Anda di halaman 1dari 40

POLITIK UANG PADA PEMILU 2014

Oleh : Lukman. M, S.H


&
Anak Agung Jelantik Sanjaya, MBA

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Pada
tanggal 9 April 2014 rakyat Indonesia telah selesai
menyelenggarakan pemilih umum legislatif. Pemilihan Umum adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).

Hasil pemilu tahun 2014 telah dapat dilihat dan diperkirakan oleh
Lembaga Survei dalam Hitung Cepat (Quick Count). Quick Countadalah
proses perhitungan cepat hasil pemilu dengan menggunakan metode
sampling dan kemampuan teknologi komunikasi.[1]Namun hingga saat ini
beberapa tempat, masih dilakukan pemilu ulang dengan alasan
diantaranya surat suara tertukar. Lembaga Survey Hitung Cepat haruslah
independen dan tidak menguntungkan atau memihak salah satu partai
politik. Berdasarkan putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 tanggal 3 April
2014 bahwa pasal 247 ayat 2, ayat 5 dan ayat 6 UU Nomor 8 Tahun 2012
tentang pengumuman hasil survey pada masa tenang, pengumuman
prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling
cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia
Bagian Barat dan Pelanggaran terhadap pasal 247 ayat 2, ayat 4,
dan ayat 5 menurut amar Mahkamah Konstitusi adalah bertentangan
dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Menurut Fery Kurnia Riskiyansyah, Komisioner KPU, dinyatakan bahwa
sudah dibentuk tim klarifikasi terkait surat suara tertukar dan segala
macam pelanggaran hasil temuan dari tim pengawas[2]. Beliau juga
menegaskan akan memberi sanksi baik etik dan juga akan melaporkan
tindak pidana bagi anggota KPU yang terlibat pelanggaran. Pemilu tahun

ini terjadi surat suara tertukar pada 785 tempat pemungutan suara yang
tersebar pada 30 provinsi.

Pemilu merupakan instrument pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam


Negara demokrasi. Pemilu juga sebagai sarana penyaluran Hak Asasi
Manusia. Dalam negara yang mempunyai penduduk besar, demokrasi
dilakukan melalui system perwakilan (Representative Democracy atau
Indirect Democracy).

Pemilu pada tahun 2014 di Indonesia menggunakan system proposional


dengan daftar suara terbuka. Proposional terbuka berarti untuk
menentukan Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang mendapatkan kursi
berdasarkan perolehan suara terbanyak caleg. Peserta pemilu tahun 2014
adalah 12 partai nasional dan 3 partai local (khusus di Aceh). Calon
Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kotamadya dicalonkan
oleh partai politik. Calon Anggota DPD dicalonkan oleh masyarakat
sebagai calon independen. Pemilu juga menerapkan ambang batas 3 %,
sehingga hanya partai politik yang mendapatkan suara minimal 3 % yang
beliau juga menegaskan akan mendapatkan kursi. Terdapat 6577 Caleg
DPR RI yang bertarung (4318 adalah laki-laki dan 2441 adalah
perempuan).[3]

Namun pemilu tahun ini masih dinodai dengan adanya politik uang yang
dilakukan oleh beberapa caleg, Menurut Rumlan Surbakti, Guru Besar Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, inisiatif calon anggota DPR
dianggap salah satu penyebab praktek politik uang. Caleg melakukan
berbagai cara termasuk politik uang, untuk mendapatkan suara lebih
banyak dari pada caleg lain dalam satu partai politik. Sebab, dalam
system pemilihan proposional dengan daftar terbuka, caleg bisa
mendapatkan kursi, jika suara yang di raih lebih banyak daripada caleg
yang lain yang berasal dari partai politik yang sama.[4]

Menurut AAGN Ari Dwipayana, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, disisi lain honor petugas
penyelenggara pemilu mulai dari kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK), tidak berubah. Rendahnya honor itu membuka peluang
para petugas penyelenggara pemilu melakukan penyelewengan, seperti

memanipulasi suara. Para Caleg bisa menawarkan imbalan besar kepada


petugas dengan kompensasi menggelembungkan suara caleg.[5]

Indonesia Corruption Wacth (ICW) menyatakan, dalam pemilihan legisatif


(pileg) 9 April lalu terdapat 313 pelanggaran yang ditemukan di 15
daerah. Ada pun jumlah itu terdiri dari beberapa jenis pelanggaran. Di
antaranya pemberian uang pada pemilih sebanyak 104 temuan,
pemberian barang sebanyak 128 temuan, pemberian jasa sebanyak 27
temuan dan penggunaan sumberdaya Negara sebanyak 54 temuan.[6]
Adapun jumlah setiap daerah berbeda-beda sesuai temuan yang
dilaporkan pada posko pemantau ICW dan gabungan. Dari 15 daerah,
yang tertinggi adalah provinsi Banten, yakni 36 kasus. Disusul provinsi
Riau dan Bengkulu temuan dan Sumatera Utara 29 temuan, Sementara itu
di Provinsi Daerah Istimewa Aceh ditemukan sebanyak 23 temuan, disusul
Jawa Barat sebanyak 17 temuan, Jawa Tengah 16 temuan, dan Sulawesi
Selatan, 15 temuan. Di Kalimantan Barat sebanyak 13 temuan. Jawa
Timur, Jakarta dan Sulawesi Tenggara masing-masing 9 temuan. Terakhir
Provinsi Nusa Tenggara Barat 8 temuan dan Nusa Tenggara Timur 5
temuan.[7]

Menurut Peneliti ICW Divisi Korupsi Politik Abdullah Dahlan, jumlah


pemberian uang yang diberikan parpol maupun caleg di 15 daerah itu
berbeda-beda. Ada sebanyak 24 temuan pemberian uang antara Rp 5 ribu
hingga Rp 25 ribu. 28 temuan, terkait pemberian uang dengan nominal Rp
26 ribu hingga Rp 50 ribu. Berikutnya 23 temuan yang memberikan uang
senilai Rp 51 ribu hingga Rp 100 ribu. Sisanya 2 temuan pemberian uang
Rp 151 ribu hingga Rp 200 ribu. Di atas Rp 200 ribu sebanyak 12 temuan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga merilis praktik politik uang dari
pemilu ke pemilu mengalami peningkatan pasca reformasi. Pada pemilu
tahun 1999 terjadi 62 kasus, kemudian pada pemilu 2004 terjadi 113
kasus, pada pemilu 2009 meningkat menjadi 150 kasus. Dan pada pemilu
2014 terjadi 313 kasus.[8]

Selain politik uang, caleg juga kerap menggunakan metode lain dalam
mendongkrak perolehan suara. Diantaranya pelibatan aparatur sipil,

penggunaan kendaraan dinas untuk berkampanye dan penggunaan


fasilitas Negara dan ibadah untuk berkampanye.

Dan adapun yang di maksud dengan Politik Uang (Money Politics), ada
beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya mempengaruhi
orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan
jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagibagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara
pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan
pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud
politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak
ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu
jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan. Konsekwensinya para
pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang akan
terjerat undang-undang anti suap.

Perpolitikan lokal selalu melahirkan dinamika. Hal ini menuntut partai


politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan
platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Tak
sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol. Sebut saja
masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan
kelompok ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul
kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin.
Tentunya, figur yang bisa membawa perubahan.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah letih menanti perbaikan
dan bosan dengan janji-janji politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu
maupun pemilihan kepala daerah makin mengukuhkan ketidakpuasan
rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat Lembaga Survei
Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat
memandang
komitmen
pertanggungjawaban
parpol
terhadap
konstituennya masih sangat minim. Sehingga membuat para pemilih
menjadi tidak simpati lagi terhadap parpol.

Dengan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon


pemimpin memberikan efek negatif bagi para elit-elit dengan
menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan
semata. Dan sebaliknya adalah sangat menggiurkan juga bagi masyarakat
meskipun sesaat. Dengan cara Money Politics hanya calon yang memiliki

dana besar yang dapat melakukan kampanye dan sosialisasi ke seluruh


Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat perorangan yang
memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi sehingga
mereka tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan
pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa
korup. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format
pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat
perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional.

Panwas secara bertingkat dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga


kecamatan juga saling mengawasi. Panwas pusat dapat menegur dan
menghentikan Panwas provinsi. Demikian pula dari tingkat provinsi
kepada kabupaten/kota atau Panwas kabupaten/kota kepada Panwas
tingkat kecamatan.

