Anda di halaman 1dari 24

Menuju Sistem Politik Berintegritas:

Pendidikan Politik bagi Warganegara

(Dari FGD/Seri Diskusi KPK bertema Sistem Politik Berintegritas, 25-26 September 2013)
Dalam demokrasi, rakyat memegang peran penting. Tetapi, rakyat yang tak berdaya hanya
menjadikan orang-orang tertentu mengambil keuntungan dari rakyat untuk kepentingan diri dan
kelompoknya. Di sinilah urgensi pendidikan politik bagi warganegara. Tujuan strategi ini adalah
membangun masyarakat yang mampu memperjuangkan hak dan kekuatan politisnya. Oligarki
mungkin bisa dibatasi dengan aturan. Tapi, akan menjadi absurd ketika para pembuat aturan adalah
mereka yang berasal dari kekuatan oligarkis, bukan berasal dari masyarakat warga (civil society).
Eksesnya, produk hukum justru malah menambah kekuasaan oligarki.
Warganegara harus sanggup berjuang demi memperoleh kesetaraan inklusif yang bisa memagari
formasi oligarki. J. Kristiadi menulis, agenda gugatan rakyat yang sangat penting dewasa ini adalah
menyelamatkan kader-kader partai agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan hina dan cendala.
Dalam jangka panjang pendidikan politik (Kompas, 21 Mei 2013, hlm. 15). Politik, dalam pengertian
pendidikan warganegara, adalah menumbuhkan kekuatan menggalang emansipasi melawan
ketidakadilan.
Di sinilah, sekali lagi, penciptaan strategi-strategi pemberdayaan kekuatan warga, melalui
pendidikan politik, menjadi amat penting.

Demokrasi dan Pemberdayaan Masyarakat


Yudi Latif
Direktur Eksekutif Reform Institute

Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi
perubahan terus terjadi di atas patahan-patahan lempengan konstitusional yang belum mencapai
titik keseimbangan. Politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik sebagai etik
mengalami kemunduran. Perkembangan demokrasi sebagai prosedur mengalami perubahan cepat
dan massif, tapi demokrasi sebagai substansi seakan jalan ditempat.
Meskipun terdapat sejumlah capaian positif, kita harus tetap waspada bahwa semua perkembangan
itu hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi dan kemajuan bangsa.
Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan
rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi
melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan
penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi menjanjikan kesempatan dan sumberdaya
bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Oleh karena
itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: yakni, pemberdayaan
rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Solusi atas kelemahan demokrasi tersebut seyogianya ditempuh bukan dengan jalan
menguranginya, melainkan justru dengan jalan menambahnya agar lebih demokratis. Karena itu,
perlu ada pendalaman dan perluasan demokrasi. Pendalaman demokrasi diarahkan untuk
menyempurnakan institusi-institusi demokrasi agar lebih sesuai dengan tuntutan kepatutan etis,
lebih responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat; mengurangi sifat narsisme politik yang
hanya melayani segelintir elit politik. Sementara perluasan demokrasi diarahkan agar institusi
demokrasi dan kebijakan politik punya dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat serta
mengurangi kesenjangan sosial yang dapat melumpuhkan demokrasi.
Tantangan untuk melakukan pendalaman dan perluasan demokrasi itu meniscayakah penguatan
kapasitas negara di satu sisi serta pemberdayaan masyarakat sipil di sisi yang lain. Penguatan
kapasitas negara diperlukan agar institusi-institusi demokrasi bisa berjalan. Sedangkan
pemberdayaan masyarakat sipil diperlukan sebagai watchdog dan penekan agar masyarakat politik
tidak terjebak dalam narsisme politik. Tulisan ini hendak memerikan neracaya plus-minus
perkembangan demokrasi selama era reformasi, khususnya yang berkaitan dengan pengadopsian
institusi-institusi demokrasi liberal, berikut seruan akan pentingnya penguatan kapasitas negara dan
pemberdayaan masyarakat sipil.
Pencapaian
Setelah lima belas tahun gerakan reformasi digulirkan, pelbagai langkah untuk mendemokratisasikan
institusi dan prosedur-prosedur politik Indonesia telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang
nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif bebas dan berkala (meski di sana sini masih ada
masalah menyangkut asas fairness), kebebasan berkumpul dan berekspresi, keluasan akses
informasi, desentralisasi dan otonominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara lebih kompetitif.
Bersamaan dengan itu, kita juga bisa mencatat adanya perubahan mendasar berdimensikan
struktural dan kultural. Pertama, stabilitas demokrasi dimungkinkan oleh terpenuhinya prasyarat
konsesus elit (elite settlement). Konsensus elit ini melibatkan pengambil keputusan tingkat tinggi,

pemimpin organisasi, politisi, petinggi pemerintah, kaum intelektual, pebisnis, dan pembentuk opini.
Keyakinan mereka pada demokrasi membuat demokrasi berjalan.
Elite settlement merupakan faktor krusial yang memberi andil besar pada kegagalan eksperimen
demokrasi Indonesia di masa lalu. Namun, gelombang demokratisasi pada era reformasi ini
menunjukkan perkembangan positif dalam kemauan yang lebih luas di kalangan elit politik untuk
mencapai konsensus. Dengan resistensi yang minimal, para elite setuju melakukan amandemen atas
konstitusi. Dengan persetujuan serupa, kita masih perlu melakukan usaha lanjutan agar hasil
amandemen itu lebih mendekati kesempurnaan, bukan makin menjauh dari kesempurnaan. Seturut
dengan itu, ada kesepakatan dari para pemegang senjata dengan para elite negeri untuk tidak
menghalangi atau membatasi proses demokratisasi. Walaupun masih memiliki modal politik dan
posisi tawar yang tinggi, militersebagai salah satu aktor terpenting dalam jagat perpolitikan
Indonesiarela meninggalkan gelanggang politik praktis, tunduk pada otoritas sipil.
Bersamaan dengan itu, ruang partisipasi dalam kekuasaan diperluas secara horisontal dan vertikal
lewat proses distribusi dan desentralisasi kekuasaan politik sebagai upaya menjaga kesatuan negara.
Idealnya, proses ini mengantarkan Indonesia pada partisipasi politik masif dan terbesar dalam
sejarah Indonesia maupun dunia. Konsensus oleh bangsa ini mengenai bentuk distribusi kekuasaan
merupakan terobosan demokratisasi melalui pendobrakan institusi-instutisi pra-reformasi. Meskipun
harus segera diberi catatan, bahwa kisruh yang terjadi dalam Pilkada di beberapa tempat
menyiratkan masih lemahnya daya-daya konsensus elit yang antara lain disebabkan oleh masih
lemahnya tingkat erudisi dan budaya politik demokratik, selain segi-segi yang menyangkut
kesenjangan sosial, serta kelemahan pranata hukum dan institusi demokrasi.
Perkembangan ini diikuti pula oleh pencapaian kesepakatan diantara para elite individu maupun
kolektif untuk loyal pada institusi dan praktik demokrasi. Apapun latar belakang ideologis dan
kepentingan mereka, ada semacam kesepahaman bahwa institusi dan praktik demokrasi membantu
tercapainya kemaslahatan umum. Tanpa adanya komitmen dan kepercayaan pada demokrasi dari
elite politik, demokrasi hanya akan tinggal wacana.
Kesetiaan pada praktik dan institusi demokrasi dengan mengabaikan latar belakang ideologis dan
identitas ini mengantarkan proses moderasi pemikiran dan ideologi antarkutub yang ekstrem. Elite
politik yang berseberangan pun pada akhirnya dipaksa oleh keniscayaan sejarah dan kekuatan
demokratis untuk melakukan pendekatan dan negosiasi yang kemudian memoderasi ekstrimitas
ideologis, yang dapat mereduksi potensi konflik.
Selain itu, Orde Reformasi juga berhasil menghadirkan sejumlah institusi baru yang relatif berhasil
menjadi tumpuan kepercayaan publik pada institusi-insitusi negara, seperti Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski misi besar reformasi untuk memberantas korupsi masih
jauh dari tuntas, kehadiran institusi ini masih mendapat dukungan publik.
Dengan segala perkembangan awal yang menjanjikan itu, bisa dipahami jika banyak kalangan yang
menilai bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia sudah berada di jalan yang benar, bahkan ada
yang menyebutnya telah menjadi the only game in town, dengan memosisikan Indonesia sebagai
negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Persoalan
Meskipun terdapat neraca positif, berbagai capaian prosedural itu bisa dipertanyakan dalam
kerangka pencapaian demokrasi yang lebih substantif, setidaknya dengan menggunakan perspektif
Thomas Carothers, wakil presiden Carnegie Endowment for International Peace, Washington,

Amerika Serikat. Carothers menggambarkan bahwa sejumlah negara yang awalnya tampak menuju
konsolidasi demokrasi kini justru berbalik arah menuju cengkraman otoritarianisme baru atau
setidaknya memasuki politik zona abu-abu (gray zone). Menurut Carothers, di satu sisi, negaranegara tersebut memiliki ciri kehidupan politik yang demokratis, seperti adanya ruang politik, meski
terbatas, untuk partai-partai politik oposisi dan masyarakat sipil yang otonom, serta Pemilu yang
teratur dan konstitusi yang demokratis. Bersamaan dengan itu, mereka juga mengalami defisit
demokrasi yang parah dengan karakternya antara lain adanya representasi politik yang buruk,
rendahnya partisipasi politik di luar memilih dalam Pemilu, banyaknya pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh aparat negara, Pemilu dengan ketidakpastian legitimasi, semakin rendahnya tingkat
kepercayaan publik terhadap aparat dan institusi negara, dan rendahnya kinerja lembaga-lembaga
negara (Thomas Carothers, The End of the Transition Paradigm, dalam Journal of Democracy 13,
2002, hal. 1).
Pertanyaan pun muncul, apakah Indonesia juga masuk dalam kategori politik zona abu-abu seperti
yang digambarkan Carothers? Pertanyaan tersebut penting diajukan karena setelah belasan tahun
reformasi bergulir, perkembangan demokrasi sebagai prosedur mengalami perubahan cepat dan
massif, tapi demokrasi sebagai substansi seakan jalan ditempat.
Usaha mewujudkan substansi demokrasi, pada kenyataannya terkendala oleh hambatan-hambatan
kultural, institusional dan stuktural. Pada tingkat kultural, selama era reformasi, politik sebagai
teknik mengalami kemajuan; tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras-prosedur demokasinya terlihat relatif lebih demokratis; namun perangkat lunak--budaya
demokrasiya masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritoktasi
(pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi
(pemerintahan orang sedang-sedang saja).
Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan pada kekuatan alokatif
(sumber dana), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia); politik padat modal membuat
biaya kekuasaan tinggi, mengakibatkan high cost economy; merebakkan korupsi; demokrasi yang
ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin
memperkuat cita-cita republikanisme dan civic nationalism justru menyuburkan tribalisme dan
provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi,
kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan
dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa
menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyakat Indonesia, justru dapat
melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat, seperti diingatkan oleh
Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar
peluangnya untuk menopang demokrasi. Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat
mempertahankan oligarkhi atau tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan
kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan
ketidakadilan.
Berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang pada awal pertumbuhan demokrasinya ditandai
oleh derajat kesetaraan dalam ekonomi, pendidikan, dan dalam kemampuan mempertahankan diri
(pemilikan senjata), prasyarat kesetaraan seperti itu belum hadir di negeri ini. Sebagai masyarakat
pasca-kolonial yang terus terperangkap dalam dualisme ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai
negeri ini. Segelintir orang yang menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan
sebagian besar rakyat di sektor tradisional terus termarjinalkan. Hal ini berimbas pada kesenjangan
di bidang pendidikansekitar 70% warga masih berlatar pendidikan dasar. Bertahannya hierarkhi

