natural resources, (2) optimizing coastal and marine ecosystems utilization with in integrating all
ecological and socio-economic informations, and (3) increasing multidisciplinary approach and intersectoral coordination in addressing the complexity existing problems in coastal areas and oceans.
Through this approach, is expected to deliver results, (1) maintaining the quality of coastal and marine
environment and its resources, and (2) improving the socio-economic-cultural conditions of coastal
communities. Development policies need to favor the coastal community, so that the community
development objectives to achieve equitable prosperity for all Indonesian people can be realized.
Fishermen capacity building in the content of national development can be done through the program:
(i) construction of fishing requires a thorough understanding of the nature of any problems, especially
poverty fishermen occurred, (ii) construction of social engineering fisherman needs a proper, effective
and efficient, (iii) determination of the number of beneficiaries (users) and the carrying capacity of the
environment according to the characteristics and resource utilization, (iv) strengthening and
development of coastal communities, (v) the development of alternative livelihoods; (vi) handling of
illegal fishing, unrecorded and unregulated; (vii ) fisheries development policy support, and (viii)
support aquaculture development policy.
Key Words: management, development, policy, capacity building and community development
1.
PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
mencanangkan program agar Indonesia mampu menjadi produsen ikan terbesar di dunia.
Pencanangan sebagai produsen terbesar di dunia ini mengharuskan Indonesia untuk segera
memacu produksi perikanannya hingga lebih dari 16 juta ton per tahun. Hal ini tentu bukan
persoalan yang mudah, mengingat pencapaian produksi perikanan Indonesia saat ini masih
sekitar 10,83 juta ton per tahun. Potensi lestari perikanan laut Indonesia terhitung sebesar 6,4
juta ton per tahun, sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 5,12 juta
ton per tahun (80% dari potensi lestari). Saat ini, Indonesia baru mampu memanfaatkan
potensi tangkapan tersebut sebesar 4,3 juta ton atau sekitar 83,98 persen dari jumlah
tangkapan ikan yang diperbolehkan. Namun demikian, terdapat potensi penangkapan illegal
yang dilakukan oleh nelayan asing serta penangkapan yang tidak dilaporkan kepada lembaga
yang berwenang sebesar 1,5 juta ton per tahun, sehingga bilamana ini ditambahkan dengan
pemanfaatan aktual, maka sesungguhnya perikanan laut Indonesia telah memasuki kriteria
kelebihan penangkapan.
Menilik bahwa target produksi perikanan Indonesia harus melebihi 16 juta ton per
tahun, maka ada kecenderungan pemenuhan target produksi perikanan akan menemui
kegagalan, kendati saat ini potensi budidaya mampu memberikan peluang produksi yang
lebih besar dibandingkan dengan perikanan tangkap. Namun demikian, mengingat bahwa
karakteristik masyarakat pesisir cenderung melakukan perburuan (hunting), maka diperlukan
sistem pembinaan dan pendanaan yang akomodatif dan bersahabat dengan nelayan, sehingga
target yang diharapkan dapat digenjot untuk mendukung program produksi sebesar 16 juta
ton per tahun dapat diwujudkan.
2.
PERMASALAHAN AKTUAL
Pembinaan nelayan tidak dapat dilakukan secara sembarangan, mengingat bahwa
permasalahan yang terjadi sangat bersifat multi dimensi dan membentuk lingkaran yang
saling berpengaruh, sehingga diperlukan penanganan yang lebih arif dan holistik. Beberapa
permasalahan utama yang perlu segera dicarikan solusinya terkait dengan upaya pembinaan
nelayan sebagai ujung tombak perikanan diantaranya adalah: (i) kemiskinan masyarakat
pesisir; (ii) banyaknya praktek penangkapan ilegal, tidak tercatat dan tidak diatur (illegal-,
unreported-, & unregulated fishing, IUU); (iii) biaya operasional impor kapal sangat tinggi
dan tidak mampu dipenuhi nelayan; dan (iv) sistem pembinaan nelayan belum berjalan baik.
Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan ditengarai disebabkan oleh
tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha,
kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang
cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat
yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai
salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir (Azman, 2009).
Penangkapan ikan laut secara (illegal), tidak dicatatkan dalam log book lembaga
berwenang (unreported), serta yang tidak diatur (unregulated) sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku sangat marak terjadi di Indonesia. Kecenderungan terbatasnya
armada penangkapan ikan Indonesia yang berdaya jelajah hingga ZEEI membuat nelayan
asing memanfaatkan atau mencuri ikan di wilayah tersebut, sehingga menyebabkan potensi
kerugian yang tidak sedikit.
memberikan ruang lebih besar kepada nelayan Indonesia untuk menangkap ikan secara
optimal dan menguntungkan.
Impor pengadaan 1000 kapal tidak berjalan mulus. Kapal yang diimpor memerlukan
modal operasional yang sangat tinggi untuk ukuran nelayan lokal, yaitu mencapai Rp.150
juta/trip, sehingga tidak mampu dipenuhi nelayan. Akibatnya, tidak banyak yang mampu
memanfaatkan kapal tersebut yang digadang-gadang dapat menambah produksi perikanan
tangkap, terutama untuk open sea atau pada zona ekonomi eksklutif Indonesia (ZEEI).
Sistem pembinaan tidak berjalan dengan semestinya, program PEMP yang digadanggadang sebagai bentuk pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi masyarakat pesisir belum
3
berjalan selama lebih kurang satu dekade ini mengalami kemunduran bahkan cenderung
gagal.
Salah satu yang paling nyata adalah guliran dana yang diharapkan dapat
dikerjasamakan
dengan
bank
dan
atau
lembaga
keuangan
lainnya
tidak
dapat
diimplementasikan, mengingat risiko usaha perikanan tangkap sangat tinggi. Selain itu,
MOU guliran dana tidak dilakukan secara kontinu, sehingga mengundang keraguan akan
simpang siurnya jaminan usaha kepada bank dan atau lembaga keuangan lainnya.
3.
maka alternatif upaya pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah melalui program: (i)
pembinaan nelayan memerlukan pemahaman yang bersifat menyeluruh terhadap setiap
persoalan, terutama kemiskinan nelayan yang terjadi; (ii) pembinaan nelayan memerlukan
pendekatan social engineering yang tepat, efektif dan efisien; (iii) penetapan jumlah
pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya
dan pemanfaatannya; (iv) penguatan dan pembinaan masyarakat pesisir; (v) pengembangan
matapencaharianalternatif;(vi)penanganan penangkapan ikan ilegal, tidak tercatat dan tidak
diatur; (vii) dukungan kebijakan pengembangan perikanan tangkap; dan (viii) dukungan
kebijakan pengembangan perikanan budidaya.
a.
beberapa dimensi, yaitu (i) dimensi ekologi (ecological sustainability) yang mencakup
kelestarian sumberdaya, kelestarian spesies, serta kelestarian ekosistem; (ii) dimensi sosialekonomi (socio-economic sustainablity), yang berarti kelestarian kesejahteraan sosialekonomi para pelakunya, yang basisnya adalah keberlanjutan keuntungan dan distribusinya
kepada seluruh pelaku, serta keberlanjutan sistem sumberdaya pesisir, baik di tingkat
ekonomi lokal maupun global; (iii) dimensi masyarakat (community sustainaibility) yang
berorientasi pada keberlanjutan masyarakat sebagai sebuah sistem, yang di dalamnya
5
mencakup nilai budaya, aturan lokal, pengetahuan, dan kohesivitas; dan (iv) dimensi
kelembagaan (institutional sustainablity), yakni kesinambungan kapasitas finansial,
administrasi, dan organisasi, yang menjaga keberlanjutan tiga dimensi sebelumnya.
