Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Tomat merupakan tanaman

sayuran

utama

yang

semakin

popular

keberadaannya sejak abad terakhir. Selain memiliki rasa yang enak, buah tomat
juga merupakan sumber vitamin A dan C yang sangat baik (Wener, 2000).
Lycopene yang terkandung dalam buah tomat sangat berguna sebagai antioksidan
yang dapat mencegah perkembangan penyakit kanker, terutama kanker prostat
(Rao et al., 1999). Hasil survei terhadap 162 orang ibu rumah tangga memberikan
informasi, bahwa umumnya rumah tangga sering mengkonsumsi tomat baik
dalam keadaan segar maupun untuk bumbu (Adiyoga, dkk., 2004).
Tomat telah lama dibudidayakan oleh petani Indonesia, baik di dataran rendah
maupun dataran tinggi. Tomat dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah di
Indonesia terpusat di Pulau Jawa. Kebutuhan tomat dimasyarakat yang semakin
tinggi dapat diimbangi dengan peningkatan produksi. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (2013), produksi tomat tahun 2012 sekitar 893.504 ton, dengan luas
panen 56.724 ha, produktivitas 15,75 ton/ha. Tahun 2013 produksi 992.780 ton,
dengan luas panen 59.758 ha, dan produktivitas mencapai 16,61 ton/ha. Dari data
tersebut dapat dilihat produksi dan produktivitas tomat terus meningkat.
Peningkatan produksi tomat guna memenuhi kebutuhan penduduk yang selalu
bertambah masih terkendala oleh faktor biotik, seperti hama dan penyakit
tanaman. Beberapa penyakit yang menyerang tanaman tomat adalah layu bakteri
yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas solanacearum, busuk daun oleh
Phytophthora infestans (Month,) de Barry, busuk buah oleh Colletotrichum sp
(Wiryanta, 2004). Penyakit busuk daun disebabkan oleh cendawan Phytophthora
infestans (Month,) de Barry sering menjadi kendala dalam budidaya tomat.

Penyakit busuk daun merupakan penyakit utama pada tanaman tomat di


dataran tinggi dan rata-rata pertanaman tomat di Indonesia tersebar terutama di
daerah dataran tinggi, sehingga menyulitkan petani untuk menghindari penyakit
1

ini. Demikian juga halnya di luar negeri, penyakit ini menimbulkan kerugian yang
sangat besar. Hasil penelitian Sengooba dan Hakiza (1999), dilaporkan bahwa
kehilangan produksi dapat mencapai 90% dan hingga 100% gagal panen jika
patogen menyerang kultivar rentan pada awal pertanaman terutama pada musim
penghujan dengan kelembaban udara diatas 85%. Penurunan atau kehilangan
produksi mencapai antara 5-100% namun hal ini sangat tergantung kepada
varietas tomat yang ditanam, faktor cuaca dan kultur teknis (Staples, R.C., 2004).
Tanaman yang terinfeksi cendawan Phytophthora infestans (Month,) de Barry
menunjukkan gejala bercak berwarna hijau kelabu kebasah-basahan meluas
menjadi bercak yang bentuk dan besarnya tidak tertentu. Kerusakan oleh penyakit
busuk daun dapat mengakibatkan penurunan hasil antara 10-100% (Euis, dkk.,
1999). Beberapa hasil penelitian penyakit busuk daun di Indonesia masih terbatas
pada identifikasi ras Phytophthora infestans dan pengendalian penyakit dengan
fungisida yang berbahan aktif metalaxil saja. Oleh karena itu, kegiatan penelitian
lain perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan upaya pengendalian penyakit
busuk daun baik pada tomat maupun pada kentang seperti koleksi isolat dan
pengembangan varietas tahan (Purwantisari, 2002). Sampai saat ini varietas tomat
yang dibudidayakan di Indonesia rentan terhadap penyakit busuk daun (Gareth, et
al., 1995; Nelson, 2008; Anonim, 2012).
Untuk meningkatkan produksi tomat guna memenuhi kebutuhan tomat yang
semakin tinggi maka penelitian perlu diarahkan untuk menghasilkan hasil dan
kualitas buah tomat dengan menanam varietas-varietas tomat unggul (Wijayani,
2005). Sudah disadari secara umum bahwa penggunaan varietas unggul disamping
dapat memberikan potensi hasil yang tinggi atau memberikan resistensi terhadap
hama, penyakit, serta toleran terhadap lingkungan cekaman fisik dan kimiawi,
merupakan faktor yang amat penting dalam meningkatkan produktivitas dan
kualitas tomat nasional (Baihaki, 2006).
Dalam masalah ini Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Lembang
berusaha untuk mengatasinya dengan cara mengadakan baik hibridisasi maupun
introduksi dari negara-negara lain. Sejalan dengan ini maka dilakukan pengujian
galur-galur yang dihasilkan oleh para pemulia tanaman di Balai Penelitian
Tanaman Sayuran (BALITSA) Lembang.

