Anda di halaman 1dari 17

Pasal 1 2.

Hakim adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara dan hakim pada pengadilan tinggi tata usaha negara. 6. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. 8. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 (1) Susunan Pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. (2) Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. (3) Hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim Tinggi. Pasal 12 (1) Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Pasal 17 (1) (2) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : Sumpah : Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang- undangan dengan selurus-lurusnya menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji : "Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

(3) (4) (5)

Pasal 27 (1)Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera. (2)Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti. Pasal 28 Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berijazah sarjana hukum; e. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tata usaha negara, atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan tinggi tata usaha negara; dan f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban. Pasal 38 (1) Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janji menurut agama nya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan. (2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 40 Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Pasal 45 Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris dan Wakil Sekretaris diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris akan setia dan taat kepada Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dan pemerintah. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan menaati peraturan perundang -undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya Dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang atau golongan. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau perintah harus saya rahasiakan. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara. Pasal 46 (1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum Pengadilan. Ketentuan mengenai tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Sekretariat diatur lebih lanjut dengan Keputusan oleh Mahkamah Agung. pimpinan hakim anggota panitera sekretaris

definisi hk acara ptun perbedaan dgn acara perdata macam2 beracara peratun asas peratun

Nama: Ramawarist Ramzani NPM: 110110120162 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Kelas E PERBANDINGAN HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA DENGAN HUKUM ACARA PERDATA A. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN Dengan Hukum Acara Perdata Pengajuan Gugatan Pada asasnya, baik hukum acara TUN maupun hukum acara perdata menganut asas bahwa gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yang daerah hukumya meliputi tempat kedudukan atau tempat tinggal tergugat. Asas ini dikenal dengan Actor Sequitur Forum Rei. Isi Gugatan Gugatan lazimnya memuat identitas para pihak. Hal yang paling pokok yang harus dimuat dalam gugatan adalah dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan pengadilan. Pendaftaran Perkara Setelah surat gugatan dibuat dan dianggap cukup, maka gugatan tersebut diajukan ke pengadilan yang berwenang. Baik UU Nomor 5 Tahun 1986 maupun HIR mengharuskan penggugat untuk membayar uang muka biaya perkara dalam mengajukan gugatan. Penetapan Hari Sidang Setelah surat gugatan didaftarkan dalam buku daftar perkara dan telah dianggap cukup lengkap, pengadilan menentukan hari dan jam sidang di pengadilan. Pemanggilan Para Pihak Pemanggilan kepada para pihak akan dilakukan setelah gugatan dianggap cukup lengkap dan sempurna, serta telah ditetapkan hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut. Pemberian Kuasa Apabila dikehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang kuasa atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum atau selama perkara diperiksa.

Pemeriksaan Perkara Setelah para pihak dipanggil untuk datang pada hari dan tempat yang telah ditentukan, maka dimulailah pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Lazimnya, baik UU Nomor 5 Tahun 1986 maupun HIR menempuh prosedur pemeriksaan dengan majelis hakim, yang terdiri atas 3 orang hakim. Pengikutsertaan Pihak Ketiga Selama pemeriksaan perkara berjalan, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa dengan pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga (intervenient) yang membela haknya atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. Pembuktian Pada prinsipnya, hal-hal yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang kebenarannya dibantah oleh pihak lain. Prinsip yang dianut baik dalam hukum acara TUN maupun hukum acara perdata adalah siapa yang mendalilkan sesuatu, dialah yang harus membuktikannya. Putusan Pengadilan Setelah hakim berkesimpulan bahwa pemeriksaan perkara yang dilakukan telah dianggap cukup dan pihak yang berperkara menyatakan tidak akan mengajukan sesuatu lagi, maka hakim sesudah menyatakan menunda sidangnya sampai pada hari tertentu, selanjutnya persidangan ditutup untuk diadakan musyawarah guna pengambilan putusan. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pada prinsipnya, putusan pengadilan baru boleh dilaksanakan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama. B. Perbedaan Antara Hukum Acara TUN Dan Hukum Acara Perdata Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari, yang dihitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan TUN. Hal ini berarti, apabila gugatan tersebut diajukan setelah lewat dari 90 hari, maka pengadilan tidak akan menerima gugatan tersebut. Rapat Permusyawaratan Rapat permusyawaratan adalah suatu prosedur khusus dalam hukum acara TUN, yang tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Rapat permusyawaratan adalah suatu prosedur penyelesaian perkara yang disederhanakan (vereenvoudigde behandeling atau dismissal procedure), yang menurut Pasal 62 UU Nomor 5 Tahun 1986 memberikan kewenangan kepada ketua pengadilan untuk memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, sebelum pokok perkaranya diperiksa. Pemeriksaan Persiapan Proses pemeriksaan dengan acara biasa dalam hukum acara TUN juga agak berbeda dengan proses pemeriksaan menurut hukum acara perdata. Dalam hukum acara TUN dikenal adanya pemeriksaan persiapan sebelum diadakan pemeriksaan terhadap pokok sengketa. Fungsi pemeriksaan persiapan adalah untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Putusan Verstek Putusan verstek adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran pihak tegugat, yang telah dipanggil dengan patut. Hukum acara perdata mengenal putusan tanpa hadirnya tergugat atau verstek. Keputusan verstek ini dijatuhkan biasanya karena tergugat tidak diketahui tempat kediaman atau tempat kedudukannya. Sedangkan hukum acara TUN tidak mengenal putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat atau verstek. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 72 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986. Gugat Rekonvensi Dalam hukum acara perdata dikenal suatu istilah yang disebut gugat rekonvensi atau gugat balasan atau gugat balik. Gugat rekonvensi merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada penggugat untuk mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari pihak tergugat terhadap pihak penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal. Apabila kita teliti, hukum acara TUN, yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tidak mengenal apa yang disebut gugat rekonvensi atau gugat balasan atau gugat balik ini. Sehubungan dengan hal ini, rasio kenapa hukum acara TUN tidak mengenal prosedur gugat rekonvensi barangkali bisa dikaitkan dengan kompetensi Peradilan TUN. Peradilan TUN hanya berwenang mengadili keputusan TUN saja. Lainnya tidak berwenang. Pemeriksaan Acara Cepat Disamping pemeriksaan perkara dengan acara biasa, hukum acara TUN juga mengenal pemeriksaan perkara dengan acara cepat. Mengapa pembuat UU membuka kemungkinan dilakukannya pemeriksaan perkara dengan acara cepat? Karena, apabila setiap perkara harus diperiksa dengan acara biasa akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kemungkinan bisa setengah tahun, satu tahun, dua tahun, atau bahkan lebih. Karena itu, ada perkara-perkara tertentu yang memerlukan adanya prosedur pemeriksaan yang dipercepat. Dalam hukum acara perdata tidak dikenal prosedur pemeriksaan perkara dengan acara cepat. Memang, terjadi juga pemeriksaan perkara dengan hakim tunggal, tetapi prosedurnya tetap menggunakan prosedur biasa, artinya tidak ada percepatan proses pemeriksaan dan pengmbilan putusan. Dalam perkara perdata, bisa saja penyelesaian suatu perkara memakan waktu bertahun-tahun. Pembuktian Ada perbedaan antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN dengan hukum acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan : 1. apa yang harus dibuktikan 2. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh para pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri 3. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian 4. kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem vrij bewijsleer, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran material. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Berbeda dengan hukum acara perdata, dalam hukum acara TUN pelaksanaan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dilakukan oleh atau melalui jurusita, melainkan putusan tersebut disampaikan dengan surat tercatat.

