Anda di halaman 1dari 5

Pengertian istilah scaffoldingberasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka

sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi) yang memudahkan
pekerja membangun gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami agar kebermaknaan pembelajaran
dapat tercapai. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffoldingberupa bimbingan yang diberikan
oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan
terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Scaffolding diartikan ke dalam bahasa Indonesia perancah,
yaitu bambu (balok dsb) yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan rumah, membuat
tembok, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735).
Penjelasan tersebut di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip konstruktivis sosial dengan
pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
1.

Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri.

2.

Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya.

3.

Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.

4.

Peserta didik aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep

ilmiah.
5. Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi
belajar lancar.
6. Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik.
7. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
8.

Mencari dan menilai pendapat peserta didik.

9.

Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.

Scaffolding is the assistance (parameters, rules or suggestions) a teacher gives a student in a


learning situation.
Scaffolding adalah bantuan (parameter, aturan atau saran) pembelajar memberikan peserta didik
dalam situasi belajar.
Scaffolding allows the student to have help with only the skills that are new or beyond her ability.
Scaffolding memungkinkan peserta didik untuk mendapat bantuan melalui keterampilan baru atau
di luar kemampuannya.
Teori Scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang psikolog
kognitif . Dia menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalamakuisisi bahasa. Anakanak pertama kali mulai belajar berbicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah anak-anak
telah memiliki struktur untuk belajar barbahasa.Scaffolding merupakan interaksi antara orang-orang
dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk melaksanakan sesuatu di luar usaha
mandiri-nya. Cazden (1983; 6) mendefinisikan scaffolding sebagai kerangka kerja sementara untuk
aktivitas dalam penyelesaian. Konstruksi scaffolding terjadi pada peserta didik yang tidak dapat
mengartikulasikan atau menjelajahi belajar secara mandiri. Scaffolding dipersiapkan oleh pembelajar untuk
tidak mengubah sifat atau tingkat kesulitan dari tugas, melainkan denganscaffolding yang disediakan
memungkinkan peserta didik untuk berhasil menyelesaikan tugas.
Istilah ini digunakan pertama kali oleh Wood, dkk tahun 1976, dengan pengertian dukungan pembelajar
kepada peserta didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat diselesaikannya

sendiri. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone of Proximal Development) dari
Vyotsky. Peserta didik yang banyak tergantung pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan
pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari
dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-nya. Menurut Vygotsky, peserta didik
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi ketika mendapat bimbingan (scaffolding)
dari seorang yang lebih ahli atau melalui teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi (Stone,
1998). Demikian juga Piaget berpendapat bahwa peserta didik akan mendapat pencerahan ide-ide baru
dari seseorang yang memiliki pengetahuan atau memiliki keahlian (Piaget, 1928).
Lange (2002) menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam scaffoldingpembelajaran: (1)
pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing peserta didik dalam memahami materi baru,
dan (2) pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada peserta didik di setiap langkah dari
proses pembelajaran. Scaffoldingterdiri dari beberapa aspek khusus yang dapat membantu peserta didik
dalam internalisasi penguasaan pengetahuan. Berikut aspek-aspek scaffolding:

Intensionalitas: Kegiatan ini mempunyai tujuan yang jelas terhadap aktivitas pembelajaran

berupa bantuan yang selalu didiberikan kepada setiap peserta didik yang membutuhkan.
Kesesuaian: Peserta didik yang tidak bisa menyelesaikan sendiri permasalahan yang

dihadapinya, maka pembelajar memberikan bantuan penyelesaiannya.


Struktur: Modeling dan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar sebuah model pendekatan

yang sesuai dengan tugas dan mengarah pada urutan alam pemikiran dan bahasa.
Kolaborasi: Pembelajar menciptakan kerjasama dengan peserta didik dan menghargai karya

yang telah dicapai oleh peserta didik. Peran pembelajar adalah kolaborator bukan sebagai evaluator.
Internalisasi: Eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap ditarik sebagai pola yang
diinternalisasi oleh peserta didik (hal. 6).
Larkin (2002) menyatakan scaffolding salah satu prinsip pembelajaran yang efektif yang memungkinkan
para pembelajar untuk mengakomodasikan kebutuhan peserta didik masing-masing. Istilah ini juga
diperkenalkan oleh Reichgerlt, Shadbolt, Paskiewica, & Wood (1993) seperti dikutip oleh Zhao dan Orey
(1999).
Dukungan terhadap peserta didik dalam menyelesaikan proses belajar dapat berupa keaktifan peserta
didik dalam proses pembelajaran, strategi pembelajaran, keragaman model pembelajaran, bimbingan
pengalaman dari pembelajar, fasilitas belajar, dan iklim belajar peserta didik dari orang tua di rumah dan
pembelajar di sekolah. Dukungan belajar yang dimaksud di sini adalah dukungan yang bersifat konkrit dan
abstrak sehingga tercipta kebermaknaan proses belajar peserta didik.
Pembelajar tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang
cukup sesuai dengan yang mereka perlukan untuk memberi dukungan belajar kepada peserta didik, di
mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para pembelajar diharapkan bertindak atas dasar
berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan
pertimbangan-pertimbangan kritis. Para pembelajar diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan
yang luas dan pemahaman yang mendalam. Scaffolding selalu digunakan untuk mendukung pembelajaran
berbasis masalah (PBL) (Hoffman and Ritchie, 1997).
Di samping penguasaan materi, pembelajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi
pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
belajar dari topik-topik yang beragam. Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami oleh para
pembelajar, maka upaya mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang
menantang. Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang meyakinkan bahwa peranan
pembelajar tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan pandangan konstruktivistik.
Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagai transmiter pembelajaran.

