DAS CITANDUY
- UNDP
DAS CITANDUY
PENULIS:
tilik
Budi Prasetyo
Cetakan Pertama
Desember 2004
Diterbitkan oleh:
Pusat Studi Pemhangunan - Institut Pertanian Bogor
Bekerjasama dengan
Partnership For Governance Reform in Indonesia - UNDP
Bogor,20M
KATA PENGANTAR
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas
komponen-komponen biofisik dan sosial (lttman systews) yang hendaknya
dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Namun
secara administratif pemerintahan, wilayah DAS habis terbagi dalam satuan
wilayah administrasi pembangunan kabupaten dan kota yang sangat terkotakkotak. Kondisi ini menyebabkan penanganan DAS menjadi tersekat-sekat dan
sangat tidak
menyelamatkan kondisi DAS dari kerusakan lingkungan yang semakin hari justru
semakin bertambah sulit diatasi. Kenyataan ini juga seringkali memicu dan
mempertajam konJlik sosial diantara stakeholders yang ada di dalamnya. Terlebih
setelah UU No. 22 Tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah
diberlakukan, jarak kepentingan antara satu daerah dengan lain daerah
administratif semakin terasa sementara derajat tekanan terhadap sumberdaya
DAS yang terdapat di wilayahnya semakin kuat. Akibatnya pengelolaan terhadap
DAS juga semakin terpecah-pecah dan dilakukan sangat segmented menurut
kepentingan masing masing pemangku otoritas wilayah administratif yangdilalui
DAS tersebut. Akibat kelemahan integritas (kesatuan) penanganan DAS di setiap
wilayah administrasi menyebabkan penanganan kerusakan sumberdaya alam
memasuki wilayah politik-administrasi organisasional yang sulit penanganannya.
DAS Citanduy merupakan salah satu dari 22 DAS yang tergolong kritis dan
menghadapi masalah krisis-ekologi (erosi dan sedimentasi serta bahaya banjir)
yang serius di Indonesia. Berkenaan dengan itu, Pusat Studi Pembangunan,
Institut Pertanian Bogor didukung oleh Partnership for Governance Reform in
Indonesia - UNDP melakukan studi - aksi "Decentralisasi Pengelolaan dan
Sistem Tata-pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources
Management and Goaernance System| Daerah Aliran Sungai Citanduy" dengan
mengedepankan konsep Emtironmental Governance Partnership System - EGPS
atau Sistem Tata-pemerintahan Lingkungan Bermitra (STLB). Kegiatan ini
(p ar
Working Paper Series No. 02 yang berjudul Deforestasi dan Degradasi Lahan
DAS Citanduy, mencoba untuk meLihat tekanan penduduk pada levei kecamatan
terhadap sumberdaya hutan, kemudian melihat jumlah lahan kritis yang
dihasilkan dari perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Studi diawali
dengan membangun database dan mengevaluasi penutupan dan penggunaan
lahan, membangun metodologi evaluasi lahan kritis, kemudian hasilnya
Disadari bahwa masih banyak ha1 yang perlu dikaji lebih jauh sehingga
permasalah yang terjadi pada DAS Citanduy dapat dilihat secara menyeluruh.
Namun secara minimal working papff ini mampu memberi tambahan wawasan
kepada pembaca terutama tentang deforestasi dan degradasi lahan di DAS
Citanduy. Untuk itu, kitik dan saran sangat kami harapkan.
Hormat kami,
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar
t1
iv
Isi
Daftar
Daftar
Daftar
Daftar
Tabel
Gambar
Lampiran
PENDAHULUAN
II.
METODOLOGI
III.
vi
vi
4
4
5
6
3.2.
Iv.
11
14
20
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
24
25
DAFTAR TABEL
Teks
Nomor
1_.
Halaman
Lahan
(Larcdform)
2.
J.
4.
5.
11
6.
L4
7.
15
8.
17
9.
17
10.
18
71.
18
12.
di Kabupaten
Ciamis
13.
19
2A
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1. DAS Citanduy
Teks
Halaman
J^
2.
3.
10
4..
10
5.
13
6.