Dalam hukum acara perdata terdapat petugas jurusita, yang bertugas melaksanakan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, dalam hukum acara perdata dikenal adanya upaya-upaya pemaksa agar suatu putusan pengadilan dilaksanakan oleh pihak yang dikalahkan.

PERBEDAAN PTUN DENGAN Peradilan PERDATA

Ada beberapa perbedaan dalam PTUN dengan PERDATA yaitu: 1. Yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah badan atau pejabat tata usaha negara. Yang dapat menggugat hanyalah orang atau badan hukum perdata. Sehingga tidak mungkin terjadi saling menggugat antara sesama badan atau pejabat tata negara di peradilan tata usaha negara. 2. Sengketa yang dapat diadili oleh peradilan tata usaha negara adalah sengketa mengenai sah atau tidaknya suatu keputusan tata usaha negara, bukan sengketa mengenai kepentingan hak. 3. Pada peradilan tata usaha negara, hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada pembuktian bebas. 4. Suatu gugatan tata usaha negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara. 5. Gugat balik (gugat rekonvensi) tidak ada dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. 6. Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN terdapat adanya tahap pemeriksaan pendahuluan. 7. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang. 8. Dalam peradilan tata usaha negara, apabila tergugat tidak hadir maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan verstek, tetapi tetap melanjutkan sidang dengan acara biasa. Putusan baru bisa dijatuhkan setelah pemeriksaan segi pembuktian dilaksanakan secara tuntas. Cara ini ditempuh dalam peradilan tata usaha negara, untuk menjaga jangan sampai kepentingan negara dirugikan karena kelalaian tergugat. Hal ini berbeda dengan acara yang berlaku di persidangan peradilan perdata, dalam hal demikian hakim dapat langsung menjatuhkan putusan verstek. Sistem Hukum Pembuktian Hukum Tata Usaha Negara Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan : 1. Apa yang harus dibuktikan 2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri 3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian 4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem Vrij bewijsleer, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.

Asas dalam Hukum Acara PTUN - Asas praduga rechtmatig (benar menurut hukum, presumptio iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5 tahun 1986); - Asas pembuktian bebas. Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW (lihat Pasal 101, dibatasi ketentun Pasal 100; - Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85) - Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes). Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa; dan asas-asas peradilan lainnya, mislnya : asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, obyektif. - Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem), para pihak mempunyai kedudukan yang sama; - Asas kesatuan beracara (dalam perkara yang sejenis); - Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas (Pasal 24 UUD 1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004); - Asas sidang terbuka untuk umumputusan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 70 UU PTUN); - Asas pengadilan berjenjang (tingkat pertama (PTUN), banding (PT TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA); - Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU PTUN); - Asas obyektivitas, Pasal 78 dan 79 UU PTUN). - Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Oleh : Wasis Priyanto Selain Mahkamah Konstitusi ada 4 badan peradilan yang menyenlengarakan kekusaan kehakiman di bawah naungan Mahkamah Agung, yaitu Peradilan Umum, Perdadilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Semuanya memeliki yuridiksi untuk menerima , memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Kompetensi antara lembaga tersebut sudah diatur dalam Undang-undang tersendiri. Kompetensi berbeda tetapi tidak menutu kemungkinan ada beberapa persamaan dan beberapa perbedaan dari lingkup peradilan tersebut diatas. Khusus dalam tulisan ini,, penulis akan membahas mengenai pemeriksaan perkara perdata di peradilan umum dengan pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara. Pada prinsipnya tertib acara pemeriksaan gugatan Tata Usaha Negara pada prinsipnya sama dengan tertib pemeriksaan gugatan perdata. Kecuali, ada beberapa hal yang ada di acara Peradilan Tata Usaha Negara yang tidak di jumpai dalam pemeriksaan perkara perdata dalam peradilan Umum, yaitu : 1. Tenggang Waktu Menggugat. Bahwa tenggang waktu untuk mengajukan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterima oleh pihak yang dituju atau 90 (sembilan puluh) hari setelah diumumkan bagi pihak ketiga yang berkepentingan. 2. Pihak Tergugat Selalu Pejabat Atau Badan Tata Usaha Negara

Dalam gugatan perdata, siapa saja dapat berkualitas sebagai Penggugat dan Tergugat sepanjang memiliki ius standi atau legal standing dan kepentingan hukum, dalam surat gugatan tata Usaha Negara Penggugat adalah pihak yang dituju Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau Pihak ketiga yang berkpentingan dengan suatu KTUN, sedangkan Tergugat selalu Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN; 3. Hakim Bersifat Aktif (Actieve Rechter/Dominius Litis). Berbeda dengan perkara Perdata yang hakim bersifat pasif dan yang dicari adalah kebenaran formil, maka dalam Perkara Tata Usaha Negara peranana hakim bersifat aktif. kRena bersifat aktif tersebut hakim dibebani untuk mencari kebenaran Materiil. 4. Prosedur Dimisal (Dismissal Procedure). Prosedur Dimisal (Dismissal Procedure) merupakan tahapan pemantapan gugatan untuk menyatakan suatu gugatan tidak dapat di terima. Jika memenuhi unsur kriteria yang ditentukan pasal 62 UU no 5 tahun 1986. Sedangkan dalam proses pemeriksaan perkara perdata untuk menyatakan suatu gugatan tidak dapat ditetima (niet ontvankelijk verklaard) harus melalu proses persiangan sehingga tidak effisien. 5. Pemeriksaan persiapan Hakim dalam pengadilan Tata usaha Negara dapat memberikan saran dan masukan jika menilai gugatan yang tidak sempurna untuk diperbaiki dan disempurnakan. Pemeriksaan Persiapan tidak dikenal dalam pemeriksaan perkara perdata, Hakim Perkara perdata di larang untuk memperbaiki, menambah dan atau melengkapi gugatan. 6. Gugatan di TUN tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Status obyek sengketa selama proses pemeriksaan perkara perdata adalah dalam " status quo". Dalam perkara TUN pada prinsipnya adanya gugatan tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menjadi obyek sengketa. Prinsip tersebut dapat dikesampingkan jika terdapat penetapan yang mengabulkan permohonan penggugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut. 7. Acara pemeriksaan perkara Perkara Perdata di periksa secara pemeriksaan perkara biasa. Namun di pemeriksaan perkara tata usaha Negara ada 3 cara yaitu pemeriksaan Acara Singkat, acara Cepat dan Acara Biasa. Pemeriksaan Acara singkat (kortgeding) khusus untuk :

