Anda di halaman 1dari 11

Kasus Mata Diklat Etika Publik

Penulis Kasus: Amir Imbaruddin


Judul Kasus: Baharuddin Lopa: A Political Murders?

Baharuddin Lopa: A Political Murder?

Kontroversi kematian Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia, dalam
perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam (Belanda) menggunakan pesawat
Garuda Indonesia pada tanggal 7 September 2004akhirnya terjawab. Pada tahun
2005 hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Munir yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004menyatakan bahwa Munir tewas
akibat pembunuhan oleh permufakatan jahat.Dugaannya, ada operasi intelijen
yang melibatkan aparatur negara dan beberapa kalangan di Badan Intelijen
Negara (BIN).

Kasus ini kemudian menyeret Pollycarpus ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Mantan pilot senior maskapai pemerintah pemerintah, Garuda
Indonesia, ini kemudian divonis bersalah dengan hukuman 14 tahun penjara. Di
tingkat banding, Hakim menguatkan putusan pengadilan pertama tersebut.

Selain kontroversi keterlibatan aparatur negara dalam kasus tersebut, kematian


Munir juga mengingatkan berbagai kalangan akan kematian Baharuddin Lopa di
Riyadh (Saudi Arabia) pada 3 Juli 2001, seminggu setelah tiba dari Jakarta
dengan menggunakan masakapai penerbangan yang sama dengan Munir.
Bahkan pengacara senior, Todung Mulya Lubis, menengarai kematian Munir
memiliki pola yang sama dengan meninggalnya Jaksa Agung Baharuddin Lopa di
Arab Saudi. Meskipun Todung tidak mengatakankematian Lopa sebagai political
assassination, tapi Todung mengisyaratkan bahwa political murder bisa saja
terjadi pada siapa saja yang vokal terhadap pemerintah.

Pertanyaannya kemudian apakah memang Lopa adalah lawan pemerintah


sehingga beralasan untuk menjadi korban pembunuhan politik? Bukankah Lopa,
sampai pada saat meninggal dunia, berkarir sebagai pegawai pemerintah, mulai
dari jaksa, bupati, dirjen, duta besar, menteri, sampai Jaksa Agung?Mungkin
memang benar bahwa Lopa adalah pegawai pemerintah. Tetapi Lopa bukan
seperti pegawai pemerintah kebanyakan. Sepanjang karirnya sebagai penegak
hukum termasuk sebagai Jaksa Agung, Lopa tidak pernah pandang bulu untuk
menyeret pelanggar hukum. Kalimat yang sering diucapkan Lopa, yang
menunjukkan tekadnya dalam menegakkan hukum adalah “biar bumi runtuh,
hukum tetap harus ditegakkan”. Saat meninggal dunia, sebagai Jaksa Agung, Lopa
sebenarnya sedang giat-giatnya mengusut berbagai kasus korupsi, yang
dianggap bernuansa politis karena melibatkan pejabat tinggi dan konglomerat
yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto. Lopa, misalnya, diketahui
sedang memburu konglomerat Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang
dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta.
Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan, salah seorang
konglomerat papan atas. Ketiga konglomerat “hitam” tersebut, sayangnya,
mendapatkan penagguhan proses pemeriksaan langsung dari Presiden Abdul
Rahman Wahid (Gusdur) yang juga menimbulkan spekulasi tidak sejalannya
antara keinginan Lopa dalam menegakkan hukum dengan kepentingan presiden
pada saat itu. Kasus lain yang sedang diusut Lopa sebagai Jaksa Agung dan
kadangkala menjadi bahan spekulasi menjadi alasan kemungkin Lopa menjadi
korban political murder adalah perkara korupsi dana nonbujeter Bulog yang
melibatkan, Akbat Tanjung, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saatitu, dan
Arifin Panigoro dan Nurdin Halid, keduanya adalah anggota DPR dan petinggi
partai.

Anak Dusun Pemberani

Tetapi siapakah sebenanya Baharuddin Lopa? Pendekar hukum yang biasa


dipanggil Barlop itu lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11
meter, di Pambusuang, 27 Agustus 1935.Rumah itu sampai sekarang masih
kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri Kehakiman
dan HAM dan Jaksa Agung.

