Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

GANGGUAN HEMOSTASIS DALAM KEHAMILAN


Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing :
dr. Y.M. Agung Prihatiyanto, Sp.PD

Oleh :
Hasmeinda Marindratama, S. Ked
J500100005

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

REFERAT
GANGGUAN HEMOSTASIS DALAM KEHAMILAN
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh :
Hasmeinda Marindratama, S. Ked
J500100005
Disetujui dan disahkan pada tanggal :
Pembimbing I:
dr. Y.M. Agung Prihatiyanto, Sp.PD

(...................................................)

Mengetahui
Kepala Program Profesi

(...................................................)

BAB I
PENDAHULUAN
`

A.

Latar Belakang
Perempuan hamil rentan mengalami kejadian tromboemboli karena

kehamilan mengakibatkan perubahan komponen-komponen Triad Virchow yang


meliputi stasis vena, kerusakan endotel, dan faktor koagulasi. Diperkirakan 1 dari
1000 perempuan hamil mengalami tromboemboli vena dan emboli paru yang
dapat

mengakibatkan

kematian.

Stasis

vena

terjadi

karena

perubahan

distensibilitas vena yang diinduksi oleh hormon-hormon saat hamil dan obstruksi
aliran vena karena pembesaran uterus. Kerusakan endotel pelvis dapat terjadi
karena trauma saat melahirkan atau hipertensi vena. Beberapa faktor koagulasi
mengalami penurunan progresif saat kehamilan seperti kadar protein S, gangguan
fibrinolisis dan resistensi protein C teraktivasi didapat.
Di samping perubahan fisiologis saat hamil, lebih dari 50% perempuan
hamil yang mengalami tromboemboli vena terbukti menderita trombofilia.
Trombofilia herediter yang sering ditemukan adalah faktor V Leiden, mutasi gen
protrombin 20210, defisiensi antitrombin III, protein C, atau protein S. Faktor V
Leiden berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis saat hamil atau nifas
sebanyak 5-16 kali dibandingkan perempuan tidak hamil tanpa trombofilia.
Carrier

heterozigot

mutasi

gen

protrombin

20210

meninkatkan

risiko

tromboemboli vena pada perempuan hamil sebanyak 3-15 kali dibandinkan


perempuan tanpa mutasi gen tersebut. Defisiensi antitrombin III akan
meningkatkan resiko tromboemboli vena saat hamil dan nifas sebanyak 50 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tidak hamil. Sedangkan trombofilia
didapat yang sering ditemukan sindrom antifosfolipid dan peningkatan
homosistein.
Selain tromboemboli vena, trombofilia jua berperan dalam kejadian
keguguran berulang, pertumbuhan janin terhambat, solusio plasenta, dan
preeklampsia. Hal ini berasosiasi kuat pada kehamilan trimester kedua dan ketiga,
tetapi tidak pada trimester pertama. Perempuan dengan faktor V leiden dan mutasi

gen protrombin 20210 meningkatkan resiko kehilangan janin 2-3 kalo lebih besar
dibandingkan yang tidak.
Kejadian tromboemboli vena juga dipengaruhi faktor jumlah kehamilan
(lebih dari 4 kali), hamil usia tua, obesitas, persalinan sulit atau operasi,
imobilisasi lama, preeklampsia dan riwayat tromboemboli vena sebelumnya.
Selanjutnya referat ini akan membahas tentang kelainan hemostasis dan
akibatnya pada perempuan hamil baik yang terjadi karena perubahan fisiologis
maupun karena adanya faktor lain seperti trombofilia.
B.

Tujuan
1. Mengetahui beberapa gangguan hemostatis pada kehamilan.
2. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, dan penatalaksanaan gangguan
hemostatis dalam kehamilan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anemia Pada Kehamilan

Pada kehamilan dan fetus yang normal, sejak minggu keenam kehamilan
terjadi percepatan peningkatan volume plasma yang disproporsional dengan
volume sel darah merah (SDM) dan mencapai puncaknya pada minggu ke-24 atau
terus meningkat sampai minggu ke-37, dimana volume plasma mencapai + 43%
lebih besar dibandingkan perempuan tidak hamil. Di sisi lain, hal ini akan
menurunkan nilai hematokrit (Ht) dan Hb (dilutional anemia) sejak minggu
keenam seterusnya sampai minggu ke 16 atau 26 kehamilan: yang kemudian
mencapai keseimbangan baru (dengan adanya peningkatan massa SDM sebesar
17-25%) pada nilai Hb: 11gr/dl atau Ht: 0,33 L/L.
Kebutuhan besi ibu hamil (yang hanya 1 mg/hari pada dewasa normal)
akan meningkat mencapai 6 sampai 7 mg/hari pada masa organogenesis (trimester
2 dan 3) dan mencapai 10 mg/hari pada 6-8 minggu terakhir kehamilan.
Diperkirakan jumlah besi yang diperlukan untuk perkembangan janin dan
kehilangan darah selama melahirkan mencapai + 600 mg Fe yang sepenuhnya
diserap dari ibu hamil. Oleh karena itu, meskipun penyerapan besi selama
kehamilan meningkat dan bahkan telah diberikan suplemen besi, biasanya pada
perempuan dengan cadangan besi yang rendah tetap gagal memenuhi kebutuhan
di atas sehingga timbul anemia.
Beberapa kondisi yang menyebabkan kehilangan darah seperti lokasi
implantasi plasenta yang abnormal, komorbid lain seperti hemoroid akan semakin
memperberat anemia defisiensi. Tanpa melihat umur kehamilan, bila dijumpai
nilai Hb < 10,4 gr/dl sangat mungkin telah terjadi penurunan yang sebenarnya
(true) dari massa SDM atau anemia kehamilan. Pasca melahirkan atau
puerpurium, volume darah akan kembali normal dalam waktu 1-3 minggu.