Pemeriksaan upaya perlawanan terhadap penetapan tentang gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar yang dijatuhkan Ketua pengadilan Pemeriksaan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara.

Pemeriksaan Acara Cepat didasarkan pada permohonan dari penggugat. Permohonan tersebut disampaikan melalui gugatan. Ketua pengadilan tata Usah Negara memiliki kewenangan untuk menetapkan dikabulkan atau tidak permohonan tersebut setelah meneliti, memriksa dan mempelajari alasana-alasan yang mendasari permohonan tersebut; Pemeriksaan Acara cepat dilakukan oleh hakim tunggal dengan tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak tidak melebihi 14 (empat belas) hari . Pemeriksaan Acara biasa pada prinsipnya sama dengan pemeriksaan dengan perkara perdata, kecuali yang ditetukan lain. 1. Perdamaian dalam Persidangan tidak dikenal. Dalam perkara perdata perdamaian diupaya terlebih dahulu sebelum pemeriksaan perkara. Bahkan dalam Pemeriksaan perkara perdata para pihak yang bersengekta harus melakuakn proses Mediasi baik menggunakan Mediator dari pengadilan atau Mediator dari luar pengadilan terserah kepada para Pihak, namun dalam pemreiksaan Tata Usaha Negara perdamaian kemungkinan hanya terjadi di luar persidanga. 2. Tidak ada Gugatan rekonvensi dan tuntutan Provisi; Pihak Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang menjadi Pihak Tergugat tidak bisa mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dan tututan propisi kecuali tentan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha begara (KTUN) yang diugat.

3. Perubahan gugatan masih dimungkinkan hingga pada tahap Replik, jika dibadingkan dengan perkara perdata perubahan gugatan hanya dapat dilakukan setelah pembacan surat gugatan dan sebelum Tergugat mengajukan Jawaban. 4. Masuknya Pihak ketiga kedalam Sengekat TUN bisa melalui jalur Intervensi atau melalui jalur Pelrawanan. Pihak Ketiga yang hendak melakukan Intervensi (intervenient) haruslah memiliki kepentingan dalam sengketa dan masuknya sebagai pihak tersebut bisa atas prakarsa sendiri dengan mangajukann permohonan atau atas prakarsa hakim. Perlawanan dilakukan oleh Pihak Ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan dalam pemeriksaan sengketa tata Usaha Negara dab khawatir kepentingannya dirugikan dengan pelaksaanaan putusan. Dalam perkara perdata masuknya pihak ketiga yaitu terjadi dalam beberapa cara yaitu ; voeging, intervensi/tusenkomst dan vrijwaring. Voeging adalah bergabungnya pihak ketiga untuk bergabung dengan pihak Penggugat atau Pihak Tergugat,intervensi/tusenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara karena ada kepentingan yang terganggu. Vrijwaring adalah penarikan pihask ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat).

Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata

A. 1.

Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum Acara Perdata Pengajuan Gugatan

Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 54 UU PTUN sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 118 HIR. 2. Isi Gugatan

Persyaratan mmengenai isi gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam pasal 56 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 nomor 3 Rv. 3. Pendaftaran Perkara

Pendaftaran perkara menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 59 UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 HIR. 4. Penetapan Hari Sidang

Penetapan hari sidang menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN,sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 122 HIR. 5. Pemanggilan Para Pihak

Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan pasal 66 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata di atur dalam pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 390 ayat (1) dan pasal 126 HIR. 6. Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasala 67 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR. 7. Hakim Majelis

Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara Perdata dilakukan dengan Hakim Majeis (tiga orang hakim) yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak sebagai hakim anggota (pasal 68 UU PTUN). 8. Persidangan Terbuka Untuk Umum

Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya terbuka untuk umum, dengan demikian setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 70 ayat (1) UU PTUN sedangkan dalam ukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat (1) HIR. 9. Mendegar Kedua Belah Pihak

Dalam pasal 5 ayat (1) UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Dengan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan salah satu pihak saja (audi et alteran partem). 10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan

Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelumtergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan penggugat, maka akan dikabulkan hakim, apabila mendapat persetujuan tergugat (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 RV). 11. Hak Ingkar

Untuk menjaga obyektivitas dan keadilan dari putusan hakim, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila diantara para hakim,antara hakim dan panitera,antara hakim atau dengan salah satu pihak yang berperkara mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai,atau juga hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya. 12. Pengikutsertakan Pihak Ketiga

Baik dalam hukum acara PTUN maupun hukum acara perdata, pada dasarnya didalam suatau sengketa atau perkara, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat (sebagai pihak yang mengajukan gugatan) dan pihak tergugat (sebagai pihak yang digugat oleh penggugat). 13. Baik hukum acara PTUN maupun hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya karena yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapat kesempatan pertama untuk membuktikannya.sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat (pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR). 14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 115 UU PTUN),yang pelaksanaanya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama (pasal 116 UU PTUN, pasal 195 HIR). 15. Juru Sita

B. 1.

Perbedaan Antara Hukum Acara TUN dengan Hukum Acara Perdata Objek Gugatan

Objek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, sedangkan dalam hukum acara perdata adalah peruatan melawan hukum. 2. Kedudukan Para Pihak

Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN,selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak tergugat. Sedangkan dalam hukum acara perdata tidaklah demikian. 3. Gugat Rekonvensi

Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka. Dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal adanya gugat rekonvensi, karena dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi berbalik. 4. 5. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan Tuntutan dalam Gugatan

Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu disertakan dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiair. Dalam hukum acara PTUN, hanya dikenal satu macam tuntutan agar KTUN yang digugat dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan tergugat. 6. Rapat Permusyawaratan