Singkatnya, penyelenggara pemilu harus siap karena pemilihan presiden


mendatang menampilkan perubahan kultur politik dari partai oriented ke
kandidat oriented. Sementara dengan kondisi yang ada, kandidat presiden
harus mampu mendanai partai sebagai imbal balik pencalonan. Akibatnya
yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang dari pelbagai
sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan
masyarakat.
Dan Semenjak gelombang reformasi pada tahun 1998 melanda Indonesia,
proses demokratisasi berlangsung secara cepat dan besar-besaran.
Setelah lebih dari tiga puluh tahun Indonesia berada dalam rezim otoriter
yang menjalankan demokrasi semu, lalu sejak masa pemerintahan
Presiden BJ Habibie proses demokratisasi lewat pemilihan umum
memberikan sebuah harapan baru. [9]Pemilihan umum presiden
dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun 2004, sedangkan
pemilihan umum kepala daerah setahun setelahnya, lalu berangkat dari
hal tersebut berbagai pemilihan umum jamak dilakukan dalam
masyarakat. [10]

Pemilihan umum (pemilu) memegang peranan sentral dalam sebuah


sistem demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa terselenggaranya pemilu
yang jujur dan demokratis. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin politiknya yang
meliputi wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen baik di tingkat pusat

ataupun daerah dan juga kepala pemerintahan daerah atau pusat secara
langsung.[11]

Dalam perspektif demokrasi, pemilu memiliki beberapa manfaat. Pertama,


pemilu merupakan implementasi perwujudan kedaulatan rakyat. Sistem
demokrasi mempunyai asumsi bahwa kedaulatan terletak di tangan
rakyat. Karena rakyat yang berdaulat itu tidak bisa memerintah secara
langsung maka melalui pemilu rakyat dapat menentukan wakil-wakilnya
dan para wakil rakyat tersebut akan menentukan siapa yang akan
memegang tampuk pemerintahan.

Kedua, pemilu merupakan sarana untuk membentuk perwakilan politik.


Melalui pemilu, rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang dapat
memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Semakin tinggi kualitas
pemilu, semakin baik pula kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih
dalam lembaga perwakilan rakyat ataupun kepala Negara atau daerah.

Ketiga, pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian


pemimpin secara konstitusional. Pemilu bisa mengukuhkan pemerintahan
yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan reformasi pemerintahan.
Melalui pemilu, pemerintahan yang aspiratif akan dipercaya rakyat untuk
memimpin kembali dan sebaliknya jika rakyat tidak percaya maka
pemerintahan itu akan berakhir dan diganti dengan pemerintahan baru
yang didukung oleh rakyat.

Keempat, pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk


memperoleh legitimasi. Pemberian suara para pemilih dalam pemilu pada
dasarnya merupakan pemberian mandat rakyat kepada pemimpin yang
dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemimpin politik yang
terpilih berarti mendapatkan legitimasi (keabsahan) politik dari rakyat.
Kelima, pemilu merupakan sarana partisipasi politik masyarakat untuk
turut serta menetapkan kebijakan publik. Melalui pemilu rakyat secara
langsung dapat menetapkan kebijakan publik melalui dukungannya
kepada kontestan yang memiliki program-program yang dinilai aspiratif
dengan kepentingan rakyat. Kontestan yang menang karena didukung

rakyat harus merealisasikan janji-janjinya itu ketika telah memegang


tampuk pemerintahan. [12]

Pemilu di Indonesia tak hanya berlangsung untuk memilih anggota


perwakilan di parlemen, ataupun kepala daerah saja. Sistem pemilihan
umum sudah jamak digunakan oleh masyarakat mulai dari memilih
pimpinan pada tingkat paling kecil, seperti ketua RT/RW, dan kepala desa.
Fenomena ini tak lepas dari kuatnya pengaruh gelombang demokratisasi
yang melanda Indonesia semenjak tahun 1998.
Salah satu tantangan dalam pemilu adalah maraknya praktek politik uang
(money politic) yang berlangsung hampir di seluruh tingkatan pemilihan
umum. Ari Dwipayana (2009) menyebutkan bahwa politik uang adalah
salah satu faktor penyebab demokrasi berbiaya tinggi [13] Wahyudi
Kumotomo (2009)[14] menyatakan bahwa setiap orang tahu bahwa
kasus-kasus politik uang merupakan hal yang jamak dalam pemilu setelah
reformasi. Kendatipun semua calon jika ditanya akan selalu mengatakan
bahwa mereka tidak terlibat dalam politik uang, warga akan segera bisa
menunjuk bagaimana para calon itu menggunakan uang untuk membeli
suara di daerah pemilihan mereka. Menurut Daniel Dhakidae (2011)
politik uang ini merupakan mata rantai dari terbentuknya kartel politik.
Demokrasi perwakilan yang mengandalkan votes (suara) dengan mudah
diubah menjadi sebuah komoditas, yang akan dijual pada saat sudah
diperoleh dan dibeli saat belum diperoleh. Dibeli waktu pemilihan umum
dengan
segala
teknik
dan
dijual
pula
dengan
segala
teknik. [15] Fenomena negatif ini muncul dalam transisi demokrasi di
Indonesia. John Markoff (2002: 206) mengindikasikan bahwa fenomena ini
sebagai hybrid dalam demokrasi masa transisi. Fenomena hybrid
demokrasi ini merupakan percampuran elemen-elemen demokratis
dengan elemen-elemen non demokratis yang dapat ditemui secara
bersamaan dalam sebuah sistem politik.[16]Larry Diamond memberikan
sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia sebut
sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). Indikatornya, mekanisme
demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi hakiki. Politik uang (money
politics) merupakan salah satu fenomena negative mekanisme elektoral di
dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang belum matang, seperti di
Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.[17]

B.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan dan diidentifikasi


sejumlah permasalahan, maka permasalahan yang akan diteliti dan yang
harus mendapat perhatian, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut:

Bagaimana Politik Uang/Money politics terjadi di Pemilu 2014?


Bagimana mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahun-tahun
mendatang?
Bagaimana Money politics dalam Pemilu secara umum?
Apakah Money Politics mempengaruhi partisipasi politik
dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum?

masyarakat

Apa dampak dari Praktik Money politics?


Kenapa Money Politics masih menjadi ancaman?
Bagaimana cara melawan Praktik Money Politics?
Bagaimana Pengaruh Politik Uang Terhadap Pemilih?
Bagaimana implikasi politik uang terhadap perilaku pemilih?

C.

KAJIAN TEORITIS

Peraturan yang bersifat yuridis mengenai politik uang (Money Politics) ini,
yaitu larangan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum
maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka
dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung, seperti pelaksana,
peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu.
Undang-Undang dan Peraturan tersebut antara lain:

BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu


Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10.
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA
PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1

sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai
Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal
258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.
Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala
Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1
sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal
32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1
sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai
Ayat 5.
5. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 mengatur larangan melakukan
politik uang terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J. Berbunyi: pelaksana,
peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu
Larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana pada pasal 301
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan
tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275,
Pasal 276, Pasal 283, Pasal 286, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal
297, Pasal 298, Pasal 301 ayat (3), Pasal 303 ayat (1), Pasal 304 ayat (1),
Pasal 308, Pasal 309, Pasal 310, Pasal 311, Pasal 312, Pasal 313, pidana
bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan
pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini
7. Peraturan KPU No. 15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kampanye juga memperkuat peraturan UU tersebut dengan melarang
pemberian uang dan barang sebagai iming-iming untuk menarik suara
masyarakat selama berkampanye.

PEMBAHASAN

1.Politik Uang/Money politics terjadi di Pemilu 2014

Maraknya praktek politik uang pada pemilu 2014 sangat memprihatinkan


semua kalangan di negeri ini, termasuk antara lain Ketua Majelis Syuro

Partai Bulan Bintang (PBB) Prof DR Yusril Ihza Mahendra, S.H mengatakan
bahwa Pemilu 2014 ini merupakan yang terburuk dibandingkan dengan
Pemilu 1995 dan 1999 dan "Kualitas Pemilu semakin memburuk, Pemilu
2014 bahkan lebih buruk dari 2009, karena dipengaruhi oleh politik uang,"
ujarnya.[18] Kritik terhadap politik uang juga mendapat tanggapan
dariMantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Muzadi
yang menilai bahwa pemilu legislatif 2014 masih sarat dengan dugaan
praktik politik uang. Para politikus hasil pemilu diperkirakan tidak akan
lebih baik dari pemilu sebelumnya. "Pemilihan umum telah menjadi
pembelian umum, dan pilihan masyarakat atas wakil mereka motifnya
karena
uang,"
banyaknya temuan pelanggaran berupaya mengalihkan hasil perolehan
suara oleh penyelenggara pemilu merupakan bukti adanya pelanggaran
dan praktik penyelenggaraan pemilu yang menyimpang. Untuk meraih
kemenangan, caleg bahkan tidak segan-segan untuk melakukan tindakan
apapun, termasuk praktik politik uang.[19]
Fonomena praktek politik uang pada pileg 2014 ini akan menjadi
renungan khusus dan evaluasi bagi semua pihak khususnya bagi pembuat
regulasi seperti DPR untuk bekerja keras dalam menyelesaikan persoalan
bangsa khususnya praktek politik uang agar pemilu-pemilu kedepannya
tidak terjadi lagi praktek politik uang, yang dampaknya akan merugikan
semua pihak. Dan yang lebih penting adalah evaluasi dari semua pihak
terkait untuk penyelenggaraan pemilu yang di harapkan masyarakat,
seperti contoh: Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 menuai
banyak masalah, mulai dari kecurangan kertas suara hingga politik uang.
Bahkan, Pengamat politik Burhanudin Muhtadi menyebut Pemilu 2014
paling brutal dan menjijikan.

