rendah, risiko infeksi, hasil akhir kehamilan (preterm / aterm), perdarahan dan
cara persalinan (kekerapan seksio caesarea) telah diketahui bahwa derajat anemia
atau rendahnya Hb secara langsung juga memengaruhi kondisi penderita (tabel 1),
dimana tanda dan gejala tersebut terutama terjadi pada anemia defisiensi yang
berat dan berkepanjangan. Pada gilirannya ini akan mengganggu metabolisme
enzim intrasel yang memerlukan besi (disfungsi enzim) yang kemudian berperan
pada stamina yang menurun, fatig, ansietas, kebingungan dan depresi. Komplikasi
terakhir ini ternyata terjadi melalui mekanisme yang independen dari anemia itu
sendiri.
Pada beberapa kasus (anemia berat) dapat timbul gejala yang tak lazim
seperti pica, yaitu keinginan memakan misalnya cat, kotoran dan es. Beberapa
tanda lain adalah glositis, keilosis, kuku berlekuk (koilonikia) dan disfagia karena
web post krikoid esofagus.
Tabel 1: Tanda dan Gejala Anemia
Ringan
Sedang
Berat
Tingkat Hb:
10-12 g/dl
9 10 g/dl
< 8 g/dl
Gejala:
- Fatig
- Overwhelming
- Sulit konsentrasi
- Fatig / exhaustion
- Kelelahan
- dizzyness
- Berdebar
- Vertigo
- Ekstraksi O2 jaringan
- Pucat
meningkat
- dilatasi sistem vaskular
perifer
DIAGNOSIS:
Tabel 2 : Jenis Anemia dan Etiologi
Mikrositik:
Non Megaloblastik:
ADB
Myelodisplasia, kemoterapi
Talasemia
Penyakit liver
Retikulosit meningkat
Makrositik:
Myxederna
Megaloblastik:
Normositik:
Retikulosit meningkat
Defisiensi Vit B12
MCHC tak sensitif namun spesifik untuk mengukur anemia defisiensi besi,
nilai abnormal hanya muncul pada anemia defisiensi besi yang berat dan jarang
karena sebab lain.
Berdasarkan indeks eritrosit di atas, pada ADB: MCV merupakan
parameter yang paling sensitif. Pemeriksaan morfologi dari usapan darah tepi,
merupakan pemeriksaan penting untuk mendeteksi penyebab penyakit lain. Feritin
serum merupakan cerminan tidak langsung cadangan besi tubuh, yang juga
diketahui pertama kali dimobilisasi bila diperlukan besi yang meningkat (fase
defplesi), sehingga nilai yang rendah < 20 ug/L merupakan nilai diagnostik ADB
(nilai normal dewasa berkisar 20-500 ug/L). Juga menunjang diagnosis ADB
adalah bila dijumpai MCV < 79 fL dan Hct < 30%. % saturasi transferin < 15 %,
di samping menurunnya kadar besi serum (9) sejalannya dengan semakin beratnya
fase defisiensi besi (fase deplesi fase laten defisiensi fase anemia defisiensi)
Anemia defiensi folat terjadi pada sepertiga kehamilan di seluruh dunia
dan hanya 1-4 % di Amerika Utara. Folat terdapat di sayuran hijau dan buah
buahan (misal: sitrus) dengan kebutuhan per hari adalah 50-100 ug. Pada manusia
yang sehat, cadangan folat mencapai 5000 ug yang cukup untuk metabolisme
selama 2-3 bulan. Amenia makrositik megaloblastik muncul pada defisiensi
sedang sampai berat. Kadar folat serum < 3 ug/L atau folat sel darah merah
(SDM) < 150 ng/ml merupakan baku nilai defisiensi folat. Gejala yang timbul
dapat berupa glositis, diare, depresi dan rasa bingung, sedangkan pada ibu hamil,
janin berisiko mengalami neural tube defect atau kerusakan otak.