Patofisiologi Dan Gejala


Selain berbagai komplikasi pada janin seperti gangguan perkembangan
janin (BBLR) dengan segala risiko gangguan perkembangan organ (misalnya
otak) dan perkembangan hubungan psikologis ibu dan bayi, risiko Hb yang
rendah, risiko infeksi, hasil akhir kehamilan (preterm / aterm), perdarahan dan
cara persalinan (kekerapan seksio caesarea) telah diketahui bahwa derajat anemia
atau rendahnya Hb secara langsung juga memengaruhi kondisi penderita (tabel 1),
dimana tanda dan gejala tersebut terutama terjadi pada anemia defisiensi yang
berat dan berkepanjangan. Pada gilirannya ini akan mengganggu metabolisme
enzim intrasel yang memerlukan besi (disfungsi enzim) yang kemudian berperan
pada stamina yang menurun, fatig, ansietas, kebingungan dan depresi. Komplikasi
terakhir ini ternyata terjadi melalui mekanisme yang independen dari anemia itu
sendiri.
Pada beberapa kasus (anemia berat) dapat timbul gejala yang tak lazim
seperti pica, yaitu keinginan memakan misalnya cat, kotoran dan es. Beberapa
tanda lain adalah glositis, keilosis, kuku berlekuk (koilonikia) dan disfagia karena
web post krikoid esofagus.
Tabel : Tanda dan Gejala Anemia
Ringan
Tingkat Hb:
10-12 g/dl
Gejala:
- Kelelahan
- Penurunan perfusi
jaringan
- Detak jantung
meningkat
- Ekstraksi O2 jaringan
meningkat
- dilatasi sistem vaskular
perifer

Sedang
9 10 g/dl
- Fatig
- Sulit konsentrasi
- Detak jantung > 100/m
- Berdebar
- Dispnoe pada aktivitas
- Pucat

Berat
< 8 g/dl
- Overwhelming
- Fatig / exhaustion
- dizzyness
- Vertigo
- Depresi, gangguan tidur
- dispnoe pada istirakat

Diagnosis:
Tabel : Jenis Anemia dan Etiologi
Mikrositik:

Non Megaloblastik:

ADB

Myelodisplasia, kemoterapi

Talasemia

Penyakit liver

Anemia penyakit kronik

Retikulosit meningkat

Makrositik:

Myxederna

Megaloblastik:

Normositik:

Retikulosit meningkat
Defisiensi Vit B12

Banyak kausa (anemia aplastik. AIDA, dan

Defisiensi Asam Folat

lain-lain)

Folat sendiri diperlukan untuk proses pematangan SDM dan sintesis purinpimidin serta perkembangan sistem saraf fetus sehingga kekurangan selama hamil
berisiko terjadinya kerusakan otak atau defek kelahiran neural tube. Defisiensi
B12 / Cbl jarang dijumpai pada ibu hamil, kecuali mereka melakukan diet
vegetarian. Kerusakan yang dapat terjadi adalah perubahan degeneratif sistem
saraf, terutama pada otak dan white matter medula spinalis, juga demyelinisasi
atau neuropati perifer akson.
Anemia diketahui disebabkan oleh banyak faktor, oleh karena itu dari
sudut praktis dimulai langkah pertama dengan menetapkan klasifikasi anemia
berdasarkan ukuran / morfologi SDM dan jumlah Hb. Dibagi atas anemia
makrositik, anemia mikrositik dan normositik. Indeks eritrosit MCV. MCH (mean
corpuscular Hb) dan MCHC (mean corpuscular Hb concentration) meskipun saat
ini langsung otomatis keluar sebagai data primer dari berbagai instrumen
laboratorium, namun ada baiknya dipahami cara perhitungan manualnya yaitu:
MCV(fl) =Hct/RBC x 10(mikrositik < 80fl: makrositik >100fl:normositik 80-100)
MCH (pg) = Hb/RBC x 10e6 (hipokromik < 27 pg)
MCHC (g/L) = Hb/Ht x 0,1 (hipokromik < 31 g/L)