Kebijakan sosial ekonomi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir harus
didasarkan kepada kondisi sosial, kearifan dan budaya masyarakat pesisir yang tumbuh dan
berkembang di akar rumput. Kebijakan yang diambil harus integratif sehingga tidak bias
sektoral, wilayah serta kepentingan dan dapat diimplementasikan dalam rangka pengentasan
kemiskinan. Kebijakan tersebut harus diarahkan untuk mengantisipasi kerusakan, daya
dukung maupun ketidakseimbangan sumber daya pesisir, yang akhirnya akan berakibat
kepada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberpihakan kebijakan yang
secara adil (fair) memberikan perhatian kepada kelompok masyarakat yang yang lemah,
tertindas dan rawan perlu diberikan prioritas khususnya pemenuhan basic need melalui kerja
produktif bukan belas kasihan. Kebijakan ekonomi seperti insentif, nilai tambah,
kelembagaan ekonomi yang mendorong kemandirian masyarakat berbasis desa seyogyanya
menjadi pilar penting bagi tumbuhnya kesejahteraan yang lestari. Pemahaman dan komitmen
seluruh stakeholders terhadap kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir
secara berkelanjutan menjadi syarat keberhasilan pengembangan masyarakat pesisir yang
lebih sejahtera dan dapat menjadi mesin utama pertumbuhan pembangunan nasional.
b.
subsisten, maka pembinaannya perlu dibangun dan dipersiapkan secara khusus melalui reengineering kebijakan pengembangan sosial ekonomi dalam rangka pengentasan kemiskinan
masyarakat pesisir.
perlunya penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan
karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya; (ii) perlu dilakukannya pembinaan dan
pembinaan masyarakat pesisir secara kontinu; dan (iii) perlu dikembangkannya mata
pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir sebagai social engineering model dalam
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
c.
Kesadaran
dan
kelompok
baik
formal
maupun
informal,
(c)
memperluas
dan
mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi dapat tercapai, (d)
memperbaiki budaya/etos kerja, dan (e) menghilangkan sifat dan mental negatif yang
memasung produktivitas dan menghambat pembangunan.
Pembinaan lingkungan merupakan strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat
pesisir melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana produksi serta
meningkatkan peran masyarakat dalam menata dan mengelola lingkungan hidupnya. Strategi
ini mencakup hal-hal berikut: (1) meningkatkan peran masyarakat dalam mengelola dan
menata lingkungan hidup, baik tempat tinggal mereka maupun habitat atau kawasan tempat
kegiatan ekonomi produktif dijalankan, (2) membangun infrastruktur terutama yang
menyangkut dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan
ekonomi, (3) meningkatkan perencaaan dan pembangunan secara spasial di wilayah pesisir
dengan mempertimbangkan kompatabilitas wilayah pesisir dan daya dukungnya, (4)
mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi eksistensinya, dan (5) memperkaya
sumberdaya melalui kegiatan pengkayaan stok ikan dan habitatnya, rehabilitasi, mitigasi
bencana, dan mengendalikan pencemaran.
Pembinaan sumberdaya adalah strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat
pesisir melalui pelibatan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam
pesisir.
pemanfaatan laut dan pesisir, (b) menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat
lokal, (c) menerapkan MCS dengan prinsip partisipasi masyarakat lokal, (d) menerapkan
teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi asli (indigenous
technology), (e) membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategi sumberdaya bagi
generasi kini dan yang akan datang, (f) merehabilitasi habitat dan memperkaya sumberdaya
pulih (restocking dll).