Pambusuang adalah desa di kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar,


Sulawesi Barat, Indonesia. Desa ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi
perahusandeq.Perahu tradisional sandeq terkenal hingga ke manca negara
karena walaupun hanya menggunakan tenaga angin saja dantidak menggunakan
mesin,perahu sandeq tercatat bisa mengarungi benua. Selain sebagai sentra
produksi perahu sandeq, Desa Pambusuang juga terkenal sebagai tempat
kelahiran seorang ulama besar yang kharismatik bernama KH. Muhammad
Thahir. Ulama yang lebih populer sebagai Imam Lapeo, dan sering disejajarkan
dengan Wali Songo, ini dikenal sebagai ulama yang menyebar Islam di
tanahJazirah Mandar, Sulawesi Barat dengan kisah-kisah unik selama
hidupnya.Dalam buku yang memuat tentang perjalanan hidup Imam Lapeo yang
ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri Syarifuddin Muhsin, ada 74 karamah
(kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo 1 . Sebagian di antaranya,
menyelamatkan orang tenggelam, melerai perkelahian di Parabaya,
menghentikan penyiksaan KNIL, jadi perlindungan Arajang Balanipa, berbicara
dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu,
menghardik jenazah, mengatasi pendoti-doti (guna-guna), sholat jum'at pada
tiga tempat pada waktu bersamaan, dan menebang kayu dengan tangisan bayi.

Nama belakang dari pria perokok berat ini diambil dari nama Ayahandanya, Haji
Lopa, sedangkan Ibundanya bernama Hj. Samarinna. Barlop menyelesaikan
pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama di kampung halamannya.
Karena keterbatasan sarana pendidikan tingkat menengah atas di Polewali pada
masa itu, setamat SMP Barlop merantau ke Makassar (kurang lebih 250
kilometer) untuk melanjutkan pendidikanSMA dan kuliah hukum di Universitas
Hasanuddin.

Jika belum lama ini Museum Rekor Indonesia (MURI) mememberikan


penghargaan kepada Bupati Bangkalan, Makmun Fuad, sebagai bupati termuda
di Indonesia (26 tahun 4 bulan), Baharuddin Lopa bahkan sudah menjadi Bupati
Majene, Provinsi Sulawesi Selatan pada usia 25 tahun. Walaupun pada tahun
1960-an tersebut kekuasaan Orde Baru dan tentara sangat kuat, Bupati muda,
Baharuddin Lopa tetap gigih dan tidak gentar sedikitpun menentang Andi Selle,
Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan.

1Drs. H. Syarifuddin Muhsin, 2010, “Perjalanan Hidup K. H. Muhammad Thahir “Imam Lapeo” dan
Pembangunan Mesjid Nuruttaubah Lapeo”, Penerbit: Mesjid Nuruttaubah Lapeo.
Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh,
Kalimantan Barat, dan mengepalai Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Sejak
1982, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan TinggiSulawesi Selatan. Pada tahun yang
sama, ayah tujuh anak itu meraih gelar doktor hukum laut dari
UniversitasDiponegoro, Semarang, dengan disertasi Hukum Laut, Pelayaran dan
Perniagaan yang Digali dari Bumi Indonesia.

Begitu diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa membuat pengumuman di


surat kabar: ia meminta masyarakat atau siapa pun, tidak memberi sogokan
kepada anak buahnya. Segera pula ia menggebrak korupsi di bidang reboisasi,
yang nilainya Rp 7 milyar.