Prosedur ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Sedangkan dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur dalam pasal 62 UU PTUN. 7. Pemeriksaan Persiapan

Disamping pemeriksaan melalui rapat permusyawaratan, hukum acara PTUN juga mengenal pemeriksaan persiapan,yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. 8. Putusan Verstek

Verstek berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Putusan verstek dikenal dalam hukum acara perdata dan boleh dijatuhkan pada hari sidang pertama,apabila terggat tidak datang setelah dipanggil dengan patut. Sedangkan dalam pasal 72 ayat 1 UU PTUN, maka dapat diketahui bahwa dalam hukum acara PTUN tidak dikenal putusan verstek karena badan atau pejabat TUN yang digugat itu tidak mungkin tidak diketahui kedudukannya. 9. Pemeriksaan Acara Cepat

Dalam hukum acara PTUN dikenal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 98 dan 99 UU PTUN ), sedangkan dalam hukum acara perdata tidak dikenal pemeriksaan dengan acara cepat. 10. Sistem Hukum Pembuktian

Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. 11. Sifat Erga Omnesnya Putusan Pengadilan

Dalam hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengandung sifat erga omnes artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara,seperti halnya dalam hukum acara perdata. 12. Pelaksanaan Serta Merta

Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara PTUN, hanya putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan. 13. Upaya Pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan

Dalma hukum acara perdata,apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela,maka dikenal adanya upaya-upaya pemaksa agar putusan tersebut dilaksanakan, sedangkan dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya upaya-upaya pemaksa, karena hakikat putusan adalah bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. 14. Kedudukan Pengadilan Tinggi

Dalam hukum acara perdata kedudukan pengadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding sehingga setiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi, tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama. Sedangkan dalm hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama. 15. Hakim Ad Hc

Hakim ad hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli, sedangkan dalam hukum acara PTUN,hakim ad hoc diatur dalam pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus, maka ketua pengadilan dapat menunjuk seorang hakim ad hoc sebagai anggota majelis.

1. Percobaan menurut pasal ini adalah menuju kesesuatu hal akan tetapi tidak sampai pada hal itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak selesai. Maka supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran tidak) dapat dihukum, harus memenuhi syarat: Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu, orang sudah memulai berbuat kejahatan itu, Perbuatan kejahatan itu tidak samapai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri. Misalnya akan membunuh, orang yang dibunuh tidak mati. 2. Penyertaan - mereka yang menyuruh (doen pleger), menyuruh melakukan atau didalam doktrin nya sehingga orang tersebut melakukan apa yg dimaksud orang yang menyuruhnya. - mereka yang turut serta melakukan (mendeplegen), turut melakukan ataupun yang didalam nya (diluar keinginan) - menganjurkan/ membujuk (uitlokker), mereka yang sengaja menggerakkan orang lain dengan janji-janji, sehingga orang tersebut sendiri nya mau melakukan tindakan tsbt. ex: A akan membunuh B, lalu A menyuruh C untuk mengambil pisau dan tali, dan C terpaksa memberikan pisau dan tali karena akan diancam bahwa hutang C kepada A akan berbunga besar, lalu A membujuk D untuk ikut serta membunuh B dengan mengiming-imingi bahwa harta yang dimiliki B dirumah nya bisa ia miliki asal D mau membantu A. A dan D pada saat tersebut akhir nya bertemu B dan bersiap membunuh. Namun diluar dugaan ternyata bukan hanya A dan D yang berniat membunuh, ternyata E akan membunuh B (karena adik E telah diperkosa oleh B) maka A dan D membunuh B dan tanpa sadar E pun ikut membantu membunuh B. ket: A pleger, B korban, C doenpleger, D uitlokker, E mendeplegen 3. concursus realis, jenis: a. Absorbsi dipertajam (ps 65): pemidaan dengan menggunakan pidana terberat ditambah sepertiganya. b. Kumulasi diperlunak(ps 66): pemidaan dengan mendasarkan pada beberapa delik dan masing-masing ancaman pidana diterapkan pada terdakwa akan tetapi jumlah keseluruhan pidana tidak boleh melebihi ancaman pidana terberat ditambah sepertiga. c. kumulasi murni(ps 70): pemidanaan dengan mendasarkan pada semua pidana yang diancamkan. Contoh kasus: seseorang melakukan tindak pemerkosaan terhadap seorang gadis, dan kemudian membunuh gadis tersebut, ia terjerat pasal 285(12th) atas TP pemerkosaan dan pasal 338(15th) atas TP pembunuhan. Berdasarkan absorbsi dipertajam maka pelaku mendapat hukuman pidana yg terberat 15 th + 1/3(15th)=15+5th=20th Berdasarkan kumulasi diperlunak mka pelaku mendapatkan hukuman pidana 15 th+12th=27th; namun hukuman tdk boleh melebihi ancaman pid ditambah sepertiga(20th)shg ia hanya mendapat hukuman 20th B. concursus realis dan recidive Persamaan: tindak pidana yg dilakukan lebih dari satu Perbedaan: bah wa dalam concursus itu antara tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat tidak ada putusan hakim, sedang pada recidive ada.

Tiga sistem recidive: Recidive Umum, Recidive khusus, Recidive menurut KUHP (KUHP tidak mengatur pengulangan tindak pidana secara umum, tetapi khusus kejahatan pelanggaran. KUHP mensyaratkantenggang waktu pengulangan tertentu. Yaitu Recidive kejahatan dan Recidive Pelanggaran) Recidive kejahatan: recidive kejahatan tertentu yang sejenisatau kelompok sejenis, kejahatan yang diulangi harus sama dengan kejahatan terdahulu, ada keputusan hakim yang mempunyaikekuatan tetap, pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya, pengulangan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Recidive pelanggaran: apabila diulangi dapat merupakan alasan adanya pemberatan pidana

4. Maksudnya pada suatu sidang itu barulah diketahui oleh hakim, bahwa selain dari pada peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya yang diadili dalam sidang terdakwa ternyata masih mempunyai perkaraperkara lain yang belum diputus karena telah melakukan kejahatan atau pelanggaran pada waktu sebelum ia dibuka dalam sidang tersebut. Dalam hal ini gabungan perbuatan-perbuatan yang diadili tidak serentak pada waktu yang sama) maka hukuman yang dahulu itu turut diperhitungkan pula pada waktu penjatuhan hukuman bagi perkara-perkaranya yang belum diputus itu, ialah dengan memperguakan cara perhitungan yang ditentukan diadili dengan serentak. Co: seseorang melakukan 3 tindak pidana kemudian 2 dari 3 TP tsb diajukan karena Tp yg 1 belum cukup bukti. Ketika yg 1 sudah cukup bukti dan kemudian diajukan, hakim tdk memperhitungkan perbuatan yg 1 itu 5. Alasan adanya delik aduan adalah dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutlah lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu dari pada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Namun dalam maksud pasal 72 Kuhp, delik aduan ini adalah penuntutan dan bukan penyelidikan atau pengusutannya, maka polisi sebagai penyelidik sudah dapat bertindak sebelumnya ada pengaduan diajukan terlebih dahulu.