Pembinaan usaha meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap permodalan yang
dapat ditempuh melalui hubungan langsung antara masyarakat dengan sumber modal,
hubungan secara kelompok antara masyarakat dengan sumber modal dengan atau tanpa
jaminan dari pihak ketiga, hubungan antara pengusaha skala kecil secara inividu atau secara
kelompok dengan pengusaha skala besar atau BUMN, serta penyatuan kekuatan modal
8
(a) meningkatkan
ketrampilan usaha, pengelolaan bisnis skala kecil dan penguasaan teknologi, (b)
meningkatkan dan mempermudah akses terhadap teknologi, modal, pasar, dan informasi
pembangunan, (c) membangun kemitraan mutualistis diantara sesama pelaku ekonomi rakyat
dan melalui kerjasama perusahaan skala besar , (d) membangun sistem insentif administrasi
serta pendanaan formal dan informal, dan (e) menyediakan peraturan perundangan yang
menjamin berjalannya proses pengentasan kemiskinan.
e.
tidak memiliki pasar yang akan menampung, sehingga produk yang dihasilkan menjadi
mubazir. Kedua, mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mudah diadopsi oleh
masyarakat yang akan melaksanakannya dan sesuai dengan karakteristik masyarakat
setempat seperti adat istiadat, sosial budaya, kebiasaan, tatanan kemasyarakatan dan lain-lain.
Ketiga, mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mempunyai resiko kegagalan
kecil, waktu yang cepat dan modal terjangkau. Keempat, apabila dalam pengembangan mata
pencaharian alternatif dibutuhkan bantuan dana atau subsidi untuk keperluan hidup sebelum
mata pencaharian alternatif tersebut menghasilkan, maka bantuan dana tersebut harus
memperhatikan: kategori penerima subsidi, besarnya subsidi sama dengan kebutuhan hidup
minimum (sesuai pendapatan awal atau lebih kecil dari pendapatan yang akan didapat dari
hasil mata pencaharian alternatif yang akan dikembangkan), jangka waktu pemberian subsidi
dibatasi sampai dengan hasil mata pencaharian alternatif menghasilkan, kesepakatan bersama
dan sebagainya.
memperhatikan aspek pelestarian lingkungan secara umum (daya dukung, karakterisitk, dsb).
9
Dan keenam mata pencaharian alternatif yang akan dikembangkan harus dapat berjalan
secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, menetapkan mata pencaharian alternatif, maka beberapa langkahlangkah yang dapat dilakukan unttuk memperoleh hasil yang optimal diantaranya adalah (i)
mengidentifikasi
jenis-jenis/bentuk-bentuk
mata
pencaharian
alternatif
yang
akan
dikembangkan yang disesuaikan dengan syarat syarat di atas; (ii) melakukan uji keberhasilan
dari mata pencaharian tersebut sebelum diterapkan; dan (iii) menyiapkan perangkat baik
teknis maupun non teknis dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
f.
diantaranya yaitu hukum dan ekonomi. Untuk hukum, ada beberapa aturan-aturan
internasional yang harus Indonesia perhatikan. Adapun beberapa aturan internasional yang
terkait dengan pemberantsan IUU fishing, antara lain: (1) hukum yang sifatnya mengikat atau
legal binding, yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, the UN Fish Stock Agreement
1995, dan FAO Compliance Agreement 1993; serta (2) hukum yang tidak mengikat atau not
legally binding, yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) tahun 1995, dan
International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and
Unregulated (IUU) Fishing sebagai panduan dalam menghadapi permasalahan IUU fishing.
Untuk itu, negara-negara anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA IUU fishing ini
kedalam suatu rencana aksi nasional atau National Plan of Action (NPOA) (Adrianto, 2005).
Dalam perspektif negara berkembang yang memiliki sumberdaya ikan melimpah
seperti Indonesia, prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang termaktub dalam CCRF dapat
dijadikan panduan penting bagi implementasi perikanan yang bertanggung jawab pada level
lokal dan nasional. Upaya ini diperlukan dalam konteks bahwa Indonesia berkontribusi dalam
upaya pencapaian tujuan pengelolaan perikanan global berkelanjutan, seperti halnya amanat
Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun demikian, dalam
adopsi CCRF tersebut perlu dilakukan modifikasi atau penyesuaian karena perikanan di
negara berkembang adalah multi dan kompleks, tidak hanya melibatkan aspek teknologi,
namun juga eksosistem sistem sosial ekonomi masyarakat perikanan1.