1.2.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka identifikasi masalah yang dapat

disimpulkan adalah sebagai berikut :


1. Apakah penggunaan varietas tahan mampu mengendalikan intensitas
serangan penyakit busuk daun yang disebabkan oleh Phytophthora infestans
(Month,) de Barry.
2. Bagaimana respon dari ke 15 galur tomat yang diuji terhadap intensitas
serangan Phytophthora infestans (Month,) de Barry.
1.3.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan galur tomat

(Lycopersicum esculentum Mill.) terhadap intensitas serangan Phytophthora


infestans (Month,) de Barry.
1.4.

Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

galur tomat yang tahan dari serangan Phytophthora infestans (Month,) de Barry,
sehingga didapat galur yang direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai
varietas dengan ketahanan yang lebih baik terhadap Phytophthora infestans
(Month,) de Barry.
1.5.

Kerangka Pemikiran
Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan salah satu komoditas

pertanian yang sangat bermanfaat bagi tubuh karena mengandung vitamin dan
mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Buah tomat
merupakan komoditas multguna yang berfungsi sebagai sayuran, bumbu masak,
buah meja, bahan pewarna makanan, sampai kepada bahan kosmetik dan obatobatan (Wiryanta, 2004).
Permintaan akan komoditas tomat akan terus meningkat seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan. Seiring dengan meningkatnya permintaan akan tomat
mengakibatkan petani kesulitan dalam pembudidayaan, karena kurang tersedianya
varietas tomat yang unggul. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dicari
varietas yang dapat memberikan potensi hasil yang tinggi dan tahan terhadap
serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), salah satu OPT yang
menyerang tanaman tomat adalah penyakit busuk daun yang disebabkan oleh
cendawan Phytophthora infestans (Month,) de Barry.

Hampir semua varietas tomat yang dibudidayakan di Indonesia rentan


terhadap penyakit busuk daun, sehingga perlu dilakukan tindakan baik itu
hibridisasi maupun introduksi tanaman dari negara-negara lain agar terdapat
varietas tomat yang tahan terhadap penyakit busuk daun yang disebabkan oleh
cendawan Phytophthora infestans (Month,) de Barry. Penggunaan varietas tahan
sangat efektif dalam mengendalikan intensitas serangan penyakit busuk daun yang
disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans (Month,) de Barry dengan
mengupayakan mekanisme ketahanan yang bersifat alami, cara ini relatif lebih
aman dan dapat menekan biaya penggunaan bahan kimia, tenaga kerja untuk
penyemprotan dan menghindari kontaminasi lingkungan (Semangun, 2000).
Varietas tahan adalah tanaman yang memiliki kemampuan untuk menghindar atau
melindungi dirinya dari serangan hama dan penyakit yang dapat mengganggu
kelangsungan hidupnya.
Untuk menambah varietas tomat yang tahan terhadap Phytophthora infestans
(Month,) de Barry, maka BALITSA sebagai salah satu lembaga pemerintah yang
secara terus menerus melakukan pengembangan di bidang hortikultura melakukan
pengujian seleksi galur secara bertahap untuk mendapatkan galur yang disamping
mempunyai sifat daya hasil yang cukup tinggi dan diharapkan mempunyai sistem
ketahanan yang baik terhadap hama dan penyakit, khususnya penyakit busuk daun
yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans (Month,) de Barry.
Galur merupakan program pemuliaan perakitan varietas unggul baru.
Sebelum suatu varietas unggul baru dilepas, calon varietas atau galur varietas
harapan harus diuji melalui proses uji daya hasil pendahuluan (UDHP) dan uji
daya hasil lanjutan (UDHL) (Fatokun 1991 dalam Soedomo 2012). Tujuan dari
penelitian galur sendiri untuk mengetahui sekaligus menguji suatu varietas unggul
baru. Galur yang akan diuji ini merupakan hasil hibridisasi dari para pemulia di
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Lembang. Hibridisasi merupakan
perkawinan antara berbagai jenis spesies, suku, ras atau varietas unggul yang
bertujuan untuk memperoleh organisme yang diinginkan.
Hasil penelitian sebelumnya didapatkan tetua dari galur tomat yang akan diuji
ini mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap tingkat serangan yang
diakibatkan oleh cendawan Phytophthora infestans (Month,) de Barry, maka perlu
dilakukan seleksi galur secara bertahap agar mendapatkan galur-galur yang tahan