Dia sudah mendatangi berbagai daerah pemilihan (dapil) dan


mewawancarai puluhan calon anggota legislatif (caleg), umumnya mereka
melakukan
politik
uang.
Burhanudin pun menanyakan, mengapa hal tersebut tidak bisa dideteksi
oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya, secara empiris,
sistem proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia justru membuka
peluang
politik
uang,
"Tapi, poin saya, secara empirik sistem proporsional terbuka memberi
insentif poin kecurangan lebih banyak dibanding yang tertutup,"
tegasnya.
Burhanudin menambahkan, dalam sistem kelembagaan politik di mana
satu dapil memiliki banyak kursi, membuat peluang politik uang semakin
besar. Sebab, ada partai yang mengharapkan kursi sisa di dapil tersebut

dengan cara memberi sejumlah uang ke dapil yang memiliki banyak kursi.
[20]

Praktik politik uang atau money politic yang terjadi selama pemilu
legislatif (Pileg) 9 April lalu, juga dikutuk sejumlah pihak baik dari
kalangan politisi maupun pengamat politik. Sebab, praktik politik uang
dinilai
bisa
menghancurkan
perjalanan
demokrasi
bangsa.
Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat
Mohammad Nasih mengatakan, penyebab utama maraknya politik uang
yakni diantaranya mayoritas calon anggota legislatif (caleg) tidak memiliki
wawasan yang cukup tentang politik.

"Sehingga pada saat mereka seharusnya melakukan kerja-kerja politik


justru melakukan kerja sosial," kata dia dalam diskusi DPD di Gedung DPD,
Senayan, Jakarta, Jumat, 2Mei 2014.
Menurut dia, pemilih belum cerdas dalam menggunakan hak politiknya.
Terutama para pemilih di pedesaan. "Mereka meniscayakan uang untuk
memilih, sehingga mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaan
mereka. Jika mereka meninggalkan (uang) itu maka kehidupan harinya
terancam an tidak bisa makan dialami kaum petani dan terlebih lagi
nelayan, ujarnya.
Untuk mengatasi hal itu, kata dia, ada alokasi anggaran pemilu yang
memasukkan variabel bagi biaya para pemilih yang datang ke tempat
pemungutan
suara
(TPS).
"Warga negara Indonesia jangan hanya dilihat dalam konteks kota-kota di
Jawa tetapi juga didaerah yang masih dangat tertinggal yang untuk
datang ke TPS membutuhkan waktu yang lama dan juga biaya, misalnya
saja di Papua," kata dia.[21]

2. Mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahun-tahun mendatang

Upaya untuk mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahun-tahun


mendatang, merupakan pekerjaan yang tidak mudah, namun bercermin
dari kegagalan di pemilu 2014 ini, tentunya banyak hal yang dapat kita

lakukan, seperti antara lain di ungkapkan oleh Koordinator Indonesia


Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, mengusulkan perlunya membenahi
sistem Pemilu agar terhindar dari praktik politik uang. Menurutnya, praktik
politik uang dalam Pemilu sebaiknya masuk dalam rezim tindak pidana
korupsi.
Dengan masuk kategori rezim tindak pidana korupsi, maka praktik
pelanggaran Pemilu, khususnya terkait money politics (politik uang) bisa
diusut tuntas, dan tidak dibatasi dengan ketentuan waktu, kata Ade saat
Dialog Kenegaraan bertajuk Potensi Sengketa Pemilu 9 April 2014 di
Kantor DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (14/5/2014).
Menurut Ade, masuknya praktik politik uang dalam rezim tindak pidana
korupsi diharapkan bisa mencegah makin brutal, massif dan
terstrukturnya politik uang pada Pemilu mendatang.
Kalau tidak diatur maka politik uang akan makin brutal, massif dan
terstruktur dalam setiap Pemilu, jelasnya.
Ade juga menyampaikan bahwa ICW mengkonfirmasi berbagai
pelanggaran pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Tingkat kecurangan Pileg
2014 meningkat empat kali lipat dibanding Pemilu 2009.
Karena itu, politik uang itu harus diundangkan menjadi tindak pidana
korupsi, agar pelaku bisa diusut tuntas, meski yang bersangkutan
misalnya telah dilantik menjadi anggota DPR RI, dan jika terbukti
keanggotaannya bisa dibatalkan, tegas Ade.
Ade menambahkan, korupsi Pemilu itu berlangsung massif yang melibat
penyelenggara Pemilu, peserta, dan masyarakat. Bahkan, banyak yang
menggunakan fasilitas, dana, dan birokrasi kepala daerah.
Ditambah lagi politik uang, sajadah, sarung, sembako, kerudung,
serangan fajar, oknum menjanjikan baik pra dan pasca Pemilu, serta
transaksi beli putus suara. Kecurangan tersebut bisa saja dilakukan di
semua partai, tandasnya.
Sementara itu, Ketua Komite I DPD RI Alimran Sori mengakui, jika
pelanggaran, money politics dan kecurangan Pemilu 2014 ini sangat
brutal, massif, sistematis dan terstruktur.
Memang Pemilu ini berlangsung damai dan lancar, sehingga terkesan
baik. Tapi, di balik itu di 33 provinsi melaporkan bukti kecurangan
dan money politics itu, baik dari TPS, KPPS, KPPK, dan KPUD. Pemilu ini
seperti bajingan, keluh Alimran.

Sementara, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariah


mengatakan, banyaknya kecurangan, manipulasi, jual-beli suara dan
politik uang dalam Pemilu 2014 ini menunjukkan jika Pemilu kali ini
merupakan Pemilu yang terburuk sejak reformasi 1999. Hal itu tidak
terlepas dari proses rekrutmen komisoner Komisi Pemilihan Umum (KPU)
di DPR, di mana semua orang bisa mencalonkan anggota KPU, tanpa
mencermati latar belakang figur yang bersangkutan.
Seharusnya, komisioner KPU itu adalah doktor ilmu politik dan hukum,
kata Chusnul.
Menurut Chusnul Mariah, latar belakang pendidikan itu penting. Sebab
kalau tidak, maka KPU tak akan memahami ruh politik dan pemerintahan.
Apalagi, sebagai penyelenggara Pemilu, sebagai proyek politik terbesar di
dunia.
Chusnul pun menilai Ketua KPU sekarang ini adalah sarjana pertanian,
sehingga mengelola Pemilu ini dianggap seperti menanam jagung saja.
Seharusnya, orang seperti Ketua Bawaslu Muhammad, sebagai doktor
ilmu politik dan hukum, yang seharusnya memimpin KPU.Saya sudah
sudah bilang seharusnya Pak Muhammad yang menjadi Ketua KPU, dan
bukannya di Bawaslu. Terbukti, saat ini Pemilu dianggap menanam jagung
saja, kritik Chusnul.

Secara hukum, larangan politik uang (money politics) diatur dalam Pasal
86 ayat 1 huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye
pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain
kepada peserta kampanye pemilu.

Subjek dan objek politik uang

Undang-undang menempatkan subjek pelaku politik uang secara luas


yang mencakup pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu.
Definisi setiap subjek tersebut kemudian dijelaskan dalam Peraturan KPU
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pelaksana kampanye ialah pengurus partai politik, caleg, juru kampanye,


orang seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta
pemilu. Petugas kampanye sebetulnya masih menjadi bagian dari partai
politik karena ditetapkan oleh partai politik, sedangkan peserta kampanye
pemilu ialah masyarakat yang berdomisili di daerah pemilihan tempat
kampanye dilaksanakan.