Secara ekonomi, untuk mengatasi IUU fishing adalah penguatan armada tangkap
nasional. Berdasarkan data statistik perikanan DKP tahun 2004, jumlah armada perikanan
LukyAdrianto,ImplementasiCodeofConductforResponsibleFisheriesdalamPerspektifNegaraBerkembang,Lembaga
PengkajianHukumInternasional,Jakarta,JurnalHukumInternasional,Vol2,No.3,April2005,hlm481.
10
tangkap Indonesia adalah 549.100 unit, didominasi oleh perahu tanpa motor, yaitu 256.830
unit (46,78%), motor tempel 165.337 unit (30,11%), dan kapal motor 126.933 unit (23,11%).
Sementara itu, kapal motor yang berjumlah 126.933 unit didominasi oleh kapal motor yang
berukuran di bawah 5 GT, yaitu 90.148 unit (71,02%)2. Dengan demikian, sekitar 76%
armada tangkap nasional didominasi oleh armada tangkap skala kecil yang hanya beroperasi
di sekitar pesisir pantai, yaitu perahu tanpa motor dan motor tempel. Dengan kata lain, daya
jangkau armada tangkap nasional ke zona ekonomi eksklusif Indonesia (200 mil) sangat
rendah, apalagi untuk memasuki perairan internasional atau laut lepas. Oleh karena itu sangat
wajar, bila kapal ikan asing berkeliaran secara leluasa di perairan Indonesia.
Untuk
perekonomian nasional. Namun demikian, yang terjadi adalah sebaliknya, negara dirugikan
triliunan rupiah dan sumberdaya ikan mengalami penurunan yang disertai semakin miskinnya
masyarakat nelayan.
dukungan
(supporting) pendanaan dan investasi; (iv) advokasi dan diplomasi perikanan; seperti
Peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan regional, utamanya sebagai anggota
(contracting party) dari Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for
Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Kebijakan ini untuk membuka akses
Indonesia sebagai pemanfaat sumberdaya ikan (utamanya tuna) di perairan internasional
DKP,StatistikKelautandanPerikanantahun2006,2006,hlm16.
11
(high seas), dan membuat Indonesia memiliki kuota produksi dan kuota pasar internasional
serta menghindari Indonesia dari kemungkinan embargo produk perikanan-nya; dan (v)
kebijakan pengembangan perikanan terpadu lintas sektoral yang sustainable, hulu-hilir.
Dimulai dari fishing ground-Pelabuhan Perikanan-Pasar. Terkait dengan dukungan
infrastruktur dan kebijakan.
h.
prasyarat yang harus dilaksanakan secara integral dan simultan (Mahifal dan Wahyudin,
2011). Pertama, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan kebijakan makro
yang efektif dan efisien terutama untuk menempatkan pengembangan bisnis ini sebagai salah
satu prime mover pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Oleh
karena itu, disain kebijakan ekonomi makro Indonesia seoptimal mungkin harus berpihak
pada proses pengembangan bisnis budidaya ini untuk memberikan keleluasaan ruang
pertumbuhan dan pengembangan bisnis. Salah satu kebijakan makro yang dapat diberikan,
misalnya, proteksi terhadap datangnya (impor) komoditas kelautan (price protection, tax, dan
sebagainya) dan menjaga supply produk lokal agar tetap kontinu.
Pemerintah selaku pembuat kebijakan diwajibkan memberikan perhatian yang lebih
besar lagi terhadap pengembangan bisnis ini. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan
keleluasaan kepada masyarakat Indonesia untuk menggarap dan memproduksi komoditas
budidaya secara bebas dengan perhitungan tanpa takut mengalami kerugian. Kebebasan
tersebut harus dibarengi dengan adanya pemberian property right yang efisien secara
ekonomi. Efisien secara ekonomi akan terwujud jika property right yang dimiliki masyarakat
menunjukkan sifat universal, eksklusif, dapat diperjualbelikan secara sah dan memperoleh
jaminan keamanan.
pemberian kredit lunak yang diintegrasikan dengan sistem pembinaan berkala dan kontinu,
sehingga pemberian kredit tidak hanya dijadikan sebagai charity saja, melainkan lebih
ditujukan untuk memberikan stimulasi kepada pada pembudidaya agar dapat meningkatkan
kemampuan produksinya. Pemerintah diharapkan mampu memberikan jaminan keamanan
kepada para pembudidaya berupa jaminan pasar yang kontinu dan stabilitas harga jual.