tradisional feodalisme juga melanggengkan ketidaksetaraan dalam otoritas legal dan kontrol warga
atas pemerintah. Dalam multidimensi ketidaksetaraan seperti itu, watak pemerintahan yang akan
muncul, Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi sejati. Sejauh yang berkembang hanyalah
oligarki dalam mantel demokrasi.
Sementara demokrasi kita bercorak oligarkis, kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu
mengarah pada kesetaraan, melainkan bisa juga memperlebar ketidaksetaraan. Liberalisasi politik
yang memacu liberalisasi pemilikan dan perusahaan, dalam lebarnya ketimpangan sosial bisa
memperkuat dominasi pemodal besar atas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh
pemerataan. Dalam memperkuat dominasinya, para pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi.
Oligarki yang muncul dari situasi seperti itu bukanlah oligarki yang punya empati terhadap
penderitaan rakyat, melainkan yang melayani kepentingan pemodal dan dirinya sendiri.
Singkat kata, lima belas tahun Orde Reformasi, demokrasi Indonesia masih menyimpan banyak
persoalan, yang jika tidak diatasi secara segera bisa menimbulkan keraguan umum mengenai
kebaikan demokrasi. Meski rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini,
masalah utamanya tidaklah pada sisi-permintaan (demand-side) seperti sering didalihkan para
politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran
politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan sisi-penawaran (supply-side), dari ketidakmampuan
aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.
Ketidakpercayaan rakyat pada politik timbul manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu
menjawab masalah-masalah kolektif. Masalah-masalah kolektif ini justru timbul ketika institusiinstitusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif
terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif perseorangan. Bahkan partai politik
yang dasar mengadanya diorientasikan sebagai interface, untuk menyatukan aspirasi-aspirasi
individual menjadi aspirasi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan negara, sebagian besar justru
dikuasai oleh orang per orang (pemodal besar atau dinasti). Akibatnya tidak ada sandaran untuk
memperjuangkan kepentingan kolektif.
Perundang-undangan yang mestinya merupakan kontrak sosial dengan warga negara,
terdistorsikan oleh kepentingan sempit-sesaat elit politik. Prosedur demokrasi mengalami
penjelimetan dan pemborosan sebagai rintangan masuk bagi para pesaing seraya membuka peluang
transaksional yang menguntungkan kepentingan oligarki politik.
Perubahan politik harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya dan kepercayaan bahwa
rasionalitas kepentingan individual tak akan dibayar oleh irasionalitas kepentingan kolektif.
Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus
diubah dengan kepercayaan bahwa politik terpercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang
sepadan degannya. Sekali aktor politik menunjukkan sinyal bisa dipercaya, maka partisipasi dan
kepercayaan rakyat pada politik akan menguat.
Pemulihan rasa saling percaya dan kerjasama itu diarahkan untuk mendorong lahirnya semangat
restorasi dan transformasi politik demokratik ke arah yang lebih baik. Visi restoratif politik
demokratik menekankan pentingnya menjangkarkan pembangunan politik dan demokrasi pada basis
nilai bangsa, terutama nilai-nilai Pancasila. Disain institusi politik dan demokrasi harus dapat
mengurasi the cost of power yang dapat mendorong korupsi politik. Politik dikembalikan kepada
khittahnya sebagai seni untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama.
Solusi atas kelemahan demokrasi tidak ditempuh dengan jalan menguranginya, melainkan justru
dengan jalan menambahnya agar lebih demokratis. Karena itu, perlu ada pendalaman dan perluasan

demokrasi. Pendalaman demokrasi diarahkan untuk menyempurnakan institusi-institusi demokrasi


agar lebih sesuai dengan tuntutan kepatutan etis, lebih responsif terhadap aspirasi dan kepentingan
rakyat; mengurangi sifat narsisme politik yang hanya melayani segelintir elit politik. Sementara
perluasan demokrasi diarahkan agar institusi demokrasi dan kebijakan politik punya dampak
terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat serta mengurangi kesenjangan sosial yang dapat
melumpuhkan demokrasi.
Tantangan untuk melakukan pendalaman dan perluasan demokrasi itu meniscayakah penguatan
kapasitas negara di satu sisi serta pemberdayaan masyarakat sipil di sisi yang lain. Penguatan
kapasitas negara diperlukan agar institusi-institusi demokrasi bisa berjalan. Sedangkan
pemberdayaan masyarakat sipil diperlukan sebagai watchdog dan penekan agar masyarakat politik
tidak terjebak dalam narsisme politik.
Memperkuat Kapasitas Negara
Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi sering tampak sebagai pergeseran dari situasi otoriter
menuju situasi lemah otoritas. Padahal, demokrasi memang tidak menghendaki yang pertama, tapi
tak bisa jalan tanpa yang kedua. Orde Reformasi melahirkan begitu banyak peraturan, tetapi
kapasitas negara untuk menegakkan peraturan itu tampak lemah.
Kelemahan tata kelola kenegaraan (governance) kian disadari sebagai akar persoalan. Namun,
tentang bagaimana cara membenahinya, kekaburan perspektif masih menyelimuti para perumus
kebijakan. Kalaupun kejernihan pandangan telah terpancar, kelemahan direksi dan eksekusi
menghambat penyelesaian.
Kekaburan yang paling mencolok adalah pencampurbauran antara "cakupan" (scope) dan
"kekuatan" (strength) negara; antara ruang lingkup fungsi negara dan kapasitas institusi negara
untuk menegakkan tata aturan. "Negara kuat" sering diasosiasikan dengan luasnya keterlibatan
negara dalam mengatur urusan kehidupan. Padahal, negara dengan lingkup intervensi yang luas
belum tentu memiliki kemampuan, bahkan sering kali tak berdaya, untuk menciptakan serta
menegakkan hukum dan kebijakan.
Sebaliknya, bisa saja suatu negara yang memiliki lingkup peran yang terbatas, tetapi dalam batasbatas perannya itu justru memiliki kemampuan untuk menegakkan hukum dan kebijakan secara
optimal dan kuat. Dengan kata lain, lemah-kuatnya negara tidak dilihat dari seberapa luas peran dan
fungsinya, melainkan dari kapasitas dan efektivitas institusinya.
Namun, upaya untuk memperkuat kapasitas negara dan efisiensi pembangunan tidaklah
sesederhana proposal yang kerap diajukan oleh ekonom propasar. Dalam pandangan mereka,
luasnya peran negara seperti di Indonesia merupakan penyebab utama timbulnya berbagai disfungsi
dan inefisiensi ekonomi yang menghambat pertumbuhan. Maka, solusi yang segera diajukan adalah
penggembosan sektor negara lewat privatisasi dan pemberdayaan pasar.
Padahal, penciutan lingkup keterlibatan negara tidaklah otomatis akan membuat tata kelola
kenegaraan lebih efektif. Tanpa dibarengi oleh peningkatan kapasitas negara untuk merencanakan
dan mengeksekusi kebijakan serta menegakkan hukum secara tegas, bersih, dan transparan,
penciutan lingkup negara justru bisa menghadirkan kekacauan yang lebih parah.
Dalam hal ini, ada baiknya mendengar pengakuan Milton Friedman (2002), seorang resi ortodoks
dari ekonomi pasar bebas. Friedman menyebutkan bahwa hingga dekade yang lalu, ia hanya
memiliki tiga kata bagi negara-negara yang sedang transisi dari sosialisme: privatisasi, privatisasi, dan

