Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan Pustaka

Definisi dan Etiologi


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka
bakar merupakan trauma yang memilki angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi.1
Luka bakar pada umumnya diklasifikasikan dalam luka bakar akibat panas, listrik,
dan bahan kimia. Luka bakar akibat panas dapat dibedakan menjadi:

Flame
Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan
cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu
baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar,
sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan

cedera tambahan berupa cedera kontak.


Benda panas (kontak)
Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar yang dihasilkan
terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah

luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama
waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang
disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu
sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka
umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan
garis yang menandai permukaan cairan.

Luka bakar dengan listrik memiliki persentase yang lebih rendah dibandingkan
dengan luka bakar akibat panas akan tetapi luka bakar jenis ini mempunyai perhatian
khusus karena mempunyai potensi untuk aritmia dan sindrom kompartemen disertai
rhabdomiolisis.

Luka bakar dengan bahan kimia jarang sekali terjadi, akan tetapi mempunyai
kecenderungan untuk menyebabkan luka bakar yang cukup serius. Bahan kimia dapat
diserap oleh tubuh menyebabkan gangguan sistem metabolisme tubuh.2

Patofisiologi Luka Bakar


Hilangnya jaringan pada luka bakar disebabkan karena reaksi denaturasi protein
diikuti dengan aktivasi dari mediator inflamasi yang bersifat toksik seperti protease dan
oksidan, yang merusak kulit dan sel endotel kapiler sehingga menyebabkan iskemik
jaringan yang berujung pada nekrosis jaringan.3

Patogenesis dari terbentuknya luka bakar berkaitan dengan banyak faktor. Robert et al
mengatakan bahwa vasokonstriktor mempunyai peran yang penting dalam membentuk
luka bakar. Ketidakseimbangan dari vasodilator dan vasokonstriktor dapat menyebabkan
stasis yang dapat menyebabkan kematian jaringan. Cedera dari zat radikal bebas pada
zona yang stasis dan hiperemia juga mempunyai peran dalam membentuk luka bakar.
Pada fase akut dalam luka bakar, aktivasi neutrophil dan xanthine oksidase membentuk
radikal oksigen seperti hydrogen peroksida dan superoksida. Negane et al berpendapat
bahwa terapi pada pasien luka bakar menggunakan anti oksidan mempunyai potensi yang
cukup baik dimana bertujuan untuk menghambat pembentukan radikal bebas.
Progresivitas dari perkembangan luka bakar dapat dihubungkan akibat hipoperfusi
sekunder akibat edema. Edema pada kasus ini disebabkan karena adanya perpindah cairan
dari intravaskular ke ekstravaskular karena adanya peningkatan sitokin pro-inflamasi
seperti prostaglandin, histamine, dan bradikinin yang mengakibatkan peningkatan

permiabilitas intravaskular. Selain itu, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang terdapat
diatas permukaan kulit seperti Staphylococcus, Pseudomonas, dan Klebsiella dapat
menyebabkan perkembangan luka bakar ke stadium lanjut.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan
gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan
protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi
dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan.
Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein
dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat
badan menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang
disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka
mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan
berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
FASE PADA LUKA BAKAR
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:
1. Fase akut
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas
yaitu gangguan mekanisme bernafas, Hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di
dada atau trauma multipel di rongga toraks dan gangguan sirkulasi seperti
keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini
merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama
dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut

Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
Pembagian zona kerusakan jaringan:
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah
ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan
leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan
permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24
jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa
banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang
diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi
zona kedua bahkan zona pertama.

PENATALAKSANAAN2,4,5,6
1. Airway, Breathing, Circulation (ABC)
Penanganan pasien luka bakar harus dilakukan secara bertahap. ABC (Airway,
Breathing, Circulation) merupakan penanganan awal dalam menjaga tanda vital
pasien luka bakar.
Prioritas utama yang dilakukan dalam penanganan awal adalah mempertahankan
jalan nafas tetap paten. Pasien dengan trauma luka bakar sering mengalami trauma
inhalasi yang berakibat pada gangguan lapisan mukosa pernafasan seperti edema,
eritema dan ulserasi. Efek dari trauma inhalasi tidak langsung terlihat kecuali adanya

trauma luka bakar pada daerah leher dan muka yang dapat menyebabkan terjadinya
distorsi anatomi dalam. Edema dapat hilang dalam waktu 4-5 hari.
Pasien dengan luka bakar dapat mengalami hipertensi dikarenakan stress yang
berlebihan. Hipovolemia juga dapat terjadi pada pasien luka bakar dikarenakan
adanya jejas tersembunyi dan potensi kehilangan cairan yang masif.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan
radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu
mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas
dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer
pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari
eskar yang mengkonstriksi.
Kecurigaan adanya traum inhalasi bila pada penderita luka bakar terdapat 3
atau lebih dari keadaan berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Riwayat terjebak dalam rumah/ruang terbakar


Sputum bercampur arang
Luka baka perioral, hidung, bibir, mulut atau tenggorokan
Penurunan kesadaran
Tanda distres nafas, rasa tercekik, tersedak, malas bernafas dan adanya

wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan.