Pembelajar sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan
pembimbing (mentor).
Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan pembelajar dalam pembelajaran adalah
sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, pembelajar
diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran sehingga dapat memberikan
bantuan kepada peserta didik, menyediakan waktu yang cukup untuk peserta didik, menyediakan masalah
dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika peserta didik
sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor peserta
didik.
Sebagai manager, pembelajar berkewajiban memonitor hasil belajar para peserta didik dan masalahmasalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor
ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, pembelajar berperan
sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk
mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan peserta didik.
Sebagai mediator, pembelajar memandu mengetengahi antar peserta didik, membantu para peserta didik
memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visualdari suatu masalah, memandu para
peserta didik mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi
baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para peserta
didik, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada peserta didik ikut berpikir kritis.
Terkait dengan desain pembelajaran, peran pembelajar adalah menciptakan dan
memahami sintaks pembelajaran. Penciptaan sintaks pembelajaran yang berlandaskan pemahaman akan
mempermudah implementasi pembelajaran oleh pembelajar lain atau oleh peserta didik itu
sendiri. Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang dijabarkan berdasarkan teori
desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik acap kali
mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadi penting untuk
menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel, dan dinamis.
Gage dan Berliner, mengemukakan peran pembelajar dalam proses pembelajaran peserta didik, yang
mencakup :
1.

Pembelajar sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di
dalam proses pembelajaran (pre-teaching problems);

2.

Pembelajar sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin,
merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan rencana, di
mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana
dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching
problems);

3.

Pembelajar sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan
akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses
pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya
maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan pembelajar di sekolah, keluarga dan
masyarakat. Di sekolah, pembelajar berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran,
penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik.
Sedangkan dalam keluarga, pembelajar berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator).
Sementara itu di masyarakat, pembelajar berperan sebagai pembina masyarakat (social developer),
penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).

The concept of scaffolding has its origins in the work of the psychologist
Vygotsky as well as in studies of early language learning. Bruner (1978) believed
that for learning to take place, appropriate social interactional frameworks must
be provided. In the case of the young child learning language, the instructional
component consists of the caregiver (normally the mother) providing a
framework to allow the child to learn. To do this, the caregiver should always be
one step ahead of the child (Vygotsky's zone of proximal development), and by
using contexts that are extremely familiar and routinized the caregiver can
facilitate the child's learning. These highly predictable routines, such as reading
books together or conversations at bath time or meals, offer the caregiver and
child a structure within which the caregiver can continually raise her
expectations of the child's performance. For Bruner, this meant specifically the
child's linguistic performance, because, he argued, it is within these formats that
children learn how to use language.
Cazden (1983) adopted Bruner's use of the term scaffolding, but distinguished
between vertical and sequential scaffolding. Vertical scaffolding involves the
adult extending the child's language by asking further questions. So in response
to the child's utterance 'cow', she might say 'Yes, that's a cow. What does the
cow say?', or she might ask for an elaboration 'And what did we see when we
went to the farm today?' Whereas sequential scaffolding is the scaffolding found
in the games played with children at meals, bath times, and so on. Applebee and
Langer (1983) used the notion of instructional scaffolding as a way to describe
essential aspects of formal instruction. In their view, learning is a process of
gradual internalization of routines and procedures available to the learner from
the social and cultural context in which the learning takes place. In instructional
scaffolding the language learner is assisted in a new task by a more skilled
language user who models the language task to be used verbally and/or in
writing. As well as through modelling, scaffolding is provided by leading or
probing questions to extend or elaborate the knowledge the learner already
possesses. Rather than evaluating the learner's answers, the teacher is
supporting, encouraging, and providing additional props. As the learner's
competence grows, so the scaffolding is gradually reduced until the learner is
able to function autonomously in that task and generalize to similar
circumstances.
There are five criteria for effective scaffolding (Applebee 1986):
1. Student ownership of the learning event. The instructional task must allow
students to make their own contribution to the activity as it evolves.
2. Appropriateness of the instructional task. This means that the tasks should
build upon the knowledge and skills the student already possesses, but should be
difficult enough to allow new learning to occur.
3. A structured learning environment. This will provide a natural sequence of
thought and language, thus presenting the student with useful strategies and
approaches to the task.

4. Shared responsibility. Tasks are solved jointly in the course of instructional


interaction, so the role of the teacher is more collaborative than evaluative.
5. Transfer of control. As students internalize new procedures and routines, they
should take a greater responsibility for controlling the progress of the task such
that the amount of interaction may actually increase as the student becomes
more competent. For Applebee, one of the most appealing features of these
principles is that they provide a new way to think about familiar teaching
routines, rather than a wholesale abandonment of the past.
Other views on scaffolding, such as Long and Sato (1984) see conversational
scaffolding, in particular, as the crucible of language acquisition. Hatch (1978)
has also argued that language learning evolves out of learning how to carry out
conversation and that syntactic constructions develop out of conversation.
Rather than assuming that the learner first learns a form and then uses that form
in discourse, Hatch assumes that the learner first learns how to do conversation,
how to interact verbally, and out of this interaction syntactic forms develop.
Specifically in building a conversation with a partner (vertical construction), the
learner establishes the prototypes for later syntactic development (horizontal
construction). However, Sato (1986) makes the point that even if the
collaborative discourse of scaffolding is credited with making a positive
contribution to syntactic structures, what is difficult to determine is the role
played in the acquisition of morphological features (such as the regular past
tense). It is possible that collaborative discourse plays a significant part in early
acquisition, but it is doubtful whether all interlanguage rules can emerge in this
way.

Anda mungkin juga menyukai