Anda di halaman 1dari 2

KORUPSI POLITIK DI INDONESIA: ASAL-USUL DAN MOMENTUM PERTUMBUHAN

Oleh: Suwarsono
Harapan dan Ketakutan: Tidak tahu Sebab dan Keunikan
Sepertinya tidak berlebihan jika kini dikatakan bahwa tidak banyak orang yang berani
memprakirakan secara logis bahwa korupsi politik di Indonesia pada waktu dekat ini akan
berkurang secara signifikan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ukurannya sederhana,
yakni korupsi telah dilihat sebagai aktifitas yang memiliki resiko tinggi (high risk), tetapi disisi
lain hanya memberikan hasil yang rendah (low return). Tidak berani melakukan korupsi tidak
semata-mata karena ancaman hukuman setelah bertindak (dan tertangkap), tetapi sudah
sampai pada keengganan secara rasional (dengan perhitungan ekonomi politik untung
rugi) untuk melakukan korupsi. Harapan dan keyakinan tentu boleh-boleh saja dan
selayaknya memang harus demikian, tetapi rasanya pintu tetap terbuka untuk memberi ruang
bertanya kapan sesungguhnya harapan dan keyakinan itu sesungguhnya memiliki peluang
untuk menjadi kenyataan.
Sampai dengan tahun 2001, dalam tulisannya tentang Anti-Corruption Strategies in
Indonesia, Hamilton-Hart (2001: 77) menyatakan bahwa Given the extent of the problem
and Indonesias economic and political fragility, it is unrealistic to expect reforms to eradicate
corruption in a few months. Sampai-sampai ia mengutip pernyataan Kwik Kian Gie yang
menegaskan bahwa ....economic activity would grind to a halt if the government really
cracked down on corruption because all business people would be in goal, sebuah
argumentasi yang sesungguhnya kini sudah mulai banyak dipertanyakan orang. Tetapi
disamping alasan itu, dinyatakan juga ada alasan lain, yakni telah terbentuknya mental
korup yang terbangun secara sistematis selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto.
Prakiraan serupa tetapi dengan tambahan sedikit banyak ada harapan yang lebih
positip disampaikan oleh Davidsen, Yuwono, dan Timberman (2006) dalam tulisannya yang
berjudul Curbing Corruption in Indonesia 2004-2006. Mereka (2006: 5-6; 78-9) katakan
bahwa It apperas there are high public expecatations regarding the government and KPKs
anticorruption efforts. The 2005 Transparancy International survey indicates that Indonesia
believe there have been a decline in corruption over the last three years and are optimistic
that it will decline even more over the next three years. It is important that the government
and KPK manage ecpectations, deliver on their promises, and communicate their priorities
and progress to the public. Disisi lain, mereka tetap mengingatkan bahwa There also is a
risk that the government and KPKs anti corruption initiatives will provoke a political backlash
or public disappointment or both.
Adakah yang mereka nyatakan kurang lebih tujuh tahun lalu itu masih juga terlihat
pada masa sekarang: bercampur baurnya antara harapan dan kerinduan terbangunnya
negara bersih sekaligus dengan ketakutan kemungkinan ketidakberhasilan, dan bahkan
serangan balik? Jelas terlihat, disatu sisi ada harapan keberhasilan, tetapi disisi lain ada
kekhawatiran bahkan ada ketakutan jika sampai terjadi kegagalan, apalagi ketika harapan
masyarakat sudah terlanjur tinggi. Dilihat dari perspektif manajemen perubahan, bercampur
baurnya dua komponen itu harapan dan ketakutan adalah sebuah kewajaran, apalagi
dalam proyek perubahan dengan skala demikian besar.
Namun demikian tetap saja ada batasan waktu, yakni tidak boleh keraguan itu
berlangsung dalam waktu yang demikian lama. Ada kekhawatiran bahwa pabrik energi baik

dalam masyarakat akan semakin tergerus. Harus segera terbangun momentum untuk
membuktikan bahwa komponen harapan memiliki porsi lebih besar. Peliknya persoalan ini
tentu saja terkait dengan rumitnya pilihan kombinasi optimal strategi pemberantasan korupsi
dan sekaligus penentuan sasaran strategis yang dituju (strategic group). Pada mulanya ini
terjadi karena korupsi politik dipandang sebagai fenomena generik, bukan kontekstual.
Harus ditemukan keunikan karakter dan keunikan sebab-sebab sebelum sampai pada
keunikan pilihan strategi. Tulisan ini hanya mencoba (masih bersifat spekulatif) untuk
mengenali asal-usul korupsi politik di Indonesia dan mencoba menemukan momentum
pertumbuhannya. Itulah dua pertanyaan pokok yang hendak dicari jawabnya.
Asal Usul
Lihatlah beberapa kasus korupsi politik berikut ini yang pernah terjadi di Indonesia,
sejak zaman Orde Baru sampai Orde Reformasi, sebut saja begitu: Pertamina (1976),
Bulog (1970), Bank Dharma Ekonomi (Desember 1968), PT Berdikari (1968), Yayasan
(1969 sampai 1997), Bisnis Ali-Baba (1967-1997), Skandal BE (1970), PT Mantrust (1970),
Ciba, Hoeshst, Mitsubishi, Coopa (1970), Keluarga Soeharto, BLBI (1997-beberapa tahun
sesudahnya), Bank Bali (1999), Bulog (1999), Bulog dan Kasus Brunei (2000), dan
beberapa yang relatif baru belakangan ini: Gubernur Aceh, Anggota KPU, Bank Century,
Hambalang, Impor Daging Sapi, SKK Migas, Mahkamah Konstitusi, dan yang lain yang lupa
untuk disebut.
Adakah boleh dikatakan bahwa kasus Pertamina (1976) merupakan kasus pertama
terjadinya korupsi politik di Indonesia? Ternyata pada tahuntahun disekitar 1970an itu
begitu banyak dijumpai kasus korupsi politik? Bolehkah kemudian tahun (atau dasawarsa)
1970an disebut sebagai tahun lahirnya korupsi politik? Adakah kasus serupa pada masa
sebelum tahun 1976 atau malahan pada masa Orde Lama? Dipastikan ada korupsi pada
masa Orde Lama, tetapi tidakkah hanya termasuk kategori petty corruption? Jika ya benar
bahwa pada tahun 1970an boleh disebut sebagai tahun kelahiran korupsi politik, maka
lingkungan ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan, pada tahun-tahun itu perlu dicermati
untuk mengetahui fenomena tersebut secara lebih mendalam, terutama yang berkaitan
dengan sebab-sebab lahirnya korupsi politik di Indonesia.
Kapan momentum pertumbuhan korupsi politik terjadi? Dapat dipastikan sesudah
tahun tujuh puluhan dan sebelum terjadi krisis ekonomi 1997. Bersamaan waktunya dengan
pertumbuhan ekonomi, ketika kebebasan politik terkendala: otoriter dan birokratik (B-A state).
Ada institusionalisasi (pelembagaan) korupsi. Sesederhana itukah penjelasaannya? Setelah
masa reformasi, korupsi berkembang lebih lanjut (advanced) menjadi bisnis. Korupsi dilihat
sebagai pekerjaan, terjadilah transaksi jual beli seperti transaksi-transaksi jual beli lain. Ada
hitung-menghitung untung rugi, dan bahkan ada makelar (middleman/broker) didalamnya.
Ada inisiasi korupsi, deal, dan pasca transaksi. Canggih.

Anda mungkin juga menyukai