Latar Belakang
Salah satu penyebab kematian paling penting pada pasien-pasien dengan
skizofrenia adalah bunuh diri.1 Telah diketahui bahwa risiko bunuh diri pada
pasien dengan skizofrenia 8 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.2
Sekitar 20 sampai 40% pasien dengan skizofrenia telah melakukan usaha bunuh
diri selama hidup mereka dan sekitar 5% diantaranya meninggal.3 Angka
percobaan bunuh diri pada pasien skizofrenia selama hidupnya lebih rendah
dibandingkan pasien dengan gangguan depresi berat,3 namun upaya yang
dilakukan umumnya lebih berbahaya, sehingga luka fisik secara signifikan lebih
sering terjadi (44% vs 16%).4 Angka percobaan bunuh diri yang berhasil pada
pasien skizofrenia terlihat bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya;
telah dilaporkan sekitar 20-30:100.000 kasus di Denmark5 dan 67:100.000 di
Cina.6
Hambatan utama dalam upaya pencegahan kasus bunuh diri pada pasien
skizofrenia adalah adanya kesulitan dalam mengevaluasi risiko perilaku bunuh
diri, hal ini dikarenakan percobaan bunuh diri pada populasi ini biasanya bersifat
mendadak dan impulsif sehingga metode penilaian tradisional berdasarkan skala
rating dan wawancara menjadi kurang bermanfaat.7
Pendekatan terkini untuk masalah bunuh diri pada pasien skizofrenia saat
ini bertumpu pada pengobatan antipsikosis, yakni dengan clozapine yang telah
terbukti efektif dalam mengendalikan perilaku bunuh diri, seperti yang telah
dibuktikan melalui uji coba oleh International Suicide Prevention Trial
(InterSePT),8 dan pada identifikasi faktor risiko dan implementasi tolak ukur
preventif pada pasien-pasien dengan risiko tinggi. Saat ini, terdapat sebuah
konsensus umum yang menyatakan bahwa kelompok usia muda (remaja dan
dewasa muda), jenis kelamin laki-laki, ras kaukasia, status belum menikah, fungsi
premorbid yang baik, depresi pasca psikosis, dan riwayat penyalahgunaan zat
dan/atau usaha bunuh diri merupakan faktor-faktor risiko perilaku bunuh diri pada
pasien dengan skizofrenia.1
Isu tentang kejadian tidak diinginkan yang berkaitan dengan sistem
endokrin akibat terapi antipsikosis baru-baru ini telah muncul. Peningkatan kadar
tanpa pengobatan. Studi ini membagi pesertanya menjadi dua kelompok kohort
yang ukurannya kurang lebih sama: i) pasien yang memulai terapi dengan atau
diubah menjadi Olz, dan ii) pasien yang memulai terapi dengan atau diubah
menjadi obat antipsikosis non-Olz. Untuk mencapai jumlah yang kurang lebih
sama antara kelompok Olz dan non-Olz, fraksi sampel yang berbeda dimasukan
ke dalam setiap kelompok. Metode ini menghasilkan sampel bertingkat, dengan
kelompok Olz sebagai strata yang over-sampled. Pada sebagian besar negara,
perekrutan dilaksanakan dalam urutan berselang-seling yang sistematik; pasien
pertama dimasukan ke dalam kelompok Olz, pasien kedua ke dalam kelompok
non-Olz, dan seterusnya. Upaya ini dilakukan untuk menghindari intervensi dari
praktik klinis. Peneliti diminta untuk menentukan metode pengobatan tanpa
bergantung pada studi dan kemudian mengevaluasi apakah pasien tersebut
memenuhi kriteria untuk diikutsertakan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan
sebelumnya dan struktur yang berselang-seling saat perekrutan; periode
perekrutan secara sengaja dibuat sangat panjang dan tidak ditentukan jumlah
minimum kasus yang diperlukan oleh peneliti.
Studi ini bersifat observasional, sehingga tidak terdapat instruksi apa pun
terkait pengobatan atau manajemen pasien. Data luaran pasien dikumpulkan 3
bulan setelah awal studi dan selanjutnya setiap 6 bulan selama 3 tahun.
Studi SOHO telah disetujui di semua negara baik lokal, regional maupun
nasional, bergantung pada peraturan negara tersebut dan daerah-daerah yang
berpartisipasi di setiap negara. Semua pasien memberikan setidaknya persetujuan
secara lisan.13
Data awal yang dikumpulkan mencakup informasi demografis dan sosial,
riwayat medis dan kejiwaan, indeks massa tubuh (body mass index [BMI]),
tingkat keparahan gejala dengan menggunakan skala dimensi Clinical Global
Impression-Schizophrenia (CGI-SCH), yakni berupa skor gejala keseluruhan,
positif, negatif, depresi, dan kognitif.16,17 Skala CGI-SCH dinilai oleh dokter
dengan rentangan mulai dari 1 (tidak sakit) sampai 7 (pasien sakit berat). Jumlah
orang yang melakukan percobaan bunuh diri dari data yang dikumpulkan
sebelumnya dicatat oleh peneliti dengan menggunakan pertanyaan seperti: berapa
kali pasien melakukan percobaan bunuh diri sejak pengumpulan data yang
yang signifikan secara statistik adalah proporsi laki-laki yang lebih tinggi (81% vs
58%).
