli 2010
Bentrokan Forum Betawi Rempug (FBR) dengan Pemuda Pancasila, Forum Komunikasi Anak
Betawi (Forkabi), dan Komunikasi Masyarakat Membangun Lapisan Terbawah (Kembang Latar)
di Rempoa, Ciputat.

30 Mei 2010
Bentrokan antara massa Forkabi dan warga Madura di Duri Kosambi, Cengkareng. Ketua Forkabi
Cipondoh Endid Mawardi tewas dibacok.

12 April 2010
Koordinator keamanan Koperasi Bosar Jaya, Logo Vallenberg, dikeroyok kelompok Umar Kei.
Penyebabnya sengketa warisan antarkeluarga pemilik koperasi.

4 April 2010
Bentrokan di Klub Blowfish, Wisma Mulia, Jakarta, menewaskan dua orang dari kelompok Kei,
M. Sholeh dan Yoppie Ingrat Tubun. Klub Blowfish dijaga kelompok Flores Ende pimpinan Tha-
lib Makarim.

14 Desember 2009
Mantan karyawan PT Maritim Timur Jaya, Susandi alias Aan, dipukul dan ditendang di bagian
kepala dan dada oleh Viktor Laiskodat, pemimpin Artha Graha Group.

11 Agustus 2008
John Kei, pemuda Ambon, ditangkap Densus Antiteror 88 Kepolisian Daerah Maluku di Desa
Ohoijang, Kota Tual. Dia diduga kuat terlibat penganiayaan terhadap dua warga Tual, Charles
Refra dan Remi Refra, yang menyebabkan jari kedua pemuda itu putus.

1 Juni 2008
Bentrokan Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan. Markas Besar Kepolisian RI menetapkan lima anggota FPI sebagai tersangka dalam
pengeroyok-an dan pemukulan terhadap anggota Aliansi.

27 April 2006
Ratusan anggota FBR mendatangi rumah artis Inul Daratista, menuntut Inul meminta maaf atas
tindakannya menggelar demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan
Pornoaksi di Hotel Indonesia.

3 Februari 2006
Massa FPI mengamuk di depan kantor Kedutaan Besar Denmark, Menara Rajawali, terkait dengan
pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW di koran Denmark, Jyllands-Posten.

19 Desember 2005
Hercules bersama 17 anak buahnya menyerang kantor Indopos, Jakarta Barat, karena keberatan
atas artikel berjudul �Reformasi Preman Tanah Abang, Hercules Kini Jadi Santun”. Dia divonis
hukuman penjara 2 bulan.

18 Juni 2005
Kelompok Maluku mengamuk dan merusak kantor pemasaran Perumahan Taman Permata Buana,
Jakarta Barat. Mereka mengaku mewakili Aminah binti Ilyas, pemilik tanah yang sedang
bersengketa dengan pengembang.

8 Juni 2005
Keributan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei saat sidang kasus pemukulan di Diskotek
Stadium, Jakarta Barat. Kakak kandung John Kei, Walterus Refra Kei alias Semmy Kei, terbunuh
di lahan parkir Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tindakan ini merupakan balas dendam atas
pembunuhan Basri Sangaji dan bentrokan di Diskotek Stadium.

29 Mei 2005
Persatuan Pendekar Banten bentrok dengan Forkabi. Jahuri, 44 tahun, warga Cilampang, Banten,
tewas, ditemukan di Gedung Serbaguna Perumahan Permata Buana. Bentrokan dipicu sengketa
tanah.
1 Maret 2005
Ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, dan celurit berhadapan di Jalan Ampera, Jakarta
Selatan, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketika sidang pembunuhan Basri Sangaji.

16 Februari 2005
Bentrokan antara petugas Tramtib DKI dan kelompok Hercules yang menjaga lahan kosong di
Jalan H.R. Rasuna Said Blok 10-I Kaveling 5-7, Jakarta Selatan. Adik Hercules, Albert Nego
Kaseh alias John Albert, mati tertembak senjata Kasi Operasi Satpol Pamong Praja DKI Jakarta,
Chrisman Siregar.

12 Oktober 2004
Basri Sangaji tewas diserang sepuluh preman dari kelompok John Kei di kamar 301 Hotel
Kebayoran Inn, Jakarta Selatan.