Vitamin B12 sepenuhnya berasal dari diet yang berasal dari hewan,
dengan absorbsi harian adalah 5 ug, yang memerlukan faktor intrinsik (protein)
yang disekresi oleh sel parietal gaster. Anemia defisiensi vitamin B12 /
cyanocobal amin (Cbl), dengan tipikal pada kasus dewasa adalah anemia
pernisiosa (AP), sebenarnya adalah kehilangan kemampuan penyerapan vitamin
B12 dikarenakan hilangnya faktor intrinsik yang disebabkan penyakit autoimun
metaplastik atrofik gastritis. Namun secara sinonim juga umum merujuk pada
defisiensi vitamin B12 disebabkan gangguan penyerapan, misalnya pada gastritis
kronik, pasca gastrektomi, gangguan penyerapan di intestinal, parasit, vegetarian
dan ibu hamil. Gejala yang khas adalah anemia megaloblastik. Hct dapat
mencapai 10-15%, glositis dan gangguan gastrointestinal yang bermanifestasi
sebagai anoreksia serta diare. Pada fase awal dimana morfologi masih normal
dapat dijumpai hipersegmentasi neutrofil (5 lobus): selain peningkatan LDH dan
sedikit bilirubin indirek. (7) Pengukuran B12 serum < 100 pg/ml merupakan baku
nilai defisiensi Cbl, sedangkan nilai < 200 pg/ml mengindikasikan adanya
defisiensi B12.
Pemberian folat pada kehamilan dapat menutupi nilai pengukuran di atas,
dengan risiko kerusakan neurologis (demyelinisasi kolumna dorsalis) tetap
berjalan bahkan terakselerasi.
Pembahasan jenis lain anemia bukan merupakan kajian bab ini, namun
secara sekilas bila dijumpai anemia non megaloblastik dengan nilai retikulosit
meningkat perlu dipikirkan kemungkinan anemia hemolitik atau perdarahan,
sedangkan bila retikulosit normal atau menurun perlu dipikirkan penyakit hati,
hipotiroid, penyakit paru obstruksi kronik, myelodisplasia anemia dan
alkoholisme.
TATALAKSANA
Pada ibu hamil penapisan anemia defisiensi (USPSTF : rekomendasi B)
(10) diagnosis dini, dan menetapkan penyebab terjadinya defisiensi perlu
dilakukan. Untuk itu beberapa langkah yang perlu dikerjakan adalah :
1. Tentukan adakah kemungkinan komorbid (perdarahan, malabsorbsi) atau
Peningkatan ini sesuai dengan usia kehamilan. Pada kehamilan trimester ketiga,
D-Dimer meningkat melebihi nilai cutt-off pada perempuan tidak hamil. Kondisi
ini berlangsung hingga 4-5 minggu setelah melahirkan. Kline dkk, mendapatkan
dari 50 perempuan yang diteliti, rata-rata konsentrasi D-Dimer perempuan
prekonsepsi 0,43 mg/L, 79% nya konsentrasi D-Dimer < 0,5 mg/l, 22%
perempuan mengalami peningkatan D-Dimer pada trimester kedua dan tidak ada
satupun perempuan hamil trimester ketiga yang memiliki konsentrasi < 0,5 mg/L.
Konsentrasi D-Dimer yang lebih tinggi ditemukan pada persalinan prematur,
solusio plasenta dan preeklampsia.
Oleh karena itu, peningkatan D-Dimer tidak reliabel digunakan untuk
petanda diagnosis pada perempuan hamil yang diduga mengalami tromboemboli
vena. Ultrasonografi kompresi merupakan alat diagnosis lini pertama untuk
mengetahui ada tidaknya trombosis vena dalam karena tidak menggunakan
radiasi. Meskipun sangat sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis tombosis vena
dalam pada perempuan tidak hamil, namun sayang, bukti-bukti yang ada tidak
dapat digunakan untuk perempuan hamil. Ultrasonografi yang normal pada
perempuan
hamil
tidak
menyingkirkan
trombosis
vena
dalam
betis.
Sayangnya pemeriksaan ini pun akurasinya belum dievaluasi pada pasien dengan
dugaan emboli paru.
Gambar 2. Algoritme untuk investasi tersangka emboli paru saat hamil V/Q scan,
sken ventilasi perfusi paru. UK. Ultrasonogravi kompresi. *Dapat mensubstitusi
UK dan juka abnormal, emboli paru terdiagnosis; jika normal, pemeriksaan lebih
lanjut dibutuhkan. **paling sedikit satu segmen perfusi. *** tidak normal.