Uji Regresi Logistik
Model uji regresi logistik untuk hasil perilaku bunuh diri (gagal atau
berhasil) selama masa follow-up menemukan sejumlah faktor risiko perilaku
bunuh diri yang signifikan (Tabel 2): riwayat bunuh diri semasa hidup pasien,
percobaan bunuh diri dalam 6 bulan terakhir, kejadian tidak diinginkan yang
berkaitan dengan prolaktin, jenis kelamin laki-laki, riwayat rawat inap karena
skizofrenia, dan skor depresi CGI. Usia dan kepatuhan terhadap pengobatan
antipsikotik bukan merupakan faktor risiko percobaan bunuh diri. Sebagian besar
kejadian tidak diinginkan yang berkaitan dengan prolaktin ditemukan pada pasien
perempuan (84% perempuan vs 36% laki-laki). Tidak ada interaksi yang
signifikan antara kejadian tidak diinginkan yang berkaitan dengan prolaktin dan
jenis kelamin dalam hal percobaan bunuh diri. Hasil ditemukan serupa ketika
pasien yang berhasil bunuh diri dieksklusi dari analisis. Analisis sensitivitas
selanjutnya dilakukan dengan memasukkan analisis pasien dengan pengobatan
yang tidak diketahui pada kunjungan awal studi dan pasien dengan informasi yang
tidak lengkap mengenai percobaan bunuh diri pada awal studi. Untuk kategori
yang kedua, kami memberikan nilai "0", nilai yang paling sering, sebagai jumlah
percobaan bunuh diri. Hasil dari model ini sangat mirip dengan yang diuraikan di
sini.
Diskusi
Perbandingan antara karakteristik pasien skizofrenia dengan dan tanpa perilaku
bunuh diri dalam studi observasional yang besar ini, yang melibatkan lebih dari
10.000 pasien di 10 negara-negara Eropa, telah berhasil mengidentifikasi
sejumlah faktor risiko prilaku bunuh diri (gagal atau berhasil bunuh diri) yang
signifikan: riwayat percobaan bunuh diri, kejadian tidak diinginkan berkaitan
dengan prolaktin, jenis kelamin laki-laki, riwayat rawat inap karena skizofrenia,
dan skor depresi CGI. Usia dan kepatuhan terhadap pengobatan, sebaliknya,
malah bukan merupakan faktor risiko bunuh diri. Hasil ini konsisten dengan studi
sebelumnya yang juga membahas tentang topik ini, dimana ditemukan bahwa
riwayat percobaan bunuh diri, jenis kelamin laki-laki dan depresi merupakan
faktor risiko bunuh diri.1 Satu-satunya variabel yang tidak sesuai adalah umur,
dimana pada studi sebelumnya ditemukan bahwa usia muda merupakan faktor
risiko, sedangkan pada studi ini usia pada umumnya bukan merupakan faktor
risiko. Perbandingan antara pasien yang berhasil bunuh diri dengan pasien yang
tidak masih terbatas mengingat sedikitnya jumlah kasus. Namun demikian, jenis
kelamin laki-laki merupakan satu-satunya pembeda yang yang signifikan antara
pasien yang gagal bunuh diri dengan pasien yang berhasil bunuh diri.
10
dkk20 menemukan bahwa skor depresi, kecemasan dan kebencian pada wanita
dengan hiperprolaktinemia serupa dengan skor pada pasien gangguan jiwa dan
menduga bahwa prolaktin menyebabkan kondisi disforia di dalam diri wanita itu
sendiri. Namun, dampak langsung dari peningkatan prolaktin pada mood dan
perilaku pada laki-laki masih belum jelas.
Terdapat empat keterbatasan utama dalam studi ini. Pertama, studi ini
merupakan analisis post-hoc dari data pasien SOHO yang melibatkan pasien
pasien yang mengubah pengobatan antipsikotiknya karena alasan klinis sehingga
tidak mewakili semua pasien skizofrenia; ditambah lagi, jenis obat antipsikotik
yang digunakan tidak dimasukkan dalam analisis. Kedua, kami tidak mengukur
kadar prolaktin pasien, tetapi di SOHO kami telah mengkaji beberapa kejadian
tidak diinginkan yang kemungkinan besar berkaitan dengan kadar prolaktin yang
tinggi. Sebagai tambahan, kejadian tidak diinginkan yang berkaitan dengan
seksualitas dapat disebabkan oleh berbagai penyebab.21 Ketiga, perilaku bunuh
diri dinilai berdasarkan laporan psikiater dengan menggunakan satu pertanyaan
yang mungkin akan memiliki variabilitas yang tinggi dan reliabilitas yang rendah.
Namun, kami pikir penyimpangan ini bersifat non diferensial dan akan jarang
menciptakan hubungan yang palsu seperti yang telah dilaporkan. Terakhir, pasien
yang tidak dimasukkan dalam analisis karena kehilangan data atau hilang pada
saat follow-up ternyata memiliki frekuensi yang percobaan bunuh diri yang lebih
tinggi.
Kesimpulan
Studi ini memperkuat kemungkinan faktor-faktor risiko usaha bunuh diri yang
terdapat pada pasien dengan skizofrenia, yakni riwayat percobaan bunuh diri
sebelumnya, jenis kelamin laki-laki, dan depresi. Di samping itu, studi ini telah
mengidentifikasi faktor risiko baru, yakni kejadian tidak diinginkan yang
berkaitan dengan prolaktin. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas
hubungan antara kejadian tidak diinginkan yang berkaitan dengan prolaktin dan
risiko bunuh diri.
11