privatisasi. "Namun, saya keliru," ujarnya. "Saya berubah pikiran bahwa memperkuat rule of law
barangkali lebih mendasar ketimbang privatisasi."
Pada 1990-an para ekonom di balik Washington Consensus menekankan perlunya perlucutan peran
negara hingga ke level residual dengan kepercayaan yang tinggi bahwa pasar bisa mengatur dirinya
sendiri. Resep baku segera disodorkan meliputi pengurangan proteksi dan subsidi, privatisasi, dan
deregulasi. Namun, krisis ekonomi yang menghantam Asia pada 1997-1998 memberikan pelajaran
penting tentang bahaya liberalisasi ekonomi di dalam ketiadaan institusi pengawasan yang tepat dan
kuat.
Para perancang kebijakan sering kali tak memiliki daya antisipatif bahwa dalam proses pengurangan
lingkup negara itu, kebanyakan negara berkembang sering kali dihadapkan pada problema baru yang
lebih pelik. Hal ini bisa berupa melemahnya kekuatan negara atau perlunya tipe-tipe baru kapabilitas
negara yang justru belum tersedia atau masih sangat lemah. Selain itu, upaya restrukturisasi peran
negara juga tidak bisa tambal sulam karena bisa menimbulkan situasi-situasi paradoks yang bisa
saling menegasikan.
Indonesia dihadapkan pada situasi pelik seperti ini. Berlalunya Orde Baru mewariskan kepada rezim
Orde Reformasi berupa negara dengan scope yang luas, yang berpretensi bahkan mengatur urusan
busana. Namun, berbeda dengan negara-negara kesejahteraan di Eropa, yang menyepadankan
antara cakupan yang luas dan kapasitas/kekuatan negara yang kuat pula, di Indonesia luasnya
cakupan negara itu berbanding terbalik dengan lemahnya kapasitas negara untuk menegakkan
hukum dan kebijakan. Dalam situasi krisis ekonomi dan keuangan negara, negara dengan cakupan
yang luas seperti itu semakin tak berdaya untuk menjalankan kebijakan bahkan untuk membiayai
dirinya sendiri.
Bisa dipahami, mengapa ada aspirasi untuk memotong peran-peran negara dengan lebih
memberdayakan peran pasar dan masyarakat sipil. Namun, tanpa komitmen pada penguatan
kapasitas negara lewat pemberdayaan institusi pengawasan dan peradilan, efek yang ditimbulkan
justru disorganisasi sosial yang lebih parah. Kebijakan privatisasi, misalnya, memberi peluang bagi
rent-seeking dalam penjualan aset-aset BUMN atau pembobolan keuangan negara seperti dalam
kasus BLBI dan Bank Century yang merugikan kepentingan publik dalam skala yang tak terpermanai.
Dalam pada itu, upaya efisiensi ekonomi lewat pemberdayaan pasar juga bersifat tambal sulam
karena tak terintegrasi dengan upaya efisiensi di sektor-sektor lainnya. Dalam ketundukan pada
Washington Consensus, pemerintahan SBY segera menghapuskan (mengurangi) subsidi BBM dengan
dalih efisiensi. Namun, di sisi lain, kabinet SBY dibuat gemuk dengan jumlah menteri yang terbesar
sejak akhir Orde Lama.
Lebih dari itu, berbilang-bilang lembaga kenegaraan baru dibuat dengan peran yang tumpang tindih
serta kapasitas enforcement yang mandul. Presiden juga masih merasa perlu mengangkat staf
kepresidenan, unit kerja, wakil menteri, dan dewan penasihat presiden. Semuanya ini membuat
peran-peran negara kembali diperluas dengan kekuatan yang lemah. Singkat kata, inilah fenomena
pemerintahan yang kuat syahwat tapi lemah daya!
Pemberdayaan Peran Masyarakat Sipil
Respon politik terhadap tuntutan pendalaman dan perluasan demokrasi mengandaikan adanya
perbaikan mutu representasi politik serta kompetensi dan komitmen partai politik (parpol) untuk
menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi
politik, agregasi kepentingan, artikulasi kepentingan, dan komunikasi politik.

Faktanya, kualitas representasi politik tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan;


sedang komitmen parpol untuk menjalankan fungsinya terhadang oleh kecenderungan narsisme
politik yang mengedepankan kepentingannya sendiri. Partai-partai politik menjadikan sentra-sentra
kuasa ibarat negara dalam negara, yang berkhidmat pada kepentingan partai masing-masing. Para
aspiran kekuasaan berlomba mengundi peruntungan dengan saling curi kesempatan, tak segan
dengan menabrak lampu merah dan membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan
kepentingan di persimpangan jalan. Maju kena, mundur kena; semua pengemudi kendararaan saling
mengunci. Terjadi gridlock dalam tata hubungan kenegaraan, yang menimbulkan kemacetan di
semua jalur.
Mengatasi gridlock seperti itu mengandaikan kehadiran otoritas yang berdiri tegas, dapat
mengupayakan jalur putaran atau pengalihan, yang secara perlahan bisa mengurai kemacetan.
Namun, pengandaian inilah yang tak terpenuhi di negeri ini. Tony Blair berkata, The art of
leadership is saying no, not yes. It is easy to say yes. Di dalam perilaku berlalu lintas kekuasaan yang
saling serobot, yang sangat dituntut dari otoritas pemimpin adalah keberanian berkata tidak.
Kepala negara semestinya merupakan otoritas terakhir yang dapat mengambil kata putus. Dipilih
secara langsung oleh rakyat, dengan dukungan jumlah pemilih yang meyakinkan, secara prinsipil dan
kondisionalitas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki basis legitimasi yang kuat.
Dengan basis legitimasinya yang kuat, Presiden SBY dalam mengemban tugasnya itu bisa
mewujudkan diri sebagai active president. Yang dimaksud dengan istilah terakhir adalah presiden
yang dalam batas-batas konstitusionalnya bisa proaktif menerobos berbagai sumbatan kemacetan,
tanpa perlu dihantui rasa terancam, karena mendapat dukungan rakyat yang kuat. Dalam
merebaknya disorganisasi sosial, active president bisa menjadi pemimpin kharismatik; dalam arti
pemimpin yang dapat melahirkan berbagai kompensasi atas kelumpuhan pranata-pranata
kenegaraan.
Nyatanya, Presiden SBY cenderung mengembangkan kepresiden secara pasif, kecuali dalam
merespon hal-hal yang menyangkut citra diri. Dalam menyusun kabinet, Presiden membiarkan
didikte oleh pilihan partai-partai politik. Dalam menyusun perekonomian, Presiden membiarkan
didikte oleh kepentingan korporatokrasi. Dalam persoalan integrasi nasional, Presiden membiarkan
didikte oleh kelompok pamaksa kekerasan. Dalam persoalan perlindungan buruh migran, presiden
kurang tegak memancangkan harkat bangsa. Dalam persoalan korupsi, Presiden membiarkan
partainya menjadi rumah para koruptor. Dalam soal pemilihan, Presiden membiarkan praktik pemilu
mahal dan curang. Bahkan dalam urusan partai koalisi, Presiden tidak mampu mendisiplikan partaipartai pendukung.
Presiden mestinya tidak perlu takut mengambil pilihan, termasuk keberanian berkata tidak bagi
setiap anasir oportunis. Toh dengan tidak berani mengambil risiko pun, risikonya tetap ada. Risiko
dari Presiden pasif yang terlalu mencari jalan aman adalah peluang lewat, momentum lenyap,
sinisme menguat.
Peluang Indonesia untuk mengonsolidasikan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia
terancam kandas oleh lumpuhnya pelbagai pranata demokrasi, karena pembiaran oleh Presiden.
Momentum Indonesia untuk mengembangkan perekomian yang diuntungkan oleh perumbuhan
ekonomi kawasan terancam hilang oleh biaya ekonomi tinggi yang dipacu oleh korupsi dan
mahalnya biaya politik.
Sinisme menguat dalam beragam lelucon dan ekspresi sarkastik, yang mencapai puncaknya
menyusul pembongkaran borok-borok internal Partai Demokrat di altar publik.

Dengan Presiden yang disibukkan oleh persoalan citra diri serta gonjang-ganjing di tubuh partainya
sendiri, sulit membayangkan adanya otoritas terakhir yang dapat mengurai kemacetan politik.
Alhasil, mengharapkan inisiatif pemulihan dan penyehatan pranata politik oleh dinamika dan
mekanisme internal kelembagaan politik tak bisa diharapkan. Kalaupun ada harapan, harapan itu
bisa muncul dari situasi negatif, yakni dari pembusukan dan persertuan sengit dalam relasi antar
komunitas politik.
Dalam ketiadaan otoritas yang tegas dan mengambil inisiatif, usaha mengatasi kemacetan politik itu
mengandaikan adanya prakarsa sukarela dari non-state actors, semacam polisi preman yang
biasa ditemukan di berbagai persimpangan.
Dalam istilah Jurgen Habermas, masyarakat sipil perlu melakukan pengepungan terhadap
masyarakat politik, dengan mendiktekan agenda untuk berbalik haluan atau mengambil jalan
alternatif. Pengalaman demokratisasi di Eropa Selatan dan Amerika Latin menunjukkan, sejauh
agenda-agenda reformasi dan demokratisasi belum diambilalih oleh partai-partai politik, peran
masyarakat sipil masih sangat dibutuhkan untuk mengawal dan mendesakkan agenda-agenda
tersebut.
Dalam kurewetan dan kemacetan lalu lintas politik, masyarakat sipil harus mengembalikan politik ke
khitahnya sebagai sarana perjuangan kewargaan untuk kebajikan kolektif. Krisis demokrasi,
menurut Robert Reich timbul manakala, kepentingan kita sebagai investor dan konsumen kerap
dimenangkan, karena nilai-nilai dan kepentingan kita sebagai warga negara dan publik tidak memiliki
sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.
Lewat revitalisasi partisipasi publik, politik yang memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok
penguasa dengan mengatasnamakan kebajikan publik, bisa didesak mundur oleh politik sejati yang
memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik.