Probabilitas tidak tinggi. **** dapat mengganti pemeriksaan D-Dimer sensitif,
dan jika negatif, emboli paru ekskulasi.
HAL 247
PENATALAKSANAAN
Berdasarkan
berbagai
studi,
telah
ada
rekomendasi
pemberian
Dosis LMWH yang diberikan disesuai dengan berat badan. Namun demikian,
dalam praktiknya lebih banyak direkomendasikan untuk menggunakan dosis
LMWH sesuai target kadar heparin secara periodik (tiap 1 sampai 3 bulan)
dengan memeriksa kadar anti-Xa. (tabel 1). Kadar anti-Xa yang diinginkan
adalah 0,5-1,2 U/ml. Alternatif lain, UFH bolus dilanjutkan dengan infus untuk
mempertahankan aPTT dalam rentang terapi (atau UFH dosis disesuaikan
subkutan) diberikan selama 5 hari, selanjutnya diberikan UFH dosis disesuaikan
subkutan atau LMWH dosis disesuaikan subkutan. Midinterval aPTT harus
dimonitor setiap 1-2 minggu karena kebutuhan UFH selalu bervariasi sesuai usia
kehamilan.
UFH atau LMWH dosis terapi harus dihentikan 24 jam sebelum tindakan
persalinan atau seksio sesaria elektif. Pada perempuan hamil dengan risiko tinggi
atau mengalami tromboemboli vena berulang (misal: trombosis vena dalam atau
emboli paru dalam 4 minggu) dapat diberikan UFH intravena yang dimulai dan
dihentikan 4-6 jam sebelum tindakan atau persalinan yang diharapkan.
Jika persalinan spontan terjadi pada perempuan hamil yang menggunakan
UFH dengan dosis disesuaikan subkutan, diperlukan monitor aPTT dengan hatihati, dan jika memanjang saat hampir melahirkan mungkin perlu diberikan
protamin sulfat untuk mengurangi risiko perdarahan. Untuk perempuan hamil
yang menggunakan LMWH, pendekatan yang diambil tergantung jarak
pemberian terakhir LMWH dengan persalinan dan kadar anti-Xa, jika bisa
diperiksa. Jika jarak pemberian LMWH dengan persalinan yang diharapkan,
diperkirakan
epidural
harus
dihindari.
2.
Jika
harus
digunakan,
harus
Dose
Regimen
UFH 5000 u Subkutan tiap 12 jam UFH
SK tiap 12 jam
Dosis disesuaikan sampai target Kadar
anti-Xa 0,1-0,3 u/ml
UFH SK tiap 12 jam dalam dosis
terapi terapi
Enoxaparin 40 mg sekali sehari atau 30
mg sehari sekali
Enoxaparin 1 mg/kg dua kali sehari
U menunjukkan unit
SINDROM ANTIFOSFOLIPID SAAT KEHAMILAN
Sindrom antifosfolipid (Antiphospholipid syndrome/APS) merupakan
kondisi trombofilik autoimun yang ditandai dengan adanya antibodi dalam darah
yang dikenal sebagai fosfolipid yang berikatan dengan protein, menjadi faktor
risiko tromboemboli vena. Di samping itu, sindrom ini ternyata turut bertanggung
jawab terhadap kejadian keguguran berulang. Hal ini pertama kali diutarakan
oleh Hughes
kurang dari 1% dan sampai dengan 5% pada usia yang lebih tua. Pada penderita
SLE, prevalensinya lebih tinggi. Pada studi multisenter Euro-Phospholipid, dari
1000 pasien yang tidak terseleksi yang memenuhi kriteria sindrom antifosfolipid
53% merupakan APS primer dan 41% APS sekunder atau kondisi lupus-like.
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan kriteria Sapporo yang direvisi tahun 2006, kriteria diagnosis
sindrom antifosfolipid adalah ditemukannya paling sedikit satu kriteria klinik dan
satu kriteria laboratorik di bawah ini :
1. Kriteria Klinis
Trombosis vaskular :
Satu atau lebih episode trombosis arteri, vena, pembuluh darah kecil yang
memengaruhi organ atau jaringan. Trombosis harus dikonfirmasi dengan
kriteria obyektif yang tervalidasi.
