Anda di halaman 1dari 7

Ketika kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati

bangsa Indonesia, bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam,
seperti Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka
datang, umat Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan
warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah
saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah
bersabda : Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku
diberi pula warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl,
merah dan putih . Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan
bangsa ini mempunyai bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan
bahasa ini bahasa pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa
jurnalistik. Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas,
mencintai tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting
dalam membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan
bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel
nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam
Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah
perjuangan umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah Portugis
Kaum penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis
dengan semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan),
dan Gospel (penyebaran agama Nasrani). Untuk menjalankan misinya itu
Portugis berusaha dengan menghalalkan semua cara. Apalagi saat itu
mereka masih menyimpan dendamnya terhadap bangsa Timur (Islam)
setelah usai Perang Salib . Dengan modal restu sakti dari Paus Alexander
VI dalam suatu dokumen bersejarah yang terkenal dengan nama
Perjanjian Tordesillas yang berisi, bahwa kekuasaan di dunia diserahkan
kepada dua rumpun bangsa: Spanyol dan Portugis. Dunia sebelah barat
menjadi milik Spanyol dan sebelah timur termasuk Indonesia menjadi
milik Portugis.
Karena itu Portugis sangat bernafsu untuk menguasai negeri
Zamrud Katulistiwa yang penuh dengan rempah-rempah yang
menggiurkan. Pertama mereka menyerang Malaka dan menguasainya
(1511 M), kemudian Samudra Pasai tahun 1521 M. Mulailah mereka
mengusik ketenangan berniaga di perairan nusantra yang saat itu banyak
para pedagang muslim dari Arab. Demikian pula para pedagang dari
Demak dan Malaka yang saat itu sudah terjalin sangat erat. Portugis
nampaknya sengaja ingin mematahkan hubungan Demak dan Malaka,
dan sekaligus tujuannya ingin merebut rempah-rempah yang merupakan
komoditi penting saat itu. Banyak kapal-kapal mereka dirampas oleh
Portugis termasuk kapal pedagang muslim Arab.

Pada tahun 1512 Demak dibawah pimpinan Adipati Yunus


memimpin sendiri armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu
sudah menguasai Malaka, tapi kali ini mengalami kegagalan karena
persenjataan lawan begitu tangguh penyerangan kedua kalinya dilakukan
tahun 1521 dengan mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah
kapal dan dibantu oleh balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah
terusir, yang sasarannya sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari
wilayah Nusantara demi mengamankan jalur niaga dan dakwah yang
memanjang dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun perjuangannya tidak
berhasil pula, bahkan ia gugur mati syahid dalam pertempuran tersebut.
Sebab itulah ia mendapat gelar Pangeran sabrang lor artinya pangeran
yang menyebrangi lautan di sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus, perlawanan terhadap Portugis diteruskan
oleh Sultan Trenggana (1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan
Prawoto. Meskipun pada masa Sultan Prawoto negara dalam keadaan
goncang karena perseteruan dalam negeri tapi kekuatan perang untuk
melawan dan mempertahankan diri dari serangan Portugis masih terus
digalang. Diberitakan, bahwa saat itu Demak masih sanggup membangun
kekuatan militernya terutama angkatan lautnya yang terdiri dari 1000
kapal-kapal layar yang dipersenjatai. Setiap kapal itu mampu memuat 400
prajurit masing-masing mempunyai tugas pengamanan wilayah Nusantara
dari serangan Portugis.
Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis di Malaka
mengalami kegagalan, namun terhadap penjajah Portugis di Sunda
Kelapa (Jakarta) dan Maluku memperoleh hasil yang gemilang. Adalah
panglima Fatahillah (menantu Sultan Syarif Hidayatullah) pada tahun
1526 M. memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Sunda Kelapa
lewat jalur laut. Mereka berhasil mengepung dan merebutnya dari tangan
penjajah Portugis, kemudian diganti namanya menjadi Fathan Mubina
diambil dari Quran Surat al-Fath ayat satu. Fathan Mubina diterjemahkan
menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni
1527 M, yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku, Portugis menghasut dan mengadu domba kerajaan Islam
Ternate dan Tidore. Namun kemudian rakyat Ternate sadar, sehingga
mereka dibawah pimpinan Sultan Haerun berbalik melawan Portugis.
Nampaknya yang menjadi persoalan bukan hanya faktor perdagangan
atau ekonomi, tapi juga persoalan penyebaran agama oleh Portugis.
Kristenisasi secara besar-besaran terutama pada tahun 1546 dilakukan
oleh seorang utusan Gereja Katolik Roma Fransiscus Xaverius dengan
sangat ekstrimnya ditengah-tengah penduduk muslim dan di depan mata
seorang Sultan Ternate yang sangat saleh, tentu saja membuat rakyat
marah dan bangkit melawan Portugis. Lebih marah lagi ketika Sultan
Haerun dibunuh secara licik oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat

Ternate terus melanjutkan perjuangannya melawan Portugis dibawah


pimpinan Babullah, putra Sultan Haerun selama empat tahun mereka
berperang melawan Portugis, dan berhasil mengusir penjajah Portugis
dari Maluku
2. Penjajah Belanda
Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di
Banten dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan
Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta
mengganti nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan
penjajah Portugis, yaitu untuk memonopoli perdagangan dan
menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah
Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama Katolik maka Belanda
menyebarkan agama Protestan. Betapa berat penderitaan kaum muslimin
semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Penindasan,
adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam sebanyakbanyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan
terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka wajarlah jika
seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama dan
santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan yang
sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur
habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang
sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia
atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952)
mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir
hayatnya antara lain mengatakan : Jika tidak karena pengaruh dan
didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan
sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai
kemerdekaannya.
Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam
melawan Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai
antara
lain
:
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus
Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran
Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun
1825-1830 bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai
Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab.
Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit
Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar 8000 orang
serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari Jawa
Barat misalnya Apan Ba Saamah dan Muhammad Idris (memimpin
perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)

Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku


Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh
misalnya : Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik
Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut
Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin
Muhammad Daud Syah, dan lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat muslim bergerak melawan penjajah
kafir Belanda yang terkenal dengan perang Banjar, dibawah pimpinan
Pangeran Antasari yang didukung dan dilanjutkan oleh para mujahid
lainnya seperti pangeran Hidayat, Sultan Muhammad Seman (Putra
pangeran Antasari), Demang Leman dari Martapura, Temanggung Surapati
dari Muara Teweh, Temanggung Antaludin dari Kandangan, Temanggung
Abdul jalil dari Amuntai, Temanggung Naro dari buruh Bahino, Panglima
Batur dari Muara Bahan, Penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Haji Bayasin,
Temanggung Macan Negara, dan lain-lain. Dalam perang Banjar ini sekitar
3000 serdadu Belanda tewas. Di Maluku Umat Islam bergerak juga
dibawah pimpinan Sultan Jamaluddin, Pangeran Neuku dan Said dari
kesultanan Ternate dan Tidore.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia seperti
Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung
Palaka.Sederetan Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air yang
belum diangkat namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih
banyak dari pada yang telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku
sejarah. Mereka sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan mengurangi
keikhlasannya di hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul berjihad
dengan tulus demi menegakkan dan membela Islam di tanah air.
3. Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada
tanggal 10 januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak,
Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki
tanggal 5 Maret 1942. Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari
bumi Indonesia, diganti oleh penjajah Jepang. Ibarat pepatah Lepas dari
mulut harimau jatuh ke mulut buaya, yang ternyata penjajah Jepang
lebih kejam dari penjajah manapun yang pernah menduduki Indonesia.
Seluruh kekayaan alam dikuras habis dibawa ke negerinya. Bangsa
Indonesia dikerja paksakan (Romusa) dengan ancaman siksaan yang
mengerikan seperti dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang, dimasukkan
kedalam sumur, para wanita diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex
tentara Jepang (Geisha).

Pada awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan


mengklaim dirinya sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan
3 A yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon
Pemimpin Asia). Mereka juga paham bahwa bangsa Indonesia kebanyakan
beragama Islam. Karena itu pada tanggal 13 Juli 1942 mereka mencoba
menghidupkan kembali Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) yang telah
terbentuk pada pemerintahan Belanda (September 1937). Tapi upaya
Jepang tidak banyak ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak tokohtokoh Islam tidak mau kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang
bahkan melakukan gerakan bawah tanah misalnya dibawah pimpinan
Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin.
Selain itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi yang bersifat
politik atau yang membahayakan Jepang yang dibentuk semasa Belanda,
kemudian sebagai gantinya dibentuklah organisasi-organisasi baru
misalnya Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Cuo Sangi In (Badan pengendali
politik), Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa), Seinendan, Fujinkai,
Keibodan, Heiho, Peta dan lain-lain. Motif utama dibentuknya organisasiorganisasi tersebut hanyalah sebagai kedok saja yang ternyata untuk
kepentingan penjajah Jepang juga. Namun bangsa kita sudah cerdas
justru organisasi-organisasi tersebut sebaliknya dimanfaatkannya untuk
melawan penjajah Jepang. Sebagai contoh adalah pembentukan tentara
PETA (Pembela Tanah Air) pada tanggal 3 Oktober 1943 di Bogor yang
merupakan cikal bakal adanya TNI. Terbentuknya memang atas
persetujuan penjajah Jepang yang didukung oleh para alim ulama.
Tercatat sebagai pendirinya adalah KH.Mas Mansur, Tuan Guru H. Yacob,
HM.Sodri, KH.Adnan, Tuan guru H.Kholid, KH.Djoenaedi, Dr.H.Karim
Amrullah, H.Abdul Madjid dan U. Muchtar. Mereka betul-betul
memanfaatkan PETA ini untuk kepentingan perjuangan bangsa. PETA saat
itu terdiri dari 68 batalion yang masing-masing dipimpin oleh para alim
ulama.
Para Bintaranya adalah para pemuda Islam, dan panji-panji tentara
PETA adalah bulan bintang putih di atas dasar merah. Tanggal 5 Oktober
1945 terbentuklah BKR (Barisan Keamanan Rakyat) yang sebagian besar
pimpinannya adalah berasal dari PETA. BKR kemudian menjadi TKR dan
selanjutnya TNI. Jadi TNI tidak mungkin ada jika PETA yang terdiri dari 68
bataliyon yang dipimpin oleh para ulama tersebut tidak ada.
Namun ada beberapa organisasi bentukan Jepang yang sangat kentara
merugikan dan bahkan berbuat aniaya terhadap bangsa Indonesia.
Misalnya melalui Jawa Hokokai rakyat secara paksa untuk mengumpulkan
padi, permata, besi tua serta menanam jarak yang hasilnya harus
diserahkan kepada pemerintah pendudukan Jepang, pelecehan,
penghinaan terhadap agama Islam dan umat Islam sudah terang-terang.