MCHC tak sensitif namun spesifik untuk mengukur anemia defisiensi besi,
nilai abnormal hanya muncul pada anemia defisiensi besi yang berat dan jarang
karena sebab lain.
Berdasarkan indeks eritrosit di atas, pada ADB: MCV merupakan
parameter yang paling sensitif. Pemeriksaan morfologi dari usapan darah tepi,
merupakan pemeriksaan penting untuk mendeteksi penyebab penyakit lain. Feritin
serum merupakan cerminan tidak langsung cadangan besi tubuh, yang juga
diketahui pertama kali dimobilisasi bila diperlukan besi yang meningkat (fase
defplesi), sehingga nilai yang rendah < 20 ug/L merupakan nilai diagnostik ADB
(nilai normal dewasa berkisar 20-500 ug/L). Juga menunjang diagnosis ADB
adalah bila dijumpai MCV < 79 fL dan Hct < 30%. % saturasi transferin < 15 %,
di samping menurunnya kadar besi serum (9) sejalannya dengan semakin beratnya
fase defisiensi besi (fase deplesi fase laten defisiensi fase anemia defisiensi)
Anemia defiensi folat terjadi pada sepertiga kehamilan di seluruh dunia
dan hanya 1-4 % di Amerika Utara. Folat terdapat di sayuran hijau dan buah
buahan (misal: sitrus) dengan kebutuhan per hari adalah 50-100 ug. Pada manusia
yang sehat, cadangan folat mencapai 5000 ug yang cukup untuk metabolisme
selama 2-3 bulan. Amenia makrositik megaloblastik muncul pada defisiensi
sedang sampai berat. Kadar folat serum < 3 ug/L atau folat sel darah merah
(SDM) < 150 ng/ml merupakan baku nilai defisiensi folat. Gejala yang timbul
dapat berupa glositis, diare, depresi dan rasa bingung, sedangkan pada ibu hamil,
janin berisiko mengalami neural tube defect atau kerusakan otak.
Vitamin B12 sepenuhnya berasal dari diet yang berasal dari hewan,
dengan absorbsi harian adalah 5 ug, yang memerlukan faktor intrinsik (protein)
yang disekresi oleh sel parietal gaster. Anemia defisiensi vitamin B12 /
cyanocobal amin (Cbl), dengan tipikal pada kasus dewasa adalah anemia
pernisiosa (AP), sebenarnya adalah kehilangan kemampuan penyerapan vitamin
B12 dikarenakan hilangnya faktor intrinsik yang disebabkan penyakit autoimun
metaplastik atrofik gastritis. Namun secara sinonim juga umum merujuk pada

defisiensi vitamin B12 disebabkan gangguan penyerapan, misalnya pada gastritis


kronik, pasca gastrektomi, gangguan penyerapan di intestinal, parasit, vegetarian
dan ibu hamil. Gejala yang khas adalah anemia megaloblastik. Hct dapat
mencapai 10-15%, glositis dan gangguan gastrointestinal yang bermanifestasi
sebagai anoreksia serta diare. Pada fase awal dimana morfologi masih normal
dapat dijumpai hipersegmentasi neutrofil (5 lobus): selain peningkatan LDH dan
sedikit bilirubin indirek. (7) Pengukuran B12 serum < 100 pg/ml merupakan baku
nilai defisiensi Cbl, sedangkan nilai < 200 pg/ml mengindikasikan adanya
defisiensi B12.
Pemberian folat pada kehamilan dapat menutupi nilai pengukuran di atas,
dengan risiko kerusakan neurologis (demyelinisasi kolumna dorsalis) tetap
berjalan bahkan terakselerasi.
Pembahasan jenis lain anemia bukan merupakan kajian bab ini, namun
secara sekilas bila dijumpai anemia non megaloblastik dengan nilai retikulosit
meningkat perlu dipikirkan kemungkinan anemia hemolitik atau perdarahan,
sedangkan bila retikulosit normal atau menurun perlu dipikirkan penyakit hati,
hipotiroid, penyakit paru obstruksi kronik, myelodisplasia anemia dan
alkoholisme.
B. Tromboemboli Vena Pada Kehamilan
Tromboemboli pada kehamilan memiliki keunikan tersendiri dalam hal
diagnosis maupun penatalaksanaannya. Beberapa alat diagnostik tidak dapat
digunakan pada perempuan hamil karena membahayakan fetus. D-Dimer sebagai
alat diagnostik memiliki nilai cut-off sendiri pada perempuan hamil. Coumarin
bersifat fetopatik. Penggunaan heparin jangka lama tidak nyaman dan dapat
mengakibatkan osteoporosis. Tanda-tanda dan gejala trombosis vena dalam sperti
edema tungkai bawah, dan tromboemboli paru seperti dispnea dan takipnea
tumpang tindih dengan gejala pada kehamilan normal, sehingga mengakibatkan
keterlambatan diagnosis.

