Anda di halaman 1dari 13

Penurunan Kesadaran Disertai Shock Sejak 1 Jam SMRS

dan Mimisan Sebanyak 1sdm


Cristin Oktavianty 102009098
Universitas Kristen Krida Wacana Jln arjuna utara no. 6 kebun jeruk Jakarta Barat

Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi
yang disertai ruam. DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai
syok (dengue shock syndrome) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka
kematian cukup tinggi.1
Anamnesis
Seorang pria berusia 18 tahun dibawa keluarganya ke RS karena penurunan kesadaran
sejak 1 jam SMRS. Berdasarkan keterangan keluarga, pasien telah mengalami demam terus
menerus sejak 5 hari yang lalu. Selama demam, pasien juga mengeluh mual dan myalgia
tanpa batuk dan pilek. 1 hari SMRS pasien tiba-tiba mimisan kira-kira sebanyak 1 sdm.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan pasien ini didapatkan S= 35oC, TD = 60 per palpasi. Nadi sangat
lemah dan cepat, fremitus taktil pada paru kanan melemah dan terdengar redup saat
diperkusi. Suara napas vesikular paru kanan juga melemah. Akral lembab dan dingin.
Pemeriksaan penunjang
Setelah dilakukan pemeriksaan pada darah ditemukan Hb = 16g/dL, Ht = 54%,
leukosit 4.000/ul, trombosit = 40.000/ul
Diagnosis
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.
Demam dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua
atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

Nyeri kepala

Nyeri retro-orbital

Mialgia

Ruam kulit

Manifestasi pendarahan

Leukopenia

Diagnosis banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.1
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.1 mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
den-1, den-2, den-3 dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti. 1 Keempat
serotipe dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat. Morfologi dan daur hidup nyamuk, Aedes aegypti dewasa
berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah, mempunyai warna
dasar yang hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya terutama pada
kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai
gambaran lira yang putih pada punggungnya. Spesies ini seperti juga nyamuk anophelini
lainnya yang mengalami metamorfosis sempurna. Tempat perindukan utama Aedes aegypti
adalah tempat-tempat berissi ai bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk,
biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk dewasa betina mengisap darah
manusia pada siang hari yang dilakukan baik didalam rumah ataupun diluar rumah.
Penghisap darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah
matahari terbat dan sebelum matahari terbenan=m, tempat istirahat Aedes aegypty berupa
semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat dihalaman, juga
berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah. 2 Dalam laboratorium virus dengue
dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primate.
Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada
hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus aedes (stegomyia) dan Toxorhynchites.1
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah

meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan inveksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
A. Aegypti dan A. Albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina daribejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan temapt penampungan air lainnya). Beberapa faktor
diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue yaitu:
1. Vektor:

perkembangbiakan

vektor,

kebiasaan

menggigit,

kepadatan

vektor

dilingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.


2. Pejamu: terdapatnya penderita dilingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.1
Patofisiologis
Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah
respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
magrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancament (ADE), limfosit T baik T
helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun selular terhadap virus
dengue. Monosit dan magrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin
oleh magrofag selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Halsted pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe
yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yan tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan

bahwa

infeksi

virus

dengue

menyebabkan

aktivasi

magrofag

yang

memfagositosis kompelks virus antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di


magrofag. Terjadinya infeksi magrofagoleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan
T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi, IL-6 dan histamin

yang mengakibatakn terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus antibodi yang juga
mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum
tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan suspresi megakariosit.
Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesus sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobuln dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus
dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan
terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivsi jalur ekstrinsik.1
Ada dua perubahan patofisiologis utama terjadi pada DHF/DSS. Pertama adalah
peningkatan permeabilitas vaskular yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen
vaskular. Keadaan ini mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah, dan tanda shock
lain, bila kehilangan plasma sangat membahayakan. Perubahan kedua adalah gangguan pada
hemostatis yang mencakup perubahan vaskular, trombositopenia, dan koagulopati. 3
mekanisme yang dapat menunjang terjadinya DHF/DSS adalah peningkatan replikasi virus
dalam makrofag oleh antibodi heterotipik. Pada infeksi sekunder dengan virus dari serotipe
yang berbeda dari yang menyebabkan infeksi primer, antibodi reaktif-silang yang gagal untuk
menetralkan virus dapat meningkatkan jumlah monosit terinfeksi saat kompleks antibodi
virus dengue masuk ke dalam sel ini.3

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi Virus

Anamnestic antibody response

Kompleks virus-antibodi

Aktivasi komplemen
Komplemen
Anafilatoksin (C3a,C5a)
Histamin dalam urin
meningkat
Permeabilitas kapiler meningkat
Ht meningkat
>30% pada kasus syok
24-28 jam