Maka umat Islam di berbagai daerah bangkit menentang penjajah Jepang,


diantaranya:
a. Pemberontakan Cot Pileng di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang ulama muda bernama Tengku
Abdul Jalil, guru ngaji di Cot Pileng pada tanggal 10 November 1942.
Sebabnya karena tentara Jepang melakukan penghinaan terhadap umat
Islam Aceh dengan membakar masjid dan membunuh sebagian jamaah
yang sedang salat subuh.
b. Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Perlawanan ini dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa, pemimpin pondok
pesantren di Sukamanah Singaparna Tasik Malaya pada tanggal 25
februari 1944. Penyebabnya karena para santrinya dipaksa untuk
melakukan Seikirei, menghormat kepada kaisar Jepang dengan cara
membungkukkan setengah badan ke arah matahari. Ini tentu saja
pelanggaran aqidah Islam.
c. Pemberontakan di Indramayu
Perlawanan ini dipimpin oleh H. Madriyas. Sebabnya karena rakyat
tidak tahan terhadap kekejaman yang dilakukan tentara Jepang.
d. Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh Teuku Hamid pada bulan November
1944.
e. Pemberontakan PETA di Blitar
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang komandan Pleton PETA yang
bernama Supriadi pada tahun 14 Februari 1945 di Blitar, karena mereka
tidak tahan melihat kesengsaraan rakyat di daerah dan banyak rakyat
yang korban karena dikerjapaksakan (Romusha).
4. Sekutu dan NICA
Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia baru saja
diproklamirkan, tanggal 15 september 1945 datang lagi persoalan baru,
yaitu datangnya tentara sekutu yang diboncengi NICA (Nederland Indies
Civil Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan seolaholah paling berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya.
Kedatangan mereka tentu saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa
Indonesia. Seluruh umat Islam bergerak kembali dengan kekuatan senjata
seadanya melawan tentara sekutu dan NICA yang bersenjatakan lengkap
dan modern. Perlawanan terhadap sekutu dan NICA antara lain: Dengan

taktik perang gerilya, pertempuran arek-arek Surabaya, Bandung lautan


Api, pertempuran di Ambarawa dan lain-lain.
Arsitek perang gerilya adalah Jendral Sudirman nama yang tidak
asing lagi bagi bangsa Indonesia. Beliau sebagai panglima besar TNI
berlatar belakang santri. Pernah jadi dai atau guru agama di daerah
Cilacap Banyumas sekitar tahun 1936-1942. Berkarir mulai dari
kepanduan Hizbul Wathan dan aktif dalam pengajian-pengajian yang
diadakan oleh Muhammadiyah. Beliau pada sebagian hidupnya adalah
untuk berjuang, dan bahkan dalam kondisi sakit sekalipun beliau terus
memimpin
perang
gerilya
ke
hutan-hutan.
Sedangkan pertempuran arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo.
Dengan kumandang takbir, beliau mengobarkan semangat berjihad
melawan tentara Inggris di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Karena dahsyatnya pertempuran tersebut, maka tanggal tersebut
dikenang sebagai hari pahlawan. Beliau tercatat pula dalam sejarah
sebagai arsitek bom syahid. Dalam kurun waktu perjuangan tahun 1945
1949 beliau membentuk pasukan berani mati, yakni pasukan bom syahid
yang siap mengorbankan jiwanya untuk menghancurkan tentara sekutu
dan Belanda. Bandung lautan api adalah pertempuran dahsyat di
Bandung Utara, kemudian di Bandung Selatan dibawah pimpinan
Muhammad Toha dan Ramadhan .s

Anda mungkin juga menyukai