terhadap Phytophthora infestans (Month,) de Barry dan dapat direkomendasikan


untuk dikembangkan sebagai varietas dengan ketahanan yang baik terhadap
Phytophthora infestans (Month,) de Barry.
1.6.

Hipotesis
Dari uraian kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang dapat

dikemukakan adalah sebagai berikut :


1. Penggunaan varietas tahan mampu mengendalikan penyakit busuk daun yang
disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans (Month,) de Barry.
2. Respon dari ke 14 galur tomat yang diuji menunjukkan ketahanan yang
berbeda terhadap intenisitas serangan Phytophthora infestans (Month,) de
Barry.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Tomat


2.1.1. Arti Penting
Tanaman tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai
ekonomi tinggi. Tomat merupakan komoditas sayuran yang sangat penting dalam
menunjang ketersediaan pangan dan kecukupan gizi masyarakat. Tomat banyak
digemari orang karena rasanya enak, segar dan sedikit asam serta mengandung
banyak vitamin A, C, dan sedikit vitamin B (Sugito et al., 2010). Kandungan zat
gizi buah tomat dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Tomat (Tiap 100 Gram).
Zat Gizi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin C
Karbohidrat
Lemak
Protein
Kalsium
Fosfor
Besi

Kandungan Gizi
1500 (SI)
0,06 (mg)
0,03 (mg)
40 (mg)
4,2 (gr)
0,3 (gr)
1 (gr)
5 (mg)
2,7 (mg)
0,5 (mg)

Natrium
230 (mg)
Kalium
230 (mg)
Sumber : Tim Penulis PS (2009).
Tanaman tomat berbentuk perdu atau semak dengan tinggi bisa mencapai 2
meter. Tanaman ini termasuk tanaman semusim (annual) yang berarti memiliki
siklus hidup yang singkat dan umurnya hanya untuk satu kali periode panen, yaitu
sekitar 4 bulan. Tanaman ini akan mati setelah berproduksi (Tim Penulis Penebar
Swadaya, 2009).
2.1.2. Klasifikasi Tanaman Tomat
Klasifikasi tanaman tomat dalam taksonomi tumbuhan menurut Tugiyono
(2005) adalah sebagai berikut :
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Klas
: Dicotyledonae
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Lycopersicon
Spesies
: Lycopersicon esculentum Mill.
2.1.3. Morfologi Tomat
Tanaman tomat terdiri atas bagian akar, batang, daun, bunga, dan buah
sebagai bagian terpenting dari hasil utama produk. Tanaman tomat memiliki akar
tunggang yang tumbuh menembus kedalam tanah dan akar serabut yang tumbuh
menyebar ke arah samping tetapi dangkal (Cahyono, 2008). Batang tomat
walaupun tidak sekeras tanaman tahunan, tetapi cukup kuat. Warna batang hijau
dan berbentuk persegi empat sampai bulat. Pada permukaan batangnya ditumbuhi
banyak rambut halus terutama dibagian yang berwarna hijau. Diantara rambutrambut tersebut biasanya terdapat rambut kelenjar. Pada bagian buku-bukunya
terjadi penebalan dan kadang-kadang pada buku bagian bawah terdapat akar-akar
pendek. Jika dibiarkan (tidak dipangkas), tanaman tomat akan mempunyai banyak
cabang yang menyabar rata (Trisnawati dan Setiawan 2005).
Daun tanaman tomat berbentuk oval, bagian tepinya bergerigi dan
membentuk celah-celah menyirip agak melengkung ke dalam. Daun berwarna
hijau dan merupakan daun majemuk ganjil yang berjumlah 5-7. Diantara daun
yang berukuran besar biasanya tumbuh 1 - 2 daun yang berukuran kecil berbentuk
delta (Purwati dan Khairunisa, 2007). Daun majemuk pada tanaman tomat tumbuh
berselang-seling atau tersusun spiral mengelilingi batang tanaman.