Pendidikan Politik dan Reformasi Republikan


Robertus Robet
Dosen Sosiologi UNJ, Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Pengantar: rakyat yang Sadar?
Undangan seminar dan penulisan naskah buku KPK mengharuskan saya menjawab pertanyaan
Apakah Negara harus memiliki peran dalam pendidikan politik warga? Dalam kondisi di mana Partai
Politik absen dalam pendidikan politik warga, di mana peran dan tanggung-jawab Negara?
Pertanyaan di atas mengharuskan kita untuk mencari terlebih dahulu pertautan yang esensial antara
politik, pendidikan politik/kesadaran politik warga dengan pemberantasan korupsi. Sebelum itu, kita
pertama-tama mesti mencari konsep apakah kiranya yang secara operasional bisa menyandingkan
ketiga hal tersebut dalam satu kesatuan. Untuk menjawab persoalan ini mari kita mulai dengan
Muhammad Hatta. Hatta pernah mengatakan:
Kedaulatan rakyat berarti, bahwa kekuasaan untuk mengatur pemerintahan Negara ada
pada rakyatKalau rakyat berkuasa menentukan peraturan tentang hidup bersama dalam
Negara, maka rakyat bertanggung jawab pula tentang segala akibat dari peraturan yang
dibuatnya itu. Kedaulatan rakyat memberikan kekuasaan yang tertnggi kepada rakyat,
tetapi juga meletakkan tanggung jawab yang besar. ( Kedaulatan Rakyat, Pidato pada
Permusyawaratan Pamong Praja RI, Solo tanggal 7 Februari 1946, Lp3ES, Buku 2, hlm. 90).
kemerdekaan membawa kewajiban dan menghendaki tanggung jawab. Kewajiban dan
tanggung jawab itu tidaklah saja pada pemerintah, tetapi juga pada rakyat seluruhnya.
Pemerintah tak sanggup mencapai suatu apapun juga dalam perbaikan nasib kita, apabila
tidak dibantu oleh rakyat. (Pidato selaku Perdana Menteri RIS, Jakarta 19 Maret 1950,
LP3ES, Buku 2, hlm. 295).
Hatta mengantisipasi demokrasi dalam pemahamannya mengenai kemerdekaan. Baginya
kemerdekaan Indonesia dengan sendirinya mesti pertama-tama mendirikan suatu pemerintahan
demokrasi. Dalam perkataanya kemerdekaan hanya bisa langgeng dalam demokrasi. Namun
demikian Hatta juga menegaskan bahwa penerimaan akan demokrasi menghadirkan suatu syarat
mutlak yakni peneriamaan akan tanggung jawab demokratis dari seluruh warga.
Antisipasi Hatta ini sangat berguna bagi keperluan kita dewasa ini. Kiata tahu bahwa setelah era
Orde Baru, demokrasi membuka suasana ke arah kebebasan. Namun demikian, banyak orang
berhenti pada kebebasan. Bukannya kebebasan itu salah atau keliru. Kebebasan sangat perlu bahkan
fundamental tapi sendiri saja ia tidak cukup. Kebebasan mesti dilengkapi dengan kemauan dan
tanggung-jawab untuk mengurus urusan-urusan kepublikan sendiri.
Dalam sistem yang otoriterian, semua urusan dikendalikan dan dimonopoli oleh penguasa. Melalui
demokrasi, kedaulatan rakyat dipulihkan. Ini membawa konsekuensi politik yakni bahwa segala hal
mesti diurus secara bersama-sama oleh rakyat sendiri, termasuk dalam soal pendidikan politik.
Namun demikian kita juga memahami bahwa untuk rakyat dapat mengurus urusannya sendiri
bukanlah perkara yang mudah. Dalam konteks Indonesia, pendirian politik otoriterian yang panjang
telah sempat menghancurkan kemampuan rakyat untuk membangun organisasi dan asosiasi-asosiasi
secara mandiri dan otonom. Selain itu, dalam hal yang paling mendasar, budaya patrimonial yang

menanamkan pandangan politik yang menekankan peran sentral bapak dan aspirasi kepada orang
kuat terus membayang dalam politik Indonesia sejak jaman kemerdekaan hingga kini.
Dengan konteks dan kompleksitas ini maka, pendidikan politik rakyat yang bertujuan membangun
kesadaran demokratis, membentuk tanggungjawab politik untuk memperjuangkan keutamaan
umum (common good) memang belum dapat diselenggarakan sendiri oleh rakyat juga oleh Negara.
Reformasi republikan dan syarat-syarat pendidikan politik baru
Penyelenggaran suatu pendidikan politik kewargaan, hanya mungkin tumbuh apabila politik
kewargaan tumbuh. Politik kewargaan hanya akan muncul apabila warga melihat politik sebagai
arena kehidupannya. Dalam sejarah politik kontemporer kita, ada momen di mana rakyat sempat
berada dalam kegairahan dalam melihat politik. Momen itu adalah momen reformasi; di dalam
reformasi hampir setiap warga dari berbagai golongan memandang politik sebagai momen dignitas
dan kebersamaan. Tapi momen itu bersifat sementara, ia dengan segera berlalu ketika tatanan
politik baru terbentuk.
Akibat reformasi, Indonesia memiliki demokrasi dan institusi-institusi politik demokratis. Kebebasan
muncul, politik multi-partai tumbuh dan hak-hak sipil meluas. Yang menjadi persoalan, perluasan
kebebasan dalam demokrasi rupanya tidak disertai dengan pembaharuan dalam memandang
substansi dari politik. Pluralisme politik, pertumbuhan berbagai partai dan pelembagaan politik
mendorong munculnya kontestasi berbagai kepentingan. Demokrasi semarak, tapi praktik politik
dalam demokrasi justru mengalami degradasi. Dalam kontestasi, politik dipandang terbatas sebagai
arena perjuangan kepentingan kelompok.Praktik politik kita dipahami secara behavioralistik dan
utilitarian. Who get what, when and how menjadi satu-satunya logika yang mendasari praktik politik.
Dalam suasana itu, partisipasi muncul tapi terbatas hanya pada saat pemilu dan pilkada. Partisipasi
tidak muncul ketika demokrasi memerlukan topangan untuk membentuk keadaban public. Dalam
kondisi ini, demokrasi dan lembaga-lembaga di dalamnya terus tumbuh dan membesar, namun
politik di dalamnya justru terbelakang.
Keterbelakangan politik dalam demokrasi dapat dibuktikan secara jelas melalui kenyataan di mana
orang makin memandang politik secara setara atau identik dengan korupsi (pertautan yang jelas
antara politik dan yang publik dengan korupsi bisa dilihat dalam defiinisi Nye mengenai korupsi. Ia
mengatakan bahwa: Corruption is behavior which deviates from the formal duties of a public role
because of private regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or status gains; or
violates rules against the exercise of certain types of private regarding inuence. This includes such
behaviour as bribery (use of reward to pervert the judgement of a person in a position of trust);
nepotism (bestowal of patronage by reason of ascriptive relationship rather than merit); and
misappropriation (illegal appropriation of public resources for private-regarding uses. Untuk ini lihat
dalam J. S. Nye, `Political Corruption: a Cost-Benefit Analysis', in A. J. Heidenheimer, M. Johnston and
V. LeVine (eds), Political Corruption: a Handbook (New Brunswick NJ, Transaction, 1989), hlm. 966).
Orang memandang dunia politik dengan penuh daya tarik, tapi bukan karena terpesona dengan
sesuatu yang bermartabat di dalamnya, melainkan karena gambaran fantasmatis mengenai
kekayaaan, kegemerlapan dan polah pesohor aktor-aktornya. Dalam kesadaran yang paling
primitive, orang tertarik pada politik karena semata kepada kuasa dan kekayaan.
Politik yang dijalankan semata berdasarkan logika utilitarian selalu bersifat ekslusif: yang kuat dan
yang besar akan menggeser yang benar dan yang normatif. Politik mengalami mimesis dengan
kekuasaan dan pada akhirnya dengan korupsi. Mana politik, mana kekuasaan dan mana korupsi
makin tak dapat dibedakan lagi. Akibat dari keadaan ini adalah politik tidak dapat lagi digunakan

sebagai wahana untuk mencapai apa yang disebut Aristoteles dengan good life dan good society.
Kita mungkin makin matang dalam berdemokrasi namun kita kehilangan makna sejati politik. Inilah
barangkali yang menjadi sebab mengapa demokrasi kita tumbuh secara parallel dengan berbagai
mala: korupsi, intoleransi dan prilaku hipokrit.
Di titik ini, mestinya kita tiba pada suatu kesadaran baru yakni bahwa setelah demokrasi kita perlu
sebuah reformasi sekali lagi, reformasi untuk mengembalikan lagi politik kepada makna generiknya;
reformasi untuk mengembalikan politik ke dalam normatifitasnya sebagai -dalam istilah Hannah
Arendt- the area of dignity. Pada mulanya adalah urusan dalam polis, dengan polis yang dimaksud
adalah suatu modus kehidupan di mana warga memikirkan secara optimum berbagai versi kebaikan
untuk masyarakatnya. Polis sebagaimana Aristoteles bukanlah sebuah tempat atau arena melainkan
modus tindakan atau praktik partisipatif yang dilakukan secara deliberative untuk mencapai
keutamaan umum. Tradisi latin menggantikan kata polis dengan istilah res publica; yang memiliki arti
yang sepadan yakni hal-hal public atau kemaslahatan umum. Politik adalah res publica, politik adalah
republik itu sendiri.
Oleh karenanya, reformasi untuk mengembalikan politik sebagai bidang kehidupan yang
bermartabat adalah refeormasi mengembalikan politik sebagai Yang Publik, mengembalikan politik
sebagai res publica. Dengan itu, maka kita mengembalikan politik menjadi milik semua warga.
Politik republikan dan pendidikan politik kewarganegaraan
Pada titik inilah kita kemudian kembali dihadapkan pada pertanyaan mula dari makalah ini yakni soal
siapa yang mesti memulai tanggung jawab untuk mengembalikan politik sebagai res publica?
Untuk menjawab persoalan ini, kita memulai dari keharusan normatif terlebih dahulu. Bukan
kebetulan apabila nama depan nama komunitas politik kita adalah Republik Republik Indonesia.
Republik diambil bukanlah secara taken for granted dan serampangan. Dari nama itu kita segera
tahu bahwa para pendiri bangsa memahami sepenuhnya konsep politik sebagai res publica. Dengan
itu maka jelas mereka mempersiapkan sebuah konsepsi republikan mengenai siapa itu warga dan
Negara Indonesia. Dengan Republik dalam Republik Indonesia, pendiri bangsa menghendaki sebuah
masyarakat dan pemerintahan yang memahami politik sebagai keutamaan umum. Semua yang
menerima Republik, secara bersama-sama menanggung kewajiban paedagogis dan civic duties
untuk memperjuangan common good.
Namun demikian, kenyataan memperlihatkan kepada kita bahwa paham mengenai politik sebagai
republik ini rupanya, juga terlalu lama sudah dilupakan orang. Kita menerima kata Republik dalam
Republik Indonesia dalam pemaknaan yang kosong melompong. Ini yang kembali menyulitkan kita
untuk memulai agenda pendidikan politik warga itu. Dalam keadaan ini maka tidak dapat tidak
pendidikan politik untuk mengembalikan lagi makna politik sebagai keutamaan umum mesti dimulai
bukan secara normatif melainkan secara praktis dengan mencari siapa yang berani, siapa yang
paham dan siapa yang masih dipercaya oleh publik.
Siapa yang bisa dipercaya untuk mendidik warga secara politik?
Reformasi dan semangat republikan hanya bisa tumbuh kembali dalam suatu gerakan untuk
mengembalikan politik yang bermartabat. Pendidikan Politik di dalamnya hanya mungkin diterima
apabila warga berada dalam psikologi kebersamaan: yang memulai adalah yang bisa dan yang
dipercaya memberikan pembelajaran. Oleh karenanya, pendidikan politik baru hanya bisa
diterangkan dalam suatu momen patriotic. Momen patriotic di sini bukanlah urusan mental atau
keberanian kemiliteran, momen patriotic adalah momen di mana orang terbukti lulus karena berani