6. Gehal distres nafas, takipnea
7. Sesak atau tidak ada suara
Tahap tatalaksana resusitasi jalan nafas luka bakar:
A. Resusitasi jalan nafas
1.

Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi
obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas
pemelliharaan jalan nafas.

2.

Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan
menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi
memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan

bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika dibanding dengan


intubasi.
3.

Pemberian oksigen 100%


Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan
nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen
dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk
radikal bebas yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis. Pemberian
dilakukan sebanyak 2-4 liter/menit

4.

Perawatan jalan nafas

5.

Penghisapan sekret (secara berkala)

6.

Pemberian terapi inhalasi


Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan
nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi
inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah
dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan
khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium
bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi
paru
B. Tatalaksana resusitasi cairan
Adanya perpindahan cairan dalam fase akut menyebabkan terjadinya
gangguan perfusi jaringan. Resusitasi cairan diberikan untuk preservasi perfusi
jaringan yang adekuat di seluruh pembuluh darah. Selain itu, pemberian cairan
bertujuan untuk meminimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik.
Pemberian jenis cairan dapat diberikan dengan cairan krisaloid ataupun koloid.
Cairan kristaloid digunakan dalam waktu 24 jam pertama, jika larutan hipertonik
yang digunakan maka level dari natrium tidak boleh melebihi 160 mEq/L. Cairan
koloid juga dapat digunakan karena ditemukan adanya hipoproteinemia pada

pasien luka bakar. Target dari MAP (Mean Arterial Pressure) adalah 60 mmHg
untuk memastikan perfusi ke organ yang optimal. Target dari Urine Output adalah
30 mL/h pada orang dewasa dan 1-1.5 mL/kg per jam pada anak-anak.
Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.

Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.

C. Tatalaksana nutrisi
Pemberian nutrisi lebih penting pada pasien luka bakar yang sangat luas,
dikarenakan luka bakar dapat meningkatkan metabolisme hingga 200%.
Peningkatan dari metabolisme ini berakibat pada katabolisme dari protein otot dan
penurunan massa tubuh yang memperlambat proses penyembuhan.
Perhitungan kalori pada pasien luka bakar cukup sulit untuk dilakukan.
Persamaan Harris-Benedict digunakan untuk menghitung kebutuhan kalori pada
pasien normal dan tidak dapat digunakan pada pasien dengan luka bakar lebih dari
40%. Penggunaan persamaan Curreri lebih sering digunakan pada pasien luka
bakar, dengan rumus 25 kcal/kg per hari + 40 kcal% Luas Permukaan Tubuh per
hari.
Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60%

karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus.
Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu
mencegah terjadinya SIRS dan MODS
2. Penatalaksanaan Luka Bakar
Pemberian obat anti-nyeri

Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan


morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan
maintenance 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2
mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10
mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang
bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan. Selain pemberian golongan opioid, pemberian
obat anti-inflamasi golongan non-steroid juga dapat digunakan dalam meredakan
rasa nyeri pada pasien luka bakar. NSAID terbagi dalam beberapa golongan yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Turunan asam propionat


Turunan asam pirolealkanoid
Turunan fenilalkanoid
Turunan indole
Turunan pirazolone
Turunan fenilasetat
Fenamat
Oksikam

Dari beberapa golongan di atas, terdapat beberapa perbedaan


dalam mekanisme kerja obatnya. Turunan asam propionat merupakan
golongan inhibitor COX non-selektif sehingga menghambat COX-1 dan
COX-2 yang dapat menyebabkan terjadinya efek samping berupa iritasi
mukosa lambung. Golongan oksikam dan celecoxib merupakan inhibitor
selektif

COX-2

yang

mempunyai

efek

samping

lebih

rendah

dibandingkan dengan COX-1.