Penutupan Lahan
(L an d- coo er)
13
7.
Penutupan Lahan
(L an d-coo
8.
Penutupan Lahan
(L an d- coo er)
9.
16
10.
16
11..
14
Kabupaten Ciamis
15
21.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomar
1. Rekapitulasi
Teks
Penutupan Lahan Per Kecamatan di Kabupaten
Cilacap, Ciamis dan Tasikmalaya
Halaman
26
BAB I
PENDAIIULUAN
lahan kritis. Lahan terdegradasi (lahan kritis), merupakan hasil dari interaksi
kondisi biologis, iklim, fisik sumberdaya lahan dan manusia sebagai
pengelolanya. Lahan di suatu kawasan akan menjadi kritis apabila dipergunakan
melampui kemampuan ekologisnya, yang disebabkan oleh alokasi penggunaan
lahan yang tidak tepat, efektifitas kontrol pengelolaan sumberdaya alam yang
lemah, intensitas pengelolaan ataupun tekanan penduduk yang sangat tinggi.
Arifin (2002) menambahkan bahwa selain faktor intesitas penggunaan lahan dan
tekanan penduduk faktor pendapatan per kapita dan tingkat keterjaminan
kepemilikan iahan juga berpengaruh pada tingkat degradasi lahan.
Paper ini mencoba untuk melihat tekanan penduduk pada level kecamatan
kepada sumberdaya hutan, kemudian melihat luas lahan kritis yang dihasilkan
dari perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Studl diawali dengan
membangun pangkalan data dan mengevaluasi penutupan dan penggunaan
lahary membangun metodologi evaluasi lahan kritis, kemudian hasilnya
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat degradasi lahan pada tiap kabupaten.
Penilaian lahan kritis di suatu wilayah didasarkan kepada beberapa faktor,
diantaranya adalah penutupan lahan, kemiringan lereng, curah hujan, dan jenis
tanah. Faktor tersebut dibobot dan diberi nilai unruk tiap ke1as, sesuai dengan
kontribusinya dalam proses erosi lahan. Skor kekritisan merupakan perkalian
antara bobot dan nilai per kelas, dan dijumlah, kemudian dibagi menjadi kelas
kekritisannyA berdasarkan nilai maksimum dan minimum penjumlahan.
Persamaan penghitungan Skor disajikan pada rumus di bawah (Prasetyo dan
Setiawary 2001).
SKOR = tzO x faktor kls lereng) + (15 x faktor k1s penutupan lahan) +
(10 x faktor kls tanah; + (10 x faktor kls curah hujan)
Metode
lahan
Menurut kriteria ini, faktor iklim dan kemiringan lereng tidak diperhitungkaru
sehingga dinilai perkiraan lahan kritis metode ini cenderung lebih tinggi dari
yang sebenarnya (oaer estimate). Data hasil dari analisis Badan Planologi,
Departemen Kehutanan dicetak pada skala 1 : 250.000 yang tidak mencukupi
apabila digunakan untuk panduan di lapangan. Berdasarkan hal diatas maka
untuk keperluan evaluasi secara cepat perlu dibangun metodologi yang
sederhana dengan meman{aatkan publikasi peta dan data satelit yang ada,
dengan bantuan teknologi Sistem Informasi Geografi.
BAB
II
METODOLOGI
di
Kabupaten Tasikmalaya,
Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Cilacap, sebagian kecil di Kabupaten
Majalengka dan Kabupaten Kuningan. DAS Citandup dapat dirinci lebih detail
ini
merupakan bagian dari kegiatan Studi-Aksi Sistem TataPemerintahan Lingkungan Bermitra (STLB) f Enrsironmental GaCIernance Partnership
System (EGPS) yang dilaksanakan selama satu tahun (April 20C4 - Maret 2005).
Working Paper Series 02 sendiri merupakan hasil dari sttrdi (researcl) yang
Penelitian
2.3.
a.