Bunga tomat merupakan bunga sempurna, karena benang sari atau tepung
sari dan kepala putik terletak pada bunga yang sama. Rangkaian bunga (bunga
majemuk) terdiri dari 4-14 bunga. Rangkaian bunga terletak diantara buku, pada
ruas, atau ujung batang atau cabang. Bunga tomat merupakan bunga banci
(hermaprodite) dengan garis tengah 2 cm. Mahkota berjumlah 6, bagian
pangkalnya membentuk tabung pendek sepanjang 1 cm berwarna kuning.
Benang sari berjumlah 6, bertangkai pendek dengan kepala sepanjang 5 mm,
dan berwarna kuning cerah. Benang sari mengelilingi putik bunga. Kelopak bunga
berjumlah 6 dengan ujung kelopak runcing, dan panjang 1 cm, letak bunga
menggantung (Purwati dan Khairunisa, 2007).
Dalam Buku Tomat: Usaha Tani Dan Penanganan Pascapanen, Cahyono
(2008) menyebutkan bahwa buah tomat memiliki banyak bentuk variasi
tergantung dari jenisnya. Ukuran buah tomat juga sangat bervariasi. Buah tomat
yang masih muda berwarna hijau muda dan memiliki rasa getir dan aromanya
tidak enak karena mengandung zat lycopersicin yang berbentuk lendir. Namun
pada saat buah memasuki fase matang fisiologis rasanya akan berubah menjadi
manis agak masam dan warnanya juga berubah menjadi kuning dan ketika matang
optimal warnanya berubah menjadi merah cerah. Buah tomat banyak mengandung
biji lunak berwarna putih kekuning-kuningan yang tersusun secara kelompok dan
dibatasi oleh daging buah. Biji tomat saling melekat karena adanya lendir pada
ruang-ruang tempat biji tersusun.

Gambar 1. Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)


(Sumber : http://potretpertanian.blogspot.com/2014/10/a.html, diunduh tanggal 28-012015)

2.1.4. Syarat Tumbuh


Tomat adalah tanaman yang dapat tumbuh pada daerah dataran tinggi
maupun dataran rendah. Budidaya tomat dapat dilakukan dari ketinggian

1.250 mdpl, dan tumbuh optimal di dataran tinggi >750 mdpl, sesuai dengan
jenis/varietas yang diusahakan dengan suhu siang hari 24 C dan malam hari
antara 1520 C. Pada temperatur tinggi (diatas 32 C) warna buah tomat
cenderung kuning, sedangkan pada temperatur yang tidak tetap (tidak stabil)
warna buah tidak merata. Temperatur ideal antara 2428 C. Curah hujan yang
sesuai untuk pertumbuhan tomat adalah 750-1.250 mm/tahun. Daerah yang
perbedaan suhu malam hari dan siang harinya terlampau tinggi akan
mempengaruhi pembentukan bunga dan buah (Dewa, 2007).
2.2.Penyakit Busuk Daun
Penyakit busuk daun sudah dikenal lama di Indonesia, dan dapat dijumpai
di semua daerah penghasil kentang dan tomat. Penyakit ini dapat menimbulkan
kerugian yang besar, tidak hanya menurunkan daya hasil, akan tetapi biaya
produksi yang dikeluarkan menjadi bertambah besar. Menurut penelitian, kurang
lebih 13,5 % biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani digunakan untuk
pembelian fungisida dan biaya penyemprotannya. Selain itu, penggunaan
fungisida secara terus menerus dapat menimbulkan ras-ras baru patogen yang
lebih virulen serta dapat mencemari lingkungan (Sastrahidayat, 1991).
Penyakit busuk daun dapat berkembang dengan cepat pada kondisi yang
ideal dan menyebabkan kematian tanaman tomat pada lahan dalam waktu dua
minggu (Cerkauskas, 2005). Penyakit busuk daun disebabkan oleh cendawan
Phytophthora infestans (Month,) de Barry, yaitu jamur yang termasuk famili
Pythiaceae, ordo Peronosperales. Patogen ini menyerang pada semua umur
tanaman, terutama jika kelembaban udara tinggi, menyerang dari tepi daun dan
menjalar ke seluruh tanaman. Batang dan buah tomat pun ikut terserang. Jika
serangan berat dan kondisi lingkungan sesuai bagi pertumbuhannya, batang dan
buah tomat yang terserang menjadi busuk dan mengeras (Nur Tjahyadi, 1989).
2.2.1. Klasifikasi Penyakit

