dalam 7 hari.
Volume Urine < 0.5 ml/kg/jam selama 6 jam.
Syok adalah suatu sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamis dan metabolic
ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke
organ organ vital tubuh. Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala gejala seperti
berikut :
1. Hipotensi : tekanan sistole < 80 mmHg atau MAP < 60 mmHg atau menurun >30%
2. Oliguria : produksi urine kurang dari 20ml per jam
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin, dan berkerut serta pengisian
kapiler yang buruk
Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi akibat dari volume darah dalam
pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat dari perdarahan yang massif atau
kehilangan plasma darah.
Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan sedikit
gejala yang tampak terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada hipovolemia
sedang (20-40% volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia menjadi lebih
jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi orthostatic dan takikardia. Pada hipovolemia berat, maka
gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah akan menurun drastic dan tidak stabil walau
posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oligouria, agitasi atau bingung. Perfusi
ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan
kesadaran adalah gejala penting.
Gejala Klinis Syok Hipovolemik
Ringan
Sedang
Ekstremitas dingin
Sama, ditambah :
Berat
Sama, ditambah :
Waktu
pengisian
meningkat
kapiler Takikardia
Diaphoresis
Takipnoe
Takikardia bergejala
Vena kolaps
Oliguria
Hipotensi
Cemas
Hipotensi orthostatic
Perubahan kesadaran
Epidemiologi
Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada
komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari
seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.
Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat.
Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga
disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut
dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif.
Patogenesis
GGA prerenal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti
pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal
seperti pada pemakaian obat anti inflmasi non-steroid, obat yang menghambat angiotensin
dan pada sindroma hepatorenal. Pada keadaan hipovolemia akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi
sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan
endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi
ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan
vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostaglandin dan
nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol efferen yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II (A-II) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan
homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata rata < 70
mmHg) serta berlangsung dalam waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut
akan terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi
mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan air.
Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni:
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%)
Gagal ginjal akut pre-renal disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat
disebabkan oleh hipovolemia atau menurunkan volume sirkulasi yang efektif. Pada
gagal ginjal akut pre-renal , integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga
prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat dikoreksi.
2. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%)
Gagal ginjal akut renal yang disebabkan oleh kelainan vaskular seperti vaskulitis,
hipertensi maligna, glomerolus nefritis akut, nefritis interstitial, akut, dan nekrosis
tubular akut.
3. Penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%).
Gagal ginjal akut post-renal merupakan 10% dari keseluruhan Gagal ginjal akut.
Gagal ginjal akut post-renal disebabkan oleh obstruksi intrarenal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamid) dan
protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvisureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla), dan ekstrinsik
(keganasan pada pelvis dan retroperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu,
tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura).
AKI Prarenal
I. Hipovolemia
-
hipertensi kronik,
PGK
V. Sindrom hiperviskositas
-
AKI Renal/intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
-
Glomerulonefritis, vaskulitis
Manifestasi Klinis
Gagal ginjal akut ditandai dengan berkurangnya volume urine yang keluar, cairan tubuh
yang tidak dapat keluar menyebabkan pembengkakan kaki dan tumit, merasa kehausan,
napas pendek, kelelahan, kebingungan, mual, pada kasus parah menimbulkan kejang atau
koma, nyeri dada atau dada terasa seperti ditekan. Terkadang penyakit ini tidak dapat
menimbulkan gejala atau pertanda apapun.
Diagnosis
Diagnosis gagal ginjal akut berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan bila terjadi
peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0.5mg% pada pasien dengan kadar kreatinin
awal <2.5mg% atau meningkat >20% bila kreatinin awal >2.5mg%. The Acute Dialysis
Quality Initiations group membuat RIFLE system yang mengklasifikasikan Gagal ginjal
akut ke dalam tiga kategori menurut beratnya (Risk Injury Failure) serta dua kategori akibat
klinik (Loss and End-stage renal disease)
Klasifikasi GGA Menurut The Acute Dialisis Quality Initiations
Kriteria Laju filtrasi Glomerulus
Kriteria Jumlah Urine
Risk
Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali
< 0.5 ml/kg/jam selama
Injury
Peningkatan serum kreatinin 2 kali
6 jam
Failure
Peningkatan serum kreatinin 3 kali atau
kreatinin 355mol/l
< 0.5 ml/kg/jam selama
Loss
Gagal ginjal akut persisten ; kerusakan
12 jam
total fungsi ginjal selama lebih dari 4
ESRD
minggu
< 0.5 ml/kg/jam selama
Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan
24 jam atau anuria
selama 12 jam
Urinalisis
Anuria menunjukan adanya obstruksi total traktus urinarius namun dapat juga merupakan
komplikasi dari kasus gagal ginjal akut prerenal maupun intrinsik renal yang berat. Pada
gagal ginjal akut prerenal, sedimennya berkarakteristik sebagai aseluler dan mengandung
sedimen hyalin transparan. Sedimen hyalin ini terbentuk pada urin yang terkonsentrasi
dalam konstitusi normal dari urine yakni protein Tamm-Horsfall,yang diekskresikan oleh sel
epitel pada angsa henle.