Data penutupan lahan dibangun berdasarkan data citra satelit Landsat tahun
penyiaman 2003. Proses pengolahan data citra dimulai dengan melakukan
koreksi geografi. Geokoreksi pada dasarnya adalah memproyeksikan data satelit
kepada sebuah bidang data Q dimensi). Sistem koordinat dan proyeksi yang
dipakai adalah Geografi dengan menggunakan datum WGS 84. Tingkat
kesalahan (errol yang dipertahankan dalam proses g eokoreksi adalah lebih kecil
dari ukuran 1 pixel (30 m x 30 m)
Setelah proses geokoreksi data satelit dipergunakan untuk pengecekan penutupan
b.
Peta
Peta dijital curah hu;'an dibangun berdasarkan peta curah hujan/ data analog
curah hujan, melalui proses scaning Data dijital curah hujan kemudian di
geokoreksi berdasarkan peta dasar. Proses selanjutnya adalah merubah data
raster menjadi data vektor melalui proses on screen digitasi, berdasarkan kelaskelas curah hujan. Data vector curah hujan kemudian dirubah menjadi data raster
dengan menggunakan perangkat lunak Arcrtiew. Data data raster curah hujan,
yang dibedakan menjadi 6 kelas curah hujan Oabel3)
c.
Peta
diiital landform
Peta dijital landform dibangun berdasarkan pada peta topografi dan data citra
landsat. Prosesnya dilakukan dengan cara oaerlay antara topografi dan landsat,
kemudian diinterpretasi secara visual menjadi bentuk lahan (landform). Landform
dibedakan menjadi 4 landform yaitu sangat datar hingga datar, bergelombang,
curam/ dan sangat curam. Peta landform kemudian dipotong (clip) sesuai batas
DAS.
2.3.2.Pembobotan
Formula yang akan diterapkan dalam evaluasi lahan dalam studi ini adalah
menggunakan metoda yang digunakan Departemen Kehutanan dalam
menetapkan kawasan lindung (Sk Mentan no. 837/KptslII/1980 tentang kriteria
dan
2.3.3.
a.
Bentuk lahan dibedakan menjadi 4 yaitu dat4 bergelombang, curam dan sangat
curam. Rincian pembagian bentuk lahan dan nilai peringkat untuk masingmasing kelas disajikan pada Tabel1.
Tabel1. Pembagian Kelas dan Nilai Peringkat untuk Bentuk Lahan (Landform\
No.
Rincian Kelas
Nilai Peringkat
Keterangan
1.
Datar
2.
Bergelombanq
,.
Curam
Elevasi antara9OO
4.
Sanqat curam
b.
900
1200 m
2
3
4
Penutupan lahan
kepada besarnya nilai faktor tanaman (C) dan nilai pengelolaan lahan (P) pada
persamaan Uniz;ersal Soil Loss Equation (USLE). Besaran CP mengacu kepada
penelitian yang dilakukan di beberapa DAS di Indonesia (Asdak, 2002)- Nilai
peringkat untuk tiap kelas disajikan pada Tabel 2. Nilai ini ditentukan
berdasarkan perbandingan relatife nilai C dan P masing-masing kelas penutupan
dan penggunaan lahan.
Daerah terbangun
3.
Air
4.
5.
0.01
6.
Hutan mangrove
0.01
7.
Hutan tanaman
0.01
8.
Kebun campuran
0.02
9.
Sawah
0.02
10.
Belukar
0.1
i0
11.
0.1
10
12.
Rumput/alang
Upland
0.363
35
13.
Bareland
0.95
95
1.4.
Tanah timbul
0.95
95
rumus USLE
c.
Curah hujan
Curah hujan tahunan dirinci menjadi 6 kelas. Rincian dan nilai masing peringkat
disaiikan pada Tabel3.
Rincian Kelas
Nilai Peringkat
1000 - 1500
1500 - 2000
2000 -2500
2s00 - 3000
3000 - 3500
3500 - 4000
Proses pengambilan data dan analisis data secara lengkap ditampilkan dalam
diagram alir pengolahan dan analisis pada Gambar 2.