Menurut ketentuan, pelaksana kampanye dan petugas kampanye


didaftarkan kepada KPU sesuai dengan tingkatannya. Keduanya
dimandatkan untuk bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, dan
kelancaran kegiatan kampanye.
Rumusan politik uang yang diatur dalam undang-undang dan peraturan
KPU sebetulnya menjangkau semua orang yang terlibat dalam kegiatan
kampanye. Masyarakat umum dapat saja menjadi pihak yang secara aktif
melakukan politik uang terhadap masyarakat lain, terlepas apakah
tindakannya atas sepengetahuan atau tidak dari pelaksana kampanye
ataupun petugas kampanye.

Dalam konteks penegakan hukum, ada atau tidaknya keterlibatan


pelaksana atau petugas kampanye dalam politik uang yang dilakukan oleh
masyarakat umum dalam kampanye partai tertentu memang harus
melalui proses pembuktian. Apakah memang ada perintah langsung,
memberikan kesempatan (pembiaran), atau memang di luar kendali
pelaksana dan petugas kampanye.

Menurut Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012, politik uang yang dilakukan


oleh pelaksana kampanye dilakukan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ini bisa diterjemahkan apakah janji atau pemberian tersebut
dilakukan secara langsung oleh pelaksana kampanye atau melalui orang
lain. Yang pasti, siapa pun yang melakukan politik uang artinya telah
melanggar larangan kampanye yang diatur dalam undang-undang.

Hal itu juga berlaku sama bagi partai politik dan peserta pemilu lainnya,
ketika ada pemberian barang yang bukan bagian dari atribut kampanye,
misalnya pembagian sembako, pengobatan gratis, atau bentuk lainnya,
sudah dapat dikategorikan sebagai politik uang.

Pidana politik uang

Ancaman sanksi pidana atas politik uang dalam masa kampanye hanya
dimungkinkan kepada pelaksana kampanye (Pasal 301 ayat 1 UU Nomor 8
Tahun 2012). Delik ini dikategorikan sebagai kejahatan dalam pemilu
(bukan pelanggaran) dengan ancaman pidana penjara dan denda.

Penjatuhan pidana dikenakan terhadap pengurus partai politik, caleg, juru


kampanye, orang seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh
peserta pemilu (definisi pelaksana).

Bagi calon anggota legislatif, sanksi ini akan berlanjut pada sanksi
administratif oleh KPU berupa pembatalan sebagai daftar calon tetap atau
pembatalan penetapan sebagai calon terpilih. Ini akan dilakukan ketika
kasus pidana politik uang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap
(Pasal 90 UU Nomor 8/2012).

Penjatuhan pidana pemilu akan menjangkau setiap orang ketika politik


uang dilakukan dalam masa tenang dan pada hari pemungutan suara,
baik itu dilakukan oleh pelaksana, peserta, pelaksana kampanye, atau
setiap orang (Pasal 301 ayat 2 dan 3 UU 8/2012).

Pemenuhan unsur pidana politik uang yang diatur dalam undang-undang


sebetulnya tidaklah rumit. Penegak hukum cukup membuktikan apakah
dalam pelaksanaan kampanye, masa tenang, atau pada hari pemungutan
suara ada tindakan menjanjikan atau memberikan uang/materi lain.

Pembuktian apakah janji atau pemberian tersebut berdampak pada


pemilih dalam hal penggunaan hak pilihnya tidaklah harus dipenuhi.

Menurut penulis, sangat tidak mungkin memidana pemilih yang tidak


menggunakan hak pilihnya (golput), kecuali ada pengakuan dari yang
bersangkutan bahwa ia menerima janji atau uang/materi.
Apalagi membuktikan apakah pemilih menggunakan suaranya untuk
partai politik atau caleg tertentu. Sebab, dalam surat suara sama sekali
tidak mencantumkan identitas pemilih. Kalaupun ada pengakuan dari
pemilih bahwa ia memilih partai politik atau caleg tertentu, bagaimana
melakukan verifikasi atas pengakuan tersebut?

Maka, berdasarkan aturan yang ada, memidana politik uang bukanlah


sesuatu hal yang sulit bagi penegak hukum. Sudah saatnya politik uang
dengan
segala
bentuknya
dipidana
untuk menciptakan iklim pemilu yang bebas dari praktik
kotor
tersebut. Sebab, politik uang menjadi factor utama yang semakin m
enyuburkan praktik korupsi di masa yang akan datang.[23]

3. Money Politics dalam Pemilu secara umum

Praktek dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara


bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: a)
distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader
partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b) pemberian
sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai
politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yangilegal, c) penyalahgunaan
wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang
simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS
atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain[24].

Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di negara ini dapat


dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra
pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa
tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih,
terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap
kedua adalah setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR
atau pada masa sidang tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik.
Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang
untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.

Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa
praktik politik uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara
umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping
medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat
yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol
yang telah memberikan uang atau mereka berkhiatan. Karena dalam
masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja
pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.

Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada tahapan yang kedua


lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab
sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan
penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan
dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit,
terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam
pemilihan. Dengan demikian para pengkhianat sulit dilacak.

Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money


Politics tetap merajalela, dan niscaya parpol yang potensial melakukan
praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun
besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap
akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam
praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh
dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun
yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut
berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu
kebijakan
yang
lebih
menguntungkan
pihak
penyumbangnya,
kelompoknya daripada interest public.

Bagaimanapun
juga Money
Politics merupakan
masalah
yang
membahayakan moralitas bangsa, walaupun secara ekonomisdalam
jangka pendek dapat sedikit memberikan bantuan kepada rakyat kecil
yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat
ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya
demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?

Demoralisasi yang diakibatkan oleh Money Politics akan sangat berbahaya


baik dipandang dari sisi deontologis (maksud) maupun teologis
(konsekwensi). Karena sifatnya yang destruktif, yakni bermaksud
mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan tertentu, atau
mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik
kebijakannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan
rakyat.
Kemudian Istilah lain politik uang (money politics) merupakan sebuah
istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption).
Apabila
penggunaan
uang
pribadi
dalam
kampanye
disebut
sebagai money politics, maka tidak ada orang atau partai politik yang
bersih dari korupsi. Indra J. Piliang (2011) menyatakan bahwa dalam
sejumlah penelitian tentang pemilihan umum, penggunaan uang untuk
mengadakan perhelatan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi
kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Kalau kepala desa itu terpilih,
lalu dianggap melakukan politik uang, tentu akan menghadapi krisis
multilevel dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi atas pemerintahan
atau pimpinan formal.[25] Pada titik inilah terjadi bias antara politik uang
(money politics) dengan biaya politik (cost politics).

Karena itulah belum ada kesimpulan tegas mengenai money politics.


Tidak ada batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran
uang dari partai untuk keperluan yang kongkrit. Garis demorkasi antara
money politics (politik uang) dan political financing atau pembiayaan
kegiatan politik masih sangat kabur. Indra Ismawan (1999: 5-10) dalam
bukunya Pengaruh Uang Dalam Pemilu, menyatakan bahwa politik uang
biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan
menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan politik uang
sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan
kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan (range) yang
lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum di suatu
negara.[26]

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah menerbitkan aturan


tentang politik uang ini. Politik uang yang dimaksud mempunyai
pengertian tindakan membagi-bagi uang bagi sebagai milik partai atau
pribadi untuk membeli suara.[27] Melalui Peraturan Nomor 1 tahun 2013
tentang Pedoman Kampanye, KPU telah dengan tegas melarang setiap
peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya
kepada peserta kampanye.[28]

Selain itu dalam pasal 49 dijelaskan pula bahwa ancaman pelanggaran


atas praktek politik uang dapat dibatalkan keterpilihanya, apabila:

(1) Terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang


atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu
secara langsung ataupun tidak langsung untuk:

tidak menggunakan hak pilihnya;


menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
tertentu; atau
memilih calon anggota DPD tertentu,

dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

(2) Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai


imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), inisiatifnya berasal dari pelaksana
kampanye untuk mempengaruhi pemilih. (3) Materi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk barang-barang yang merupakan
alat peraga atau bahan kampanye pemilu.[29]
Praktik politik uang paling marak terjadi pada saat kampanye. Menurut
Robi Cahyadi Kurniawan (2009), kampanye merupakan bagian penting
dalam proses pemilihan umum yang melibatkan dua unsur penting, yaitu:
peserta pemilihan umum dan warga yang mempunyai hak pilih.
Analoginya adalah peserta pemilu merupakan penjual, dan warga adalah
pembeli yang dapat melakukan deal politik berkat ketertarikan visi,
program, dan/atau janji berupa uang dan barang.[30] Politik uang dapat
dilakukan oleh aktor secara lansung ataupun tidak langsung, misalnya
melalui tim sukses.[31]

4.Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam


Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum

Dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum,


banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut
mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang berlangsung di negara
ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan
Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam
norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor
terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi
politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga
setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu
orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan
politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi
lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.[32]

Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk
mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin
tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya
di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada Ring
Dalam para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli
suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya
harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi
masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju
mungkin harga satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta
saja. Namun, untuk daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan
perkapita tinggi di duga satu suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50
juta hingga Rp 500 juta. [33]

Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang


dibutuhkan harus dikeluarkan. Dalam permainan politik uang (Money
Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim suksesnya (TIMSES)
harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini
dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada
orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati
bukan hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma saja, tetapi
sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat
dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara

calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat
dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang apabila kelak terpilih
dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok yang
kalah.
Terutama
banyaknya
pengungkitan
dari
pihak
lawan
akan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam
pemilihan kepala daerah. Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya
kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang
adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk
mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara
pesta demokrasi tersebut.