Golongan oksikam merupakan penghambat COX-2 selektif. Obat
yang termasuk dalam golongan ini adalah piroxicam, meloxicam,
lornoxicam, dan lain sebagainya. Meloxicam merupakan golongan obat
yang mempunyai efek samping rendah dibandingkan dengan piroxicam,

diklofenak dan naproxen. Meloxicam mempunyai efek samping yang


rendah terhadap mukosa lambung dan trombosit dalam darah.

b. Pemberian obat topikal


Ada beberapa macam obat topikal yang dapat digunakan pada pasien luka
bakar. Sulfadiazin perak merupakan antibiotik spektrum luas yang berfungsi
sebagai profilaksis dari infeksi. Obat ini merupakan obat yang tidak mahal, mudah
didapatkan, dan mudah cara penggunaannya. Sulfadiazine tidak dipakai pada
pasien yang menerima cangkok jaringan dikarenakan dapat menyebabkan nekrosis
dari cangkok jaringan.
Mafenide asetat merupakan antimikrobial yang berbentuk krim ataupun
cairan. Obat ini sangat efektif digunakan pada pasien luka bakar yang terdapa
eskar dan digunakan untuk menyembuhkan dan mencegah terjadinya infeksi.
Selain itu, Mafenide asetat berbentuk cair dapat digunakan sebagai antimikrobial
pada cangkok jaringan. Obat ini diserap secara sistemik dan mempunyai efek
samping berupa asidosis metabolic yang diakibatkan penghambatan karbonik
anhidrase.
Nitrat perak merupakan obat topical dengan sifat antimikrobial yang bersifat
spectrum luas. Larutan harus diencerkan (0,5%). Meskipun harganya tidak mahal,
obat ini meninggalkan noda pada pakaian yang menyebabkan peningkatan biaya
pada bagian laundry.
Pengobatan topikal salep berupa bacitracin, neomycin dan polymixin B
digunakan pada luka bakar superfisial, dan pada luka bakar pada fase
penyembuhan.
Silver-impregnated dressings seperti Anticoat dan Aquacel Ag banyak
digunakan pada institusi cangkok jaringan dan donor serta pada pasien dengan luka
bakar parsial. Membran biologis seperti Biobrane menyediakan proteksi yang
lama.
MEBO (Moist Exposure Burn Ointment) merupakan obat topikal yang sering
digunakan di China termasuk Indonesia pada pasien yang mengalami luka pada

bagian kulit dan mukosa yang bersifat akut ataupun kronis. Obat topikal ini
merupakan obat salep dengan vehikulum lemak yang berisi beta-sitosterol,
berberine dan sedikit kandungan tumbuhan lainnya yang dikembangkan oleh
Intitusi Nasional China dan Pusat Teknologi di Beijing pada tahun 1989. MEBO
mempunyai fungsi berupa:

Menjaga kelembaban yang optimal untuk regenerasi dan perbaikan

jaringan
Melindungi dari infeksi
Meredakan rasa nyeri, inflamasi dan edema

Bahan aktif yang terkandung dalam MEBO antara lain adalah:

Beta-Sitosterol
Merupakan bahan aktif golongan sterol yang berasal dari tumbuhan
Phellodendron amurense, mempunyai fungsi sebagai anti-inflamasi
Berberine
Merupakan bahan aktif golongan alkaloid yang berasal dari tumbuhan
Coptis chinensis, mempunyai fungsi sebagai anti-oksidan, anti-

mikrobial, anti-bakterial dan vasdilator


Baicalin
Merupakan bahan aktif golongan flavanoid yang berasal dari tumbuhan
Scutellaria baicalensis, mempunyai fungsi sebagai anti-trombus, antioksidan, anti-bakterial, dan anti-inflamasi

Penggunaan MEBO disesuaikan berdasarkan derajat dari luka bakar itu


sendiri. Cara pemakaian obat topikal MEBO seperti:
1. Luka derajat 1
Oleskan MEBO secepatnya setelah terjadinya luka bakar. Perubahan
warna kulit menjadi normal dapat dilihat dalam waktu 12 jam disertai
dengan hilangnya rasa nyeri dan edema pada daerah luka bakar. Kulit yang
mengalami luka bakar akan mengalami penyembuhan dalam waktu 2-4
hari dan pemakaian MEBO tetapi dilanjutkan hingga kurun waktu 1
minggu sebagai proteksi pada jaringan kulit.
2. Luka derajat 2
Oleskan MEBO setebal 0,5-1 mm sebanyak 3-4 kali per hari, jika terdapat
vesikel atau bula maka dipecahkan terlebih dahulu dengan menusuk
bagian bawah dari vesikel agar kulit dari vesikel tersebut tidak tercabut.