DATA
TOPOGRA
Y or"rro'o\
/*torro*ori\
vlr/ripr A _/
TERBIMBING
It--;;;-=
"Y"'* 'l
@,
,-*.**roil\ /-;"";\
sLoPE) (
'
PErA
PENUTUPAN
LAHAN
sll:
IIm
\::-/
I,4,NDF
RECI}ISS
DIGITASI
PETA
^trr'it
cue.Avnq^N
,/
+
KELAS BERDASAR
FAKTORTANAMAN
DAN PENCELOLAAN/
EVALUASI
KECAMATAN
d.
Kelebihan dari Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah mampu mengolah secara
bersamaan informasi spasial dengan cepat dan tepat, walaupun input peta analog
BAB
III
Bentuk Lahan
(L
andform)
Daerah dengan bentuk lahan datar diperkirakan sebesar 69,5 % dari luas DAt
sedangkan bergelombang, curam dan sangat curam berturut-turut sebesar 19%,
1A,4% danl% (Tabel ).
abel 4. Reka
Bentuk lahan
Datar
Luas (Ha)
o/
/o
33381.4,14
69,5
Bergelombang
91351,62
L9,0
Curam
54146,1.1.
10,4
4882,68
1,0
48019+s5
100,0
Sangat curam
Sumber : Data primer (diolah), Tahun20(X
lffielo'&t
106:?0rE
loa::ooE
loaiot
to8cwot
3.1.5.Penutupan Lahan
Penutupan lahan dan penggunaan lahan didominasi oleh hutan tanaman dan
kebun campuran, masing-masing 15,5 % dan26,87 %. Rincian detail untuk setiap
kelas disajikan pada Tabel5. Sementara itu, distribusi penutupan lahan disajikan
pada Gambar 5. Informasi penutupan dan penggunaan lahan dapat memberikan
kayu. Strategi ini dipilih petani mungkin karena lebih aman karena diversifikasi
hasil panen. Faktor lain yang menyebabkan antara lain tingginya permintaan
akan kayu sengon. Selain dari itu faktor tidak langsung yang mungkin
mempengaruhi adalah tingginya harga input produksi untuk tanaman padi dan
palawija.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Penszunaan Lahan
Hutan alam
Hutan mangrove
Hutan tanaman
Kebun campuran
Belukar
Rumput/alane
Upland
Bareland
Sawah
10. Tambak
11. Tanah timbul
12. Daerah terbangun
13. Air
1,4. Tidak ada data
Total
Sumber : Data primer (diolah), Tahun 2004
Luas (Ha)
Tahun 2003
o/
/o
45.414,72
9,58
7.828,83
73.580,58
15,51
127.459,91
26,87
27.417,15
5,78
11.085,66
2,34
1.8685,8
27.629,19
3,94
5.83
u.136,45
9,31
534,57
0,77
372,06
34.136,73
21.790,62
0,08
34.194,87
474.265,98
/,21
1.,65
7,20
4,59
Kabupaten Cilacap
Kabupaten Cilacap sebagian besar terletak di hilir DAS, datar dan sudah
dilengkapi dengan infrastruktur irigasi teknis yang baik, sehingga agroekosistem
yang berkembang adalah pertanian sawah (22.723 Ha). Dibagian utara kawasan
kabupaten yang relatif bergelombang masih terdapat, hutan tanaman (M.914Ha)
dan kebun campuran {39.664Ha).
Dari studi terdahulu (Anonimous,2A04) teridentifikasi bahwa hutan tanaman di
daerah ini telah banyak yang berubah fungsi menjadi pertanian lahan kering dan
semak belukar. Hutan alam dan hutan mangrove masih dapat dijumpai di Pulau
Nusakambangan dan Perairan Segara Anakan. Hutan dataran rendah dan hutan
mangrove di kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan cagar
alam. Daerah urban terutama berkembang di Kabupaten Cilacap terutama
Kecamatan Majenang. (Rincian detail per-Kecamatan disajikan pada Tabel
Lampiran 1).
Kabupaten Tasikmalaya
Kabupaten Tasikmalaya didominasi oleh kebun campuran (18.440 Ha), Hutan
Tanaman (6.453 Ha), dan persawahan (6.135 Ha). Proses urbanisasi di
Tasikmalaya sangat tampak dengan luas daerah terbangun yang menc apai 7.811
ha (Gambar n. Perluasan perkotaan ini dilakukan dengan mengkonversi lahan
persawahan dan ladang di sekitar daerah urban Tasikmalaya (Anonimous, 2004).