Maka dapat dijadikan bahan untuk membatalkan pelantikan kepala daerah


terpilih, bukankah peraturan pemerintah Nomor 151 tentang tata cara
pemilihan kepala daerah terpilih harus menghadapi masa uji publik
selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh untuk
menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti
adanya praktek politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang
(Money Politics) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.

Di samping mempelajari secara hati-hati dan seksama, calon kepala


daerah tidak pula sembarangan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang
tidak jelas guna dalam memperoleh suara dalam pemilihan nanti. Dalam
praktek politik uang (Money Politics) dikenal beberapa tahapan dana yang
dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal, uang
untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per
orang pemilih. Pada proses pemilihan, masing-masin bakal calon
melakukan pendekatan kepada para anggota dewan, guna mencari
dukungan bagi mereka untuk mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala
daerah (PILKADA). Bagi mereka yang terlibat dalam praktek politik uang
(Money Politics) mereka juga menyediakan dana khusus dalam masa
perkenalan ini. Bagi bakal calon yang paham betul dengan situasi
lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi masa perkenalan telah
menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi istilah uang
pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah besar
untuk suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan
merupakan suatu hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang
terlalu besar resikonya. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko
tersebut, maka apabila terjadi kesepakatan untuk memberikan dana
dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati dibayarkan.

Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila kelak


terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.[34]

Memang pola menggunakan uang pangkal ini juga riskan apabila ditinjau
dari sisi kepastian bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada si
pemberi uang pangkal. **Dalam salah satu kasus yang saya ketahui
dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10 juta disertai dengan
janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila kelak terpilih. Oleh
anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal ini dianggap tidak
pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara kontan tiga kali
lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh si pemberi uang pangkal
pertama berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang
diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma
karena dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas
dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain.[35] Dalam
pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak sesuai
dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL
(Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai
asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam asas Pemilu pada awal
Pemilu di Indonesia, antara lain:

Perlunya atau tidak asas jurdil ini dimasukan dalam perundang-undangan


sebagai asas resmi disamping asas LUBER.
Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan bahwa asas jurdil ini
merupakan sesuatu yang benar-benar diterapkan.

Melihat pengertian asas Jurdil ini disatu pihak dan asas Luber pihak lain,
keduanya memiliki pengertian yang berbeda, namun sangat erat
kaitannya. Dalam pembahasan ini maka sewajarnyalah sebuah Pemilu
harus menggunakan asas JURDIL dan LUBER, guna terciptanya sebuah
demokrasi serta pesta demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat
UUD 1945 dan juga sesuai dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.

Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini
(JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada
dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak akan

pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus
menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses
masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian
serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam
PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum).
Walaupun adanya partai politik yang berasaskan Islam akan tetapi
praktekMoney Politics ini tetap ada walau dikemas dalam agenda yang
sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik yang memang benarbenar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics). Serta
merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya
bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money
Politics kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan
berada ditangan uang.

Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah pemilik uang, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di
tengah gelombang demokratisasi yang gencar belakangan ini,
maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya penetrasi politik
melalui uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistem Money
Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam praktek
politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang hari
pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada
para anggota DPRD.

Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui


perantara orang ketiga. Pada saat inilah transaksi dilakukan baik dengan
memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji atau pemberian
atas pemberian. Ada hal yang menarik bahwa umumnya para anggota
DPRD lebih menginginkan uang kontan dari pada cheque. Akibatnya,
jangan heran kalau uang kontan berdampak lebih ampuh dibandingkan
dengan penggunaan selembar cheque. Karena itu harga suara itu sangat
mahal apabila seorang bakal calon kepala daerah berasal dari anggota
TNI/ POLRI artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi tawar yang tinggi.
Mereka dapat mengajukan argument bahwaterikat rantai komando dan
terikat pemerintah komandan dan seterunya. Padahal, tidak ada lagi
perintah komando untuk memilih atau tidak memilih salah satu bakal
calon. Akibatnya, calon pembeli suara dihadapkan pada situasi sulit.
Dalam kondisi inilah dibutuhkan dana yang cukup besar. Biasanya strategi
yang dilakukan dengan mendapatkan informasi berupa dana yang

dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah mengetahui
harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.

Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya Serangan Fajar bagi
para bakal calon kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih,
adapun masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam
masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian guna
semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi
tentang berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD.
Informasi ini menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan
kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut. Namun, dalam
praktek juga terjadi Serangan Fajar yang dimaksud sebenarnya adalah
dengan Serangan Fajar ialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan),
kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan informasi
paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih
yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD
mana saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai
suaranya dalam pemungutan suara dan masa uji publik serta masa
pelantikan kepala daerah. Ada beberapa kategori yang dapat di ketahui
yaitu sebagai berikut :Pertama, Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini
dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal sesuai harga. Kedua,
Anggota Dewan (DPRD) yang masih dihadapkan pada keraguan antara
misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.

Namun hal yang inti dari Money Politics adalah bagaimana strategi
pemberian uang ini. Bukankah tindakan menyuap dan disuap merupakan
perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu proses penyampaian uang
harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun, yang pasti bagi
mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak melalui
transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu
dengan cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD)
untuk memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal
mungkin menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui
jasa perbankan tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di
samping memang transaksi perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan
hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat yang kalah guna
membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang dilakukan oleh
calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau
pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan
sebuah kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik

uang (Money Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut. Selain itu


ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat
secara langsung. Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan
melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan
bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian
uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik
uang (Money Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:

Sistem ijon.
Melalui tim sukses calon.
Melalui orang terdekat.
Pemberian langsung oleh kandidat.
Dalam bentuk cheque.

Akan tetapi tidak banyak juga Money Politics ini yang tidak berhasil pada
akhirnya dalam masalah pembelian suara pemilih maupun dari anggota
dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor yang membuat hal ini terjadi, yaitu:

Adanya hubungan keluarga dan persahabatan.


Bakal calon bersikap ragu-ragu.
Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri.
Adanya anggota yang dianggap opportunis.

5.Dampak Praktik Money Politics

Ciri khas demokrasi adalah adanya kebebasan (freedom), persamaan


derajat (equality), dan kedaulatan rakyat (peoples sovereghty). Di lihat
dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah paham yang
menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai
dengan norma hukum yang ada.
Dengan demikian adanya praktik Money Politics berarti berdampak
terhadap bangunan, khususnya di Indonesia berarti prinsi-prinsip

demokrasi telah tercemari dalam praktek politik uang. Suara hari nurani
seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi
kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat
dikatakan kejahatan.

Sisi etika politik yang lainnya adalah pemberian uang kepada rakyat
dengan harapan agar terpilihnya partai politik tertentu berimbas pada
pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada gilirannya menyumbat
partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek
eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Money Politics bukan secara moral saja yang salah dalam dimensi agama
juga tidak dibenarkan, sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya
untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah kekecewaan
rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat itu
sendiri.