Trombosis vena dalam pada perempuan hamil kebanyakan terjadi pada


tungkai bawah kiri terutama melibatkan vena-vena iliofemoral (80% - 85%).
Frekuensi ini berhubungan erat dengan peningkatan kejadian emboli paru.
Predileksi tungkai kiri diyakini karena kompresi pada vena iliaka kiri oleh arteri
iliaka kiri yang diperberat oleh pembesaran uterus. Trombosis pada betis sendiri
jarang ditemukan.
Insidens tromboemboli vena pada perempuan hamil 5 10 kali lipat lebih
banyak daripada perempuan tidak hamil. Sebaliknya emboli paru justru sering
ditemukan 4-6 minggu setelah melahirkan.
Diagnosis
D-Dimer negatif dan probabilitas klinik yang rendah dapat menyingkirkan
diagnosis trmbosis vena dalam pada perempuan tidak hamil. Tidak demikian pada
perempuan hamil karena terjadi peningkatan D-Dimer saat kehamilan.
Peningkatan ini sesuai dengan usia kehamilan. Pada kehamilan trimester ketiga,
D-Dimer meningkat melebihi nilai cutt-off pada perempuan tidak hamil. Kondisi
ini berlangsung hingga 4-5 minggu setelah melahirkan. Kline dkk, mendapatkan
dari 50 perempuan yang diteliti, rata-rata konsentrasi D-Dimer perempuan
prekonsepsi 0,43 mg/L, 79% nya konsentrasi D-Dimer < 0,5 mg/l, 22%
perempuan mengalami peningkatan D-Dimer pada trimester kedua dan tidak ada
satupun perempuan hamil trimester ketiga yang memiliki konsentrasi < 0,5 mg/L.
Konsentrasi D-Dimer yang lebih tinggi ditemukan pada persalinan prematur,
solusio plasenta dan preeklampsia.
Oleh karena itu, peningkatan D-Dimer tidak reliabel digunakan untuk
petanda diagnosis pada perempuan hamil yang diduga mengalami tromboemboli
vena. Ultrasonografi kompresi merupakan alat diagnosis lini pertama untuk
mengetahui ada tidaknya trombosis vena dalam karena tidak menggunakan
radiasi. Meskipun sangat sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis tombosis vena
dalam pada perempuan tidak hamil, namun sayang, bukti-bukti yang ada tidak
dapat digunakan untuk perempuan hamil. Ultrasonografi yang normal pada
perempuan

hamil

tidak

menyingkirkan

trombosis

vena

dalam

betis.

Ultrasonografi serial selama 7 sampai 14 hari direkomendasikan untuk


menyingkirkan perluasan trombus vena betis yang tidak terdeteksi. Untuk
trombosis di vena iliaka atau vena kava inferior, MRI lebih direkomendasikan
karena lebih sensitif dan lebih spesifik serta tidak mengakibatkan paparan radiasi
(gambar1)
Untuk kasus emboli paru timbul masalah yang rumit dalam hal diagnosis
karena kekhawatiran akan pajanan radiasi. Dengan kehati-hatian yang sesuai
ternyata pemeriksaan radionuklida paru atau pemindaian tomografi komputer
helikal, radiasinya jauh di bawah ambang yang berhubungan dengan peningkatan
risiko teratogenesis. Pemeriksaan ultrasonografi ekstremitas bawah cocok untuk
perempuan yang diduga emboli paru karena bila terbukti berarti tidak perlu
pemeriksaan pencitraan lebih jauh lagi. Namun, karena kemungkinan negatif
palsu pada pemeriksaan ultrasonografi ektremitas bawah, maka masih perlu
dilakukan pemindaian tomografi komputer helikal atau ventilasi/perfusi paru.
Sayangnya pemeriksaan ini pun akurasinya belum dievaluasi pada pasien dengan
dugaan emboli paru.

Gambar 1. Algoritme Investigasi tersangka Trambosis Vena Dalam (TVD). Saat hamil UK:
Ultrasonografi Komprasi. MRV. Pencitraan Resonansi magnetik.*IPG, bisa menggunakan UK,
pemeriksaan. **D-dimer dapat dilakukan dan jika normal investigasi lebih lanjut ditunda bila
abnormal. *** investigasi lebih lanjut ulangi hari ke-2 dan ke-3 dan 6-8: jika meningkat / tinggi
MRV atau venografi

Gambar 2. Algoritme untuk investasi tersangka emboli paru saat hamil V/Q scan, sken ventilasi
perfusi paru. UK. Ultrasonogravi kompresi. *Dapat mensubstitusi UK dan juka abnormal, emboli
paru terdiagnosis; jika normal, pemeriksaan lebih lanjut dibutuhkan. **paling sedikit satu segmen
perfusi. *** tidak normal. Probabilitas tidak tinggi. **** dapat mengganti pemeriksaan D-Dimer
sensitif, dan jika negatif, emboli paru ekskulasi.

