Anda di halaman 1dari 3

Tugas Mata Kuliah Partai Politik, Pemilu dan Legislasi (VI)

Nama: Yeby Maasan Mayrudin


NIM

: 354738
Telaah Fungsi dan Varian Sistem Pemilihan Umum

Persoalan keterwakilan (representasi) merupakan salah satu bagian


penting dalam praktik demokratisasi. Jika demokrasi dimaknai sebagai
pemerintahan rakyat, lalu bagaimana cara rakyat berkuasa? Dalam
negara demokrasi (Pamungkas, 2010: 28-29), mekanisme yang digunakan
untuk mengonversi realitas masyarakat dalam bentuk representasi politik
yang kemudian diwadahi dalam lembaga perwakilan atau biasa dikenal
parlemen (legislatif) adalah pemilihan umum (pemilu).
Mochtar Pabottingi (dalam Haris (ed), 1998: 7-10) menyebutkan
bahwa pemilu mempunyai beberapa fungsi yang tak dapat dipisahkan
satu sama lain. Pertama, sebagai sarana legitimasi politik. Melalui pemilu,
keabsahan pemerintahan yang berkuasa tak dapat terabaikan dengan
mudah. Penguasa memiliki otoritas dan kewenangan untuk menjalankan
berbagai program dan kebijakannya. Kedua, fungsi perwakilan politik.
Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik dalam rangka
mengevaluasi

maupun

mengontrol

perilaku

pemerintah

(eksekutif

maupun legislatif) dan program serta kebijakan yang sedang diproses


maupun

sudah

dihasilkannya.

Ketiga,

pemilu

sebagai

mekanisme

pergantian atau sirkulasi elit. Keterkaitannya didasarkan pada asumsi


bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat luas. Keempat,
sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat. Pelaksanaan pemilu
diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mencerdaskan pemahaman
politik

dan

meningkatkan

kesadaran

masyarakat

mengenai

hak,

tanggungjawab dan kewajibannya.

Persoalan keterwakilan (representasi) merupakan salah satu bagian


penting dalam praktik demokratisasi. Jika demokrasi dimaknai sebagai
pemerintahan rakyat, lalu bagaimana cara rakyat berkuasa? Dalam
negara demokrasi (Pamungkas, 2010: 28-29), mekanisme yang digunakan
untuk mengonversi realitas masyarakat dalam bentuk representasi politik
yang kemudian diwadahi dalam lembaga perwakilan atau biasa dikenal
parlemen (legislatif) adalah pemilihan umum (pemilu).
Di negara demokratis, pemilihan umum dianggap sebagai lambang
atau simbol, sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu sendiri. Proses pemilu
(Budiardjo, 2008: 461) yang berjalan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan berserikat, dianggap mencerminkan secara
gamblang akurasi dari partisipasi serta aspirasi masyarakat. Dalam teori
politik

dikenal

bermacam-macam

sistem

pemilu

dengan

berbagai

variannya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
Pertama, Single-member Constituency (satu daerah pemilihan, voters
hanya memilih satu wakil). Biasanya sering disebut dengan sistem distrik.
Kedua, Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan, voters dapat
memilih

beberapa

wakil).

Biasanya

dinamakan

sistem

perwakilan

berimbang atau sistem proporsional. Namun, di samping itu ada beberapa


varian seperti Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), sistem dua putaran
atau Two-Round System (TRS), Sistem Paralel, Limited Vote (LV), Single
Non-Transferable Vote (SNTV), Mixed Member Proportional (MMP), dan
Single Transferable Vote (STV). Tiga yang pertama lebih dekat dengan
sistem

distrik,

sedangkan

yang

lain

lebih

dekat

dengan

sistem

proporsional atau semi proporsional.


Dalam konteks konversi representasi politik (Pamungkas, 2010: 29),
ada keyakinan bahwa sistem pemilu proporsional adalah sistem yang
lebih dekat untuk merealisasikan konsep representasi yang mencerminkan
miniatur dari populasi yang bernama masyarakat. Sementara, sistem
pemilu distrik diyakini bahwa yang penting dari representasi adalah
bagaimana ia dapat bertindak mewakili para pihak yang memilihnya.
Sedangkan carut-marut komposisi sosiologis yang plural tidak menjadi
2

persoalan yang perlu diributkan. Realitasnya, dari dua sistem pemilu


tersebut menurut Farrel (dalam Pamungkas, 2010: 29) tidak dapat
disimpulkan mana yang lebih baik sistem proporsional atau distrik. Karena
menurutnya, setiap sistem pemilu melekat efek distorsi natural (natural
distorting effect). Salah satu wujudnya menurut para ilmuwan politik
adalah disproporsionalitas. Disproporsionalitas berarti

penyimpangan

antara pembagian kursi partai dengan perolehan suara yang mereka


dapat. Bila dibalik, maka proporsionalitas yang sempurna adalah ketika
setiap partai menerima kursi yang sama sesuai dengan jumlah suara yang
mereka dapatkan.
Pada sistem pemilu proporsional, tingkat disproporsionalitasnya
lebih rendah dibandingkan sistem pemilu distrik. Rendahnya tingkat
tersebut berkaitan dengan perbedaan prinsip pengalokasian kursi antara
kedua sistem tersebut. Pada sistem proporsional, pengalokasian kursi
partai secara teoritik berbanding lurus dengan perolehan kursi dalam
pemilu. Sementara itu, pada sistem distrik, pengalokasian kursi pada
dasarnya memakai prinsip the winner take all. Pada prinsip ini, partai
atau

kandidat

yang

memeroleh

suara

terbanyak,

meskipun

tidak

mayoritas mutlak, langsung dinyatakan sebagai pemenang. Dengan kata


lain, perolehan kursi yang besar dari sebuah partai dengan sistem distrik
tidak menjamin perolehan kursi di parlemen.
Meskipun demikian, dalam variasi dari sistem proporsional juga
terdapat tingkat disproporsionalitas tertentu. Pada negara-negara yang
sama-sama

menerapkan

sistem

proporsional

juga

memiliki

tingkat

diproporsionlatas yang berbeda. Hal ini terkait dengan cara pendistrikan


dan

pengalokasian

perolehan

kursi

partai.

Dalam

banyak

kasus,

disproporsionalitas suara muncul sebagai rakayasa politik daripada


sebuah kebetulan murni. Biasanya dilakukan oleh partai atau orang yang
sedang berkuasa atau orang yang ingin berkuasa dengan memanfaatkan
hal ini (Pamungkas, 2010: 32).

Anda mungkin juga menyukai