Keberhasilannya itu membuat pola yang diterapkannya dijadikan model operasi


para jaksa di seluruh Indonesia.Dengan keberaniannya, Lopa kemudian
menyeret seorang pengusaha besar di Makassar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien
ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar.
Padahal, sebelumnya, Tony dikenal sebagai orang yang ''kebal hukum'' karena
hubungannya yang erat dengan petinggi. Bagi Lopa tak seorang pun yang kebal
hukum.Lopa menjadi heran ketika Majelis Hakim yang diketuai J. Serang, Ketua
Pengadilan Negeri Ujungpandang, membebaskan Tony dari segala tuntutan.
Tetapi diam-diam guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu
mengusut latar belakang vonis bebas Tony. Hasilnya, ia menemukan petunjuk
bahwa vonis itu lahir berkat dana yang mengalir ke Majelis Hakim dari sebuah
perusahaan Tony. Sebelum persoalan itu tuntas, Januari 1986, Lopa dimutasi
menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman Bidang Perundang-undangan di Jakarta. J.
Serang juga dimutasi ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan.

Pejabat Sederhana dan Berintegritas

Baharuddin Lopa juga dikenal sebagai pejabat publik yang sederhana dan jujur.
Berbagai ceritra lepas yang dikisahkan oleh orang-orang yang pernah dekat
dengan Lopa bisa menggambarkan kesederhaan dan kejujuran pribadinya.
Seperti yang pernah diceritrakan oleh, Drs. Pariama Mbyo SH, ajudan
Baharuddin Lopa saat menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara tahun
1968-1970. Dalam kehidupan sehari-hari, Lopa sangat sederhana. Waktu itu ia
hanya memakai pakaian dinas dan kemeja batik yang itu-itu saja. Makanan
sehari-hari yang menjadi hobinya adalah nasi, ikan lure (teri) dan sayur daun
singkong.

Kalau istrinya ke pasar, tidak boleh menggunakan kendaraan dinas
dengan alasan ke pasar itu bukan untuk urusan dinas tapi untuk urusan
pribadi.


Dalam urusan dinas, menurut Pariama, Lopa adalah sosok jaksa yang sulit dicari
tandingannya. "Ia sangat jujur, konsisten dan tegas, terutama yang terkait
dengan penegakkan hukum," katanya.

Dalam menegakkan hukum, ia tak
mengenal saudara, teman, pangkat atau kekayaan seseorang. Sikap itu terlihat
saat mengusut kasus pengadaan fiktif kitab suci Alqur'an senilai Rp 2 juta yang
melibatkan Kepala Kanwil Agama Sulawesi Tenggara KH Badawi.

"Pak Lopa
dengan Pak KH Badawi saat itu berteman akrab. Hampir setiap malam Jumat
saya disuruh menjemput Pak KH Badawi untuk baca doa selamat di rumah Pak
Lopa," katanya.

Tetapi ketika KH Badawi diduga terlibat kasus pengadaan
fiktif kitab suci tersebut, Lopa tidak mau kompromi dan langsung
memprosesnya, meskipun KH Badawi berkali-kali memohon kepadanya agar
tidak memproses kasus tersebut.


Menurut Pariama, Kajati pertama di provinsi itu juga sangat alergi terhadap
hadiah dalam bentuk apapun. Baik yang diberikan oleh pejabat bawahannya
maupun pejabat pemerintah lain juga kalangan pengusaha.

Setiap diberi
hadiah, selalu ditolaknya dengan halus. "Ia selalu mengatakan kepada si-pemberi
hadiah bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah karena ia memiliki gaji. Yang
perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah," katanya.



Ketika masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan
kata gratifikasi belum menjadi wacana publik seperti saat ini, Lopa menggelar
jumpa pers dan antara lain mengumumkan agar seluruh aparat kejaksaan
Sulawesi Selatan tidak menerima hadiah dalam bentuk apa pun. Sepulang dari
kantor, Lopa melihat ada dua parsel di rumah. Dengan logat daerah yang kental
dan raut muka yang masam Lopa bertanya “Eh, siapa yang kirim parsel ke sini?”
Tak seorang pun penghuni rumah yang berani menjawab karena mereka tahu
Lopa geram. Lopa semakin terkejut ketika melihat salah satu parsel sudah
tersingkap sekitar 10 cm. “Aduh, siapa yang membuka parsel ini?”.