Sabilal (2009) menyatakan bahwa praktek politik uang pada proses


demokrasi level akar rumput (grass root) tumbuh subur karena dianggap
suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka
membiarkannya, karena tidak merasa bahwa money politics secara
normatif harus dijauhi. Segalanya berjalan dengan wajar. Kendati jelas
terjadi money politics, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat,
namun tidak ada protes.[36]

Fuji Hastuti (2012) berpendapat bahwa disadari atau tidak, penggunaan


politik uang sebagai alat mencapai tujuan politik telah mengesampingkan
uang dari posisi sebagai tujuan utama pelaku transaksi politik uang
akhirnya mendapatkan uang sebagai konsekuensi dari kekuasaan. Tetapi
ketika mereka bertransaksi focus tidak tilakukan pada uang itu sendiri
melainkan pada kekuasaan.[37] Persoalan yang terkesan remeh namun
memiliki implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan
demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Politik uang membuat
proses politik menjadi bias. Akibat penyalahgunaan uang, pemilu sulit
menampakkan ciri kejujuran, keadilan serta persaingan yang fair. Pemilu
seperti itu akhirnya menciptakan pemerintah yang tidak memikirkan nasib
dan kesejahteraan rakyat[38]. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun
menegaskan bahwa politik uang dapat merusak demokrasi, mengkhianati
kepercayaan publik dan akan melahirkan demokrasi palsu. [39]

Selain itu, politik uang adalah mata rantai dari terbentuknya kartel politik.
Kartel hanya terjadi bila kontrol keuangan dalam sistem kapitalistik tidak
berlangsung dan praktek money politics berlangsung liar.[40] Pada tahap
selanjutnya, hal tersebut akan memicu munculnya praktek korupsi politik.
Hamdan Zoelva (2013) menyebutkan bahwa political corruption sendiri
melibatkan pembentuk undang-undang (raja, diktator, legislatif) yang
berperan sebagai pembentuk peraturan dan standar-standar yang
diberlakukan negara, para pejabat menerima suap atau dana untuk
kepentingan politik dan pribadi mereka dan memberikan bantuan kepada
pendukung mereka dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih
besar.[41]

6. Kenapa Money Politics Masih Menjadi Ancaman

Dalam perkembangan demokratisasi dalam sistem politik Indonesia, justru


mencuat isu yang diangkat oleh teman-teman LSM politisi bermasalah,
yang di indikasikan salah satunya pernah terlibat kasus korupsi dan
masalah hukum lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud memperdebatkan
akan validitasnya. Yang menurut Bung Jeiry Sumampow, dan temanteman dari JPPR, data yang mereka miliki bersumber dari pengaduan
masyarakat. Untuk itu paling tidak dapat disikapi dari dua aspek. Aspek
pertama, bahwa ada indikasi peningkatan kontrol publik atas mekanisme
politik dan mengalami institusinalisasi secara baik. Aspek kedua
merupakan keprihatinan, mengingat bahwa masih menggejalanya korupsi
dalam mekanisme politik nasional, yang diduga keras berasal dari politik
uang. Hal yang menurut hemat kami, merupakan gejala yang harus
menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong
berkembangnya demokrasi dalam proses politik yang lebih akuntabel
dan yang lebih transparan dalam sistim politik Indonesia.

Sebuah keniscayaan bahwa, politik memang membutuhkan dana. Belanja


politik direncanakan dan digunakan untuk berbagai kegiatan program
kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan konstituen,
serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi
dalam kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir
dapat dipastikan akan kalah. Tetapi dana politik dan politik uang jelas
berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam pengunaan dana yang
digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula sumber

pendanaannya. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak


punya dana; sudah hampir dapat dipastikan akan kalah dan tersingkir.
Faktanya politisi tidak hanya memerlukan dana kampanye yang cukup
besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru umumnya politisi
sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan
walaupun tidak resmi dari elite partai, yang mengusungnya.[42]

Sumber dana politik umumnya dapat dikategorikan pada dua sumber.


Pertama, bersumber pada sektor negara atau menggunakan APBN. Kedua,
dana politik yang bersumber dari sektor publik atau masyarakat. Dari
perkembangan sisitem politik di Indonesia, yang tercermin dari perubahan
peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 10 Tahun 2008
Tentang Pemilu yang digunakan sekarang, semata-mata sumber dana
politik dalam tataran infra strktur politik adalah dari sektor masyarakat.

Pada pasal 129 UU No. 10 Thn 2008 tentang Pemilu sumber dana itu
meliputi:

Partai politik.
Caleg dari partai politik yang bersangkutan.
Sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum.
Partai politik memiliki sumber dana dari iuran anggota. Fakta menujukan
hampir semua Partai, sistem iuran anggota belum dapat berjalan secara
memadai. Yang digunakan adalah iuran atau kewajiban anggota fraksi.
Yang dapat memberi donasi kepada Partainya terbatas kepada orangorang tertentu saja. Karena tingkat sosial ekonomi anggota atau
masyarakat yang menjadi konstituen, dengan pendapatan perkapita ratarata (data terakhir) 1860, itu pun dengan kesenjangan yang cukup besar
pula.

Dari gambaran fakta dilapangan, maka terlihat bahwa sumber dana politik
itu, dominan dari kategori butir (b), dan butir (c) diatas. Kategori sumber
dana pada butir (b), tersebut adalah caleg yang memiliki uang sendiri.
Politisi dari kategori ini, umumnya kelompok kaya atau pengusaha, yang
umumnya berpikir dalam perspektif usaha, dimana dana yang sudah
dikeluarkan akan kembali juga dalam bentuk dana, berpolitik untuk

pengembalian modal mungkin plus keuntungan. Sehingga kinerja politik


menjadi nomor dua. Sedangkan kategori sumber dana pada butir (c),
adalah kelompok pendana perorangan atau mungkin juga sindikasi. Yang
memberikan donasi, dengan syarat adanya pengembalian dalam
perlindungan atau kepentingan politik tertentu. Donasi yang diberikan
mengikat si politisi, harus mengikuti kepentingan dari sumber si
pemberi donasi. Kinerja politik dan moralitas politik menjadi nomor dua.

Hal ideal yang semestinya berlangsung dalam mekanisme dan politik


yang sehat adalah si pemberi donasi, mengharapkan otu-put politik
adalah kebijakan publik yang berkualitas. Dalam hal ini, demokrasi
menjadi instrumen yang dapat diharapkan mendatangkan kebijakan yang
adil, yang mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan
publik yang lebih baik. Mekanisme politik yang ideal tersebut, mau tidak
mau bila didukung oleh si pemberi donasi yang memiliki harapan
terwujudnya tatakelola pemerintahan yang lebih baik, untuk mencapai
tujuan bernegara. Pengalaman menujukan si pemberi dana dalam
kategori tersebut, adalah kalangan masyarakat menengah yang sosial
ekonomi mampu, disamping memiliki kesadaran, karakter dan moralitas.
Karena masyarakat pada akar rumput, walaupun besar jumlahnya belum
dapat menyumbang seorang calon wakil rakyat, sekalipun calon itu adalah
pilihannya. Bagaimana mungkin dia dapat menyumbang, dengan
kebutuhan sehari-hari saja sudah repot.
Tentu sangat berbeda, dengan perbandingan sisitem politik Amerika yang
demikian demokratis dan transparan. Pada Pemilu yang baru lalu,
kemanangan Barack Obama, memberikan suatu contoh. Dia tidak hanya
berhasil menekan angka golput (yang tidak menggunakan hal pilih). Dana
politik, dihimpun dari konstituen dengan kuantita person dan jumlah
donasi terbesar justru berasal donasi yang kecil-kecil dari masyarakat
menengah sampai pada lampisan akar rumput. Jelas mereka tidak
mengenal dana politik pinjaman yang harus dikembalikan ke pemberi
donasi. Konsekwensinya hanya dalam pertanggungjawaban Barack
Obama, pengelolaan yang transparan dan tentu pada gilirannya tuntutan
atas kinerja politik, dalam bentuk keberhasilan dia mewujudkan visi dan
janji politik yang disampaikan pada saat kampanye.

Barangkali disanalah letak persolannya bagi bangsa kita sekarang ini.


Pilihan sikap politik dari kalangan menengah Indonesia. Kalangan yang
mampu memberi donasi kegiatan politik, apakah aktif atau tidak. Bila
aktif, maka hal tersebut menekan peluang kelompok pendana perorangan

(besar) atau mungkin juga sindikasi, mendominasi atau bahkan boleh jadi
mengkoptasi mekanisme politik kita. Yang secara tidak langsung sudah
mengikat si politisi jatuh kedalam jebakan politik uang.

7.Melawan Praktik Money Politics

Partai politik dan para anggota legislatif di segala level sudah


mempersiapkan strategi untuk mendapatkan simpati rakyat agar menang
dalam Pemilu yang nampaknya akan lebih kompetitif, karena diikuti oleh
tiga puluh delapan partai politik nasional dan enam partai politik lokal.

Pemilu mendatang nampaknya akan diwarnai dengan praktik politik uang.