Menurut Agrios (1996), Phytophthora infestans (Month,) de Barry dapat


diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
Divisio
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Mycetae
: Eumycota
: Oomycetes
: Peronosporales
: Pythiaceae
: Phytophthora
: Phytophthora infestans (Month,) de Barry

2.2.2. Biologi Penyakit


Penyakit busuk daun disebabkan oleh Phytophthora infestans (Month,) de
Barry, yaitu jamur yang termasuk famili Pythiaceae, ordo Peronosporales.
Miselium pada jamur parasit ini dapat tumbuh di dalam sel (intracelluler) atau
antar sel (intercelluler). Sporangiofor biasanya bercabang-cabang dan biasanya
dibentuk di permukaan tanah, pada tanaman, dan dapat muncul dari inang melalui
epidernis atau stomata (Landecker, 1982).
Hifa dari spesies Phytophthora tidak mempunyai sekat dan mempunyai
banyak cabang (Lucas, et al, 1985). Miselium biasanya tidak bersepta, hyaline,
diameter berubah-ubah, bercabang dan sangat berkembang di bawah epidermis
(Weber, 1973). Sporangium (zoosporangium) berbentuk bulat telur seperti buah
peer (pyriform) yang mempunyai sebuah tonjolan (papil). Sporangium
mempunyai ukuran 32-52 x 29-41 m. Sporangium dapat berkecambah secara
tidak langsung membentuk spora kembara (zoospora) yang keluar satu persatu
dari dalam sporangium. Disamping itu sporangium dapat berkecambah secara
langsung dengan membentuk hifa (benang) atau pembuluh kecambah baru
(Nurafni, 2010).

10

Gambar 2. Struktur reproduksi Phytophthora infestans


Aseksual (A) sporangia (B) zoospora (C) chlamydospores,
dan seksual (D) oospora
(Sumber : http://www.metapathogen.com/phytophthora/, diunduh tanggal 18-01-2015)

2.2.3. Gejala Penyakit


Pada buah penyakit

juga

dapat

timbul

pada

semua

tingkat

perkembangannya. Bercak yang berwarna hijau kelabu kebasah-basahan meluas


menjadi bercak yang bentuk dan besarnya tidak tertentu. Pada buah gejala muncul
dengan adanya bercak berwarna coklat tua, buah menjadi keras dan berkerut.
Bercak mempunyai batas yang cukup tegas, dan batas ini tetap berwarna hijau
pada bagian buah yang tidak sakit. Kadang-kadang bercak mempunyai cincincincin (Semangun, 2000).
Mulai timbul bercak tidak terbatas, tetesan air dapat mempercepat bercak
meluas menjadi hijau pucat hingga coklat kehitaman dan bisa menutupi seluruh
permukaan daun. Selama cuaca basah (musim hujan), bercak pada permukaan
daun abaxial mungkin ditutupi sengan pertumbuhan jamur abu-abu hingga putih
(jangan dikelirukan dengan penyakit embun tepung). Pada sisi bawah bercak lebih
besar, pertumbuhan cincin jamur patogen sering terlihat selama cuaca lembab.
Selama penyakit berlangsung, daun berubah menjadi berwarna kuning dan
kemudian coklat, ikal, dan mati. Pada batang, bercak dimulai tanpa batas, tetesan
air dapat mempercepat perkembangan menjadi coklat hingga hitam yang
mencakup besar wilayah di petioles dan batang. Selama cuaca basah, bercak dapat

11

ditutupi dengan pertumbuhan jamur patogen berwarna abu-abu hingga putih. Jika
batang dan petioles terinfeksi menyebabkan kematian semua bagian tanaman
(Nelson, 2008).

Gambar 3. Gejala penyakit Phytophthora infestans (Month,) de Barry pada


daun
(Sumber : http://www.ctahr.hawaii.edu/, diunduh tanggal 18-01-2015)

Gambar 4. Gejala penyakit Phytophthora infestans (Month,) de Barry pada batang


(Sumber : koleksi pribadi, 2015)

12

Gambar 5. Gejala penyakit Phytophthora infestans (Month,) de Barry pada buah


(Sumber : koleksi pribadi, 2015)

2.3.