Penatalaksanaan
Berdasarkan

berbagai

studi,

telah

ada

rekomendasi

pemberian

antikoagulan pada pasien hamil. Antikoagulan yang diberikan dapat berupa


Unfractionated Heparin (UFH) atau Low Molecular Weight Heparin (LMWH).
Dosis LMWH yang diberikan disesuai dengan berat badan. Namun demikian,
dalam praktiknya lebih banyak direkomendasikan untuk menggunakan dosis

LMWH sesuai target kadar heparin secara periodik (tiap 1 sampai 3 bulan)
dengan memeriksa kadar anti-Xa. (tabel 1). Kadar anti-Xa yang diinginkan
adalah 0,5-1,2 U/ml. Alternatif lain, UFH bolus dilanjutkan dengan infus untuk
mempertahankan aPTT dalam rentang terapi (atau UFH dosis disesuaikan
subkutan) diberikan selama 5 hari, selanjutnya diberikan UFH dosis disesuaikan
subkutan atau LMWH dosis disesuaikan subkutan. Midinterval aPTT harus
dimonitor setiap 1-2 minggu karena kebutuhan UFH selalu bervariasi sesuai usia
kehamilan.
UFH atau LMWH dosis terapi harus dihentikan 24 jam sebelum tindakan
persalinan atau seksio sesaria elektif. Pada perempuan hamil dengan risiko tinggi
atau mengalami tromboemboli vena berulang (misal: trombosis vena dalam atau
emboli paru dalam 4 minggu) dapat diberikan UFH intravena yang dimulai dan
dihentikan 4-6 jam sebelum tindakan atau persalinan yang diharapkan.
Jika persalinan spontan terjadi pada perempuan hamil yang menggunakan
UFH dengan dosis disesuaikan subkutan, diperlukan monitor aPTT dengan hatihati, dan jika memanjang saat hampir melahirkan mungkin perlu diberikan
protamin sulfat untuk mengurangi risiko perdarahan. Untuk perempuan hamil
yang menggunakan LMWH, pendekatan yang diambil tergantung jarak
pemberian terakhir LMWH dengan persalinan dan kadar anti-Xa, jika bisa
diperiksa. Jika jarak pemberian LMWH dengan persalinan yang diharapkan,
diperkirakan

masih ada efek kerja antikoagulan atau jika kadar anti-Xa

menunjukkan masih adanya efek antikoagulan, perlu kehati-hatian dalam 1.


Analgesia

epidural

harus

dihindari.

2.

Jika

harus

digunakan,

harus

dipertimbangkan pemberian protamin sulfat. Ahli kebidanan harus hati-hati dan


waspada terhadap perdarahan yang mungkin terjadi dan berusaha mengurangi
risiko perdarahan.
Heparin pasca persalinan diberikan sesegera seaman mungkin, kira-kira 12
jam setelah persalinan dan bisa dimulai bersama-sama dengan warfarin. Heparin
diteruskan sampai INR (International Normalized Ratio) 2 atau lebih.
Antikoagulan diberikan minimal selama 4 minggu setelah melahirkan, kecuali

pada kasus trombosis vena dalam atau emboli paru yang lambat didiagnosa
antikoagulan diteruskan sampai 12 minggu.
Tabel 1. Dosis Heparin
Dose
UFH dosis mini

Regimen
UFH 5000 u Subkutan tiap 12 jam UFH

UFH dosis moderate

SK tiap 12 jam
Dosis disesuaikan sampai target Kadar
anti-Xa 0,1-0,3 u/ml
UFH SK tiap 12 jam dalam dosis

UFH dosis disesuaikan

disesuaikan sampai target aPTT


Interval tengah masuk dalam kisaran

LMWH dosis propilaksasi

terapi terapi
Enoxaparin 40 mg sekali sehari atau 30
mg sehari sekali
Enoxaparin 1 mg/kg dua kali sehari

LMWH dosis disesuaikan berat badan

atau 1,5 mg/kg sekali sehari


Dalterarin 100 u/kg tiap 12 jam atau
200 u/kg tiap 24 jam
Tinzapararin 175 u/kg sekali sehari

U menunjukkan unit
B. Sindrom Antifosfolipid Saat Kehamilan
Sindrom antifosfolipid (Antiphospholipid syndrome/APS) merupakan
kondisi trombofilik autoimun yang ditandai dengan adanya antibodi dalam darah
yang dikenal sebagai fosfolipid yang berikatan dengan protein, menjadi faktor
risiko tromboemboli vena. Di samping itu, sindrom ini ternyata turut bertanggung
jawab terhadap kejadian keguguran berulang. Hal ini pertama kali diutarakan
oleh Hughes

dkk sekitar tahun 1980-an. Prevalensinya pada populasi sehat

kurang dari 1% dan sampai dengan 5% pada usia yang lebih tua. Pada penderita
SLE, prevalensinya lebih tinggi. Pada studi multisenter Euro-Phospholipid, dari
1000 pasien yang tidak terseleksi yang memenuhi kriteria sindrom antifosfolipid
53% merupakan APS primer dan 41% APS sekunder atau kondisi lupus-like.

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan kriteria Sapporo yang direvisi tahun 2006, kriteria diagnosis
sindrom antifosfolipid adalah ditemukannya paling sedikit satu kriteria klinik dan
satu kriteria laboratorik di bawah ini :
1. Kriteria Klinis
Trombosis vaskular :
Satu atau lebih episode trombosis arteri, vena, pembuluh darah kecil yang
memengaruhi organ atau jaringan. Trombosis harus dikonfirmasi dengan
kriteria obyektif yang tervalidasi.
Morbiditas kehamilan
a.