Seorang putrinya maju ke depan dan dengan jujur menyatakan dialah yang
membuka dan mengambil sebuah cokelat. ”Mohon maaf Ayah,” ujar anak
perempuan itu. Lopa menghela napas, ia tidak bisa marah kepada putrinya,
tetapi tidak urung ia memperingatkan untuk tidak melakukan hal itu lagi. Pria
Mandar ini kemudian menyuruh putranya membeli cokelat dengan ukuran dan
jenis yang sama. Cokelat itu dimasukkan ke bungkusan parsel dan segera
dikembalikan kepada pengirimnya.

Suatu hari Lopa bercakap-cakap dengan istrinya dan mengajak istrinya


menghitung tabungan mereka. ”Oh, uang itu sudah cukup untuk uang muka
mobil Toyota Kijang,” ujar Lopa.Maka datanglah ia ke distributor mobil di
Makassar. Ia langsung menemui direktur utama perusahaan itu. Lopa
menyampaikan keinginannya membeli mobil dengan uang muka sejumlah
tabungannya, sisanya dicicil. Sang dirut menawarkan diskon yang biasa ia
berikan kepada kawan-kawannya.Lopa terkejut ketika tahu besaran diskonnya.
Sebab bagi dia, diskon lebih dari tiga persen dari harga barang sudah melampaui
batas kepantasan. Saudagar tersebut menyatakan, ”Saya penjual, saya hendak
beri berapa persen diskonnya, kan, terserah saya, bukankah itu wilayah saya?”

Lopa tetap menolak dan menyatakan diskon hanya tiga persen. Akhirnya,
usahawan itu mengalah dan menerima keinginan Lopa. Belakangan, urusan ini
membuat ia kikuk karena setiap bulan Lopa datang sendiri menyetor cicilannya.
Dan penyetoran itu jauh sebelum tanggal jatuh tempo. Bukan apa-apa, Lopa
adalah temannya, ia kikuk harus menerima cicilan langsung dari teman dekat
selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ia menghormati Lopa yang memegang
teguh prinsip hukum yang ”serba hitam putih” itu.

Cerita tentang Lopa yang jujur menjadi semacam legenda di panggung hukum
nasional. Suatu hari, Lopa berniat untuk menunaikan ibadah haji. Seorang teman
sekolahnya sejak SD hingga perguruan tinggi yang sukses sebagai pengusaha,
memberinya uang US $ 10,000. Lopa terkejut dengan pemberian ini. Pada
kesempatan pertama ia datang ke rumah temannya, dan mengembalikan uang
itu. Lopa berkata, “Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula
usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima
uang ini. Kita bersahabat saja, ya“. Pengusaha yangg juga sahabatnya itu tidak
bisa berkata apa-apa kecuali mengusap air matanya karena terharu.

Kisah lain dituturkan oleh sahabat dan rekan kerjanya, almarhum Prof Dr.
Ahmad Ali, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Pada 1984,
Aisyah, salah seorang putri Baharuddin Lopa, menjadi panitia sebuah seminar di
kampusnya, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Karena kekurangan kursi,
Aisyah datang ke kantor ayahnya untuk meminjam kursi di aula Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan. Sebagai jawabannya, Lopa menarik salah satu kursi lipat
dan memperlihatkan tulisan di baliknya. “Ini, baca. Barang inventaris Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan, bukan inventaris Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Jelas toh, ini milik kejaksaan dan tidak bisa dipinjamkan,” kata
Lopa.

Pada suatu Minggu di tahun 1983, Baharuddin Lopa, Kepala Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan, diundang menjadi saksi pernikahan. Tuan rumah, Riri Amin
Daud, yang juga kerabatnya, dan pagar ayu telah menunggu kedatangan tamu
amat terhormat ini. Lama ditunggu, mobil dinas berpelat DD-3 tak kunjung
muncul. Tahu-tahu suara Lopa sudah terdengar dari dalam rumah. Rupanya, ia
bersama istrinya datang dengan pete-pete (angkutan kota). "Ini hari Minggu, ini
juga bukan acara dinas. Jadi, saya tak boleh datang dengan mobil kantor,"
demikian penjelasan Baharuddin Lopa. Bahkan telepon di rumah dinasnya selalu
dikunci. Lopa melarang istri ataupun anak-anaknya menggunakannya. Semasa
menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Baharuddin Lopa
memasang telepon koin di rumah jabatannya untuk memilah tagihan atau untuk
digunakan oleh Lopa dan keluarganya berkomunikasi urusan-urusan yang
bersifat pribadi.