Rincian detail penutupan lahan per -kecamatan disajikan pada LamptranZ.
Kabupaten Ciamis
Kabupaten Ciamis didominasi oleh kebun campuran (64.086 Ha), disusul oleh
hutan tanaman (31.102 Ha), sawah 80.312 Ha) dan hutan al"am (1.6.426 Ha).
Kebun campuran dan hutan alam terutama terdistribusi di sekitar Gunung Sawal.
Pertanian lahan basah lebih menonjol dibandingkan dengan pertanian lahan
kering semusim (Uplanfi. Lahan tidak produktif berupa semak belukar, rumput
I
EX
ffiK
Hutan alam
Hutan
Hutan tanaman
Kebun eampuran
effiE
ffi
'
..
,'
Belukar
Rurnput/alang
lJpland
ff
Bareland
ffiffi
Sawah
Tambak
=irr+iL;
ffi
il
Tanah timbul
Daerahterbangun
Air
Tidak ada dara
---'-..._
0zil
Kilometers
Air
Daerah terbangun
Tanah timbul
Tambak
Sawah
Bareland
Land
Upland
Cover
RumpuValang
Belukar
Kebun campuran
Hutan tanaman
Hutan mangrove
Hutan alam
35000.00
Luas (Ha)
Daerah terbangun
Sawah
Lahan Terbuka
Lahan Kering
Land
Cover
Rumpuualang
Belukar
Kebun campuran
Hutan tanaman
Hutan alam
14000
Luas (Ha)
3.1.6.
Sebagian besar wilayah DAS menerima curah hujan tahunan berkisar antara 1000
2000
beI
abel6.
l(ekaoitulasi Curah Huian'l.ahunan di DAS Citand
Kelas Curah Huian
i000 - 1500
Luas (Ha)
182.735.97
1500 - 2000
2000 - 2500
2500 - 3000
3000 - 3500
3500 - 4000
Sumber : Data primer (diolah), Tahun 2004
221.723,91
%
38,41
46,76
54.959,49
11,59
12.488,76
2,63
1.774,M
437
1.L02,14
0,23
Air
Daerah terbangun
Tanah timbul
Tambak
Sawah
Lahan Kosong
Land
cover
Upland
Rumput/alang
Belukar
Kebun campuran
Hutan tanaman
Hutan mangrove
Hutan alam
kritis
Distribusi nilai hasil skoring tidak terdistribusi secara normal. Nilai tengah data
sebesar 40, sedangkan Standard Deviasi sebesar L90. Data dipilah menjadi tiga
kelas kekritisan lahan, yaitu tidak kritis, kritis ringan dan kritis. Selang nilai kelas
dan luas arealnya disajikan pada Tabel 7. Distribusi lahan kritis sebagian besar
berada di DAS bagian tengah dan hilir, sedangkan lahan kritis ringan sebagian
besar di bagian hulu terutama di lereng Gunung Galunggung Gunung Sawal dan
Gunung Cakrabuana (Gambar 7 ).
Tabel
a
T. Reka
u lasi Lahan
Kritis
Selang nilai
No.
- 40 (nilai teneah)
1.
2.
4A
a
J.
> 230
4.
Danau)
Total
Sumber : Data primer (diolah), Tahun 2004
Kelas Kritis
Tidak Kritis
Kritis Rinsan
Kritis
Air Pemukaan
Luas (Ha)
o/
/o
362897.01
76.61
42759.00
9.03
46641.33
9.85
21386.70
4.51
4736U.04
10@- Imo
15S20&,
2000
2500
25m, 3mO
30&,
3500
s
Scal
ffi6ldMd4as
10
o
,0
){
yang paling besar, mencapai 75,53 %, disusul oleh Sub DAS Cikawung (11,46%)
dan Sub DAS Ciseel (11,U%) (Tabel8.)