Kematian yang tidak dapat dijelaskan dari fetus normal setelah


kehamilan 10 minggu

b.

Lahir prematur neonatus normal sebelum kehamilan 34 minggu karena


preeklampsia berat atau eklampsia, atau insufisiensi plasenta berat

c.

Tiga atau lebih aborsi spontan berturut-turut sebelum kehamilan 10


minggu

2. Kriteria Laboratorium
Ditemukannya pada dua kali pemeriksaan terpisah 12 minggu :
a.

Antikoagulan lupus diperiksa dengan standar yang ditentukan ISTH


(International Society in Thrombosis and Haemostasis)

b.

Antibodi antikardiolipin IgG dan/atau IgM di serum/plasma, dalam titer


medium atau tinggi (misal : > 40 GPL atau MPL atau > persentil ke-99)
diukur dengan cara ELISA

c.

Antibodi 2-GP-1 (IgG dan/atau IgM) pada titer > persentil ke-99.

Patogenesis

Mekanisme in vivo terjadinya trombosis dan kehilangan janin (keguguran,


kematian janin dalam kandungan) pada pasien dengan sindrom antifosfolipid
masih belum jelas, meskipun beberapa jalur patogenesis yang potensial telah
diketahui.
1.

Antibodi antifosfolipid berinterferensi dengan kaskade koagulasi yang


mendorong kondisi prokoagulasi. Misalnya dengan menginhibisi protein C
teraktivasi dan jalur antitrombin III, menghambat fibrinolisis, dan
meningkatkan regulasi aktivitas faktor jaringan, 2-glikoprotein I merupakan
antigoagulan in vivo, di mana antibodi terhadap molekul ini ikut
berinterferensi dalam mekanisme ini. protein lain juga ikut berperan seperti
protrombin, protein C dan protein S, dan annexin V juga menjadi target
antibodi antifosfolipid. Akhirnya ikatan annexin V dengan permukaan
prokoagulan dihambat oleh antibodi antifosfolipid. Antibodi antifosfolipid
mendorong aktivasi dan agregasi trombosit.

2.

Ada interaksi antara antibodi 2-glikoprotein-I dengan fungsi sel endotel in


vitro. Ikatan langsung antara 2-glikoprotein-I dengan permukaan sel endotel
difasilitasi oleh muatan negatif permukaan sel endotel, yang meningkat saat
apoptosis dan fakta bahwa annexin II bekerja sebagai reseptor untuk ikatan
2-glikoprotein-I dengan sel endotel yang dikultur. Kemudian, antibodi
antifosfolipid berikatan dengan sel endotel dalam 2-glikoprotein-I
mendorong aktivasi sel endotel yang bermanifestasi dengan upregulasi
molekul adhesi permukaan sel dan peningkatan sekresi interleukin 6 dan
prostagladin. Karena sel endotel yang teraktivasi mendorong koagulasi, maka
mekanisme ini menjadi relevan. Antibodi antifosfolipid juga mendorong
aktivasi dan agregasi trombosit.

3.

Eksperimental pada binatang mendukung patogenesis antibodi antifosfolipid


terutama yang spesifik terhadap 2-glikoprotein-I, dan keduanya berperan
pada kejadian trombosis. Ada bukti bahwa peptida bakteri dan virus dapat
menginduksi pembentukan antibodi antifosfolipid pada binatang yang
mendorong kejadian trombosis dan kehilangan anak.

4.

Ada peran sel mononuklear, dimana kultur supermatan yang mengandung sel
mononuklear yang distimulus oleh 2-glikoprotein-I akan menghasilkan
interferon yang dapat mengaktivasi sel endotel.

5.

Adanya serangan kedua (second hit) untuk terjadinya trombosis dan


kehilangan janin. Meskipun spekulatif, mungkin pencetus itu adalah trauma
lapangan vaskular, faktor prokoagulan nonimun, adanya infeksi yang
mendorong produksi sitokin dan aktivasi sel endotel. Ada antibodi terhadap
nuklear lamin B1 yang mempunyai efek protektif.

Gambar 3. Mekanisme Patogenik Sindrom Antifosfolipid

Berdasarkan patogenesis di atas maka pasien yang memiliki hasil


pemeriksaan antibodi antifosfolipid yang positif memiliki beberapa
kemungkinan:
1.

2.

Sindrom antifosfolipid
a.

Primer : tanpa lupus (SLE)

b.

Sekunder : dengan lupus (SLE)

Antibodi antifosfolipid diinduksi oleh infeksi :

a.

Tidak diketahui hubungan dengan trombosis (misal : sifilis, CMV,


Epstein-Bar Virus)

b.

Mungkin ada hubungan dengan trombosis (misal : varisela, HIV,


hepatitis C)

3.

Antibodi antifosfolipid diinduksi obat (misal : klorpromazin dan


fenotiazin lain)

4.