Perembesan plasma

Natrium menurun
Cairan dalam rongga serosa

Hipovolemi

Syok
Anoksia

Asidosis
Meninggal

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD


Sumber : Suvatte, 1977
Gambaran klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam
yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau dengue shock syndrome
(DSS). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase

kritis selama 2-3 hari. Pada eaktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapatkan pengobatan adekuat.1
Prognosis
Kematian terjadi pada 40-50 % penderita dengan syok, tetapi dengan pengobatan penunjang
yang adekuat, dapat diturunkan, hingga kurang dari 2 %. Keberhasilan bertahan berhubungan
langsung dengan penatalaksanaan intensif dan dini.5
Komplikasi
Dengan makin umumnya infeksi dengue, peningkatan jumlah kasus DF atau penyakit sepertiDHF telah dihubungkan dengan manifestasi takumum. Manifestasi ini termasuk fenomena
sistem saraf pusat seperti kejang, spastisitas, perubahan kesadaran dan paresis transien.
Bentuk kejang halus kadang terjadi selama fase demam pada bayi. Kejang ini mungkin hanya
kejang demam sederhana, karena cairan serebrospinal ditemukan norrmal pada kasus ini.
Intoksikasi air akibat dari pemberian cairan isotonik berlebihan untuk mengatasi pasien
DHF/DSS dengan hiponatremia dapat menimbulkan ensefalopati. Pasien dengan ensefalopati
sebagai komplikasi dari koagulasi intravaskular diseminata juga telah dilaporkan.
Pasien mati dengan manifestasi neorologis telah dilaporkan di India, Indonesia,
Malaysia, Mianmar, Puerto Riko, dan Thailand. Sementara telah ada beberapa laporan
tentang isolasi virus atau anti-dengue IgM dari cairan serebrospinal, sampai kini tidak ada
bukti keterlibatan langsung virus dengue dalam kerusakan neural. Pendarahan intrakranial
dapat terjadi, dan herniasi batang otak karena edema serebral pernah ditemukan. Pada
umumnya, pasien yang telah meningal dengan tanda atau gejala neurologis belum menjadi
subjek untuk studi sutopsi. Baik studi makro dan mikroskopik adalah penting untuk
menentukan sifat dan etiologi manifestasi neurologis yang menyertai penyakit DHF/sepertiDSS fatal.
Perawatan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah komplikasi iatrogenik
dalam pengobatan DHF/DSS, untuk mengenalinya dengan cepat bila terjadi dan untuk tidak
keliru terhadap komplikasi iatrogenik yang dapat dicegah dan diatasi dengan temuan
DHF/DSS normal. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka, dan hidrasi
berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat mengakibatkan sepsis Gramnegatif yang disertai dengan demam, syok dan pendarahan berat; pneumonia dan infeksi lain
dapat menyebabkan demam dan menyulitkan pemulihan. Hidrasi berlebihan dapat
menyebabkan gagal jantung atau pernapasan, yang mungkin dianggap keliru dengan syok.

Gagal hepar telah dihubungkan dengan DHF/DSS, terutama selama epidemik di


Indonesia pada tahun 1970-an dan epidemik di Thailand pada tahun 1987. Gagal hepar ini
mungkin karena keberhasilan resusitasi pasien dengan gagal sirkulasi berat, atau karena
dengan tropisme hepar taklazim karena strain viral tertentu. Serotipe virus dengue 1, 2, dan 3
telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan infeksi dengue primer
maupun sekunder. Hepatosit nekrosis ditemukan meluas pada beberapa kasus ini. Antingen
dengue terdeteksi pada hepatosis, pada sel-sel Kupffer dan kadang pada sel inflamasi akut.
Temuan histopatologis dibedakan dari temuan yang terlihat pada sindrom Reye. Apakah
cedera hepar karena efek langsung infeksi dengue atau respons penjamu terhadap infeksi,
masih diselidiki. Ensefalopati yang berhubugan dengan gagal hepar akut umum terjadi, dan
gagal ginjal adalah kejadian akhir yang umum.
Manifestasi takumum lain yang dilaporkan mencakup gagal ginjal dan sindrom
uraemik hemolitik, kadang pada pasien dengan kondisi dasar mis, defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati. Infeksi bersamaan seperti Ieptospirosis,
hepatitis-B virus, demam tifoid, cacar dan melioidosis, telah dilaporkan dan dapat
memperberat manifestasi takumum dari DHF/DSS.3
Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat pendarahan. Pasien DD
dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien
DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawatyang terampil, sarana laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan
penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tapak
baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

1. Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan

Tirah baring, selama masih demam.


Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi < 39oC, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat menyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air
putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen. Pada pasien DD,
saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian
semua pasien harus dioobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari
setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan
antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu
pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan
sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air
besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,
apalagi bila disertaiberkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga
harus segera dibawa ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada lampiran 1.
Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi
diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).5
2. Demam Berdarah Dengue
Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD
terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of
defervescence) yang merupakan Fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata
dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan
suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat

sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan
penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
danpenurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat
dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit
kelas B dan A.5
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan
suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi
perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada 7BD.
Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera
pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup,
susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama.
Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB
dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping
larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif
selama demam.5
Tabel
Dosis parasetamol 1 Menurut Kelompok Umur
Umur (Tahun)
<1
1-3
4-6
7-12

Parasetamol (Tiap kali pemberian)


Dosis (mg)
60
60-125
125-250
250 - 500

Tablet(1 tab=500mg)
1
/8
1
/8 - 1/4
1
/4 - 1/2
-1

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah
waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu
kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak

terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu
(fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28
jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah
volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan
ditambah5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan
terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung
meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl
0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena
bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi
jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan yang
diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan
rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.5
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 8 %)
Berat Badan waktu masuk RS (kg)
<7
7 11
12 18
>18

Jumlah cairan Ml/kg berat badan per hari


220
165
132
88
Bagan 2.

Tatalaksana Penderita Tersangka


Demam Berdarah Dengue
Tersangka DBD

Demam Tinggi, mendadak


terus menerus < 7 hari tidak -

disertai ISPA Badan lemah/lesu

Ada kedaruratan

Tidak ada kedaruratan

Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
kesadaran Menurun
Muntah Darah
Uji tourniquet (+)
Berak darah
(Rumple leede)

Jumlah trombosit
<100.000/ul

Periksa uji tourniquet

Uji tourniquet (-)


(Rumple leede)

Jumlah trombosit
>100.000/ul
Rawat jalan

Tatalaksana Disesuaikan,
(lihat bagan 3,4,5)

Rawat inap
(lihat bagan 3)

Rawat jalan
Parasetamol kontrol tiap
hari sampai demam
menghilang

Minum banyak parasetamol bila perlu.


Kontrol tiap hari sampai demam turun bila
demam menetap periksa Hb, Ht, trombosit

Nilai tanda klinis dan


jumlah trombosit, Ht. Bila
masih demam hari saat ke-3

Bila timbul tanda syok, gelisah, lemah,


Kaki tangan dingin, nyeri perut, berak hitam,
Kencing berkurang,, Hb/Ht naik dan trombosit turun

Segera Bawa ke Rumah Sakit


Bagan 5
Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue ( SSD )
SSD
Oksigenasi (berikan O2, 2 4 liter/menit)
Penggantian volume plasma segera
(cairan kristaloid isotonis)ringer laktat/NaCI 0,9%
10-20 ml/kgBB secepatnya (bolus dlm 30 menit

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


pantau tanda vital tiap 10 menit
catat balans cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
Syok tidak teratasi
kesadaran membaik nadi teraba kuat.
Kesadaran menurun nadi lembut /
tekanan nadi > 20 mmHg

tidak teraba tekanan nadi <20 mmHg

tidak sesak nafas/sianosis ekstrimtas

Distres pernafasan/sianosis kulit

hangat diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam

dingin dan lembab ekstrimitas


dingin. Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan

Lanjutkan cairan

Disesuaikan

15 20 ml/kgBB/jam

10 ml/kgBB/jam

Tambahkan koloid/plasma
Dekstran / FFP

Evaluasi ketat

10 20 (max 30) ml/kg/BB

Tanda vital

Koreksi asidosis

Tanda perdarahan

Evaluasi 1 jam

Diuresis Hb, Ht, trombosit

Syok teratasi

Syok belum teratasi

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam

Ht turun

Ht tetap tinggi /
naik koloid

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Transfusi darah segar ml/kgBB


ml/kgBB dapat diulang sesuai kebutuhan

Infus stop tidak melebihi 48 jam


Daftar Pustaka
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan H T. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
V. hal 2773-9. Jakarta: Internal Publishing; 2009.
2. Richard E.Behrman, Robert M. Kliegman, M. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Edisi 15. Jakarta: EGC; 2000

3. Departemen Kesehatan. Tata Laksana DBD. Diunduh dari


http://www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf .diunduh tanggal
28 November 2010.
4. WHO. Demam Berdarah Dengue. Edisi II. Hal 17-89. Jakarta: EGC;2002
5. Demam Berdarah 20 Oktober 2007. Diunduh dari http://www.nm2dc
.com/free.ebook.Diunduh tanggal 28 November 2010.

Anda mungkin juga menyukai