o/
/o
Luas (Ha)
o/
/o
Luas (Ha)
Kritis
o/
/o
Luas (Ha)
Citanduy Hulu
57.994,83
79,57
8.851,50
12,1.4
3.974,70
5,37
Ciiolane
45.797,46
82,54
4.025,07
7,35
3.876,72
7,09
Cimuntur
Cikawung
51.804,00
84,16
6.183,W
10,05
1.988,10
crZC
53.337,51
76,21
6.033,42
8,62
8.018,82
11,46
Ciseel
78.4W,03
78,39
7.584,U
7,62
10.989,00
17,04
Sesara Anak
76.536,78
66,60
10.079,91
8,77
17.857,68
15,53
Kritis Ringan
Kritis
(Ha)
(Ha)
(Ha)
Kecamatan
Total lahan
Kritis (Ha)
Ciamis
162.444,24
17.01,0,19
1,4.704,02
31.714,24
Cilacap
138.864,51
16.362,09
26.084,52
42.M6,61
7.939,79
4.288,59
12.726,78
Tasik
49.435,47
Kabupaten Cilacap
Jumlah lahan kritis dan kritis ringan di Kabupaten Cilacap sangat tinggr. Jumlah
dari dua tipe lahan kritis di beberapa Kecamatan mencapai lebih tinggi dari 30%.
Kecamatan yang paling kritis adalah Kecamatan Jeruk Legi, yang mencapai
48,56%, disusul oleh Kecamatan Kesugihan (42,46%). Di kedua Kecamatan ini
banyak lahan terbuka, belukar dan iahan-lahan kering (tabel Lampiran 1).
Kecamatan Cilacap Selatan mempunyai jumlah lahan kritis yang paling rendatr,
hal ini dapat difahami karena masih banyak kawasan Kecamatan Cilacap Selatan
berupa hutan lindung yang terisolasi di Pulau Nusakambangan (Tabel10).
Tidak Kritis
Kritis Rinsan
Kritis
80,18
5?5
4,35
9,60
Maienans
81.,86
78,82
6,19
10,98
9,61
KedunsIeia
Daveh Luhur
3,42
L,14
1.2,1.2
85,73
6,34
6,86
1.3,20
Kecamatan
Sidareia
Wanareia
Cilacap Utara
Tidak Kritis
Cipari
Patimuan
Gandrungmanzu
Cilacapensah
Cimanesu
Kawunsnsanten
Karangpucung
Kasusihan
Ierukleci
Kritis Rinsan
Kritis
8O15
4,72
80,49
66,71
6,43
4,38
74,61
9,U
58,51
0,60
70,55
11.,37
14,61
25,39
15,10
60,54
4,49
22,31
26,90
68,27
63,69
64,43
57,28
74,21
1.6,03
34,24
70,69
77,59
20,85
19,82
17,29
50,78
21,W
27,47
9,73
9,25
1.3,07
2L,61.
14,45
15,28
17,45
23,95
25,99
26,47
30,51
34,88
42,46
48,56
Kabupaten Tasikmalaya
Jumlah lahan kritis dan Kritis ringan tertinggi sebesar 3A,53 %, di Kec. Cisayong,
yang berupa rumput, semak belukar dan iahan terbuka. Lahan kritis terendah di
Kecamatan Cipedes (3,64%), karena kecamatan ini merupakan daerah perkotaan
dengan daerah terbangun yang luas (Tabel 11).
Tabel
11. Rekanitulasi
a
I
Kekri tisan Lahan diI Kabu
Kecamatan
Tidak Kritis
Kritis Rinsan
Cipedes
87.99
0,58
Cihideung
92,11
1,79
Tawang
90,63
1,34
Kawalu
4,17
81,,29
n Tasikmal
I aslKmauaYa
Kritis
Total Lahan Kritis
3,06
3,&
4,13
L34
Jrcc
n 4.7
lral
6,64
82,73
2,47
10,00
1,2,41
83,80
80,10
7,83
6,26
14,W
17,73
Jamanis
Paqerageung
6,88
7,75
10,85
78,43
10,02
79,08
11
aa
LL,LA
6,63
17,77
18,85
Cibeureum
Indihiang
Ciawi
Cisavons
76,96
6.18
12,73
18,91
72,66
18,32
3,70
73,44
L8,65
5,88
65,02
27,62
2,91
22,02
24,53
30,53
Raiapolah
Cineam
Manoniaya
4,67
Kabupaten Ciamis
Kecamatan Banjarsari memiliki lahan kritis ringan dan kritis, yang terbesar
mencapai 30,76 %, yang berupa rumput, semak belukar, dan lahan terbuka.