Antifosfolipid pada populasi umum yang sehat


Oleh karena itu, saat ini pemeriksaan antibodi antifosfolipid seharusnya
dibatasi untuk pasien-pasien yang mengalami trombosis, emboli, atau
komplikasi

kehamilan

yang

mungkin

terjadi

karena

sindrom

antifosfolipid dan untuk pasien SLE meski tidak ada manifestasi di atas.
Pemeriksaan harus selalu dikerjakan ketika diduga sindrom antifosfolipid
karena pemeriksaan bisa negatif palsu. Persistensi abnormalitas
pemeriksaan harus dilakukan setelah 12 minggu.
Tatalaksana
Terapi utama sindrom antifosfolipid pada kehamilan adalah antikoagulan,
namun tidak diindikasikan pada keadaan tanpa adanya manifestasi klinik yang
bermakna. Oleh karena itu, pada pasien hamil dengan riwayat multipel (dua atau
lebih) kehilangan janin pada awal kehamilan atau satu atau lebih kehilangan janin
pada akhir kehamilan, kematian janin dalam kandungan, preeklampsia atau
solusio plasenta direkomendasikan untuk mendapat aspirin ditambah dosis rendah
sampai menengah UFH atau LMWH. Bagi perempuan dengan sindrom
antifosfolipid tanpa ada riwayat kehilangan janin atau tromboemboli vena maka
direkomendasikan untuk surveilans, dosis rendah profilaksis UFH atau LMWH
dan atau aspirin dosis rendah 75 162 mg. Untuk mencegah kejadian trombosis
berulang, maka diberikan antikoagulan jangka panjang pada pasien perempuan
yang memiliki riwayat trombosis atau kehilangan janin berulang, yang kemudian
disulih dengan heparin saat hamil dan dosis rendah aspirin dan kembali diberikan
antikoagulan jangka panjang pasca persalinan. Dosis heparin yang digunakan

biasanya adalah 5000 unit dua kali sehari, kecuali terdapat riwayat tromboemboli
sebelumnya, sehingga perlu dosis penuh.
C. Sindrom HELLP
Sindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets)
adalah bentuk berat dari preeklampsia dan mengancam jiwa pasien dan janin.
Laporan-laporan awal menunjukkan bahwa preeklampsia berhubungan dengan
mikrotrombi, trombositopenia, koagulasi dan prognosis yang buruk. Muncul pada
pertengahan trimester kedua sampai beberapa hari pasca melahirkan. Insiden
meningkat pada perempuan kulit putih dan multipara.
Etiologi
Sindrom HELLP merupakan preeklampsia yang berat. Patofisiologinya
sama dengan preeklampsia. Prinsipnya adalah iskemia plasenta. Hal ini terjadi
karena perubahan sirkulasi uteroplasenta menjadi sistem tekanan rendah aliran
tinggi. Hal ini terjadi karena penetrasi dari trofoblas ke dalam arteri spiralis yang
merusak sehingga terjadi hipoperfusi dan hipoksia lokal yang mengaktifkan
endocel dengan ekspresi abnormal integrin, chaderin dan berbagai anggota
superfamili imunoglobulin yang terlibat dalam patofisiologi preeklampsia.
Kunci abnormalitas pada Sindrom HELLP adalah vasokonstriksi,
peningkatan tonus vaskular, agregasi trombosit dan perubahan rasio tromboksan:
prostasiklis. Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari aktivasi komplemen dan
kaskade koagulasi yang berakibat pada injuri multiorgan endotel dan
mikrovaskular dan menghasilkan anemia hemolisis mikroangiopatik, peningkatan
enzim hati dan trombositopenia.
Gambaran Klinik
Sindrom HELLP merupakan 20% dari seluruh komplikasi preeklampsia
berat. Namun demikian, 15% pasien dengan sindrom HELLP tidak menderita
hipertensi atau proteinuria, yang lain mungkin ada hipertensi tanpa proteinuria
dan hipertensi berat jarang ditemukan.

Gejala sindrom HELLP berkorelasi dengan beratnya penyakit. Umumnya


nyeri perut kanan atas. Keluhan ini terjadi pada 65% kasus. Mual dengan atau
tanpa muntah tampak pada 35% kasus. Sakit kepala lebih umum tampak pada
preeklampsia tanpa sindrom HELLP dan biasanya berhubungan dengan ada
hipertensi. Kenaikan berat badan yang bermakna seiring dengan edema.
Gejala lain adalah kuning, perdarahan gastrointestinal, nyeri sudut
kostovertebra, dada atau bahu. Gejala seperti flu.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya hemolisis dan kenaikan enzim
hati. Hemolisis diidentifikasi dengan adanya gambaran darah tepi yang abnormal,
eritrosit yang mengalami fragmentasi atau peningkatan retikulosit. Haptoglobin
kadar rendah selalu ditemukan. Peningkatan kadar bilirubin dan kadar laktat
dehidrogenase (LDH) merupakan pertanda hemolisis juga. Beberapa penulis tidak
setuju memasukkan sindrom HELLP sebagai varian disseminated intravascular
coagulopathy (DIC) karena parameter koagulasi selalu normal. Namun, solusio
plasenta merupakan komplikasi kehamilan dengan sindrom HELLP yang dapat
mengakibatkan koagulasi konsumtif. Pada 20% kasus, DIC dapat ada bersamasama dengan anemia hemolisis.
Beberapa studi mencoba mendefinisikan sindrom HELLP berdasarkan
parameter laboratorium (Tabel 2)
Tabel 2. Klasifikasi Sindrom HELLP Menurut 2 Klasifikasi
Sistem klas Mississippi 3
Klas 1