Pengendalian
Pengendalian penyakit busuk daun dapat dilakukan dengan berbagai cara

yaitu :
Pengendalian dengan kultur teknis :
Penggunaan benih sehat/tidak menggunakan benih dari pertanaman yang
terserang, mengatur waktu tanam, dan penggunaan varietas tahan. Menanam
varietas tahan dalam mengendalikan penyakit busuk daun merupakan cara
yang paling efektif dan efisien, selain karena biaya yang relatif murah
dibanding pengendalian menggunakan fungisida, pengendalian dengan
menggunakan varietas tahan juga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan

dan mudah diaplikasikan.


Pengendalian secara fisik : membersihkan sisa tanaman yang terserang,

kemudian dibakar atau dimusnahkan.


Pengendalian secara biologi : menggunakan agen hayati seperti cendawan

Trichoderma sp. atau Gliocladium sp.


Pengendalian secara kimiawi : penggunaan fungisida dilakukan apabila
serangan sudah mencapai ambang ekonomi dan sebagai pilihan terakhir
apabila alternatif-alternatif pengendalian lain yang digunakan tidak berhasil.
BAB III
BAHAN DAN METODE

13

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di kebun Balai Penelitian Tanaman Sayuran
(BALITSA) Lembang yang terletak pada ketinggian 1250 di atas permukaan
laut dengan letak geografis 107 30 Bujur timur dan 6 30 Lintang selatan dan
topografi yang berbukit. Jenis tanah di daerah tersebut merupakan tanah andisol
yang beriklim tipe B, dengan suhu rata-rata harian berkisar antara 19-24 C,
kelembaban udara berkisar antara 34-90 % dan rata-rata curah hujan 2.207,5
mm/tahun. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan
bulan Maret 2015.
3.2.

Bahan dan Alat


Dalam penelitian ini digunakan satu kultivar dan 15 galur tomat masing-

masing sebagai berikut ; galur 1601-14, galur1602-14, galur 1603-14, galur 160414, galur 1605-14, galur 1606-14, galur 1607-14, galur 1608-14, galur 1611-14,
galur 1616-14, galur 1617-14, galur 1618-14, galur 1619-14, galur 1620-14, galur
1621-14 dan sebagai pembanding (kontrol) menggunakan kultivar Intrend I.
Alat yang digunakan terdiri dari polybag, meteran, alat semprot semi otomatis
(Knapsack Sprayer), ajir bambu, tali rapia, papan nama dan cangkul serta singkup.
3.3.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 16 perlakuan (Tabel 2). Masingmasing galur/kultivar tomat dibuat tiga ulangan dengan pengacakan bebas dalam
tiap ulangan. Perlakuan ini berupa galur dan kultivar yang didatangkan dari
Taiwan maupun dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Lembang.
Nama-nama galur/kode perlakuan galur tomat disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Kode Perlakuan Galur Tanaman Tomat.
No
1
2
3
4

Galur/Kultivar
Galur
Galur
Galur
Galur

Kode Galur
1601-14
1602-14
1603-14
1604-14

14

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Galur
Galur
Galur
Galur
Galur
Galur
Galur
Galur
Galur
Galur

1605-14
1606-14
1607-14
1608-14
1611-14
1616-14
1617-14
1618-14
1619-14
1620-14

15

Galur

1621-14

16

Kultivar

Intrend I

Model linier untuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) menurut Warsa dan
Cucu S. Achyar (1982) adalah sebagai berikut :
Xij = U + ti + rj + eij
Keterangan :
Xij

: Pengamatan perlakukan ke-i dalam kelompok ke-j

: Rata-rata umum

ti

: Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1,2j)

rj

: Pengaruh kelompok ke-j (j = 1,2r)

eij

: Pengaruh faktor random terhadap perlakuan ke-i pada kelompok ke-j


Berdasarkan dari model linier diatas maka daftar analisis untuk rancangannya

adalah sebagai berikut :


Tabel 3. Daftar Analisis Ragam
Sumber Ragam

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Fisher Hitung

(SR)

(DB)

(JK)

Tengah

(FH)

(KT)
Ulangan

r1

x
FK
t

JK
DB

KT1/KT2

15

Antar

xj
FK
r

JKp
DBp

JKT JKU - JKP

JKG
DBG

t1

Perlakuan
Galat

(r-1)(t-1)

Total

(r x t)-1

Jika :

KT2/KT3

Xj
FK
rt

Fh F tabel, maka H0 diterima (non significant)


Fh > F tabel, maka H0 ditolak (significant)