Surat Dakwaan dan Jenis Dakwaan Surat Dakwaan Surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat perumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan dari penyidik, surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut pasal 143 (2) KUHAP, syarat dakwaan ada 2, yaitu : 1. Syarat Formil Dalam surat dakwaan harus disebutkan nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. 2. Syarat Materiil Surat dakwaan harus berisikan ulasan cermat, jelas lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat kejadian tindak pidana itu dilakukan. Jenis - Jenis Dakwaan 1. Dakwaan Tunggal Terdakwa didakwa dengan satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan dakwaan - dakwaan lain atau tanpa alternatif dakwaan lainnya. Dakwaan ini jarang digunakan, dakwaan ini digunakan untuk kasus yang sangat sederhana karena resikonya yang besar. Jika dakwaan tidak dapat dibuktikan, maka terdakwa dibebaskan. 2. Dakwaan Alternative Terdakwa didakwa dengan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakikatnya ia hanya didakwa atau dipersalahkan dengan satu tindak pidana saja. Dakwaan ini digunakan/dibuat apabila penuntut umum ragu atau meragukan yang mana yang terbukti dipengadilan, apakah pencurian atau penadaha, dan perbuatan mana yang akan ditetapkan hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya tersebut. Dalam dakwaan ini, hakim bebas menentukan/memilih dakwaan yang diperiksa, baik dakwaan pertama, kedua, ataupun dakwaan ketiga. 3. Dakwaan Subsider Sama halnya dengan dakwaan Alternatif, dimana terdakwa didakwa dengan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada prinsipnya terdakwa hanya dipersalahkan satu tindak pidana saja. Jika salah satu dakwaan terbukti, maka dakwaan lainnya tidak perlu diperiksa. Dalam dakwaan ini, diurutkan dari yang terberat hingga yang paling ringan dakwaannya. Hakim harus memeriksa dakwaan secara berurutan, dari dakwaan primer atau terberat, dan jika tidak terbukti hakim memeriksa dakwaan selanjutnya, hingga yg terakhir adalah yg teringan. 4. Dakwaan Kumulative Terdakwa didakwakan dengan beberapa tindak pidana sekaligus, dan tindak pidana tersebut harus diperiksa keseluruhannya, karena tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. 5. Dakwaan Campuran Dakwaan ini merupakan gabungan dari dakwaan kumulative, alternative dan subsider. Jadi, disamping didakwakan dengan dakwaan kumulative, terdakwa juga msih didakwakan dengan dakwaan alternative dan subsider.

Tindak pidana turut serta melakukan Istri saya didakwa turut serta melakukan perbuatan pidana. Sebagai staf perusahaan dia disuruh oleh atasannya melakukan proses pengembalian uang yang tidak dilengkapi dengan bukti diri konsumen. Tapi dia tidak tahu awal proses yang ternyata telah ada kesepakatan antara atasan dengan konsumen tersebut. Sebenarnya tidak ada kerugian material hanya karena peraturan perusahaan mewajibkan lampiran KTP maka istri saya dianggap turut serta. Pertanyaan: 1. Apakah unsur turut serta melakukan sebagaimana kasus istri saya dapat diterapkan, walau ia tidak tahu proses awal dan tidak mendapat bagian apapun? 2. Apakah peraturan perusahaan dapat dijadikan dasar hukum untuk mendakwa seseorang? Perlu kami sampaikan bahwa tindakan seseorang yang dapat dikenakan suatu tuntutan pidana adalah apabila perbuatan atau tindakan tersebut bertentangan atau melawan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai ancaman sanksi pidana bagi pihak yang melanggar ketentuan perundang-undangan tersebut. Dengan demikian, setidaknya ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dituntut dengan suatu ancama pidana. Unsur-unsur tersebut adalah:

1. Adanya perbuatan atau tindakan oleh seseorang

Unsur pertama yang harus dipenuhi adalah adanya perbuatan atau tindakan dari seseorang baik dilakukan secara aktif maupun secara pasif (diam). Perbuatan atau tindakan ini juga dapat dilakukan dengan kesengajaan ataupun kelalaian.

2. Melanggar atau bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan Unsur kedua yang harus dipenuhi adalah perbuatan tersebut melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah: Undang-undang Dasar Republik Indonesia; Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah

1. 2. 3. 4. 5.

3. Disertai ancaman sanksi pidana Unsur ketiga yang harus dipenuhi adalah adanya ancaman sanksi pidana bagi pihak yang melanggar atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan tersebut. Perlu kami sampaikan bahwa tidak semua ketentuan perundang-undangan memuat sanksi pidana bagi pihak yang melanggarnya.

Dengan merujuk kepada tiga unsur di atas, kami percaya bahwa tindakan yang dilakukan oleh Istri Bapak tidak dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dituntut dengan ancaman pidana. Hal ini dikarenakan Peraturan Perusahaan bukan merupakan suatu produk peraturan perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004, dan lagi Peraturan Perusahan tersebut juga tidak dapat mencantumkan sanksi pidana. Dengan demikian, tentu saja Istri Bapak juga tidak dapat dikenakan tuntutan turut serta melakukan tindak pidana, karena memang tidak ada tindak pidana dalam masalah ini.

Demikian penjelasan dan pendapat yang dapat kami sampaikan. Kami berharap agar penjelasan dan pendapat ini dapat membantu Bapak dalam menyelesaikan masalah yang Bapak dan Istri Bapak hadapi. Terima kasih.