Kecamatan Ciamis memiliki lahan kritis terendah (Tabel 9), karen4 sebagian
besar lahan telah berubah menjadi lahan terbangun, yang mempunyai nilai
kekritisan rendah.
abelL2,. Rekaoitulasi Lahan Kritis dan Kritis
Kecamatan
Tidak Kritis
Kritis Rinsan
2.08
Ciamis
90.37
Purwarahardia
2.21
86.75
Sukadana
3.84
89.61.
Ciieuneiine
3.W
85.36
Padaherans
2.89
83.43
88.16
6.48
Iatinagara
85.59
4.61
Cimaragas
Baniar
4.69
87.18
Sadanyana
10.08
87.89
Cihaurbeti
87.38
8.67
Lakbok
81.81
3.59
Kalipucang
2.43
83.13
Rancah
9.87
84.59
7.98
Panumbansan
86.45
Pataruman
6.08
84.69
9.26
Cikonens
84.70
Kawali
10.39
84.73
Cisaea
82.63
9.02
Panawansan
7.93
78.08
Raiadesa
10.35
80.63
Panialu
t4.69
78.92
Tambaksari
75.56
8.79
Langensari
75.23
7.63
Pamarican
78.14
7.66
75.52
19.96
Cipaku
Pangandaran
73.64
12.96
71.77
L8.60
Cisusur
Parisi
69.48
13.22
Baniarsari
67.83
9.99
di Ka upaten Ciamis
Kritis
Total Lahan Kritis
1.81
4.68
3.69
5.72
3.89
6.89
7.53
9.49
6.96
9.85
3.96
1.0.M
6.08
1.0.69
6.12
10.81
0.95
11.03
3.1.6
11.83
8.25
11.84
9.68
12.11
2.72
4.69
12.67
7.42
1.3.L0
4.14
13.36
3.48
13.87
5.09
1.4.71.
7.15
15.08
6.30
t6.65
5.21
19.89
10.56
19.35
12.82
20.45
13.L0
24.76
1.71
27.67
25.83
12.87
8.91
15.87
2A.W
12.59
27.5r
29.W
30.76
Dari grafik hubungan dua variabel tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi
kepadatan penduduk di kecamatan, maka konversi hutan menjadi peruntukan
lain cenderung lebih cepat. Hasil analisis regresi ini sama dengan beberapa
penelitian yang dilakukan di negara tropis lain (Kaimowitz dan Angelsen" 1998;
Prasetyo, 1996, Arifin, 2002)
^tX
0i:-'
o/o
Penutupan
hutan
{D
Y=30.03 -0.0071x*3.92x2
-. s: ntR)q
s,
- nl
3t.-
{}
*r:
6.dI
rl*B
rp
?t91
*3
qt$
$-d
t$ rg.s
51S.7
1017.8
1516.9
2016.0
25r5.I
3014.2
Penggunaar.r
lahan 1991
Hutan
Hutan
Hutan
alam
mangrove
tanaman
Hutan alam
37.27
0.00
25.57
27.U
6.08
1.11
0.00
53.71
9.19
4.82
1.20
0.00
0.08
32.59
33.58
(% )
Lahan
terbuka
Sawah
Tambak
lain
0_31
2.91
2.94
0.06
L.92
0.58
6-51
1.M
10.39
J.)J
8.23
8.64
3.51
2.08
7.17
6.74
0.00
5.50
1.47
Pengguraan
Hutal
Hutan
tanaman
Kebul
camDuran
0.18
o.57
1.5.75
41..61
5.75
Belukar
Rumput
Upland
10.14
0.11
20.17
35.98
9.33
8.68
0.03
22.83
29.24
1"5.31
3.90
1.24
9.97
15.06
3.89
Bareland
8.18
0.9
t5.75
26.06
23.11
Sawah
5.85
0.98
13.40
Sumber : Data primer (diolah), Tahun 2004
1..16
5.93
7.38
0.06
9.77
2.39
4.47
8.40
0.03
5.57
9.37
2.40
5.74
3.94
0.00
2.44
2.73
18.33
9.16
15_51
0.02
19.15
9.16
6.X
4.27
14.13
5.40
0.07
10.'13
3.09
0.84
6.03
zo.J/
0.08
t6.97
Kondisi terjadinya konversi hutan juga dapat dilihat dari sisi peningkatan jumlah
penduduk. Hipotesis yang ada adalah semakin padat suatu wilayah (jumlah
perkantoran dan sarana prasara umum lain karena pada umamnya relatif berada
di dekat sumber-sumber aktivitas masyarakat. Sementara itu, daerah uplandyang
pada umumnya bergelombang dan hutan tanaman yang berada di pinggiran
merupakan areal pengganti persawahan sehingga lahan-lahan persawahan yang
hilang berganti menjadi kebun campuran disesuaikan dengan kondisi lahan. Hal
tersebut juga berarti sektor pertanian semakin bergerak ke pinggir (arah gunung).