Dalam hal ini, pemerintah diharapkan dapat menetapkan harga dasar atau harga break even
point yang ditetapkan berdasarkan harga minimal pembelian dan mempertimbangkan costbenefit usaha budidaya tersebut.
12
kapabilitas balai budidaya yang tersebar di seluruh Indonesia juga penting dilakukan agar
supply bahan baku, benih, bibit dan sebagainya terkait dengan pengembangan industri
budidaya sangat perlu untuk dilakukan.
Ketiga, pengembangan bisnis budidaya juga memerlukan dukungan penelitian dan
pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi ini diarahkan untuk menghasilkan
teknologi tepat guna terutama bagi upaya pengembangan komoditas yang bernilai jual tinggi
(high value) dan mempunyai peluang untuk bersaing di pasar domestik maupun internasional.
Pengembangan teknologi dalam hal ini tidak saja berkutat dalam pengembangan teknologi
budidaya semata, melainkan juga semua faktor terkait dalam hal teknologi pengolahan,
teknologi distribusi atau pengangkutan, dan teknologi-teknologi terkait lainnya.
Hal
terpenting lainnya adalah adanya teknologi penanggulangan dan pencegahan penyakit serta
peningkatan kualitas produk, baik bagi produk mentah maupun produk olahan agar kualitas
produk yang dihasilkan dapat bersaing secara kompetitif di pasar lokal dan internasional.
Keempat, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan pendekatan
pengembangan yang dapat mengakomodasi secara integral dan efisien setiap aktivitas
produksi, pasca panen, distribusi dan pemasaran, yaitu pendekatan sistem agribisnis berbasis
komoditas budidaya. Sesuai dengan sifat dan karakteristik komoditas budidaya yang
mempunyai tingkat rentanitas tinggi terhadap varibel waktu, maka pengembangan teknologi
produksi, pasca panen, strategi pemasaran, sistem angkutan produk dan sebagainya menjadi
bagian yang harus diperhatikan sebagai prasyarat pengembangan bisnis budidaya di
Indonesia ini. Sistem agribisnis berbasis budidaya ini akan sangat tergantung pada seberapa
besar pemerintah mampu mendorong sektor swasta untuk dapat berpartisipasi dalam
13
pelaksanaannya.
membutuhkan modal dan pembinaan bisnis agar dapat berkembang, mandiri dan
berkelanjutan. Dalam hal ini yang dapat dilakukan pemerintah adalah menyiapkan agar
kebijakan makro seperti yang digambarkan di muka dapat diimplementasikan.
Ketika produksi berjalan, maka produk atau komoditas yang dihasilkan harus dijual
dan dalam hal ini jelas ketersediaan pasar sangat diperlukan.
Diharapkan
dihasilkan melalui program-program promosi, seperti himbauan cinta produksi dalam negeri,
pameran internasional, dan promosi terkait lainnya. Pada intinya adalah bagaimana produk
yang dihasilkan di dalam negeri dapat sejajar dan bersaing atau bahkan melebihi kualitas dan
kuantitas produk luar, minimal hal ini terjadi di bumi pertiwi tercinta ini sendiri.
4.