Hal ini terjadi karena sebagian besar rakyat telah terbiasa dengan praktik
ini dalam proses-proses politik yang terjadi yang dilakukan secara
langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati,
walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah
satu pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung adalah agar
praktik Money Politics bisa diminimalisir. Bahkan dalam demokrasi
langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik Money
Politics menjadi semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan
perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat
hanya untuk melanggar.

Praktik Money Politics dalam setiap perhelatan politik tersebutlah yang


kemudian menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara
penyelenggaraan mekanisme politik dengan Money Politics. Singkatnya,
terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam setiap kompetisi
politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian menyebabkan
semacam pandangan bahwa seolah terdapat empat faktor yang sangat
berpengaruh dalam proses kompetisi politik, yaitu: uang, duit, money, dan
fulus.

Selain itu, partai politik tidak siap menyediakan kader-kader handal, baik
sebagai calon maupun sebagai relawan yang mau bekerja secara militan
untuk mensosialisasikan calon-calon yang diajukan oleh partai. Dengan
demikian, calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan

dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk
memberikan hak pilihnya.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi
terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena
kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya untuk menempati posisi
politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada
para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatanjabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang
sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan
struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja
dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (common goods).

8.Bagaimana implikasi politik uang terhadap perilaku pemilih?

Sejauh mana politik uang mempengaruhi perilaku politik tidak dapat


diukur secara pasti. Perilaku politik masyarakat dapat berubah-ubah
sesuai dengan prefensi yang melatarinya. Kejadian itu sangat
memungkinkan karena setiap manusia dan masyarakat hidup dalam suatu
ruang yang bergerak. Leo Agustino (2009) menyebutkan berbagai
perubahan perilaku politik masyarakat, khususnya dalam konteks
partisipasi politik, banyak ditunjukan oleh mereka diantaranya disebabkan
oleh perubahan system politik, tumbuhnya kesadaran kelas, termasuk
orang yang berpengaruh pada suatu partai politik, berkurangnya tingkat
ketergantungan seseorang, program yang ditawarkan pasangan calon,
dan masih banyak lagi.[43]

Menurut
John
Markoff
(2002),
Indonesia
saat
ini
mengalami hybrid demokrasi. Yang dimaksud hybrid demokrasi adalah
mekanisme demokrasi berlangsung secara bersama-sama dengan
praktek-praktek non-demokratis. Pemilihan umum sebagai salah satu pilar
demokrasi politik berjalan beriringan dengan perilaku money politics yang
sejatinya merusak demokrasi itu sendiri. Maka rasionalitas pemilih
menjadi layak untuk dipertanyakan. Pemilih tidak memilih calon
berdasarkan program dan visi yang ditawarkan tapi hanya berdasar
jumlah uang yang diterima menjelang pemilihan. Dalam hal ini maka
menurut teori John Markoff maka perilaku pemilih di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non-demokratis.

Partisipasi politik yang ditunjukkan dalam angka penggunaan hak pilih


tersebut adalah partisipasi semu. Halili mengutip Larry Diamond
menyebutkan bahwa artisipasi demikian akan melahirkan sebagai
demokrasi semu (pseudo democracy), dimana keberadaan mekanisme
demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi sebenarnya (hakiki). Simbolsimbol demokrasi (misalnya prosedur electoral) mengandung elemenelemen yang hakikatnya penyelewengan terhadap demokrasi.[44]

9.Implikasi Politik Uang Terhadap Perilaku Pemilih

Untuk mengetahui respon pemilih terhadap praktek politik uang, maka


berdasarkan data survey yang telah dirilis oleh Indikator (2013) diketahui
bahwa masih banyak pemilih yang menganggap wajar adanya praktek
politik uang. Hal itu dapat dilihat pada gambar dibawah; Burhanudin
Muhtadi (2013) menjelaskan berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh
Lembaga Survey Indikator, bahwa tingkat toleransi pemilih terhadap
politik uang masih cukup tinggi. Sebanyak 41, 5 % masyarakat
menganggap
bahwa
politik
uang
merupakan
hal
yang
wajar. [45] Menurutnya tinkaty pendidikan mempunyai pengaruh kuat
terhadap toleransi atas praktek politik uang, selain itu pemilih yang
tinggal di desa lebih rentan atas money politics. Faktor jumlah pendapatan
juga berpengaruh, karena semakin kecil pendapatan seseorang maka ia
akan semakin terbuka dan menerima dengan wajar politik uang. Lebih
lanjut, Burhanudin Muhtadi menjelaskan bahwa politik uang berpengaruh
atas perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya. Berdasarkan data
survey, diantara pemilih yang menilai politik uang sebagai kewajaran,
28,7% responden akan memilih calon yang memberi uang dan 10,3%
pemilih akan memilih calon yang memberi uang paling banyak. Namun
lebih dari separuhnya akan menerima pemberian uang tapi tetap memilih
sesuai hati nurani (55,7%). Sebagian kecil di antara mereka akan menolak
uang, meski menilai praktik itu sebagai suatu yang lumrah (4,3%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halili[46] pada Pilkades di


Pakandangan Barat, Sumenep, di dapatkan fakta bahwa politik uang
dapat meningkatkan partisipasi pemilih. Kenaikan angka partisipasi
pemilih ini menurutnya karena faktor serangan fajar yang dilakukan oleh
peserta pemilihan menjelang hari pemilihan berlangsung. Pada
masyarakat pedesaan faktor ini sangat kuat mempengaruhi pemilih yang

mayoritas berpendapatan rendah dan tingkat pendidikannya juga rendah.


Senada dengan Halili, penelitian yang dilakukan oleh Nurus Sobah juga
mendapati fakta serupa.[47] Dalam pemilihan kepala daerah, menurutnya
politik uang memainkan peran yang amat penting dalam pemenangan
calon kepala daerah. Bentuknya pun bisa beragam, mulai dari terangterangan memberi amplop uang beserta calon yang harus dipilih, hingga
dengan dalih memberikan bantuan infrastruktur.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Sabilal Rosyad (2009), kasus yang ia
temukan dalam pemilu legislatif tahun 2009 di Kabupaten Pekalongan
terjadi pergeseran nilai di masyarakat yang semula dianggap
penyelewengan menjadi sesuatu yang wajar.[48] Pada tahun 2009 di
Pekalongan msayarakat akrab dengan ungkapan tak coblos, yen ono
duite (saya coblos, kalau ada duitnya). Masyarakat Pekalongan menilai
money politics sebagai sesuatu yang wajar karena alasan ekonomis dan
sebagian karena ketidaktahuan mereka. Anggapan ini muncul disebabkan
pragmatisme politik, yang tidak hanya dipraktekkan oleh elit politik tetapi
juga telah menyebar ke dalam kultur masyarakat.

D.ANALISIS

Makin Maraknya Money Politics

Masyarakat
menjadi
semakin
terbiasa
dengan
praktik Money
Politics dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara
langsung. Dalam pemilu legislatif nanti, Money Politics dapat dipastikan
akan menjadi semakin tak terkendali. Sebab akan ada banyak calon
anggota DPR yang berkompetisi untuk memperebutkan dukungan rakyat.
Karakter rakyat yang kian pragmatis akan dilihat oleh para politikus
sebagai peluang untuk memenangkan kompetisi dengan cara menyebar
uang.

Dalam konteks ini, politik uang sesungguhnya menunjukkan tidak adanya


nilai lebih kualitas caleg. Mereka tidak melakukan kemampuan untuk
mengkomunikasikan visi politik mereka kepada masyarakat. Bahkan
sangat mungkin memang mereka tidak memiliki visi politik yang akan
diwujudkan ketika mereka benar-benar terpilih nantinya.

Money Politics Perlu Perlawanan

Jika Money Politics terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan
menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan
bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai,
untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural
akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan
kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala
macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan.
Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang
yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan
digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipatlipat. Karena itulah, Money Politics harus dianggap sebagi kejahatan besar
dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.

Untuk melawan praktik Money Politics, diperlukan para politikus sejati


yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah seni
menata negara dan tujuannya adalah menciptakan kebaikan bersama
agar rakyat lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki
keunggulan komparatif dalam artian memiliki kompetensi, dan sekaligus
juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu
diperjuangkan sampai ia tertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan
politik negara.