mengorbankan diri demi kemaslahatan orang banyak. Momen patriotik ini yang akan menjadi
momen paedagogis. Media massa sering menggunakan istilah keteladanan. Yang bisa mendidik
adalah yang memulai dengan keteladanan.
Pada akhirnya, kalau pertanyaan itu dilanjutkan dengan: Siapakah yang telah memberikan teladan
itu, yang telah memberikan jejak yang memungkinkan kita hijrah dan menanggalkan praktik politik
lama, memperbharui politik kita dengan kembali kepada pendasaran normative lamanya: politik
sebagai republik? Jawaban itu hanya dapat dijawab oleh makalah ini dengan ajakan untuk
penggalian kembali kepada sejarah politik kita? Kita mesti mulai mencari dan menelusuri kisah-kisah
lama dan baru dari berbagai orang dan berbagai kelompok yang dengan caranya masing-masing
menunjukkan keberanian yang tak kepalang dalam memperjuangkan yang publik. Kita mesti pula
mendorong berbagai keolompok, asosiasi, lembaga yang pada masih cukup dipercaya oleh rakyat
banyak untuk memperluas tugas mereka menjadi tugas paedagogis politis, untuk membicarakan dan
memperjuangkan good life dan good society.

Melek Politik: Negara Juga "Pendidik"


Sukardi Rinakit
Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
Antonio Gramsci (1891-1937) (Gilbert, 2013) pernah menyatakan bahwa the state must be conceived
of as an educator. Diktum tersebut sejatinya bukan hanya berlaku pada masyarakat yang hidup dalam
sistem politik otoriter dan negara-negara yang berbasis komunisme seperti Italia di mana Gramsci
ikut mengambil peran politik aktif di masa hidupnya tetapi juga di negara-negara demokratis -bedanya hanya terletak pada materi, keterbukaan tafsir, kedalaman penetrasi negara, dan tujuan
akhir dari proses "pendidikan" politik warga tersebut.
Di negara-negara nondemokratis, tujuan utama "pendidikan" politik warga adalah pelanggengan
kekuasaan; sebaliknya di negara-negara demokratis lebih sebagai pendewasaan politik warga agar
mereka melek politik. Maknanya, mereka menjadi otonom, memahami hak dan kewajiban sebagai
warga negara, dan berlakunya mekanisme check and balances dalam praksis kekuasaan. Dengan
demikian, pendidikan politik masyarakat memang menjadi tanggungjawab etis dari partai-partai
politik, setidaknya ia memainkan peran dominan.
Hal itu sesuai dengan fungsi partai yang bukan saja sebagai sarana komunikasi politik dan pengatur
konflik tetapi juga sarana sosialisasi dan rekrutmen politik. Akan tetapi fungsi-fungsi tersebut,
utamanya pendidikan politik (sosialisasi dan rekrutmen politik) sejauh ini belum dijalankan dengan
baik oleh partai. Situasi demikian bukan saja membuat regenerasi kepemimpinan bergerak lamban
tetapi juga menyuburkan praktik korupsi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik figur dan pragmatisme
Miskinnya pendidikan politik yang dilakukan partai politik sekarang ini, suka atau tidak, adalah bagian
integral dari pergeseran budaya politik dan preferensi politik masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat
dari historiografi politik di Tanah Air.
Pada era orde lama, misalnya, preferensi politik warga ditentukan oleh daya tarik dan ikatan ideologi.
Studi Feith and Castle (1998) secara gamblang menunjukkan pembelahan ideologi era tersebut --ada
Nasonalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis, Komunisme, dan irisan dari
aliran-aliran tersebut.
Di era orde baru, preferensi politik bukan lagi terikat pada sentimen ideologi tetapi partai politik.
Segaris dengan pembelahan aliran dalam masyarakat yang disodorkan Geertz (1965), yaitu santri,
abangan, priyayi maka partai politik pun di-design menjadi tiga partai senafas dengan trikotomi itu.
Kaum santri berada dalam payung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), rumah warga abangan
adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan kelompok priyayi bernaung di bawah pohon beringin
(Golongan Karya, Golkar).
Pada era reformasi hingga saat ini, daya magis ideologi dan kekuatan partai politik tersebut
digantikan oleh performa figur. Tahun 1999, Megawati Soekarnoputri menjadi simbol harapan publik
dan mengantarkan partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memenangkan Pemilu
1999. Demikian juga dengan Susilo Bambang Yudhoyono menjelang tahun 2004 dan 2009. Pamor
dirinya menjadikan dia terpilih menjadi Presiden dan mengantarkan Partai Demokrat menjadi
pemenang Pemilu 2009. Kini, figur-figur yang dicitrakan tegas oleh publik seperti Joko Widodo
(Gubernur DKI Jakarta) dan Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia

Raya), sebagai antitesa dari kepemimpinan SBY yang dinilai lamban karena terlalu berhati-hati,
mempunyai elektabilitas tinggi menjelang Pemilu 2014. Fenomena tersebut melahirkan asumsi
bahwa sejarah politik kita adalah sejarah tokoh, bukan sejarah partai. Tokoh yang populer akan
mengangkat perolehan suara partai dalam pemilu.

Pergeseran sungai politik dari ideologi, partai politik, dan akhirnya performa figur membuat
kehidupan politik menjadi pragmatis. Situasi ini diperburuk oleh semakin berkembangnya budaya
pop dalam masyarakat. Sebagai aktor rasional, gerak partai politik secara otomatis berada dalam
pusaran dinamika masyarakat tersebut. Mereka juga menjadi pragmatis dan merasa tidak perlu
melakukan pendidikan politik khususnya melakukan sosialisasi dan kaderisasi politik. Oleh sebab itu,
merekrut figur-figur yang populer dan mempunyai sumberdaya politik kuat seperti pengusaha,
mantan anggota TNI/POLRI, artis, dan petahana adalah pilihan "rasional" yang mereka ambil guna
menghadapi kontestasi politik dan pelanggengan kekuasaan.
Para pengusaha diperlukan karena mereka diasumsikan mempunyai dana mencukupi untuk
membiayai sendiri ambisi politiknya. Selain itu, mereka juga bisa menyumbang dana operasional
partai. Sedangkan mantan anggota TNI/POLRI dianggap mempunyai kemampuan operasi intelejen
dan mobilisasi massa yang memang diperlukan dalam perebutan kekuasaan terutama ketika pemilu
berlangsung. Sementara itu, artis menjadi aktor politik penting karena popularitasnya dapat menarik
pemilih yang memang hidup dalam budaya pop kekinian. Di luar ketiga kategori tersebut, petahana
merupakan sosok yang juga dicari partai politik karena dianggap sudah mempunyai mesin politik
untuk memenangkan kontestasi yang ada.
Dengan konstruksi kaderisasi politik seperti itu, praktik money politics tak bisa dihindarkan. Dengan
sumberdaya yang dimiliki, mereka langsung menempati posisi strategis di dalam struktur partai.
Mereka juga bisa menyumbang biaya operasional partai. Lebih buruk lagi, mereka mendangkalkan
cita-cita politik warga dengan sekedar memberi gula-gula politik (janji politik dan uang).
Sejauh ini, absennya pendidikan politik yang dilakukan partai membuat para pemimpin yang muncul

ke permukaan pada umumnya adalah mereka yang miskin virtue (kebajikan politik). Cita-cita mereka
lebih kecil dari dirinya sendiri. Mereka pragmatis, korup, tidak melayani masyarakat, dan tanpa
program aksi pembangunan yang jelas. Ini berakibat merosotnya antusiasme dan partisipasi
masyarakat pada pemilu. Pada Pemilu 1999, sekitar tujuh puluh persen rakyat mempergunakan hak
pilihnya. Jumlah tersebut turun menjadi sekitar enam puluh persen pada Pemilu 2004, dan lima
puluh persen lebih sedikit pada Pemilu 2009. Dengan kecenderungan seperti itu, partisipasi publik
pada Pemilu 2014 utamanya untuk pemilu legislatif, diduga semakin turun.
Peran negara
Ketika partai politik tidak melakukan pendidikan politik (sosialisasi dan rekrutmen politik) yang
memadai demi warga agar mereka melek politik, secara alamiah apatisme politik pasti semakin
tinggi. Keadaan tersebut tentu saja berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa karena bukan saja
dapat membuat praktik demokrasi defektif tetapi juga pelanggengan praktik korupsi.
Idealnya, situasi demikian menuntut trinitas kelangsungan hidup bangsa, yaitu negara, masyarakat,
dan pasar (state, society, market) bergerak. Tetapi, seperti dicatat oleh Moeslim Abdurrahman
(2009), rumah civil society sekarang ini sudah kosong. Para penghuninya sudah berpindah ke partai
politik. Demikian juga dengan para kognitariat dari kalangan pengusaha (market). Banyak di antara
mereka sudah menjadi figur sentral partai politik. Sehingga tidak ada pilihan lain, diktum Gramsci
harus dijalankan. Negara dituntut mengambil inisiatif di dalam pendidikan politik warga. Dengan
istilah lain, negara juga harus menjadi pendidik agar warga menjadi melek politik dan menjadi
individu-individu otonom.
Dunia pendidikan adalah arena terbuka dan ranah terpenting bagi pendidikan politik warga. Melalui
kurikulum pendidikan yang baik dan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, sosialisasi ideologi, nilai-nilai
demokrasi, sistem politik, kebajikan politik dan kepemimpinan dapat dilakukan. Anak didik menjadi
terpelajar baik secara ilmiah (keilmuan) maupun politik. Ada etos kerja dan mimpi besar bersama
yang dibangun dan ingin dicapai.
Sebagai bagian dari negara, lembaga-lembaga rejim pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum dan
Badan Pengawas Pemilu juga harus melakukan pendidikan politik secara langsung pada warga. Selain
itu, negara juga harus menanggung seluruh pembiayaan politik (kampanye) dan mengatur media
kampanya hanya pada media-media publik seperti TVRI dan RRI. Dengan demikian praktik politik
uang bisa ditekan dan demokrasi menjadi ruang, meminjam istilah Bung Hatta, yang membuat
semua orang merasa bahagia.
Kepustakaan
Abdurrahman, Moeslim. 2009. Suara Tuhan Suara Pemerdekaan. Yogyakarta: Kanisius
Feith, Herbert dan Lance Castle. 1998. Pemikiran Politik Indonesia: 1945-1965, Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford. 1965. The Social History of an Indonesian Town. Chambridge, Mass: MIT Press.
Gilbert, Richard (dkk), 2013. The Politics Book. New York: DK