Bila hasil F menunjukkan perbedaan yang nyata, maka untuk membedakan


rata-rata dari tiap perlakuan dilakukan uji lanjutan dengan metoda uji jarak
berganda Duncan pada taraf nyata 5% dengan rumus sebagai berikut :
LSR = SSR x S x
Dimana :
LSR = Least Significant Ranger
SSR = Studentized Significant Ranger
Sx = Galat buku rata-rata
=

KTGalat
r

3.4. Persiapan Lahan Penelitian


3.4.1. Pengolahan Tanah
Seminggu sebelum tanam

dilakukan

pengolahan

tanah

dengan

menggunakan cangkul untuk membalikan tanah dan membuang gulma. Tanah


yang sudah dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam polybag (diameter 20 cm)
dan dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 3 (pupuk 1 : 3
tanah).
3.4.2. Persemaian

16

Sebelum ditanam, benih disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dilakukan


dalam screen house untuk menghindari terik dan percikan air hujan dan dapat
menjaga kelembaban persemaian. Lamanya bibit di persemaian adalah 4 minggu.
3.4.3. Penanaman
Bibit yang telah berumur 3 minggu dipilih yang seragam, lalu dimasukan
ke dalam polybag. Masing-masing polybag berisi satu tanaman. Polybag yang
sudah terisi bibit tanaman kemudian dipindahkan ke lahan setelah berumur 4
minggu dari persemaian.
Setelah berumur 4 minggu dari persemaian polybag yang sudah terisi bibit
tanaman dibuat menjadi plot-plot penelitian yaitu sebanyak 48 plot penelitian.
Banyaknya tanaman per plot yaitu 6 tanaman dan jarak tanam yang digunakan
adalah 60x40 cm.
3.4.4. Pemeliharaan
Penyulaman dan penjarangan bibit dilakukan satu minggu setelah
penanaman. Perawatan tanaman tomat yang dilakukan diantaranya adalah
pemasangan ajir, pemupukan, pemotongan cabang ketiak, dan penyiangan gulma.
Serangan penyakit tidak dilakukan inokulasi tetapi terjadi secara alami di
lapangan.

3.4.5. Pengamatan
Pengamatan dilakukan seminggu dua kali sejak tanaman dipindahkan ke
lahan atau sejak tanaman berumur sekitar 30 hari setelah tanam (HST).
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung intensitas serangan penyakit
busuk daun yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans (Month,) de
Barry terhadap galur tomat dengan rumus (Sinaga, 2006) sebagai berikut :
nx v
I = N x V x 100%
Keterangan

:
n
v
N
V

: jumlah tanaman yang terserang dalam kategori skor (v)


: skor pada setiap kategori serangan
: jumlah seluruh tanaman yang diamati
: skor untuk serangan terberat

17

Sementara untuk menentukan tingkat keparahan gejala yang disebabkan


oleh Phytophthora infestans (Month,) de Barry pada galur tomat dilakukan sistem
skoring 1-9 (Halterman, D.A.,at.al., 2008), lihat Tabel 4.
Tabel 4. Skoring intensitas serangan Phytophthora infestans
Skor
0
1
2

Persentase daun
terserang
0
<10
11-25

26-40

4
5

41-60
61-70

71-80

81-90

8
9

>90
100

Deskripsi
Tidak ada gejala serangan
Bercak-bercak serangan kurang dari 100% pada daun
Bercak-bercak kerusakan mulai tampak dan mencapai
25%
Bercak-bercak kerusakan pada seluruh daun mencapai
40% tetapi tanaman masih hijau
Kerusakan maksimal sudah mencapai 60%
Kerusakan maksimal sudah mencapai 70% dan tanaman
kelihatan coklat
Kerusakan maksimal sudah mencapai 80%, pangkal
batang dan pucuk terserang dan gejala layu dan mati
Kerusakan maksimal mencapai 90%, bagian yang
berwarna hijau hanya bagian pucuk
Daerah yang berwarna hijau tinggal sedikit
Sudah tidak ada lagi daun yang berwarna hijau,
kerusakan sudah menyeluruh

Tabel 5. Kriteria tingkat ketahanan tomat terhadap penyakit busuk daun


Kategori Ketahanan
Rentan
Agak tahan
Tahan
Sangat tahan

Rata-rata intensitas penyakit Busuk Daun


>50 %
25-49 %
5-24 %
0-5 %
DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W., R. Suherman, T.A. Soetiarso, B. Jaya, B.K. Udiarto, R.