Morbiditas kehamilan
a.
b.
c.
2. Kriteria Laboratorium
Ditemukannya pada dua kali pemeriksaan terpisah 12 minggu :
a.
b.
c.
Antibodi 2-GP-1 (IgG dan/atau IgM) pada titer > persentil ke-99.
PATOGENESIS
2.
3.
Ada peran sel mononuklear, dimana kultur supermatan yang mengandung sel
mononuklear yang distimulus oleh 2-glikoprotein-I akan menghasilkan
interferon yang dapat mengaktivasi sel endotel.
5.
Sindrom antifosfolipid
a.
b.
2.
b.
3.
4.
kehamilan
yang
mungkin
terjadi
karena
sindrom
antifosfolipid dan untuk pasien SLE meski tidak ada manifestasi di atas.
Pemeriksaan harus selalu dikerjakan ketika diduga sindrom antifosfolipid
karena pemeriksaan bisa negatif palsu. Persistensi abnormalitas
pemeriksaan harus dilakukan setelah 12 minggu.
TATALAKSANA
Terapi utama sindrom antifosfolipid pada kehamilan adalah antikoagulan,
namun tidak diindikasikan pada keadaan tanpa adanya manifestasi klinik yang
bermakna. Oleh karena itu, pada pasien hamil dengan riwayat multipel (dua atau
lebih) kehilangan janin pada awal kehamilan atau satu atau lebih kehilangan janin
pada akhir kehamilan, kematian janin dalam kandungan, preeklampsia atau
solusio plasenta direkomendasikan untuk mendapat aspirin ditambah dosis rendah
sampai menengah UFH atau LMWH. Bagi perempuan dengan sindrom
antifosfolipid tanpa ada riwayat kehilangan janin atau tromboemboli vena maka
direkomendasikan untuk surveilans, dosis rendah profilaksis UFH atau LMWH
dan atau aspirin dosis rendah 75 162 mg. Untuk mencegah kejadian trombosis
berulang, maka diberikan antikoagulan jangka panjang pada pasien perempuan
yang memiliki riwayat trombosis atau kehilangan janin berulang, yang kemudian
disulih dengan heparin saat hamil dan dosis rendah aspirin dan kembali diberikan
antikoagulan jangka panjang pasca persalinan. Dosis heparin yang digunakan
biasanya adalah 5000 unit dua kali sehari, kecuali terdapat riwayat tromboemboli
sebelumnya, sehingga perlu dosis penuh.
SINDROM HELLP
Sindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets)
adalah bentuk berat dari preeklampsia dan mengancam jiwa pasien dan janin.
Laporan-laporan awal menunjukkan bahwa preeklampsia berhubungan dengan
mikrotrombi, trombositopenia, koagulasi dan prognosis yang buruk. Muncul pada
pertengahan trimester kedua sampai beberapa hari pasca melahirkan. Insiden
meningkat pada perempuan kulit putih dan multipara.
ETIOLOGI
Sindrom HELLP merupakan preeklampsia yang berat. Patofisiologinya
sama dengan preeklampsia. Prinsipnya adalah iskemia plasenta. Hal ini terjadi
karena perubahan sirkulasi uteroplasenta menjadi sistem tekanan rendah aliran
tinggi. Hal ini terjadi karena penetrasi dari trofoblas ke dalam arteri spiralis yang
merusak sehingga terjadi hipoperfusi dan hipoksia lokal yang mengaktifkan
endocel dengan ekspresi abnormal integrin, chaderin dan berbagai anggota
superfamili imunoglobulin yang terlibat dalam patofisiologi preeklampsia.
Kunci abnormalitas pada Sindrom HELLP adalah vasokonstriksi,
peningkatan tonus vaskular, agregasi trombosit dan perubahan rasio tromboksan:
prostasiklis. Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari aktivasi komplemen dan
kaskade koagulasi yang berakibat pada injuri multiorgan endotel dan
mikrovaskular dan menghasilkan anemia hemolisis mikroangiopatik, peningkatan
enzim hati dan trombositopenia.