4.1. Kesimpulan
Masyarakat pesisir diharapkan memperoleh manfaat terbesar dalam pembangunan
wilayah pesisir. Dalam rangka mendukung pembangunan pesisir maka kebijakan sosial
ekonomi perlu direkayasa-ulang (re-engineering), yakni diarahkan untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya sehingga kegiatan sosial
ekonomi masyarakat pesisir dapat
Berbagai program pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dikembangkan saat ini, pada
intinya harus menjawab dua hal mendasar, yaitu: (1) kebutuhan untuk menjaga dan
mempertahankan sumberdaya pesisir yang terancam seperti tanah, air, pemandangan dan
nilai-nilai estetika lainnya, serta komponen-komponen alamiah seperti pantai, bukit pasir,
daerah estuari, pulau-pulau kecil dan lain sebagainya; dan (2) kebutuhan untuk mengelola
14
pemanfaatan sumberdaya pesisir secara rasional, mencari resolusi atas konflik pemanfaatan,
dan mencapai keseimbangan rasional antara pembangunan dan pelestarian sumberdaya.
Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir,
daerah aliran sungai dan laut yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang
lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sumberdaya alam yang unik; (2) optimalisasi
pemanfaatan serbaneka dari ekosistem pesisir dan lautan dengan mengitegrasikan segenap
informasi ekologis, ekonomis dan sosial; dan (3) peningkatan pendekatan multidisipliner dan
koordinasi antar sektoral dalam mengatasi permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan laut
yang kompleks. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat memberikan hasil diantaranya,
yaitu (1) terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan lautan beserta sumberdaya di
dalamnya, dan (2) membaiknya kondisi sosial ekonomi-budaya masyarakat pesisir.
4.2. Saran
Kebijakan pembangunan perlu memberikan keberpihakan kepada masyarakat pesisir
agar kelompok masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan dapat segera mengejar
ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnnya sehingga tujuan pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dapat diwujudkan.
BAHAN BACAAN
Adrianto, L. 2005. Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam
Perspektif Negara Berkembang. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta,
Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481.
Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical
Paper No 327. Rome. Italy.
_______, 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis/CRC Press, Boca Raton,
Florida.
Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri di Era Otonomi Daerah.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kusumastanto, T. 2005. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pesisir dan Lautan Terpadu
(Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management): Studi Kasus Pengelolaan
Teluk Jakarta. PKSPL-IPB Bogor.
Kusumastanto, T. 2006. Ekonomi Kelautan (Oceanomics). PKSPL-IPB. Bogor.
Kusumastanto, T. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dalam rangka Pengembangan
Ekonomi Masyarakat Secara Lestari. PKSPL IPB. Bogor.
Krom, M.D. 1986. An Evaluation of the Concept of Assimilative Capacity as Applied
to Marine Waters. Ambio 15 (4).
Pernetta , J. C. dan Elder, D. L. 1993. Cross-sectoral; Integrated Coastal Area Planning
(CICAP): Guidelines and Principles for Coastal Area Development. IUCN.
Switzerland.
15
Pernetta, J. C., dan J. D. Milliman, 1995. Land-Ocean Interactions in the Coastal Zone:
Implementation Plan.
The International Geosphere-Biosphere Programme.
Stockholm.
Sorensen, J. C., dan Mc.Creary, 1990. Coast: Institutional Arrangements for Managing
Coastal Resources. University of California, Berkeley.
World Commission on Environment and Development (WCED), 1987. Our Common
Future. Oxford University Press., New York.
BIODATA
Prof.Dr.Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS adalah Guru Besar di bidang Kebijakan Ekonomi
Kelautan IPB. Saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya
Kelautan Tropika IPB dan Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPLIPB). Penulis dilahirkan di Klaten, 07 Mei 1958. S1 dan S2 penulis selesaikan di Institut
Pertanian Bogor, sedangkan S3 di bidang Ekonomi Bisnis penulis peroleh dari Auburn
University Amerika Serikat. (Email: tridoyo@indo.net.id)
Yudi Wahyudin, M.Si. adalah Peneliti Senior pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13
Maret 1974. Gelar kesarjanaan dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997, sedangkan
gelar master diperoleh dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 2005. Saat ini penulis
menjabat sebagai Ketua Alumni Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB. (Email:
yudi.wahyudin@pksplipb.or.id; Webblog: http://komitmenku.wordpress.com).
16