Strategi Pembentukan Masyarakat Warga Menghadapi


Oligarki Politik Koruptif
Haedar Nashir
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ketua PP Muhammadiyah
Pengantar
Masyarakat warga dalam identifikasi makna civil society, masyarakat sipil, masyarakat
kewargaan, masyarakat madani atau yang senapas dengannya sebenarnya telah terbentuk di
Indonesia. Lahir dan tumbuhkembaangnyaa kekuatan yang disebut Heffnerr dengan civil Islam
sejak era pergeerakan Indonesia yang memilik akar kuat di masyarakat Indoneesia seperti
Muhammadyah dan Nahdlatul Ulama merupakan contoh telah terbentuknya keberadaan
masyarakat warga. Masalahnya model masyarakat warga yang seperti apa yang diiedalisasikan untuk
berkembang di negeri ini terutama dalam memasuki masa depan Indonesia yang sarat tantangan di
abad ke-21? Dalam mencari format yang dipandang ideal itulah tumbuh berbagai pandangan
mengenai wujud masyarakat warga di Indonesa dalam era mutakhir.
Konsep otonomi yang melekat secara substantif dalam keberadaan masyakat warga (civil society)
dalam kurun terakhir di era refomasi bahkan memilik perkembangan yang menyatu dengan proses
demokratisasi yang demikian kencang dan cendeerung liberal di negeri ini. Lebih-lebih yang bersifat
demokrasi prosedural, nyaris tidak ada artikulasi yang terhambat bahkan sebaliknya sangat leluasa
bagi kelompok masyarakat di mana pun untuk menyatakan hak-haknya. Bahkan pada sebagian kasus
pergolaakan daerah hingga mengartikulasikan hak untuk merdeka atau memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk kejengkelan politik yang kronis.
Artikulasi politik warga yang leluasa juga dapat dicermati pada sikap dan tindakan anarkis dalam
memperjuangkan kepentingan sosal-politik.
Khusus dalam konteks perkembagan politik Indonesia yang berkaitan dengan fenomena oligarki
politik yang koruptif, yang antara lain memerlukan peran masyarakat warga yang mampu
memperjuangkan hak dan kekuatan politiknya sebagaimana terungkap dalam latarbelakang
diadakan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(September, 2013), terkandung sejumlah masalah. Selain masalah strategi mengembangan
masyarakat warga, pada saat yang sama bagaimana negara di alam demokrasi yang sangat terbuka
ini juga dikonstruksi untuk memberi ruang bagi kekuatan-kekuatan masyarakat warga menjalankan
fungsi-fungsi strategisnya dalam mengimbangi peran-peran negara lebih dari sekadar hak-hak politik
yang bersifat prosedural. Kasus Undang-Undang Ormas tahun 2013 yang belum lama ini disahkan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan bukti ambivalensi atau paradoks demokrasi ketika
negara salah dalam mengartikulasikan fungsi regulasinya terhadap kekuatan-kekuatan kewargaan
secara benar, karena masih kuatnya alam pikiran monolitik dan otoritarian ala Orde Baru. Fenomena
disahkannya UU Ormas tersebut juga menunjukkan keangkuhan kekuatan politik oligarkis yang
berada di Senayan, yang kerdil dan gagal dalam memahami sejarah dan kompleksitas dinamika
sosial-politik kewargaan di Indonesia.
Civil society dan masyarakat madani
Masyarakat waarga atau Civil society merupakan kekuatan masyarakat yang otonom dan demokratis
di hadapan negara. Civil society adalah masyarakat yang teerdiri atas berbagai institusi nonpemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi dominasi negara, meskipun tidak
mengingkari negara (Gellner, 1995). Konsep ini menurut Adam Ferguson lahir dalam tradisi

peradaban Barat untuk keluar dari segala hegemoni menuju peradaban yang otonom, yang
berpangkal pada keadaban (civility) sebagai dasar perkembangan nilai-nilai dasar kehidupan manusia
(Seligman, 1998).
Dalam konteks Barat masa lampau pada peradabaan Yunani Kuno kelahiran civil-society dikaitkan
dengan Civitas Dei (Kota Tuhan). Arus pemikiran utama kelahiran civil society di Barat dilham oleh
tradisi hukum kodrat yang mengutamakan pentingnya peranan akal dalam kehidupan individu dan
masyarakat pasca kejatuhan negara-kota, doktrin Kristen-Protestan yang menginginkan tatanan
masyarakat yang mencerminkan tatanan ketuhanan, serta paham kontrak sosial sebagai bentuk
kesepakatan bersama akan hak-hak dasar masyarakat sebagai dua entitas yang berbeda dan
otonom (Culla, 1999).
Bagi sementara pihak konsep Civil Society identik dengan istilah yang dipopulerkan dalam Festival
Istiqlal di Jakarta tahun 1995 oleh Anwar Ibrahim dengan konsep Masyarakat Madani. Nurcholish
Madjid memaknai Civil Society sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban, yaitu
masyarakat yang pernah dibangun di zaman Nabi Muhammad di Madinah, yang memiliki ciri
egelitarian, menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi, dan musyawaaraah. Menurut Neguib AlAttas, masyarakat madani sama dengan civil society, yakni masyarakat yang menjunjungtinggi nilainilai peradaban. Anwar Ibrahim sendiri memberi ciri khusus pada istilah masyarakat madani dengan
menyatakan, bahwa Islam-lah yang pertama kali kepada kita di rantau ini kepada cita-cita keadilan
sosial dan maasyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis (Hamiwanto & Said,
2000: 1). Masyarakat madani ialah masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai kebajikan umum atau
al-khayr (Rahardjo, 1999).
Namun ada sebagian kalangan di tubuh umat Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang sama sekali
menolak konsep civil society dengan segala kaitannya seperti demokrasi, dan lebih menunjukkan
konsep eklusif dari masyarakat madani sebagai vis a vis civil society produk peradaban Barat yang
dipandangnya sekular dan liberal. Pelabelan masyarakat madani sbagaimana sejarah Islam di
Madinah pada masa Nabi Muhammad dipandang oleh kelompok ini sebagai anakronisme. Civil
society ibarat pohon buruk, yang sangat kontras dengan Islam yang diibaratkan pohon baik. Maka
alternatifnya bukaan masyarakat madani sebagamana ditawaarkan Nurcholish Madjid, tetapi negara
Islam yaitu dalam bentuk pemerintahan kekhalifahan Islam. (Shidiq Al-Jawi, 2007).
Karenanya konsep masyarakat warga dalam idntifikasi civil society dan masyarakat madani sering
tergantung pada sudut pandang atau perspektif yang mencandranya. Sebagian menyamakan secara
sama dan sebangun sebagai sebuah sintesis, pandangan lain membedakannya dalam hal tertentu
selain kesamaannya, sementara lainnya meletakkannya dalam konsep antitesis atau diametral.
Pandangan moderat lebih menempatkannya pada substansi, bahwa konsep civil society sama
dengan masyarakat madani jika memasukkan dimensi keadaban etik atau moral di dalamnya,
sehingga bukan sekadar masyarakat warga yang otonom dan demokratis belaka. Manakala civil
society melepaskan aspek moralitas --dalam istilah Islam al-akhlaq--, dan hanya mengutamakan
otonomi, hak asasi manusia, dan demokrasi semata maka boleh jadi terdapat perbedaan tertentu
antara keduanya. Namun jika dilacak pada konsep Civitas Dei, sebenarnya antara civil society dan
masyarakat madani memiliki kesamaan, keduanya memasukkan dimensi nilai-nilai Ilahiah dan
moralitas dalam konstruksi masyarakat warga yang otonom dan demokratis.
Dalam konteks Indonesia antara konsep civil society dan masyarakat madani tidak memiliki masalah
karena bangsa ini relijius dan mayoritas muslim, sehingga agenda utamanya ialah bagaimana makin
memperkuat nilai-nilai keadaban (civility, madaniyah) yang menyatu dalam proses pembentukan
jiwa otonom dan demokratis dalam kehidupan masyarakat di negeri ini. Selain itu bagaimana agar
masyarakat warga di negeri ini semakin memiliki kualifikasi sebagaimana layaknya masyarakat yang