Sistem Tennesse
Sindrom komplit dan/atau SGOT >

Trombosis < 50.000/mm3


Klas 2

401 U/l
Trombosit < 100.000 mm3

Trombosit 50.000 - 100.000 / mm3


Klas 3

LOH > 600 IU/L

Trombosit 100.000 150.000 mm3

SGOT > 70 IU/l

Hemolisis + peningkatan enzim hati

Sindrom inkomplit

LDH > 600 IU/L

Ada satu atau dua dari kriteria di atas

Diagnosis Banding

Sindrom HELLP harus dibedakan dengan berbagai kondisi yang bisa memberikan
gambaran yang mirip dengannya.
1.

2.

3.

Gangguan trombotik
a.

Thrombotic thrombocytopenic purpura

b.

Haemolytic Uraemic Syndrome

c.

Sepsis dan DIC

d.

Anemia hemolitik diinduksi obat

Gangguan konsumtif
a.

Perlemakan hati akut saat hamil

b.

Sepsis dan DIC

c.

Perdarahan

Lain-lain :
a.

Penyakit jaringan ikat

b.

SLE

c.

APS

d.

Gangguan prokoagulan

Tatalaksana
1.

Stabilisasi kondisi pasien. Hipertensi dikontrol untuk mengurangi risiko


kejadian serebrovaskular.

2.

Koreksi jumlah trombosit dan defek koagulan sebelum tindakan operasi atau
seksio sesaria. Termasuk koreksi koagulopati dengan plasma beku segar dan
kryopresipitat dan transfusi trombosit untuk mengoreksi jumlah trombosit.

3.

Saat antepartum, deksametason diberikan tiap 12 jam dengan dosis 10 mg


sampai dengan persalinan. Setelah 24 48 jam pembeian steroid dapat
terlihat perbaikan kondisi ibu dan juga memperbaiki maturasi janin.
Trombosit akan meningkat secara bermakna, dan LDH dan SGOT akan
menurun. Urin yang keluar akan bertambah. Suatu studi acak yang
membandingkan efikasi deksametason dan betametason untuk terapi sindrom
antepartum, tampak penurunan aktivitas enzim aminotransferase yang
bermakna, tekanan arteri rata-rata, dan urin yang keluar pada pasien yang

diberikan deksametason intravena dibandingkan dengan yang mendapat


betametason intramuskular.
4. Jika sindrom HELLP terjadi pasca persalinan, kondisi ibu akan lebih baik bila
diberikan deksametason intravena. Pemberian deksametason intravena segera
pasca persalinan dengan dosis 10 mg, diikuti 12 jam selanjutnya dengan dosis
10 mg dan kemudian 5 mg pada 24 dan 36 jam pasca persalinan,
menunjukkan normalisasi cepat jumlah trombosit dan LDH daripada subyek
kontrol yang tidak diterapi dengan kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Kujovich Jl. Alving B. Management of thrombophilia and antiphospholipid


syndrome during pregnancy In : Kitchens CS. Alving BM. Kesster CM. Eds.
Consultative hemostasis and thrombosis. 2nd Ed. Philadelphia : Saunders
Elsivier. 2007 p.593 611.

2.

Macik BG. Rand JH. Konkle BA. Thrombophilia : whats practitioner to do?
Hematology 2001 : 322 338.

3.

Bates SB. Management of pregnant women with thrombophilia or a history of


venous thromboembolism. Hematology. 2007 : 143 150.

4.

Bates SM. Greer IA. Hirsch J. Ginsberg JS. Use of antithrombotic agents
during pregnancy. The seventh ACCP conference on antithrombotic and
thrombolytic therapy. Chest. 2004 : 6275 6445.

5.

Bates SM. Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism during


pregnancy. Hematology. 2007 : 3470 3478.

6.

Tand JH. The antiphopholipid syndrome. Hematology. 2007 : 136 142.

7.

Glanville T, Walker J. HELLP syndrome. Review obstetr Gynecol. 2003 : 5 :


149 54.

8.

Rahman TM. Wendon J. Severe hepatic dysfunction in pregnancy. Q.J Med.


2002 : 95 : 343 57.

9.

Clenney TL, Viera AJ. Corticosteroid for HELLP (haemolysis, elevated liver
enzymes. Low platelets) syndrome. BMJ. 2004 : 329: 270-272.

Anda mungkin juga menyukai