perkebunan dan perhutani -yaflg digarap oleh para pesanggem-, lahan diolah
(digemburka) dengan harapan saat hujan turun dapat langsung ditanami.
Masyarakat
menyebabkan
sedimentasi pada DAS sebagai akibat ikut terbawanya tanah oleh aliran air hujan.
Akibat lainnya adalah tidak ada resapan air ke dalam tanah akibat tidak adanya
penahan air diatasnya.
Terkait dengan resapan air, hutan juga mempunyai fungsi sebagai konservasi air
dan tanah yang paling baik dibandingkan dengan lahan budidaya, sehingga
tekanan penduduk menurunkan fungsi konservasi air dan tanah suatu wilayah.
Hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat di daerah upland yang lahannya dari
hutan berubah menjadi lahan budidaya. Dalam Workshop "Desentralisasi
Pengelolaan dan Sistem Tata-pemerintahan Sumberdaya Alam (Decentralized
Natural Resources Management and Goaernance System) Daerah Aliran Sungai
Citanduy", beberapa elemen masyarakat mengkhawatirkan pengembangan
budidaya sayuran di wilayahnya karena menyebabkan terjadinya penebangan
BAB IV
KESIMPULAN
Metoda evaluasi spasial lahan kritis telah dibangun dan telah diterapkan di DAS
Citanduy. Berdasarkan metode tersebut Sub DAS Segara Anakan (Kawunganten),
merupakan Sub DAS dengan lahan kritis terluas, disusul Sub DAS Cikawung dan
Sub DAS Ciseel. Apabila dirinci menurut Kabupaten maka Kabupaten Cilacap
merupakan Kabupaten dengan lahan kritis teriuas, disusul oleh Kabupaten
Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya.
Di
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C.2A02. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah aliran sungai. Gadjah Mada
University Press.
Barbier, E., Joanne C.B. dan A. Markandya. 199L. The Economic of Tropical
Deforestation. Ambio 20 (2) : 55 - 58.
Hirsctu P.1987. Deforestation and Development in Thailand. Singapore Journal
of Tropical Geography 8 (2) : 129 - 1,38.
L.B.
Prasetyo,
Bogor,6-23Aprt11%6.
Prasetyo, L.B dan Yudi S. 2001. Evaluasi lahan kritis kawasan G. Salak. PPLH-IPB
& Unocal.
Repetto, T and M. Cillis. 1988. Public policies and misuse of Forest Resources,432
Press.
BIODATA PENULIS
i, ,r'l,l
,i!
,;
lti
,.
i.il
:r:
tl
'/l
tl
Penulis saat ini dipercaya sebagai Kepala Laboratorium Analisis Lingkungan dan
Universita Tokyo. Penelitian yang dilakukan saat ini banyak berkaitan dengan
permasalahan deforestasi, perubahan penggunaan lahan, fragmentasi habitat dan
peranan elemen lanskap.