Dasar hukum: Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ANALISIS KASUS PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGAN 1. Percobaan ( pogging ) Contoh Kasus 1 : Andik adalah seorang pegawai suatu kantor pos. Andik memiliki niatan untuk mencuri paket kiriman dikantor poss. Ketika jam kerja selesai dan teman teman sekerjanya pulang Andik menyelinap dan bersembunyi dikamar mandi. Saat suasana sepi dia mencoba memilih paketan untuk di curi. Akan tetapi ternyata kepala kantor Andik masih belum pulang dan sesaat ketika mau pulang dengan tidak sengaja melihat andik berada didalam gudang. Karena curiga, kepala kantor pos menanyakan apa yang sedang dilakukan Andik. Berhubung ketahuan maka Andik tidak jadi mencuri. Karena kebingungan andik membuat alasan kalau sedang mengecek barang. Namun, kepala kantor tida percaya begitu saja. Dan memperkarakan ke meja hijau. Analisis : Kasus ini termasuk poging ( percobaan ), hal ini sesuai dengan dasar hukum yakni diatur didalam KUHP pasal 53 : (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Hasil identifikasi dalam kasus ini adalah sebagai berikut : 1. Andik berencana untuk mencuri pos paket 2. Andik masuk ke kamar mandi Hal sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan melakukan percobaan pencurian. Karena dengan masuknya andik ke kamar mandi adalah awal dari pencurian itu. 3. Masuk ke Gudang Saat masuk ke gudang dan memilih barang sudah merupakan kelanjutan dari permulaan. 4. Andik ketahuan saat mau melakukan kejahatan

Aksi Andi untuk mencuri pos paket, tapi kajahatan yang dilakukan oleh andik belum bisa dikatakan sukses atau mencapai sasaran, karena ditengah aksinya andik udah ketahuan duluan sama kepala kantornya dan kemudian diproses dimeja hijau. Dari contoh kasus fiktif trsebut, termasuk serangkaian perbuatan yang telah dilakukan Andik untuk melaksanakan kehendaknya dengan misi mencuri pos paket.sehingga andik dapat dikenakan pidana sesuai pasal 53 ayat (1), (2), dan (3). Hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap percobaan ini adalah dikurangi 1/3 dari pidana pokok yang dijatuhkan oleh hakim. Jika hakim menjatuhkan hukuman 9 tahun penjara, maka hukuman yang harus dijalani andik adalah 6 tahun hukuman penjara. Contoh Kasus 2 : BOGOR, KOMPAS.com Kasus pemerkosaan penumpang di angkutan umum hampir terjadi lagi. MD (48), sopir angkutan kota trayek 38 Cibinong-Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mencoba memerkosa penumpangnya, B (15), siswi kelas III SMP, di dalam angkot. Percobaan pemerkosaan itu terjadi pada Selasa (24/1/2012) sekitar pukul 20.00. Penyidik Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bogor berhasil membekuk sopir angkot itu pada Rabu sore. Pemerkosaan terhadap korban belum terjadi. Namun, pelaku berbuat cabul kepada korban yang tidak melawan karena dia masih anak-anak dan pelaku juga sempat mengancam korban, tutur Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Ajun Komisaris Imron Ermawan di Cibinong, Kamis (26/1/2012). Pelaku kini terancam hukuman 15 tahun penjara karena melanggar Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Saat kejadian, korban naik angkot bernomor polisi F 1915 MB yang dikemudikan pelaku di depan Rumah Sakit Bina Husada, Cibinong, untuk pulang ke rumahnya di Gunung Putri. Di dalam angkot masih ada tujuh penumpang. Namun, satu per satu penumpang turun sehingga tinggal tersisa korban. Saat itu, pelaku meminta korban yang duduk di belakang pindah ke depan. Korban tidak curiga. Setelah korban duduk di depan, MD berbuat tidak senonoh sambil membawa angkot ke tempat sepi di Kampung Tlajung, Desa Cikeas Udik, Kecamatan Gunung Putri. Pelaku kemudian memaksa korban pindah ke bagian belakang angkot. Dia menggunakan jok angkot sebagai alas untuk memerkosa korban, tetapi karena melihat orang lewat dan berupaya mendekatinya, MD berhenti dan melarikan diri dengan angkotnya dan meninggalkan korban di jalan. Korban pulang naik ojek, lalu menceritakan kejadian itu kepada orangtuanya, lalu mereka melapor kepada kami. Berdasarkan ciri-ciri pelaku dan ciri mobil, kami menangkap MD, ujar Imron. Analisis : Berdasarkan kasus diatas maka dapat disimpulkan bahwa supir angkot telah melanggar kasus pidana pada pasal 53 ayat (1) : Mencoba melakukan dipidana, jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri Pelaku yang berupaya mencoba memperkosa korban dan berhenti tidak jadi memperkosa karena ada seseorang yang sedang lewat dan mendekati pelaku. Hal ini dapat dianalisis dari kejadian di atas adalah : Sopir angkutan berencana untuk memperkosa siswi kelas III SMP. Sopir angkot mencoba memperkosa siswi tersebut, tapi kejahatan yang dilakukan sopir angkot belum sepenuhnya selesai, karena ditengah aksinya sopir angkot melihat orang lewat dan berupaya untuk mendekatinya, pelaku yang berhenti dan melarikan diri dengan angkotnya dan meninggalkan korban di jalan. Inilah yang kemudian disebut percobaan dalam hukum pidana. Dari kejadian diatas maka pelaku dihukum 10 tahun penjara. Hal ini dikarenakan hukuman yang dijatuhkan hakim yaitu 15 tahun dikurangi 1/3nya yaitu 5 tahun. Kesimpulan : Dari kedua contoh diatas dapat disimpulkan bahwa tergolong Percobaan yang terhenti. Hal ini dikarenakan bahwa dalam aksi kejahatannya belum selesaii sampai akhir dan terhenti saat melakukan aksinya. Jadi yang dimaksud dengan Percobaan (Poging) adalah Bentuk kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang berupaya jahat kepada orang lain atau hal lain dan belum selesai dalam menjalankan aksinya / sudah selesai aksinya, namun tidak sesuai dengan rencana awl (niat) maka akan dipidana. 2. Penyertaan Contoh Kasus 1 : 25 September lalu, Ihsan merampok ATM di Universitas Bung Hatta dengan membawa senjata api. Dan berupaya mengancam petugas yang sedang berjaga. Aksi pencurian ini berhasil. Kemudian ihsan lari kerumah rekannya untuk bersembunyi. Setelah itu Ihsan menghitung uang hasil rampokan, dan memberikan uang kepada rekannya yang bernama Rahmad Syamsurizal dan istrinya Eni Erawati senilai 10 juta sebagai uang tutup mulut dan ucapan terima kasih telah disediakan tempat untuk bersembunyi. Naas selang beberapa hari mereka bertiga tertangkap dan di sidangkan di pengadilan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), menuntut Ihsan dengan hukuman 12 tahun penjara. Sedangkan Rahmad Syamsurizal bersama istrinya, Eni Erawati ,hany a dituntut tiga tahun, karena tidak terlibat langsung dalam . Dalam tuntutannya, JPU Gusnefi menyebutkan, kalau Ihsan sudah melanggar pasal 365 ayat 2 KUHP, dan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang RI nomor 12 tahun 1951 jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Terdakwa melakukan perampokan dan memiliki senjata tanpa izin. Ancaman hukuman 12 tahun, setimpal dengan perbuatannya, jelas Gusnefi. Sementara, Rahmad dan Eni tidak dihukum berat dikarenakan keduanya tidak ikut serta dalam perampokan. Keduanya hanya menikmati hasil perampokan, serta menyediakan tempat bagi perampok untuk berkumpul. JPU menyebutkan, Eni dan Rahmad menerima hasil rampokan senilai Rp10 juta, yang dibelikan perhiasan emas dan uang tunai Rp1,1 juta. Setelah membacakan tuntutan, ketiganya langsung digiring menuju sel tahanan. Ihsan, Rahmad dan Era, diberikan waktu seminggu untuk menyusun pembelaannya secara tertulis, dan akan dibacakan pada sidang, Senin depan. Bagaimana nasib anak-anak, kalau saya dan uda dipenjara. Mereka mau mengadu sama siapa,? jelas Era