Dalam kurun waktu 3-4 hari, kulit tersebut akan mengalami pengelupasan.
Kulit dibersihkan secara perlahan sebelum dioleskan MEBO. Pengolesan
MEBO diulang setiap 3 minggu sebanyak 2-3 kali per hari hingga fungsi
kulit normal kembali.
3. Luka derajat 3
Bersihkan jaringan luka yang mengalami dan oleskan MEBO pada daerah
yang telah dibersihkan. Pada hari ke-2 dilakukan pembersihan jaringan
luka dan dioleskan kembali dengan MEBO. Pada 72 hari perawatan,
seluruh luka sudah sembuh total.

c. Terapi pembedahan
Luka bakar dengan kedalaman tingkat lanjut dengan jaringan eskar yang keras
dapat menimbulkan efek torniket diakibatkan progresi dari edema yang
menyebabkan gangguan aliran vena dan arteri. Sindrom kompartemen sering
terjadi pada luka bakar pada daerah ekstrimitas, tetapi sindrom kompartemen
toraks dan abdomen juga dapat terjadi. Tanda-tanda kegawatan dari sindrom
kompartemen adalah parestesia, nyeri, penurunan isi ulang kapiler, penurunan
pulsasi distal. Sindrom kompartemen abdomen harus dicurigai, ditandai dengan
penurunan output urin , peningkatan tekanan udara ventilator , dan hipotensi .
Sindrom kompartemen toraks juga dapat dicirikan oleh hipoventilasi , peningkatan
tekanan udara , dan hipotensi. Eskarotomi jarang diperlukan dalam 8 jam pertama
setelah cedera dan tidak boleh dilakukan kecuali jika diindikasikan karena efek
samping dari tampilan kosmetik yang tidak baik. Sayatan pada ekstremitas dibuat
pada aspek lateral dan medial tungkai dalam posisi anatomis dan dapat
memperpanjang ke tenar dan hipotenar tangan. Apabila terjadi perfusi yang tidak
adekuat meskipun telah dilakukan eskarotomi, maka fasiotomi diperlukan pada
pasien. namun prosedur ini tidak harus secara rutin dilakukan sebagai bagian dari
eskarotomi . Eskarotomi toraks harus ditempatkan sepanjang garis aksila anterior
dengan ekstensi subkostal dan subclavicular bilateral. Perpanjangan sayatan aksila
anterior bawah perut lateral yang biasanya akan memungkinkan pelepasan
memadai eschar perut.

1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke
5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan
berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada
daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat
aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada
jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka
tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga
waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi
komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan
nekrosis yang melepaskan burn toxic (lipid protein complex) yang
menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini
mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.
Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro
organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar
yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan
pemberian cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi
kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan
hemostasis dan juga skin grafting (dianjurkan

split thickness skin

grafting). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien
luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu:
-

Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih

dari 3 minggu.
Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.

Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang


timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang

tubuh posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang
terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah
(endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu
pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas
permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang
dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka
bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh
melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil
perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum
dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah
yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan skin graft.
Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan
keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan
dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka
sampai lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan
ketebalan penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat
dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin
pemotong electrocautery. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini
adalah:
-

Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,

endpoint yang lebih mudah ditentukan


Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada
saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari
eksisi

2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari
metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada
luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis,
kulit manusia yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses
maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah
tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat
dilakukan secara split thickness skin graft atau full thickness skin graft.
Bedanya dari teknik teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit yang
diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang lubang
pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar
1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan
dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia
pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor
sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin
dermatome ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian.
Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan
epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang
dihasilkan dari eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan
hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga
terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit
donor dengan jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:
-

Kulit donor setipis mungkin


Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan
grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :

o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)


o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben

Daftar Pustaka
1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor.
Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.
2. Heimbach DM, Holmes JH. Schwartzs principal surgery. 8th ed. USA: The McGrawHill Companies; 2007.
3. Singh, Vijay, et al. The Pathogenesis of Burn Wound Conversion. Annals of Plastic
Surgery, 2007.
4. Hall, Jesse B., et al. Principles of Critical Care. 3th Edition. USA: McGraw-Hill
Companies; 2005.
5. Carayanni, V.J, et al. Comparing oil based ointment versus standard practice for
treatment of moderate burns in Greece: a trial based cost effectiveness evaluation.
BMC Complementary and Alternative Medicine, 2011. 11:122
6. Katzung, B.G, et al. Basic and Clinical Pharmacology. 12th Edition. USA: McGrawHill Companies; 2011

Anda mungkin juga menyukai