GAMBARAN KLINIK
Sindrom HELLP merupakan 20% dari seluruh komplikasi preeklampsia
berat. Namun demikian, 15% pasien dengan sindrom HELLP tidak menderita
hipertensi atau proteinuria, yang lain mungkin ada hipertensi tanpa proteinuria
dan hipertensi berat jarang ditemukan.
Gejala sindrom HELLP berkorelasi dengan beratnya penyakit. Umumnya
nyeri perut kanan atas. Keluhan ini terjadi pada 65% kasus. Mual dengan atau
tanpa muntah tampak pada 35% kasus. Sakit kepala lebih umum tampak pada
preeklampsia tanpa sindrom HELLP dan biasanya berhubungan dengan ada
hipertensi. Kenaikan berat badan yang bermakna seiring dengan edema.
Gejala lain adalah kuning, perdarahan gastrointestinal, nyeri sudut
kostovertebra, dada atau bahu. Gejala seperti flu.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya hemolisis dan kenaikan enzim
hati. Hemolisis diidentifikasi dengan adanya gambaran darah tepi yang abnormal,
eritrosit yang mengalami fragmentasi atau peningkatan retikulosit. Haptoglobin
kadar rendah selalu ditemukan. Peningkatan kadar bilirubin dan kadar laktat
dehidrogenase (LDH) merupakan pertanda hemolisis juga. Beberapa penulis tidak
setuju memasukkan sindrom HELLP sebagai varian disseminated intravascular
coagulopathy (DIC) karena parameter koagulasi selalu normal. Namun, solusio
plasenta merupakan komplikasi kehamilan dengan sindrom HELLP yang dapat
mengakibatkan koagulasi konsumtif. Pada 20% kasus, DIC dapat ada bersamasama dengan anemia hemolisis.
Beberapa studi mencoba mendefinisikan sindrom HELLP berdasarkan
parameter laboratorium (Tabel 2)
Sistem Tennesse
Sindrom komplit dan/atau SGOT >
401 U/l
Trombosit < 100.000 mm3
Sindrom inkomplit
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom HELLP harus dibedakan dengan berbagai kondisi yang bisa memberikan
gambaran yang mirip dengannya.
1.
2.
3.
Gangguan trombotik
a.
b.
c.
d.
Gangguan konsumtif
a.
b.
c.
Perdarahan
Lain-lain :
a.
b.
SLE
c.
APS
d.
Gangguan prokoagulan
TATALAKSANA
1.
2.
Koreksi jumlah trombosit dan defek koagulan sebelum tindakan operasi atau
seksio sesaria. Termasuk koreksi koagulopati dengan plasma beku segar dan
kryopresipitat dan transfusi trombosit untuk mengoreksi jumlah trombosit.
3.
Trombosit akan meningkat secara bermakna, dan LDH dan SGOT akan
menurun. Urin yang keluar akan bertambah. Suatu studi acak yang
membandingkan efikasi deksametason dan betametason untuk terapi sindrom
antepartum, tampak penurunan aktivitas enzim aminotransferase yang
bermakna, tekanan arteri rata-rata, dan urin yang keluar pada pasien yang
diberikan deksametason intravena dibandingkan dengan yang mendapat
betametason intramuskular.
4.
Jika sindrom HELLP terjadi pasca persalinan, kondisi ibu akan lebih baik bila
diberikan deksametason intravena. Pemberian deksametason intravena segera
pasca persalinan dengan dosis 10 mg, diikuti 12 jam selanjutnya dengan dosis
10 mg dan kemudian 5 mg pada 24 dan 36 jam pasca persalinan,
menunjukkan normalisasi cepat jumlah trombosit dan LDH daripada subyek
kontrol yang tidak diterapi dengan kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Macik BG. Rand JH. Konkle BA. Thrombophilia : whats practitioner to do?
Hematology 2001 : 322 338.
3.
4.
Bates SM. Greer IA. Hirsch J. Ginsberg JS. Use of antithrombotic agents
during pregnancy. The seventh ACCP conference on antithrombotic and
thrombolytic therapy. Chest. 2004 : 6275 6445.
5.
6.
7.
8.
9.
Clenney TL, Viera AJ. Corticosteroid for HELLP (haemolysis, elevated liver
enzymes. Low platelets) syndrome. BMJ. 2004 : 329: 270-272.