sembari menangis. Analisis : Terdakwa Ihsan dikenai pasal 55 ayat (1) karena tindak pidananya ini termasuk dalam kasus penyertaan yang pelakunya lebih dari satu orang, sehingga memenuhi rumusan pasal tersebut yang berbunyi : Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Kedua terdakwa lain, Rahmad dan Eni, meski tidak terlibat langsung dalam perampokan yang dilakukan terdakwa Ihsan, tapi mereka ikut membantu menyediakan tempat bagi terdakwa Ihsan serta menikmati hasil rampokan. Maka, terdakwa Rahmad dan Eni termasuk dalam istilah medeplegen (turut melakukan) dari pasal 56 KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama. Bekerja sama ini terjadi sejak mereka merancang niat untuk bekerja sama untuk melakukan perampokan. Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan. Untuk hukumannya dujelaskan pada pasal 57 : (1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. (2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. (4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. Contoh Kasus 2 : Suatu ketika Rohim berjalan-jalan di mall bersama temannya Rina. Saat jalan2 dia tertarik pada sepatu New Era keluaran terbaru dan melihatnya, sepatu itu Rp. 300 ribu. Disaat bersamaan ada pembeli lain yang akan membeli sepatu tersebut. Karena sakit perut, Pembeli pergi ke toilet dan menitipkan barang tersebut di toko. Karena uang yang dimilki Rohim tidak ckup, maka dia ingin mengambil sepatu yang sudah dibayar pembeli lain itu dengan menyuruh Rina temannya. Dia menyuruh mengambil sepatu yang sudah dibelinya, padahal yang membeli adalah orang lain. Karena Rina tidak tahu dia langsung mengambil saja sepatu itu dikasir. Karena pengamanan yang tidak begitu ketat, kasih begitu percaya saja dan memberikan sepatunya kepada RinaTidak lama kemudian pembeli yang sudah membayar datang dan mengambil sepatu. Sekita itu Rina sudah sampai di depan toko dan kasir berusaha mengejar dan memberhentikan Rina. Rina ditangkap dan dimintai keterangan oleh satpam mall. Dan tidak lama kemudian Rohim juga ditangkap saat mau keluar mall. Analisis : Dari contoh kasus diatas, maka Kejahatan tersebut dapat dikenakan kasus pidana penyertaan yang diatur KUHP pasal 55 dan pasal 56 yaitu hanya pada Rohim saja. Untuk Rina tidak dihukum berdasarkan pasal 66 KUHP : Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan. Hal di atas karena Rina hanya orang yang disuruh dan tidak tahu kalau dibohongi jika sepatu tersebut adalah milik Rohim. Rohim dikenai hukuman sebagaimana pelanggaran yang dilakukan Rina. Hal ini dikarenakan pelaku atau otak kejahatan adalah Rohim, sehingga Rohim dihukum sesuai pasal 55 : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibatakibatnya. Kesimpulan Kasus yang melibatkan lebih dari satu orang pelaku disebut penyertaan, dan biasanya terdapat dalam kasus perampokan. Perampokan adalah pencurian yang diketahui oleh orang lain dan mengancam orang tersebut dengan kekerasan. Pada kasus di atas, pelaku terdiri lebih dari satu orang, dan si pelaku utama mencuri dengan menggunakan kekerasan. Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP, sedangkan pembantuan diatur dalam pasal 56,57 dan 60 KUHP . Menurut pasal 55 KUHP terdapat 4 yang dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam tindakan penyertaan yaitu: 1. Orang yang melakukan (dader) 2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger) 3. Orang yang turut melakukan (mededader) 4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker) Untuk setiap orang yang melakukan, menyuruh melakukan, turut melakukan dan sengaja membujuk memperoleh hukuman yang sama. Turut serta memiliki hal yang berbeda dengan pembantuan. Dalam perbuatan turut serta mengikat siapapun yang terlibat dalam tindak pidana tersebut. Jadi yang dimaksud dengan Penyertaan adalah seseorang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan kejahatan yang telah direncanakan sebelumnya oleh pelaku kejahatan.