Penutup

Prof. Dr Baharuddin Lopa telah berbaring tenang di peristirahatan terakhirnya,


Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Tetapi kotroversi kematiannya akan
selalu menjadi bahan perbincangan. Benarkah ia meninggal karena serangan
penyakit jantung, atau jangan-jangan meninggal tidak wajar?
Salah seorang mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Dr
AC Manullang, misalnya, pernah mengungkapkan bahwa dia punya firasat
tersendiri soal Baharuddin Lopa. Ketika Gus Dur menggeser posisi Lopa dari
MenteriKehakiman dan HAM menjadi Jaksa Agung, AC Manullang, sudah
punyahitung-hitungan. Bahkan, hitung-hitungan itu ia dialogkan dengan istrinya.

“Saya sudah memperhitungkan, dia tidak akan lama menjabat. Saya sudah
katakan hal ini kepada istri saya. Kenapa? Berkali-kali seperti yang saya
terangkan, bahwa intelijen kita yang ada pada saat sekarang ini masih belum
lepas dari Orde Baru, dan sistem intelijen Orde Baru dan perangkatnya, itu
dipengaruhi oleh Soeharto” kenang AC Manullang.

Analisa AC Manullang itu, dikait-kaitkan dengan kontroversi kematian Subhan


ZE, yang meninggal akibat tertabrak mobil di Mekkah, di era Soeharto. Subhan
ZE merupakan salah seorang tokoh ternama NU yang sering melancarkan kritik
tajam terhadap Orde Baru. Menyambut Hari Kesaktian Pancasila,1 Oktober 1968,
misalnya, dalam pidato di radio, Subhan ZE sebagai Wakil Ketua MPRS
menyuarakan bahwa Orde Baru Soeharto sudah melenceng dari kaidah-kaidah
perjuangan dan intrik, konspirasi, korupsi sudah merajalela dan dipraktikkan
kembali.

Jadi, menurut Manullang, bagaimanapun juga kematian Lopa itu dipertanyakan.


Apalagi ketika pergi ke luar negeri, Lopa tidak mendapat pengawalan cukup
ketat. Manullang melanjutkan bahwa“Bukan tidak mungkin suatu operasi
intelijen berjalan di sana, memberikan obat kepada beliau, kemudian sesak
napas. Rekrutmen di sana dari pelayan-pelayan hotel kan bisa saja.”

Memang, pada waktu itu, sejak ada kabar Baharuddin Lopa dinyatakan
meninggal dunia, sebagian elit mulai kasak-kusuk. Ada yang menduga-duga,
Lopa meninggal tidak wajar. Tapi, ada yang percaya Lopa memang meninggal
karena sakit. Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Keluarga
Mahasiswa Sulawesi Selatan (Ikami Sulsel) Suaib Didu mengatakan bahwa
kematian Baharuddin Lopa telah menimbulkan polemic karena ada yang merasa
khawatir dan curiga atas penyebab kematian putra Mandar ini. Mereka,
menganggap kematian Lopa tidak wajar.
Ketidakwajaran kematian Lopa juga ditangkap oleh Benny Biki, korban kasus
Tandjung Priok. Apalagi menurut Benny, sejak menjadi Jaksa Agungbanyak
orang yang merasa terusik. Bahkan, Lopa dinilai berani, seperti mencabut Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Soeharto, melakukan pengejaran
terhadap konglomerat Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu.

Berbeda dengan AC Manullang dan Benny Biki yang agak curiga dengan
kematian Lopa, anggota DPR RI dari F-PDIP, Haryanto Taslam, korban
penculikan di era Soeharto itu, tidakterlalu curiga dengan kematian Lopa.Masak
orang meninggal kok masih dicurigai juga, diwarnai kecurigaan-kecurigaan. Kita
semua menghargai dan sangat respek terhadap Pak Lopa, maka sewajarnyalah
kalau muncul spekulasi negatif di sekitar meninggalnya beliau,”tuturnya.

