Anda di halaman 1dari 10

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

DEFINISI
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor
limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan
leukemia sel T. Pendapat lain mengatakan leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah sebuah
neoplasma yang progresif yang ditegaskan oleh adanya >30% limfoblast pada sumsum tulang
atau darah.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika, setiap tahunnya sekitar 2000-3000 anak dan orang dewasa didiagnosis LLA.
Lebih dari 80% pasien berusia kurang dari 10 tahun. Insidens LLA di negara berkembang 83%.
Di RSU Sardjito kasus LLA mencapai 79%. Di RS Dr. Soetomo pada tahun 2002 dijumpai kasus
LLA mencapai 88%. Paling sering menyerang anak-anak di bawah umur 15 tahun. Puncak
insidensi usia 2-5 tahun dan lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan. Namun, 20%
insiden terjadi pada orang dewasa
ETIOLOGI
Penyebab LLA masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi
21), sindrom Blooms, anemia Fanconis dan ataksia telangiektasia) mempunyai angka
kejadian lebih tinggi untuk menderita LLA dan kembar monozigot.
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow
melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal/maternal terhadap
pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko leukemia pada keturunannya.
Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di Hiroshima dan
Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi in utero
secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan insidens leukemia, demikian juga halnya

dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen
selama trimester I kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali.
PATOFISIOLOGI
LLA disebabkan oleh hambatan pada diferensiasi sel. Sel leukemia terakumulasi tanpa
henti di sumsum tulang menyebabkan kepadatan pada sumsum tulang, dan mereka bersaing
dengan proliferasi sel dan fungsi normal dari sel hematopoetik. Jadi LLA telah disebut gangguan
akumulasi serta gangguan proliferasi. Pada sebagian besar kasus, sel leukemia dikeluarkan ke
darah dimana mereka terakumulasi. Sel-sel tersebut juga mungkin menginfiltrasi dan
terakumulasi di hepar, lien, KGB, dan organ-organ lain diseluruh tubuh. Adanya jumlah yang
banyak dari sel leukemia di darah mungkin salah satu dari indikator yang paling dramatis;
bagaimanapun, leukemia masih merupakan penyebab utama kekacauan pada sumsum tulang.
Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini
memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena
homogenotas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik menurut the French American
British (FAB) untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut:

L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogeny, anak inti
umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit

L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih
kasar dengan satu atau lebih anak inti.

L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak ditemukan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun
dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.
Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada patofisiologi
leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat sedikit diketahui. Bahwa
tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan populasi sel leukemia, terlihat
pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang justru
hiposeluler.
Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan sumsum
tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia
tersebut ke organ tubuh pasien.
MANIFESTASI KLINIS
Manfestasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan
kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel
limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan
gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi
yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan pada
sepertiga pasien yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat jarang terjadi.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan: anemia (mudah lelah, letargi
pusing, sesak, nyeri dada), anoreksia, nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang
oleh sel-sel leukemia), demam, banyak berkeringat, infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah,
selulitis, atau sepsis, perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi,
hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak, leukemia system saraf pusat (nyeri kepala,
muntah, perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII .
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali, limfadenopati,
massa di mediastinum (sering pada LLA sel T).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Hitung darah lengkap dan apusan darah tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia.
Proporsi sel blas pada hitungan leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%. Kira-kira
sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm 3. Pada
apusan darah tepi dapat ditemukan sel blast.
b. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klarifikasi,
sehingga semua pasien LLA arus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat
harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping.
Pada LLA, sumsum tulang biasanya hiperselular dan diinfiltrasi oleh limfoblas.
Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi
sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi
penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
c. Sitokimia
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadangkadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA).
Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil
yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada
granula primer dari precursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas
LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B ALL dari T
ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang
ganas,sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Schiff (PAS).
d. Imunofenotip (dengan sitometri arus / Flow cytometri)
Klasifikasi imunofenotip sangat berguna pada tahap perkembangan awal
hemopoetik. Klasifikasi imunofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan

leukemia sesuai tahap-tahap maturasi normal yang dikenal. Kebanyakan


kelompok saat ini mengklasifikasikan LLA dalam precursor sel B atau leukemia
sel T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD 20, CD 22, CD 79.
Karakteristik sel B matur adalah imunoglobulin pada permukaan, sementara sel T
membawa imunofenotip CD 3, CD 7, CD 5, CD 2. Petanda sel B dan atau petanda
sel T kadang-kadang dapat dideteksi pada konsentrasi rendah. Sel leukemia dapat
menunjukkan antigen myeloid dan limfoid pada saat yang bersamaan, leukemia
tersebut dianggap bifenotip.
e. Sitogenetik
Dengan metode yang mutakhir, lebih dari 90% kasus LLA pada anak
menunjukkan abnormalitas sitogenetik baik dalam jumlah atau struktur. Analisis
sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan
dengan subtype LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognosik.
f. Biologi molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk
mendeteksi t(12;21) yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini
juga harus dilakukan untuk mendeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai
prognosis buruk.
2. Radiologi
Radiografi dada dilakukan untuk melihat apakah terdapat massa pada mediastinum.
DIAGNOSIS
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis.
Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan
dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan
penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi
molekuler.
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis
leukosit dan trombositopenia. Bias terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat apus

darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional
(protokol Jakarta) pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit
>50.000, ada massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah
sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm 3. Massa
mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus
dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.
DIAGNOSIS BANDING
LLA harus dibedakan dengan leukemia mieloblastik akut (LMA), anemia aplastik,
penyakit keganasan lain yang menyerang sumsum tulang dan kerusakan pada sumsum tulang,
termasuk neuroblastoma, rhabdomyosarcoma, dan rheumatoid arthritis.
TERAPI
Pasien diterapi sesuai dengan risiko mereka. Pasien dengan risiko tinggi diterapi dengan
lebih intensif, dan biasanya lebih toxic. Mereka dengan risiko yang lebih rendah diterapi dengan
lebih efektif dan lebih sedikit dalam upaya untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas
terkait dengan terapi tanpa mengurangi harapan untuk hasil.
Untuk anak dan orang dewasa dengan ALL, protokol pengobatan dibagi menjadi 4
elemen utama: terapi induksi remisi, terapi intensifikasi atau konsolidasi, terapi profilaksis sistim
saraf pusat dan terapi lanjutan rumatan. Dengan pengecualian 1-2 % dari pasien ALL dengan
ALL sel B, durasi terapi untuk anak dan dewasa dengan ALL sekitar 24-36 bulan. Rekomendasi
durasi pengobatan pasien dengan resiko standar mungkin lenih pendek daripada pasien dengan
resiko yang lebih tinggi. Anak perempuan dengan ALL mungkin membutuhkan pengobatan yang
lebih sedikit. Pasien dengan ALL sel B diterapi untuk jangka waktu yang lebih pendek, biasanya
6-8 bulan.
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Saat ini di
Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu
protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.
Terapi Induksi Remisi

Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit hematologik
(hematologic complete remission / CR), yaitu eradikasi sel-sel leukemia yang dapat dideteksi
secara morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya hematopoiesis normal.
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda
(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat
dicapai adalah remisi komplit, remisi parsial, atau gagal.
Terapi Intensifikasi atau Konsolidasi
Setelah tercapainya remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi (early
intensification) yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah
relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat.
Terapi Profilaksis SSP
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50-70% pasien LLA yang tidak
mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. Terapi SSP yaitu secara
langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi
dengan infuse berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat
pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih
efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik
dosis tinggi.
Terapi Lanjutan Rumatan
Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan
metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun pertama.
Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-2 1/2 tahun dan tidak ada
keuntungan jika perawatan sampai 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan
melihat leukosit dan atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan. Pada LLA anak terapi
ini memperpanjang disease-free survival, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis
leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti,
hemoglobin >12g/dl tanpa transfuse, jumlah leukosit >3000/ulbdengan hitung jenis leukosit

normal, jumlah granulosit >2000/ul, jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan
serebrospinal normal.
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh,
khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel T yang setelah relaps mempunyai prognosis yang
buruk dengan terapi sitostatika konvensional. Anak-anak dengan remisi kurang dari 18 bulan
harus dipikirkan untuk transplantasi sumsum tulang.
PROGNOSIS
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan ke dalam kelompok risiko
biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik
itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance
Faktor prognostik LLA :
1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ALL pertama ditegakkan,mungkin
merupakan faktor prognostik bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier antara
jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan
jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai prognosis buruk.
2. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih
buruk dibandingkan dengan pasien yang berusia diantara itu.Khusus untuk pasien dengan
umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling buruk.
3. Leukimia sel B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi kappa danlambda pada
permukaan blas diketahui mempunyai prognosis buruk.Dengan adanya protokol spesifik
untuk sel - B, prognosisnya semakin membaik. Sel - T leukimia juga mempunyai prognosis
yang jelek dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel - T leukemia
murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama dengan
leukimia sel pre - B. LLA sel - T diatasi dengan protokol risiko tinggi.
4. Beberapa penelitian menunjukan bahwa anak perempuan mempunyai prognostik lebih baik
daripada anak laki - laki.

5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1 minggu
terapi prednison dimulai. Adanya sisa sel blas pada sum -sum tulang pada induksi hari ke 7
atau 14 menunjukan prognosis buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>50
kromosom) yang biasa ditemukan pada 25 % kasus mempunyai prognosis yang baik. LLA
hipoploid (3 5 %) mempunyai prognosis intermediet seperti t(1;19). Translokasi t (9;22)
pada 5 % anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3% dari pasien anak
akan meninggal dalam CCR (Continous Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh. Sebab
utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam
18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara
relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,
khususnya relaps testis dimana long-term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif
untuk mengurangi resistensi obat.
Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang berbeda. Survival
meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991) sampai dengan saat ini 81% (19921995). Alasan utama dibalik perbaikan ini adalah lebih intensifnya terapi untuk semua kelompok
risiko.

Sumber dari:
Ini nanti langsung kamu copy aja referencenya, ini udah aku formatin buat dafpus

1. Steuber CP, DG Poplack. ALL in Nelson Textbook of Pediatrics 18 th Edition, 2007: 1594
1599.
2. Permono B, IDG Ugrasena. Leukemia Akut in Buku Ajar Hematologionkologi Anak
IDAI, 2006: 236 245.

Anda mungkin juga menyukai