E.KESIMPULAN DAN SARAN

1.Kesimpulan

a. Secara umum dari pembahasan diatas mengenai partisipasi politik


yang ada didalam masyarakat dalam pemilihan umum legislative (PILEG),
maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi
politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di
Negara ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat

umum bagaimana partisipasi tersebut jangan salah digunakan dalam


pemilihan umum.
Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang
(Money Politics) yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan
demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan yang bagus dalam
menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara umum
yaitu DEMOKRASI bukanlah DEMOCRAZY. Dan juga bagi masyarakat
umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua imingiming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada
dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang
sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat pada para calon
kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di
negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam
melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar
ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian
demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan
tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya
sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini.
Politik uang berlangsung dalam setiap tingkatan pemilihan umum di
Indonesia, mulai dari pemilihan tingkat pusat hingga pemilihan tingkat
desa. Menurut penulis, politik uang yang jamak terjadi di masyarakat
Indonesia bagaikan sebuah candu. Di satu sisi masyarakat dapat
menikmatinya dalam jangka pendek, namun di sisi lain secara jangka
panjang praktek ini dapat merusak bangunan demokrasi. Bahkan
berpotensi besar menyebabkan korupsi politik yang pada akhirnya
merugikan masyarakat.
Berdasarkan beberapa hasil kajian dan penelitian, maka masyarakat
masih menganggap wajar politik uang yang dilakukan oleh peserta
pemilihan umum. Politik uang juga mempengaruhi perilaku pemilih,
terutama dalam soal menentukan pilihan politiknya. Politik uang ini juga
terhadap tingkat partisipasi pemilih.
b. Khusus pada Pemilu Legislatif 2014 ini merupakan yang
terburuk dibandingkan dengan Pemilu 1995 dan 1999 dan "Kualitas
Pemilu semakin memburuk, Pemilu 2014 bahkan lebih buruk dari 2009,
karena dipengaruhi oleh politik uang,"
Fonomena praktek politik uang pada pileg 2014 ini akan menjadi
renungan khusus dan evaluasi bagi semua pihak khususnya bagi pembuat
regulasi seperti DPR untuk bekerja keras dalam menyelesaikan persoalan
bangsa khususnya praktek politik uang agar pemilu-pemilu kedepannya
tidak terjadi lagi praktek politik uang, yang dampaknya akan merugikan

semua pihak. Dan yang lebih penting evaluasi untuk semua pihak
terkait dalam penyelenggaraan pemilu yang di harapkan masyarakat,
seperti contoh: Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 menuai
banyak masalah, mulai dari kecurangan kertas suara hingga politik uang.

2.Saran
Dalam rangka Mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahuntahun mendatang, maka disarankan :
a. Perlunya meninjau kembali Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU
serta peraturan terkait lainnya dalam pelaksanaan pemilu legislatif yang
menutup semua ruang bagi pihak manapun untuk melakukan kecurangan
pada pemilu, khusunya praktik politik uang, misalnya meninjau kembali
sistem proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia, yang justru
membuka peluang praktik politik uang. Karena secara empirik sistem
proporsional terbuka memberi insentif poin kecurangan lebih banyak
dibanding yang tertutup

b Diperketat penyeleksian caleg, sebab penyebab lain maraknya politik


uang yakni diantaranya mayoritas calon anggota legislatif (caleg) tidak
memiliki wawasan yang cukup tentang politik.

c. Politik uang itu harus diundangkan menjadi tindak pidana korupsi,


agar pelaku bisa diusut tuntas, meski yang bersangkutan misalnya telah
dilantik menjadi anggota DPRD atau DPR RI, dan jika terbukti
keanggotaannya bisa dibatalkan.

E. PENUTUP
Demikian kajian ini disusun dengan harapan dapat menjadi masukan bagi
para anggota Dewan, para eksekutif, khususnya semua pihak yang terkait
dalam penyelengaraan pemilu, baik pemilu legislatif (PILEG) maupun

pemilu kepala daerah (PILKADA) kaitannya dengan praktek politik uang,


sebagai bahan pertimbangan mengambil keputusan dalam melakukan
kebijakan yang dapat menguntungkan semua pihak.

[1] http://dendi.susianto.4t.com/custom4.html

[2] http://pemilu.okezone.com/read/2014/04/16/568/971237/kpu-bentuktim-khusus-usut-surat-suara-tertukar
[3] http://www.academia.edu/5587237/Perkembangan_Pemilu_dan_Demok
rasi_di_Indonesia
[4] http://nasional.kompas.com/read/2014/04/16/1508474/Politik.Uang.Di
mulai.dari.Elite
[5] Ibid
[6] http://berita.plasa.msn.com/nasional/jpnn/temukan-313-pelanggaranpemilu-di-15-daerah
[7] Ibid
[8] http://www.pemilu.com/berita/2014/04/praktik-politik-uang-meningkatdari-pemilu-ke-pemilu/
[9] Nurcholis Majid, dalam Pengantar Laporan Penilaian Demokratisasi di
Indonesia oleh IDEA tahun 2000.
[10] Kazuhisa Matsui dalam Regional Development Polcy and Local-Head
Elections
[11] Dalam buku pegangan KPU Pemilihan Umum dan Demokrasi tahun
2009 halaman 11-12.
[12] Dalam buku pegangan KPU Pemilihan Umum dan Demokrasi tahun
2009 halaman 11-12.
[13] AAGN Ari Dwipayana. 2009. Demokrasi Biaya Tinggi. Yogyakarta:
Jurnal FISIPOL UGM

[14] Dalam makalah ilmiah yang ditulis oleh Wahyudi Kumorotomo yang
berjudul Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi tahun 2009.

[15] Dalam makalah yang ditulis Daniel Dakhidae berjudul Melawan


Politik Kartel Dalam Demokrasi Indonesia tahun 2011
[16] Dalam John Markoff. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia, Gerakan
Sosial dan Perubahan Politik. Yogyakarta: CCSS dan Pustaka Pelajar
[17] Larry Diamond, seperti dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Halili
berjudul Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa
[18] http://m.bisnis.com/pemilu/read/20140428/355/223007/marak-politikuang-yusril-sebut-pemilu-2014-terburuk
[19] http://www.merdeka.com/pemilu-2014/kiai-hasyim-dinasti-politikuang-masih-marak-di-pemilu-2014.html

[20]http://ns1.kompas.web.id/read/read/2014/05/05/568/980374/marakpolitik-uang-pemilu-2014-dinilai-paling-buruk
[21] http://www.kafeberita.com/berita-ini-penyebab-utama-maraknyapolitik-uang.html#ixzz326ontG7i

[22] http://www.jurnas.com/news/134891/Politik-Uang-Diusulkan-MasukRezim-Tindak-Pidana-Korupsi-2014/1/Nasional/Pemilu-2014

[23] http://budisansblog.blogspot.com/2014/04/memidana-pelaku-politikuang.html
[24] Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
[25] Indra J. Pilliang dalam artikel opini yang dimuat di Kompas November
2011 dengan judul Korupsi dan Demokrasi.
[26] Indra Ismawan. 1999. Pengaruh Uang Dalam Pemilu. Yogyakarta:
Media Pressindo

[27] Definisi ini menurut Affan Gaffar yang dikutip dari tesis Sabilal Rosyad
berjudul Praktek Money Politic Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten
Pekalongan 2009
[28] Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye
pasal 32

[29] Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye


pasal 49
[30] Robi Cahyadi Kurniawan dalam Kampanye Politik: Idealis dan
Tantangan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM 2009
[31] Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik
Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.

[32] Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala


Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
[33] Antulian, Rifai. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan
kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia
[34] Antulian, Rifai. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan
kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia
[35] Antulian, Rifai. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan
kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[36] Sabilal Rosyad dalam tesisnya yang berjudul Praktek Money Politic
Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan 2009
[37] Fuji Hastuti dalam penelitiannya yang berjudul Politik Uang dalam
Pemilu Kades tahun 2012
[38] Sabilal Rosyad dalam tesisnya yang berjudul Praktek Money Politic
Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan 2009
[39] Berita dari antara.com dengan judul Praktek Politik Uang Merusak
Demokrasi tertanggal 28 Juli 2010
[40] Dalam makalah yang ditulis Daniel Dakhidae berjudul Melawan
Politik Kartel Dalam Demokrasi Indonesia tahun 2011
[41] Hamdan Zoelva. 2013. Memberantas Electoral Corruption, dalam
jurnal Pemilu dan Demokrasi

[42] Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik
di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
[43] Leo Agustino dalam buku Pilkada dan Dinamika Politik Lokal,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
[44] Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik
Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.
[45] Burhanudin Muhtadi dalam rilis laporan Sikap dan Perilaku Pemilih
Terhadap Money Politics pada tanggal 12 Desember 2013

[46] Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik
Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.
[47] Nurus Shobah. 2013. Dalam jurnal penelitiannya yang berjudul
Politik Uang Dalam Pemilu Kada.
[48] Sabilal Rosyad. 2009. Praktik Money Politics Dalam Pemilu Legislatif di
Kabupaten Pekalongan Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai