Politik Uang Pada Pemilu 2014
Politik Uang Pada Pemilu 2014
Hasil pemilu tahun 2014 telah dapat dilihat dan diperkirakan oleh
Lembaga Survei dalam Hitung Cepat (Quick Count). Quick Countadalah
proses perhitungan cepat hasil pemilu dengan menggunakan metode
sampling dan kemampuan teknologi komunikasi.[1]Namun hingga saat ini
beberapa tempat, masih dilakukan pemilu ulang dengan alasan
diantaranya surat suara tertukar. Lembaga Survey Hitung Cepat haruslah
independen dan tidak menguntungkan atau memihak salah satu partai
politik. Berdasarkan putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 tanggal 3 April
2014 bahwa pasal 247 ayat 2, ayat 5 dan ayat 6 UU Nomor 8 Tahun 2012
tentang pengumuman hasil survey pada masa tenang, pengumuman
prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling
cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia
Bagian Barat dan Pelanggaran terhadap pasal 247 ayat 2, ayat 4,
dan ayat 5 menurut amar Mahkamah Konstitusi adalah bertentangan
dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Menurut Fery Kurnia Riskiyansyah, Komisioner KPU, dinyatakan bahwa
sudah dibentuk tim klarifikasi terkait surat suara tertukar dan segala
macam pelanggaran hasil temuan dari tim pengawas[2]. Beliau juga
menegaskan akan memberi sanksi baik etik dan juga akan melaporkan
tindak pidana bagi anggota KPU yang terlibat pelanggaran. Pemilu tahun
ini terjadi surat suara tertukar pada 785 tempat pemungutan suara yang
tersebar pada 30 provinsi.
Namun pemilu tahun ini masih dinodai dengan adanya politik uang yang
dilakukan oleh beberapa caleg, Menurut Rumlan Surbakti, Guru Besar Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, inisiatif calon anggota DPR
dianggap salah satu penyebab praktek politik uang. Caleg melakukan
berbagai cara termasuk politik uang, untuk mendapatkan suara lebih
banyak dari pada caleg lain dalam satu partai politik. Sebab, dalam
system pemilihan proposional dengan daftar terbuka, caleg bisa
mendapatkan kursi, jika suara yang di raih lebih banyak daripada caleg
yang lain yang berasal dari partai politik yang sama.[4]
Menurut AAGN Ari Dwipayana, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, disisi lain honor petugas
penyelenggara pemilu mulai dari kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK), tidak berubah. Rendahnya honor itu membuka peluang
para petugas penyelenggara pemilu melakukan penyelewengan, seperti
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga merilis praktik politik uang dari
pemilu ke pemilu mengalami peningkatan pasca reformasi. Pada pemilu
tahun 1999 terjadi 62 kasus, kemudian pada pemilu 2004 terjadi 113
kasus, pada pemilu 2009 meningkat menjadi 150 kasus. Dan pada pemilu
2014 terjadi 313 kasus.[8]
Selain politik uang, caleg juga kerap menggunakan metode lain dalam
mendongkrak perolehan suara. Diantaranya pelibatan aparatur sipil,
Dan adapun yang di maksud dengan Politik Uang (Money Politics), ada
beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya mempengaruhi
orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan
jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagibagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara
pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan
pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud
politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak
ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu
jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan. Konsekwensinya para
pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang akan
terjerat undang-undang anti suap.
ataupun daerah dan juga kepala pemerintahan daerah atau pusat secara
langsung.[11]
B.
RUMUSAN MASALAH
masyarakat
C.
KAJIAN TEORITIS
Peraturan yang bersifat yuridis mengenai politik uang (Money Politics) ini,
yaitu larangan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum
maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka
dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung, seperti pelaksana,
peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu.
Undang-Undang dan Peraturan tersebut antara lain:
sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai
Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal
258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.
Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala
Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1
sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal
32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1
sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai
Ayat 5.
5. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 mengatur larangan melakukan
politik uang terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J. Berbunyi: pelaksana,
peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu
Larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana pada pasal 301
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan
tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275,
Pasal 276, Pasal 283, Pasal 286, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal
297, Pasal 298, Pasal 301 ayat (3), Pasal 303 ayat (1), Pasal 304 ayat (1),
Pasal 308, Pasal 309, Pasal 310, Pasal 311, Pasal 312, Pasal 313, pidana
bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan
pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini
7. Peraturan KPU No. 15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kampanye juga memperkuat peraturan UU tersebut dengan melarang
pemberian uang dan barang sebagai iming-iming untuk menarik suara
masyarakat selama berkampanye.
PEMBAHASAN
Partai Bulan Bintang (PBB) Prof DR Yusril Ihza Mahendra, S.H mengatakan
bahwa Pemilu 2014 ini merupakan yang terburuk dibandingkan dengan
Pemilu 1995 dan 1999 dan "Kualitas Pemilu semakin memburuk, Pemilu
2014 bahkan lebih buruk dari 2009, karena dipengaruhi oleh politik uang,"
ujarnya.[18] Kritik terhadap politik uang juga mendapat tanggapan
dariMantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Muzadi
yang menilai bahwa pemilu legislatif 2014 masih sarat dengan dugaan
praktik politik uang. Para politikus hasil pemilu diperkirakan tidak akan
lebih baik dari pemilu sebelumnya. "Pemilihan umum telah menjadi
pembelian umum, dan pilihan masyarakat atas wakil mereka motifnya
karena
uang,"
banyaknya temuan pelanggaran berupaya mengalihkan hasil perolehan
suara oleh penyelenggara pemilu merupakan bukti adanya pelanggaran
dan praktik penyelenggaraan pemilu yang menyimpang. Untuk meraih
kemenangan, caleg bahkan tidak segan-segan untuk melakukan tindakan
apapun, termasuk praktik politik uang.[19]
Fonomena praktek politik uang pada pileg 2014 ini akan menjadi
renungan khusus dan evaluasi bagi semua pihak khususnya bagi pembuat
regulasi seperti DPR untuk bekerja keras dalam menyelesaikan persoalan
bangsa khususnya praktek politik uang agar pemilu-pemilu kedepannya
tidak terjadi lagi praktek politik uang, yang dampaknya akan merugikan
semua pihak. Dan yang lebih penting adalah evaluasi dari semua pihak
terkait untuk penyelenggaraan pemilu yang di harapkan masyarakat,
seperti contoh: Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 menuai
banyak masalah, mulai dari kecurangan kertas suara hingga politik uang.
Bahkan, Pengamat politik Burhanudin Muhtadi menyebut Pemilu 2014
paling brutal dan menjijikan.
dengan cara memberi sejumlah uang ke dapil yang memiliki banyak kursi.
[20]
Praktik politik uang atau money politic yang terjadi selama pemilu
legislatif (Pileg) 9 April lalu, juga dikutuk sejumlah pihak baik dari
kalangan politisi maupun pengamat politik. Sebab, praktik politik uang
dinilai
bisa
menghancurkan
perjalanan
demokrasi
bangsa.
Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat
Mohammad Nasih mengatakan, penyebab utama maraknya politik uang
yakni diantaranya mayoritas calon anggota legislatif (caleg) tidak memiliki
wawasan yang cukup tentang politik.
Secara hukum, larangan politik uang (money politics) diatur dalam Pasal
86 ayat 1 huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye
pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain
kepada peserta kampanye pemilu.
Hal itu juga berlaku sama bagi partai politik dan peserta pemilu lainnya,
ketika ada pemberian barang yang bukan bagian dari atribut kampanye,
misalnya pembagian sembako, pengobatan gratis, atau bentuk lainnya,
sudah dapat dikategorikan sebagai politik uang.
Ancaman sanksi pidana atas politik uang dalam masa kampanye hanya
dimungkinkan kepada pelaksana kampanye (Pasal 301 ayat 1 UU Nomor 8
Tahun 2012). Delik ini dikategorikan sebagai kejahatan dalam pemilu
(bukan pelanggaran) dengan ancaman pidana penjara dan denda.
Bagi calon anggota legislatif, sanksi ini akan berlanjut pada sanksi
administratif oleh KPU berupa pembatalan sebagai daftar calon tetap atau
pembatalan penetapan sebagai calon terpilih. Ini akan dilakukan ketika
kasus pidana politik uang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap
(Pasal 90 UU Nomor 8/2012).
Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa
praktik politik uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara
umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping
medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat
yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol
yang telah memberikan uang atau mereka berkhiatan. Karena dalam
masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja
pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Bagaimanapun
juga Money
Politics merupakan
masalah
yang
membahayakan moralitas bangsa, walaupun secara ekonomisdalam
jangka pendek dapat sedikit memberikan bantuan kepada rakyat kecil
yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat
ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya
demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?
Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk
mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin
tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya
di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada Ring
Dalam para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli
suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya
harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi
masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju
mungkin harga satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta
saja. Namun, untuk daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan
perkapita tinggi di duga satu suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50
juta hingga Rp 500 juta. [33]
calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat
dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang apabila kelak terpilih
dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok yang
kalah.
Terutama
banyaknya
pengungkitan
dari
pihak
lawan
akan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam
pemilihan kepala daerah. Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya
kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang
adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk
mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara
pesta demokrasi tersebut.
Memang pola menggunakan uang pangkal ini juga riskan apabila ditinjau
dari sisi kepastian bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada si
pemberi uang pangkal. **Dalam salah satu kasus yang saya ketahui
dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10 juta disertai dengan
janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila kelak terpilih. Oleh
anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal ini dianggap tidak
pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara kontan tiga kali
lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh si pemberi uang pangkal
pertama berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang
diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma
karena dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas
dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain.[35] Dalam
pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak sesuai
dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL
(Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai
asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam asas Pemilu pada awal
Pemilu di Indonesia, antara lain:
Melihat pengertian asas Jurdil ini disatu pihak dan asas Luber pihak lain,
keduanya memiliki pengertian yang berbeda, namun sangat erat
kaitannya. Dalam pembahasan ini maka sewajarnyalah sebuah Pemilu
harus menggunakan asas JURDIL dan LUBER, guna terciptanya sebuah
demokrasi serta pesta demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat
UUD 1945 dan juga sesuai dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini
(JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada
dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak akan
pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus
menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses
masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian
serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam
PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum).
Walaupun adanya partai politik yang berasaskan Islam akan tetapi
praktekMoney Politics ini tetap ada walau dikemas dalam agenda yang
sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik yang memang benarbenar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics). Serta
merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya
bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money
Politics kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan
berada ditangan uang.
Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah pemilik uang, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di
tengah gelombang demokratisasi yang gencar belakangan ini,
maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya penetrasi politik
melalui uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistem Money
Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam praktek
politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang hari
pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada
para anggota DPRD.
dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah mengetahui
harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya Serangan Fajar bagi
para bakal calon kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih,
adapun masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam
masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian guna
semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi
tentang berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD.
Informasi ini menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan
kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut. Namun, dalam
praktek juga terjadi Serangan Fajar yang dimaksud sebenarnya adalah
dengan Serangan Fajar ialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan),
kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan informasi
paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih
yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD
mana saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai
suaranya dalam pemungutan suara dan masa uji publik serta masa
pelantikan kepala daerah. Ada beberapa kategori yang dapat di ketahui
yaitu sebagai berikut :Pertama, Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini
dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal sesuai harga. Kedua,
Anggota Dewan (DPRD) yang masih dihadapkan pada keraguan antara
misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.
Namun hal yang inti dari Money Politics adalah bagaimana strategi
pemberian uang ini. Bukankah tindakan menyuap dan disuap merupakan
perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu proses penyampaian uang
harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun, yang pasti bagi
mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak melalui
transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu
dengan cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD)
untuk memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal
mungkin menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui
jasa perbankan tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di
samping memang transaksi perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan
hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat yang kalah guna
membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang dilakukan oleh
calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau
pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan
sebuah kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik
Sistem ijon.
Melalui tim sukses calon.
Melalui orang terdekat.
Pemberian langsung oleh kandidat.
Dalam bentuk cheque.
Akan tetapi tidak banyak juga Money Politics ini yang tidak berhasil pada
akhirnya dalam masalah pembelian suara pemilih maupun dari anggota
dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor yang membuat hal ini terjadi, yaitu:
demokrasi telah tercemari dalam praktek politik uang. Suara hari nurani
seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi
kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat
dikatakan kejahatan.
Sisi etika politik yang lainnya adalah pemberian uang kepada rakyat
dengan harapan agar terpilihnya partai politik tertentu berimbas pada
pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada gilirannya menyumbat
partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek
eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Money Politics bukan secara moral saja yang salah dalam dimensi agama
juga tidak dibenarkan, sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya
untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah kekecewaan
rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat itu
sendiri.
Selain itu, politik uang adalah mata rantai dari terbentuknya kartel politik.
Kartel hanya terjadi bila kontrol keuangan dalam sistem kapitalistik tidak
berlangsung dan praktek money politics berlangsung liar.[40] Pada tahap
selanjutnya, hal tersebut akan memicu munculnya praktek korupsi politik.
Hamdan Zoelva (2013) menyebutkan bahwa political corruption sendiri
melibatkan pembentuk undang-undang (raja, diktator, legislatif) yang
berperan sebagai pembentuk peraturan dan standar-standar yang
diberlakukan negara, para pejabat menerima suap atau dana untuk
kepentingan politik dan pribadi mereka dan memberikan bantuan kepada
pendukung mereka dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih
besar.[41]
Pada pasal 129 UU No. 10 Thn 2008 tentang Pemilu sumber dana itu
meliputi:
Partai politik.
Caleg dari partai politik yang bersangkutan.
Sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum.
Partai politik memiliki sumber dana dari iuran anggota. Fakta menujukan
hampir semua Partai, sistem iuran anggota belum dapat berjalan secara
memadai. Yang digunakan adalah iuran atau kewajiban anggota fraksi.
Yang dapat memberi donasi kepada Partainya terbatas kepada orangorang tertentu saja. Karena tingkat sosial ekonomi anggota atau
masyarakat yang menjadi konstituen, dengan pendapatan perkapita ratarata (data terakhir) 1860, itu pun dengan kesenjangan yang cukup besar
pula.
Dari gambaran fakta dilapangan, maka terlihat bahwa sumber dana politik
itu, dominan dari kategori butir (b), dan butir (c) diatas. Kategori sumber
dana pada butir (b), tersebut adalah caleg yang memiliki uang sendiri.
Politisi dari kategori ini, umumnya kelompok kaya atau pengusaha, yang
umumnya berpikir dalam perspektif usaha, dimana dana yang sudah
dikeluarkan akan kembali juga dalam bentuk dana, berpolitik untuk
(besar) atau mungkin juga sindikasi, mendominasi atau bahkan boleh jadi
mengkoptasi mekanisme politik kita. Yang secara tidak langsung sudah
mengikat si politisi jatuh kedalam jebakan politik uang.
Selain itu, partai politik tidak siap menyediakan kader-kader handal, baik
sebagai calon maupun sebagai relawan yang mau bekerja secara militan
untuk mensosialisasikan calon-calon yang diajukan oleh partai. Dengan
demikian, calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan
dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk
memberikan hak pilihnya.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi
terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena
kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya untuk menempati posisi
politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada
para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatanjabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang
sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan
struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja
dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (common goods).
Menurut
John
Markoff
(2002),
Indonesia
saat
ini
mengalami hybrid demokrasi. Yang dimaksud hybrid demokrasi adalah
mekanisme demokrasi berlangsung secara bersama-sama dengan
praktek-praktek non-demokratis. Pemilihan umum sebagai salah satu pilar
demokrasi politik berjalan beriringan dengan perilaku money politics yang
sejatinya merusak demokrasi itu sendiri. Maka rasionalitas pemilih
menjadi layak untuk dipertanyakan. Pemilih tidak memilih calon
berdasarkan program dan visi yang ditawarkan tapi hanya berdasar
jumlah uang yang diterima menjelang pemilihan. Dalam hal ini maka
menurut teori John Markoff maka perilaku pemilih di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non-demokratis.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Sabilal Rosyad (2009), kasus yang ia
temukan dalam pemilu legislatif tahun 2009 di Kabupaten Pekalongan
terjadi pergeseran nilai di masyarakat yang semula dianggap
penyelewengan menjadi sesuatu yang wajar.[48] Pada tahun 2009 di
Pekalongan msayarakat akrab dengan ungkapan tak coblos, yen ono
duite (saya coblos, kalau ada duitnya). Masyarakat Pekalongan menilai
money politics sebagai sesuatu yang wajar karena alasan ekonomis dan
sebagian karena ketidaktahuan mereka. Anggapan ini muncul disebabkan
pragmatisme politik, yang tidak hanya dipraktekkan oleh elit politik tetapi
juga telah menyebar ke dalam kultur masyarakat.
D.ANALISIS
Masyarakat
menjadi
semakin
terbiasa
dengan
praktik Money
Politics dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara
langsung. Dalam pemilu legislatif nanti, Money Politics dapat dipastikan
akan menjadi semakin tak terkendali. Sebab akan ada banyak calon
anggota DPR yang berkompetisi untuk memperebutkan dukungan rakyat.
Karakter rakyat yang kian pragmatis akan dilihat oleh para politikus
sebagai peluang untuk memenangkan kompetisi dengan cara menyebar
uang.
Jika Money Politics terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan
menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan
bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai,
untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural
akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan
kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala
macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan.
Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang
yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan
digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipatlipat. Karena itulah, Money Politics harus dianggap sebagi kejahatan besar
dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.
1.Kesimpulan
semua pihak. Dan yang lebih penting evaluasi untuk semua pihak
terkait dalam penyelenggaraan pemilu yang di harapkan masyarakat,
seperti contoh: Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 menuai
banyak masalah, mulai dari kecurangan kertas suara hingga politik uang.
2.Saran
Dalam rangka Mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahuntahun mendatang, maka disarankan :
a. Perlunya meninjau kembali Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU
serta peraturan terkait lainnya dalam pelaksanaan pemilu legislatif yang
menutup semua ruang bagi pihak manapun untuk melakukan kecurangan
pada pemilu, khusunya praktik politik uang, misalnya meninjau kembali
sistem proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia, yang justru
membuka peluang praktik politik uang. Karena secara empirik sistem
proporsional terbuka memberi insentif poin kecurangan lebih banyak
dibanding yang tertutup
E. PENUTUP
Demikian kajian ini disusun dengan harapan dapat menjadi masukan bagi
para anggota Dewan, para eksekutif, khususnya semua pihak yang terkait
dalam penyelengaraan pemilu, baik pemilu legislatif (PILEG) maupun
[1] http://dendi.susianto.4t.com/custom4.html
[2] http://pemilu.okezone.com/read/2014/04/16/568/971237/kpu-bentuktim-khusus-usut-surat-suara-tertukar
[3] http://www.academia.edu/5587237/Perkembangan_Pemilu_dan_Demok
rasi_di_Indonesia
[4] http://nasional.kompas.com/read/2014/04/16/1508474/Politik.Uang.Di
mulai.dari.Elite
[5] Ibid
[6] http://berita.plasa.msn.com/nasional/jpnn/temukan-313-pelanggaranpemilu-di-15-daerah
[7] Ibid
[8] http://www.pemilu.com/berita/2014/04/praktik-politik-uang-meningkatdari-pemilu-ke-pemilu/
[9] Nurcholis Majid, dalam Pengantar Laporan Penilaian Demokratisasi di
Indonesia oleh IDEA tahun 2000.
[10] Kazuhisa Matsui dalam Regional Development Polcy and Local-Head
Elections
[11] Dalam buku pegangan KPU Pemilihan Umum dan Demokrasi tahun
2009 halaman 11-12.
[12] Dalam buku pegangan KPU Pemilihan Umum dan Demokrasi tahun
2009 halaman 11-12.
[13] AAGN Ari Dwipayana. 2009. Demokrasi Biaya Tinggi. Yogyakarta:
Jurnal FISIPOL UGM
[14] Dalam makalah ilmiah yang ditulis oleh Wahyudi Kumorotomo yang
berjudul Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi tahun 2009.
[20]http://ns1.kompas.web.id/read/read/2014/05/05/568/980374/marakpolitik-uang-pemilu-2014-dinilai-paling-buruk
[21] http://www.kafeberita.com/berita-ini-penyebab-utama-maraknyapolitik-uang.html#ixzz326ontG7i
[22] http://www.jurnas.com/news/134891/Politik-Uang-Diusulkan-MasukRezim-Tindak-Pidana-Korupsi-2014/1/Nasional/Pemilu-2014
[23] http://budisansblog.blogspot.com/2014/04/memidana-pelaku-politikuang.html
[24] Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
[25] Indra J. Pilliang dalam artikel opini yang dimuat di Kompas November
2011 dengan judul Korupsi dan Demokrasi.
[26] Indra Ismawan. 1999. Pengaruh Uang Dalam Pemilu. Yogyakarta:
Media Pressindo
[27] Definisi ini menurut Affan Gaffar yang dikutip dari tesis Sabilal Rosyad
berjudul Praktek Money Politic Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten
Pekalongan 2009
[28] Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye
pasal 32
[42] Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik
di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.
[43] Leo Agustino dalam buku Pilkada dan Dinamika Politik Lokal,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
[44] Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik
Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.
[45] Burhanudin Muhtadi dalam rilis laporan Sikap dan Perilaku Pemilih
Terhadap Money Politics pada tanggal 12 Desember 2013
[46] Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik
Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.
[47] Nurus Shobah. 2013. Dalam jurnal penelitiannya yang berjudul
Politik Uang Dalam Pemilu Kada.
[48] Sabilal Rosyad. 2009. Praktik Money Politics Dalam Pemilu Legislatif di
Kabupaten Pekalongan Tahun 2009.