3. Perbarengan (Concurcus) a) Concurcus Idealis (Pasal 63 KUHP) Contoh Kasus 1 : Karena nafsu yang tidak tertahan karena habis melihat film Porno tadi malam, sebut saja RD telah meluapkan nafsunya pada anak dibawah umur, sebut saja bunga. Peristiwa ini terjadi saat bunga dan teman-temanya bernain dilapangan. RD sedang jalan2 meihat pemandangan, karena keadaan sepi, RD mendekati Bunga, karena hanya dia yang dianggap cantik dan memiliki tubuh yang agak besar dari teman lainnya, RD langsung melucuti pakaiannya terus memperkosa gadis 10 tahun itu di depan teman-temannya. Teman-temannya tidak bisa apa-apa karena sudah diancam RD sebelumnya. Analisis : RD telah melanggar tindak pidana, disamping memperkosa dimuka umum (pasal 281) : Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; 2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan dia juga telah melanggar pasal 290 tentang perbuatan cabul yaitu : Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; 2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin 3. Berdasarkan keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa RD telah melanggar KUHP pasal 63 mengenai Perbarengan yang berbunyi : (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Maka dapat disimpulkan bahwa hukuman yang dijatukan kepada RD adalah hukuman yang terberat yaitu pada pasal 290, hukumannya adalah maksimal 7 tahun penjara. Contoh kasus 2 DM ingin merampok rumahn majikannya sebut saja namanya ED. Niatnya dilakukan pada hari jumat pukul 12.00 tepatnya saat ED sedang lengah menyelesaikan arsip / berkas kantor hariannya. Kemudian DM mulai memasuki rumah ED dan mulai menjalankan aksinya tersebut. Saat DM melihat-lihat sekelilig rumah majikannya, keadaan rumah majikannya begitu sepi dan mendorong niat untuk mencuri semakin kuat. Alhasil perbuatannya dilihat oleh majikannya. Dan majikannya berteriak keras. Tapi untuk menghentikan teriakannya itu maka ED membungkam mulut majikannya, tapi majikannya semakin meronta keras. tanpa piker panjang DM menghabisi sang korban dengan tusukan tepat diperutnya menggunakan pisau di atas meja. Seketika itu korban mati dan DM menguras habis harta benda seluruh isi rumah. Analisis : Berdasarkan peristiwa di atas maka dapat dianalisis bahwa Pelaku dapat dijerat dengan pasal tentang pencurian yaitu pasal 362 : Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dan pidana pembunuhan (pasal 338) dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Berdasarkan ancaman hukuman diatas maka hukuman terberat adalah ancaman hukuman pembunuhan yaitu 15 tahun. Sehingga Pelaku dihukum menggunakan asas sistem absorpsi. Kesimpulan : Jadi yang dimaksud dengan Concurcus Idealis adalah seseorang yang melakukan satu perbuatan tetapi melanggar lebih dari satu pasal dalam KUHP atau UU lainnya, dengan hukuman yang dijatuhkan adalah yang terberat dari pasal-pasal yang mengaturnya (sistem absorpsi). b) Concurcus Realis (Pasal 65 KUHP) Contoh Kasus 1 : Argo adalah pelaku pencurian dirumah mewah perumahan di Royal Regency. Mereka tidak hanya mencuri, tetapi memperkosa anak Pemilik rumah yang berumur 17 tahun dengan menampar terlebih dulu sampai pinsan. Dan juga membunuh satpam dengan tembakan karena mencoba melawan. Keesokan harinya pelaku dapat dibekuk oleh polisi setempat. Dan akhirnya pelaku di siding di pengadilan Surabaya. Para keluarga korban meminta agar pelaku di hukum berat dengan hukuman mati. Analisis :

Berdasarkan kasus di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelaku Argo telah melakukan tindak pidana berupa : 1. Pencurian 2. Pemerkosaan 3. Pembunuhan Pelaku dapat dijerat dengan pasal tentang pencurian yaitu pasal 362 : Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dengan hukuman 5 tahun penjara. Ke-2 yaitu tentang pemerkosaan (pasal 290) dengan hukuman 7 tahun penjara dan pidana pembunuhan (pasal 338) dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Berdasarkan ancaman ketiga pidana di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukuman yang diberikan tidak boleh melebihi hukuman terberat (15 tahun) di tambah 1/3 hukuman terberat (5 tahun ) yaitu 20 tahun. Oleh karena itu, maksimal hukuman yang diberikan Argo maksimal 20 tahun penjara. Kesimpulan : Jadi yang dimaksud dengan Concurcus Realis adalah seseorang yang melakukan tindak pidana lebih dari 1 kejahatan yang berbeda dan dapat disidangkan sekaligus dalam 1 waktu bersamaan dengan system hukuman pidana tidak boleh lebih dari hukuman terberat yang ditambah 1/3 dari hukuman terbarat (sistem absorpsi terberat). c) Perbuatan Lanjutan (Pasal 63 KUHP) Contoh Kasus 1 Andik memegang uang kasnya budi, karena tergiur jumlahnya yang banyak yaitu Rp. 600.000.000, 00. Maka andik berniat untuk bisa menguasai kesemua uang tersebut. sehingga dengan niat yang kuat dan menggebu gebu, Andik berniat untuk mencuri uang kas tersebut. maka untuk mewujudkan niatnya, andik mulai melaksanakan kehendaknya untuk mencuri uang kas tersebut. agar budi tidak curiga dan perbuatannya tercapai, maka ia mengambil uang kas tersebut, secara bertahap / beberapa kali namun dalam interval waktu yang tak lama yakni selama 3 hari. Dengan cara hari pertama mengambil 200.000.000,00 hari ke 2 mengambil 200.000.000,00 dan hari ke 3 mengambil 200.000,00,00. Sehingga jumlah uangnya genap Rp. 600.000.000. 00. Analisis : Contoh diatas termasuk perbuatan lanjutan karena : 1. Andik melakukan perbuatannya untuk mencuri uang tersebut dengan cara berulang 2. Perbuatan berupa kejahatan / pelanggaran yang berdri sendiri 3. Ada kaitannya / hubungan antara satu keputusan kehendak yang dilarang, perbuatannya sejenis yakni ingim mencuri uang kas, dan interwaktunya juga tidak terlalu lama yakni dalam kurun waktu 3 hari dengan tujuan mencuri / menguasai uang sebesar Rp. 600.000.000,00. Adapun dasar hukum yang sesuai dengan kasus ini diatur dalam pasal 64 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut : jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya ada satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing masing perbuatan itu menjadi kenjahatan atau pelanggaran, jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan terberat hukuman utamanya . Contoh Kasus 2 : Dio ingin mencuri suatu tumpukan batu bata, akan tetapi Dio tidak sanggup mengangkut batu itu sekali jalan. Jadi, Dio terpaksa beberapa kali mondar mandir dengan gerobaknya untuk mengangkut batu bata itu semuanya. Perbuatan mencuri batu bata itu dapat dia selesaikan dalam interval waktu yang tidah terlalu lama. Analisis : Dari hal-hal tersebut maka point yang menjadi pegangan untuk menyebut adanya suatu perbuatan berlanjut adalah : Terdakwa melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran) yang sejenis, berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama. Adapun dasar hukum yang sesuai dengan kasus ini diatur dalam pasal 64 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut : jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya ada satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing masing perbuatan itu menjadi kenjahatan atau pelanggaran, jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan terberat hukuman utamanya . Kesimpulan : Berdasarkan ke-2 contoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwasannya perbuatan lanjutan adalah suatu bentuk perbutan yang berupa kejahatan / pelanggaran yang dilakukan secara berulang ulang serta dilakukan oleh seseorang dalam waktu interval yang tidak terlalu lama.

Anda mungkin juga menyukai