2 Maret 2004
Bentrokan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei di Diskotek Stadium di kawasan Taman
Sari, Jakarta Barat. Saat itu kelompok Basri menjaga diskotek dan diserang puluhan orang Kei.
Dua penjaga keamanan dari kelompok Basri tewas.

7 Mei 2003
Bentrokan kubu Hercules dan Basri Sangaji di Kemang, Jakarta Selatan. Pertikaian menyebabkan
Samsi Tuasah tewas akibat luka tembak di paha dan dada.

8 Maret 2003
David A. Miauw dan rekan, anak buah Tomy Winata, menye-rang dan melakukan pemukulan
terhadap tiga wartawan majalah Tempo. Tomy berkeberatan atas artikel Tempo edisi Senin, 3
Maret 2003, berjudul “Ada Tomy di Tenabang?” Kasus ini dibawa ke pengadilan.

28 Maret 2002
Tujuh anggota FBR menganiaya anggota Urban Poor Consortium pimpinan Wardah Hafidz di
kantor Komnas HAM, Menteng.

12 Desember 1998 dan 15 Januari 1999


Kerusuhan antara kelompok Ambon muslim dan Kristen dipicu peristiwa Ketapang. Kerusuhan
Ambon ditengarai akibat provokasi beberapa kelompok preman.

22-23 November 1998


Kerusuhan antara Ambon muslim dan Kristen di daerah Ketapang, Jakarta Pusat. Baku hantam
dipicu terbunuhnya empat pemuda muslim pada kerusuhan Semanggi, menjelang Sidang Istimewa
MPR.

29 Mei 1997
Dedy Hamdun, preman asal Ambon beragama Islam, diculik lalu hilang hingga kini. Suami artis
Eva Arnaz ini bekerja membebaskan tanah bagi bisnis properti Ibnu Hartomo, adik ipar bekas
presiden Soeharto. Sebelum hilang, Dedy aktif mendukung Partai Persatuan Pembangunan.
1996
Perang antara kelompok Betawi dan Timor pimpinan Hercules. Kelompok Timor hengkang dari
Tanah Abang.

Laskar Jalanan

29 Juli 2001
FBR didirikan oleh KH Fadloli el-Muhir (almarhum) dengan jumlah pengikut saat pendirian 400
ribu orang.

18 April 2001
Forkabi dideklarasikan di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat.

10 Oktober 2000
Kelompok Laskar Merah Putih pimpinan Eddy Hartawan (almarhum). Kelompok pemuda ini
pernah menjadi tenaga pengawal mendampingi Manohara Odelia Pinot.

Mei 2000
Angkatan Muda Kei (AmKei) didirikan oleh keluarga Kei dengan ketua John Refra atau John Kei.
Organisasi terbentuk pascakerusuhan Tual, Maluku, pada Maret 1999. Kelompok ini mengklaim
memiliki 12 ribu pengikut.

17 Agustus 1998
FPI didirikan oleh Muhammad Rizieq bin Husein Syihab di Jalan Petamburan III Nomor 83,
Jakarta Pusat. Beberapa jenderal TNI dan Polri mendukung pendirian FPI, di antaranya mantan
Kepala Polda Metro Jaya Komisaris Jenderal Nugroho Jayusman.

1998
Warga Betawi Tanah Abang mendirikan Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang dan memilih jawara
Tanah Abang, Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, sebagai ketua umum hingga
sekarang.

Masa Orde Baru:


Tumbuh organisasi pemuda, seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Forum Komunikasi
Putra-Putri Purnawirawan Indonesia, Yayasan Bina Kemanusiaan, dan belakangan organisasi
Kembang Latar. Selain berbendera organisasi kepemudaan, ada kelompok informal yang sangat
populer, seperti Siliwangi, Berland, Santana, dan Legos. Kelompok ini menjalankan usaha
keamanan tempat hiburan serta sengketa lahan dan tempat parkir wilayah Jakarta Selatan.

Petrus
Pemerintah Orde Baru menekan kelompok preman dengan operasi rahasia “penembakan
misterius” atau petrus. Investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
mencatat korban tewas petrus pada 1983 sekitar 532 orang, dan sepanjang 1984 dan 1985 sebanyak
181 orang.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/15/INT/mbm.20101115.INT135105.id.html

Anda mungkin juga menyukai