Sama dengan Haryanto Taslam, Teten Masduki, Koordinator Badan Pekerja ICW,
amat rasional dalam menanggapi isu yang berkembang. Kata dia, menurut medis,
Lopa meninggal karena sakit jantung.Tapi saya kira, Pak Lopa banyak mendapat
tekanan dari banyak kalangan politis, karena koruptor-koruptor yang dia ungkap
kan dekat dengan kalangan politik,”jelas Teten.Dugaan Teten itu dibenarkan staf
ahli Lopa, Prof Dr Andi Hamzah SH. Menurut dia, ketika hendak berangkat ke
Arab Saudi, Lopa dalam keadaan stres berat. Stres itu disebabkan karena adanya
tekanan tertentu, mengingat kebijakan Lopa tidak sejalan dengan kebijakan
atasan-nya.

Sebenarnya, untuk mengetahui penyebab kematian Lopa secara pasti, idealnya


aparat penyidik melakukan otopsi. Namun, Juru Bicara Presiden Adhie M
Massardie, dengan tegas mengatakan bahwa tidak akan ada otopsi terhadap
Lopa, kendati Presiden Gus Dur, belum menentukan sikap mengenai polemik itu.
Dan itulah yang terjadi. Mayat Lopa tidak pernah diotopsi. Dan karena itu,
penyebab kematian Lopa akan tetap menjadi misteri.

Pertanyaan Diskusi

1. Menurut Saudara apa penyebab kematian Baharuddin Lopa? Berikan


alasannya.
2. Permasalahan etika apa yang muncul dari kasus tersebut
3. Nilai-nilai perilaku apa yang bisa Saudara teladani dari Baharudiin Lopa?
Curriculum Vitae Baharuddin Lopa
Nama: Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, SH
Lahir: Mandar, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935
Pekerjaan: Jaksa Agung Ke-18 (6 Juni-3 Juli 2001)
Meninggal: Arab Saudi, 3 Juli 2001
Dimakamkan:TMP Kalibata, Jakarta, 6 Juli 2001
Agama: Islam
Isteri: Indrawulan
Anak: Tujuh orang
Orangtua: H. Lopa dan Hj.Samarinna

Pendidikan:
Doktor Bidang Hukum, FH Universitas Diponegoro, Semarang (1982)
Kursus Reguler Lemhanas (1979)
Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1962)
SMA, Ujungpandang
SMP, Majene
SD, Tinambung

Karir:
Jaksa Agung Kabinet Persatuan (6 Juni-3 Juli 2001)
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan (9 Februari-6 Juni
2001)
Duta Besar untuk Kerajaan Arab Saudi berkedudukan di Riyadh (17 Februari
1999-9 Februari 2001)
SekJen KomNas HAM (1994-7 Desember 1998)
Dirjen Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman (1988-1995)
Staf Ahli Menteri Kehakiman, Jakarta (1986-1988)
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982-1986)
Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung, Jakarta (1976-1982)
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (1974-1976)
Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh (1970-1974)
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (1966-1970)
Kepala Kejaksaan Negeri Ternate (1964)
Bupati Majene (1960)
Jaksa di Kejaksaan Negeri Ujungpandang (1958-1960)
Kegiatan lain:
Ketua Majelis Pakar PPP (25 September 1998-1999)
Guru Besar tidak tetap Universitas Borobudur, Jakarta
Guru Besar tidak tetap Universitas Jayabaya, Jakarta
Guru Besar tidak tetap Universitas Nasional, Jakarta
Guru Besar tidak tetap Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
Memimpin Delegasi Indonesia pada Konperensi Hak Asasi Manusia PBB
Memimpin Delegasi Indonesia pada Konperensi Pencegahan Kejahatan PBB
Penasehat DPR-RI pada Konperensi Parlemen Sedunia
Alamat Rumah Keluarga:
Kompleks Pondok Bambu Asri Raya No 1, Duren Sawit, Jakarta Timur

Anda mungkin juga menyukai