berperadabaan tinggi sehingga kian mampu memerankan diri sebagai kekuatan civil society atau
masyarakat madani yang kritis, cerdas, dan konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Republik ini.
Ideologi parpol bagi masyarakat warga
Politik Indonesia di era reformasi memasuki fase baru sebagai salah satu negara demokrasi paling
menonjol di dunia. Kebebasan politik, hak asasi manusia, otonomi daerah, dan proses
demokratisasi berjalan secara masif di seluruh struktur dan bidang kehidupan. Bandul politik baru
tercipta yaitu legislative heavy, kekuasaan berada di tangan lembaga yudikatif yang basis utamanya
partai politik, setelah sebelumnya d era Orde Baru sentrumnya berada dalam bandul eeksekutif atau
excecutive heavy. Proses politik demokratik tersebut melahirkan banyak hal positif bagi kemajuan
Indonesia ke depan, terutama melahirkan sistem politik yang semakin terbuka dan rakyat
memperoleh ruang artikulasi aspirasi yang kian leluasa.
Namun terdapat sisi anomali (penyimpangan) dalam praktik kehidupan politik demokrasi di era baru
tersebut. Sistem politik presidensil bercampuraduk dengan sistem parlementer terutama dalam
pembentukan pemerintahan, sehingga terjadi saling sandera politik. Bandul kekuasaan legislatif
telah melahirkan dominasi atau hegemoni partai politik dan elite politik partai yang sangat perkasa.
Akibat buruk dari proses politik anomali tersebut ialah tersanderanya rakyat dari banyak
kepentingan elite dan partai politik, yang seolah memperjuangkan hak-hak rakyat tetapi lebih
banyak mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan politik personal atau partai secara egoistik.
Dampak negatif laainnyaa ialah banyak keputusan politik dan kebijakan pemerintahan yang koruptif
dan tidak menguntungkan rakyat. Selain itu dalam jagad politik Indonesia lahir para elite dan
pemimpin karbitan yang dibesarkan secara instan oleh media, partai politik, dan kekuatan uang dari
para pemilik modal.
Dalam situasi politik yang anomali itu lahirlah oligarki politik, yakni kekuasaan dikendalikan oleh
segelintir orang yang memiliki kekuatan politik dan uang secara dominan. Sebagian kalangan
menunjuk bangkitnya oligarki politik yang berbasis parpol dan berkolaboraasi dengan pemilik modal,
yang melahirkan politik yang koruptif. Lahir kecenderungan plutokrasi (orang-orang kaya atau
pemilik modal) yang menguasai pentas politik sekaligus melahirkan rezim politik kleptokrasi, yakni
para elite kekuasaan yang perangainya suka mencuri kekayaan negara melalui berbagai cara. Inilah
yang menyebabkan kondisi runyam dalam kehidupan politik Indonesia saat ini, yakni kekuasaan yang
ologarkis dan koruptif, sehingga rakyat tetap termarjinalisasikan dalam sistem politik yang
demokratik itu. Rakyat tersubordinasi dan menjadi korban mobilisasi politik dengan kekuatan uang,
sehingga sebagian rakyat pun menjadi mudah menerabas dan bertindak serba gampang, yang
mengiris atau meluruhkan nilai-nilai luhur yang selama ini mereka anut.
Kolusi antara elite parpol dan pemilik modal yang pragmatis dan koruptif melahirkan dominasi
kekuasaan politik dan uang, selain menyandera banyak kebijakan pemerintahan memarjinalkan
rakyat, sekaligus menjauhkan Indonesia dari idealisme dan cita-cita kemerdekaan. Pada saat yang
sama melahirkan berbagai bentuk perilaku dan tindakan pragmatis (menerabas) dan mengejar
materi (uang dan kekayaan) dengan cara-cara yang koruptif dan tidak halal, yang merugikan
kepentingan bangsa dan negara. Karenanya ideologi partai politik yang berkembang dalam
kehidupan nyata sesungguhya pragmatisme dan materialisme, yakni ideologi politik yang memuja
jalan pintas dan materi.
Sebagian partai politik dan elitenya mungkin secara dogmatik masih ada yang berideologi pada
idealisme tertentu, tetapi bukan yang dominan. Terdapat pula partai politik yang berideologi agamis,
tetapi dalam praktiknya terpenjara dalam pragmatisme dan materialisme. Ideologi agama selain

disalahgunakan untuk memobilisasi politik umat beragama secara monolitik, pada saat yang sama
melahirkan elite dan aaktivis partai politik yang sangat ekslusif dan cenderung chauvinistik, yakni
pemuja kelompok dan kepentingan politik sendiri secara superfanatik serta melahirkan pengikut
partai yang taklid buta. Agamaa dijadikan komoditi politik, sehingga kehilangan fungsi kanopi suci
dalam mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam praktiknya ideologi bagi partai politik di negeri ini sering menjadi ekstrem dan inkonsten, yang
kehilangan moderasi. Semestinyaa ideologi yang dipakai dan diterapkan merujuk pada cita-cita
nasionalisme yang fundamental dan luas sebagaimana termaktub dalam spirit Pembukaan UUD
1945, yang lebih sepesifik mengamalkan setiap sila dari Pancasila. Ideologi politik yang berbasis
pada Pancasila secara jujur, konsisten, dan dinamis akan melahirkan idelialisme politik para elite
yang berkomitmen kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang merdeka,
bersatu, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita kemerdekaan yang diletakkan oleh para pendiri
negeri ini. Pada saat yang sama melahirkan antara lain sikap politik yang relijius (Ketuhanan Yang
Maha Esa), integratif atau pemersatu (Persatuan Indonesia), humanis dan bermoral utama
(Kemanusiaan yang adil dan beradab), populis dan demokratik (Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), dan berorientasi pada kesejahteraan
umum (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Dalam konteks masyarakat warga, ideologi partai politik menjadi penting atau tidak penting
tergantung ideologi apa yang dianut oleh partai tersebut dan bagaiamana rakyat memperoleh
keuntungan dari ideologi politik itu. Hal terpenting sebenarnya ideologi politik sebagai bentuk
idealisme mewujudkan Pancasila itulah yang perlu menjadi basis dan orientasi politik elite dan partai
politik untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur,
bermartabat, dan berdaulat. Ideologi populis yang memihak kepada nasib dan kepentingan rakyat di
atas kepentingan diri, kelompok, dan kepentingan politik yang sempit. Ideologi politik yang
menyelamatkan aset dan kekayaan negara serta sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya hajat
hidup rakyat dan kepentingan negara. Ideologi yang berpijak pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran,
ketulusan, dan nilai-nilai utama lainnnya yang membuat kehidupan berbangsa dan bernegara
senapas dengan cita-cita kemerdekaan tahun 1945.
Idealisme dan cita-cita kemerdekaan 1945 ialah terwujud dan terbentuknya: (1) Negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Berkehidupan Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesa dan seluruh tumpah darah Inddonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; (3) Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Idealisme dan cita-cita nasional tersebut harus menjadi dasar dan orientasi ideologis
setiap warga, elite, seluruh lembaga negara/pemerintahan, termasuk partai politik dan kekuatankekuatan bangsa.
Relasi negara dan masyarakat warga
Relasi antara negara dan masyarakat warga memiliki banyak model. Model konfrontatif, yaitu saling
bertentangan satu sama lain dalam posisi saling berhadap-hadapaan. Masyarakat warga atau
masyarakat sipil di negara-negara demokrasi liberal lebih memposisikan diri selaku oposisi. LSM,
kelompok buruh, Green Peace, dan sejenisnya mamainkan peran sebagai kekuatan nongovernmental (NGOs). Setiap kebijakan peemerintah selalu dikritsi, bahkan ditolak maakala tidak
sejalan dengan pandangan dan sikap politik kelompok-kelompok ini. Negara atau pemerintah

menjadi sangat hati-hati dan tidak dapat sewenang-wenang dalam memutuskan dan
memberlakukan suatu kebijakan. Tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa merilis terdapat sektar
29.000 NGOs yang berskala internasional, khusus di Amerika Serikat terdapat 2 juta kelompok NGOs
dalam tigapuluh tahun terakhir (Wikipedia, 2013).
Relasi kedua bercorak hegemoni-subordinatif, ketika negara atau pemerintah sangat kuat terhadap
organisasi-oganisasi kewargaan yang bersifat non-pemerintah, terutama di negara-negara yang
masih bercorak non-demokratik atau otoritarian. Negara-negara Eropa Timur pra runtuhnya
Tembok Beerlin 1989, sejumlah rezim pemerintahan di Amerika Selataan dan Afrika, Indonesia di
masa Orde Baru, Philipina di era Ferdinand Marcos, dan rezim-rezim militer atau rezim monolitik
lainnya di berbagai belahan dunia. Negara atau pemerintah sangat dominan dan tanpa kontrol dari
warganegaranya. Hak hidup masyarakat sipil teerkebiri, bahkan tidak jarang ditindas. Rakyat berada
dalam cengkeraman rezim penguasa, sehingga kehilangan hak-hak asasinya layaknya rakyat di
negeri-negeri jajahan di masa lampau. Model ini secara politik tentu telah menjadi masa lampau,
tetapi praktiknya masih dijumpai dalam sejumlah kebijakan negara atau pemerintah yang
mengabaikan haak-hak serta suara masyarakat sipil.
Relasi ketiga bersifat moderat, yakni saling bekerjasama atau simbiosis-mutualistik. Dalam struktur
ketatanegaraan dan kebudayaan Indonesia mungkin posisi masyarakat warga (civil society,
masyarakat madani) dapat saling komplementer dan tidak harus saling menegasikan atau saling
konfrontasi. Prinsip kedaulatan rakyat dengan jiwa kebersamaan atau gotong royong dapat menjadi
fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara dibangun dan menjadi ada karena
daulat rakyat, sebaliknya rakyat yang melahirkan negara juga pada akhirnya memerlukan negara. Di
sinilah relasi antara negara dan warga negara bersifat simbiosis-mutualistik dalam makna yang luas
dan dinamis sebagaimana fondasi, citaa-cita, dan sistem ketatanegaraan modern yang telah
diletakkan oleh para pendiri bangsa dan diperbarui dalam amandemen UUD 1945.
Namun model ketiga ini tidak boleh dimaknai secara dogmatis dan politis sebagai alat pembenar
dengan menjadikan penguasa berhak mengendalikan kekuatan-kekuatan masyarakat warga
sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Kelompok-kelompok kewargaan seperti Ormas, LSM, dan
NGOs lainnya harus tetap memainkan peran penyeimbang yang menjalankan fungsi kontrol sosialpolitik, kritis, dan penjaga palang pintu demokratisasi yang mengedapankan aspirasi dan daulat
rakyat di hadapan negara, selain manakala positif mendukung kebijakan negara atau pemerintah
yang prorakyat dan prokeadaban publik. Termasuk dalam melakukan peran-peran kritis terhadap
partai politik dan elite politik agar tetap menjalankan fungsi politiknya sesuai dengan prinsip-prinsip
politik di negara demokrasi, di samping melakukan advokasi dan agregasi terhadap kepentingan
rakyat di hadapan partai politik dan pemerintah.
Strategi membangun masyarakat warga
Di Indonesia kekekuatan civil society tidak tunggal dalam arus gerakan vis a vis negara, tetapi
terentang dari yang moderat hingga lebih radikal di hadapan negara. Hal tersebut tampaknya
sejalan dengan karakter budaya dan kondisi masyarakat Indonesia yang cenderung harmonis dan
pengalaman demokrasi yang belum sepenuhnya serta tidak sama sebangun dengan demokrasi di
negara-negara Barat. Namun sejalan dengan perkembangan demokrasi setelah reformasi, kekuatan
civil society di Indonesia menunjukkan peran yang cukup baik dan menggembirakan sehingga
mampu menjadi kontrol dan penyeimbang terhadap peran negara, sekaligus menjadi kekuatan sosial
yang signifikan dalam pemberdayaan masyarakat di akar-rumput. Kekuatan civil society di negeri ini
ditunjukkan antara lain oleh organisasi-organisasi kemasyarakata seperti ormas-ormas besar
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
kelompok-kelompok sosial lainnya. Saat ini terdapat banyak agenda soal penguatan civil society,