Rosliani dan D. Mussadad. 2004. Profil Komoditas Tomat. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Republik Indonesia,
Jakarta.
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi Ketiga (Terjemahan
Munzir Busniah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

18

Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen dan Produktivitas Tomat 2013.
http://www.Bps.go.id/tabsub/viue.php. Diakses tanggal 20 oktober
2014.
Cahyono, B. 2008. Tomat : Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Jom
Faperta Vol 1 No 2 Oktober 2014.
Charveli, F, dkk. 2014. Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Galur
DanVarietas Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill.) Di Dataran
Rendah. Universitas Riau. Jom Faperta Vol. 1 No. 2 Oktober 2014.
Euis, S., E. Chujoi, and Kusmana. 1999. Identifications of Potato
Cultivars Resistance to Late Blight through a Standard
International Field Trial (SIFT) in Indonesia. In Potato Research in
Indonesia. Research Result in a Series of Working Papers, 1999.
Collaborative Research between The RIV and CIP. p. 37-44.
Gareth, W. Griffith. Rebecca Snell & David S. Shaw. 1995. Late Blight
(Phytophthora infestans) on tomato in the tropics. Micologist 9(2).
3p.
Halterman, D.A., L.C. Kramer, S. Wielgus and J. Jiang. 2008.
Performance of transgenic potato containing the late blight
resistance gene RB. Plant Disease. 92: 339-343.
Landecker, E.M. 1982. Fundamental of Fungi. Prentice Hall Inc,
Engelwood Cliffs, New Jersey. Page : 73.
Lucas, G.B., Campbell, and Lucas, L.T. 1985. Introduction To Plant
Diseases Identification and Management. An Avi Book Published
by Van Nustrand Reinhold, New York. Page : 146-147
http://www.repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 22 November
2014.
Nelson, S.C. 2008. Late Blight of Tomato (Phytophthora infestans).
Cooperative Extension Service. Manoa.
Nurafni,
2010.
Busuk
Daun
Kentang
(Late
Blight).
http.//nurafni65.files.wordpress.com. Diakses tanggal 22 November
2014.
Purwantisari, H. 2002. Penyakit Hawar Daun (Phytophthora infestans
(Month,) de Bary) pada Kentang dan Tomat ; Identifikasi
Permasalahan di Indonesia. Balai Penelitian Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian. dalam Buletin Agrobio 5 (2) :
halaman 67-72.

19

Rao, A.V., N. Fleshner, and S. Agarwal. 1999. Serum and Tissue Lycopene
and Biomarkers of Oxidation in Prostate Cancer Patients. dalam
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol 3.
Rizkiarty, A. 2010. Perhitungan Intensitas Penyakit. dalam Laporan Dasar
Proteksi Tanaman. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Penting Tanaman Hortikultura di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sengooba, T. and J.J. Hakiza. 1999. The Current Status of Late Blight
caused by Phytophthora infestans in Africa with empasis on
Eastern and Southern Africa. In Late Blight a Threat to Global
Food Initiative on Late Bligth Conference, March 16-19, 1999.
Quito Ecuador. Jurnal Haeni Purwanti. 5(2): Hal 67-72.
Staples, R.C. 2004. Race non-specific resistance for potato late blight.
Trends in Plant Science 9(1): 5-6.
Sugito, A., H.A. Djatmiko, dan L. Soesanto. 2010. Penekanan Nabati
pada Tanah Tanaman Tomat Terkontaminasi Fusarium oxysporum
F.SP. Lycopersici. Jurnal-jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 12: 13-18.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 2009. Budidaya Tomat Secara Komersil.
Penebar Swadaya.
Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
Warsa, T. dan Cucu S. Achyar. 1982. Teknik-teknik Rancangan Percobaan.
Fakultas Pertanian Unpad. Bandung.
Weber, G.F. 1973. Bacterial and Fungal Diseases of Plants In The
Tropics. University of Florida Press. Gainesville. 372-383p.
Wenner, B.Z.H. 2000. Importance of The Tomato. AgriSupportOnline.
Mellbourne, Australia.
Wiryanta, W.T.B. 2004. Bertanam Tomat. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Http://www.metapathogen.com/phytophthora/. Diakses
2015.

tanggal 18-01-

Http://www.ctahr.hawaii.edu/. Diakses tanggal 18-01-2015.

Anda mungkin juga menyukai