yakni kecenderungan menguatnya orientasi politik kekuasaan dan menjadi broker sosial-politik
kekuatan-kekuatan civil society baik di kalangan ormas maupun LSM tertentu, sehingga kian berat
tantangan dan agenda menguatkan gerakan civil society di negeri ini.
Kini dalam konteks keindonesia modern dan di tengah problem bangsa yang demikian kompleks,
baik itu Islam dengan kekuatan umatnya, maupun perjuangan penegakkan demokrasi dan civil
society, menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Pertama, ruang politik yang demikian
beragam dan tengah berada dalam pergumulan yang bersifat cross-cuting of interest termasuk
munculnya fenomena terorisme, anarkhisme, separatisme, dan lain-lain menjadi tantangan bagi
pejuang Islam yang moderat dan kekuatan-kekuatan demokrasi serta civil society. Kedua, konstelasi
politik dan hegemoni politik asing dengan perkembangan neo-liberalisme/neo-kapitalisme yang
demikian raksasa dapat menjadi kekuatan sekaligus predator tumbuhnya civil Islam, demokrasi, dan
civil-society yang lebih pro-nilai-nilai kemanusiaan yang utama dalam kehidupan bangsa sejalan
dengan kebudayaan Indonesia. Ketiga, mengakhiri transisi dan kerancuan dalam sistem politik
Indonesia yang sering menjadi penghambat tumbuhnya Islam moderat dan civil society yang kuat
lebih-lebih dengan kecenderungan pragmatisme politik dan bangkitnya neo-otoritarian penguasa.
Keempat, agenda transformasi sosial masyarakat Indonesia yang meniscayakan bagaimana
perjuangan menegakkan Islam, demokrasi, dan civil society selaras dengan agenda membangun
kesejahteraan, kemajuan, dan keadaban bangsa yang berarti juga hilangnya kemiskinan,
kesenjangan sosial, demoralisasi sosial, dan kerusakan lingkungan serta sumber daya alam
Indonesia.
Kekuatan masyarakat warga juga dapat meemainkan fungsi strategis dalam pengarus-utamaan nilainilai kebangsaan atau nasionalisme yang konstruktif bagi kehidupan kebangsaan yang majemuk.
Pengarusutamaan (mainstreaming) identitas dan komitmen kebangsaan yang majemuk di atas
faktor-faktor primordial memerlukan langkah-langkah transformasional sebagai berikut. Pertama,
mendorong ikhtiar mendesain ulang format nasionalisme yang bersifat kontekstual sekaligus dapat
membangkitkan harkat/martabat sebagai bangsa, bukan nasionalisme naif/sempit. Kedua,
menggerakan terjadinya proses keteladanan elite bangsa sebagai pilar yang memberikan contoh
tentang hidup terhormat dan bermartabat, bukan elite/generasi compang-camping dan jadi
pemulung seperti selama ini (elite politik: krisis secara moral, rakus sikap hidup). Ketiga, memperluas
pendidikan kewargaan untuk pembentukan identitas kebangsaan/nasionalisme sebagai bangsa
berperadaban tinggi. Keempat, melakukan agregasi kekuatan dan kepentingan publik untuk
memecahkan masalah-masalah krusial/krisis bangsa sebagai prakondisi menuju Indonesia yang
berkarakter, sekaligus mengeliminasi eklusivitas ikatan-ikatan primordial yang menawarkan solusi
atas krisis. Kelima, mendorongkekuatan-kekuatan agama dan ikatan-ikatan sosial komunitas agar
berfungsi sebagai faktor/kekuatan nilai-nilai kebangsaan sebagaimana terjadi di era perjuangan
kemerdekaan dengan gerakan hubb al-wathan min al-iman. Keenam, menegakkan kedaulatan
bangsa dan negara di hadapan dominasi negara asing dan kapitalisme global yang selama ini
memperlemah kehormatan nasional, yang menjadi titik masuk bagi solusi agama maupun lainnya
yang hadir karena negara tak berdaya menghadapi hegemoni global, bahkan dianggap sebagai
budak asing.
Kelompok-kelompok masyarakat warga atau masyarakat madani saat ini memiliki peluang leluasa
untuk berperan lebih proaktif dalam penguatan masyarakat Indonesia baik dalam membangun
negeri ini untuk menjadi lebih maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat maupun dalam
memberdayakan rakyat di hadapan negara dan kekuatan hegemoni yang memperdaya rakyat.
Organisasi kemasyarakatan seperti organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
masyarakat kampus, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang memiliki otonomi dan daya-tawar
sosial-politik yang kuat di hadapan negara dituntut untuk lebih mengartikulasikan dan
mengagregasikan aspirasi atau kepentingan masyarakat luas secara lebih signifikan. Peran

transformasi yang mengandung proses membebaskan, memberdayakan, dan memajukan penting


untuk menjadi agenda bersama kelompok-kelompok masyarakat warga.
Dalam konteks memperjuangkan kepentingan rakyat bahkan kelompok masyarakat warga perlu
bersinergi dengan kekuatan-kekuatan politik, tanpa perlu terjebak pada langkah politik-praktis
sebagaimana fungsi partai politik yang seringkali membelokkan arah perjuangan elite dan kelompok
masyarakat sipil dari memperjuankan rakyat ke perjuangan kekuasaan (power-struggle). Fungsi
kelompok kepentingan (interest group) dapat dimainkan, dengan tetap menunjukkan karakter dan
orientasi sebagai kekuatan civil-society yang lebih memihak dan berada dalam pusaran gerakan
kemasyarakatan yang melakukan gerakan soaial (social movements) secara terorganisasi dan
bersinergi satu sama lain. Tetapi perjuangan untuk melakukan gerakan sosial berbasis civil-society
tidaklah ringan karena memerlukan pengorbanan sekaligus perspektif dan sikap yang benar-benar
pro-rakyat secara genuin bukan menjadikan rakyat sebagai batu lompatan politik sesaat ke
panggung kekuasaan. Tidak jarang elite atau kelompok masyarakat warga tertentu seolah berada
dalam posisi membela rakyat, bergerak secara kultural, dan kritis terhadap kekuasaan tetapi basis
orientasi sikapnya tetap untuk mobilitas diri meraih kekuasaan atau jabatan politik yang pada
gilirannya setelah berkuasa tenggelam dalam pragmatisme kekuasaan sebagaimana tragedi lahir dan
tumbangnya sebuah rezim penguasa.
Adapun strategi pemberdayaan masyarakat warga khususnya dalam konteks pembangunan sosialpolitik dan pemberantasan korupsi di tengah sistem pemerintahan yang sekarang berjalan di
Indonesia dapat dilakukan melalui berbagai pilihan strategi. Strategi pembangunan sosial (social
development) dan gerakan sosial (social movement) merupaka salah satu alternatif yang lebih tepat
untuk dilaksanakan, yakni dengan meenggerakkan seluruh elemen civil sosiety di berbagai struktur
dan lingkungan dari pusat hingga daerah. Di antara strategi pembangunan sosial yang dapat
dilakukan ialah melalui apa yang oleh James Mgley (1995) disebut pendekatan atau strategi
komunitarian, yaitu mengembangkan kerjsama antara masyarakat dengan komunitas-komunitas
setempat baik dalam memenuhi kebutuhan dasar maupun memecahkaan masalah dan
mangagendakan kemajuan secara kolektif. Strategi ini diletakkan dalam konteks pembangunan
sosial (social development) yang juga memerlukan peran-peran individu dan institusi-institusi
kemasyarakatan serta pemerintah. Dalam kaitan masyarakat warga tentunya strategi pembangunan
sosial yang ditempuh harus bersifat partisipatoris (melibatkaan seluruh elemen masyaarakat secara
demokratis) dan bottom-up (dari bawah), sehingga terhubung dengan proses, potensi, kondisi, dan
kebudayaan setempat.
Strategi gerakan sosial yang dapat dilakukan dalam pengeembangan kekuatan masyarakat warga
dan peranannya dalam perubahan kehidupan bangsa dan negara ialah apa yang dikemukakan
Anthony Giddens (1993) dengan redemptive movement, yaitu gerakan penyelamatan secara
serentak atau menyeluruh di berbagai bidang kehidupan yang dipandang menyimpang, baik
dilakukan secara individu maupun kolektif. Kondisi krisis dan banyak penyimpangan dalam
kehidupan suatu bangsa memang memerlukan gerakan penyelamatan. Dalam jangka panjang
gerakan peenyelamatan ini dapat dikaitkan dengan gerakan reformasi dengan tekanan pada
pembaruan sejumlah aspek dan gerakan transformasi yang bersifat perubahan maupun pembaruan
yang menyeluruh pada seluruh struktur kehidupan bangsa dan negara. Semuanya memerlukan
kemauan dan kemampuan yang kuat serta optimal dari seluruh komponen bangsa, termasuk para
elite dan pimpinannya. Peran elite dan pimpinan sangat penting, karena menurut pepatah ikan
busuk dimulai dari kepala.

Rujukan
Anthony Giddens, Sociology, Cambridge, Polity Press, 1993.
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita
Reformasi; Radjawali, Jakarta, 1999.
Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial; LSAF,
Jakarta, 1999.
Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan, Mizan. Bandung, 1995.
Hamiwanto, Saiful, dan M. Ali Said JSD; Mayarakat Madani Mimpi Lama Judul Baru?, Makalah tidak
diterbitkan, 2001.
James Migley, Social Development: The Developmental Perspektive In Social Welfare, London, Sage
Publications Ltd., 1995.
Muhammad Shiddiq Al Jawi, Konsep Civil Society dalam Perspektif Islam: Sebuah Tinjauan
Ideologis, dalam http://www.gaulislam.com/Tsaqofah, 18 Agustus 2007.

Anda mungkin juga menyukai