Pada pemeriksaan urine dapat ditemukan :
-
Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah
ginjal rusak.
Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin,
porfirin
Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh :
glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan;
ginjal kronik.
Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan
minimal.
Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan
selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik
pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
Tatalaksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa
AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prerenal atau inisiasi (criteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tatalaksana optimal penyakit dasar untuk mencegah
pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI
adalah prerenal / hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zaat nefrotoksis, koreksi obstruksi
pascarenal dan menghindari penggunaan zat nefrotoksis. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria, beberapa pasien
dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi
cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial,
serta elektrolit urin dan serum.
Terapi Farmakologi
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontroversial. Obat obatan
tersebut antara lain diuretik, manitol dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel menurunkan kebutuhan energi sel thick limb ansa
henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligurik lebih
baik dibanding dengna pasien AKI oligurik. Atas dasar hal tersebut banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligurik menjadi non-oligurik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis.
Namun, penelitian dan metaanalisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk
pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi
pasien oliguri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan
peningkatan resiko ototoksisitas. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis,
diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa
hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tatalaksana AKI
adalah :
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila jumlah
urine bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna bagi AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan
oliguria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v bolus 40 mg. jika manfaat tidak terlihat, dosis
dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan
lambat 10-20mg/kgbb/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi
cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas.
hipovolemia
yang
disertai
dengan
hiponatremia,
Indikasi :
1. Keadaan oligouria,
2. Anuria,
3. Hiperkalemia (K>6,5 mEq/l),
4. Asidosis berat (pH<7,1),
5. Azotemia (ureum>200 mg/dl),
6. Edema paru,
7. Ensefalopati uremikum,
8. Perikarditis uremikum,
9. Neuropati atau miopati uremikum,
10. Disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l),
11. Hipertermia,
12. Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.
Komplikasi
1. Hiperkalemia
Pada pasien dengan gagal ginjal akut, serum potasium meningkat secara signifikan,
terutama karena adanya lysis sel seperti yang terjadi pada cidera otot, hemolisis,
iskemia gastrointestinal, sindroma lisis tumor, demam tinggi, atau transfusi darah.
Hiperkalsemia diperburuk lebih jauh oleh asidosis metabolik dimana potasium
bergerak dari intraselular menuju ekstraselular. Konsentrasi serum potasium dapat
diturunkan sementara dengan pemberian glukosa dan insulin, bicarbonate, inhalasi
2agonis, dan resin pengikat potasium. Bagaimanapun, jika gagal ginjal tetap ada,
hiperkalemia akan tetap muncul dan akan berespon hanya terhadap terapi pengganti
ginjal.
2. Metabolic Asidosis
Keparahan metabolic asidosis biasanya tidak dapat dijelaskan dengan produksi
normal dari 1 mEq/kg/hari ion hidrogen. Pasien dengan gagal ginjal akut sering
dalam keadaan hiper katabolisme (demam, trauma, sepsis) dan, sebagai tambahan,
asidosis laktat dapat juga muncul karena adanya metabolisme anaerob (hypoperfusi).
Tambahan asidosis respiratory, sekunder terahadap retensi CO 2, dapat menghasilkan
acidemia (pH<7.1) yang berat terhadap metabolic asidosis. Koreksi asidosis
metabolic dengan pemberian sodiumbicarbonat secara intravena terbatas oleh resiko
hipervolemia dan atau hipernatremia. Dialisis dapat memberikan hasil memuaskan
untuk asidosis metabolic.
3. Volume Overload
Volume overload merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut oliguria. Ini
dapat menyebabkan terjadinya edema paru maupun edema perifer. Terapi paling baik
untuk volume overload ialah loop diuretics. Furosemid dapat diberikan secara
intravena maupun secara terus menerus melalui infus. Jika diberikan pada stadium
awal gagal ginjal akut, bersama dengan restriksi cairan, dapat sangat berguna dalam
mencegah volume overload.
4. Hyponatremia
Hiponatremia biasanya terkait dengan volume overload. Hiponatremia simptomatik
harus diterapi secara agresif namun harus dengan pengawasan karena koreksi
natremia yang rendah dapat mengarah ke myelinolisis central pontine jika durasi dari
elektrolit imbalance telah lebih dari 48 jam. Target peningkatan kadar natrium harus
antara 1-2 mEq/L/jam hingga simptom hilang atau hingga kadar natrium > 120
mEq/L
5. Anemia
Anemia sangat umum pada pasien dengan gagal ginjal akut. Beberapa mekanisme
terkait dalam hal ini. Hal paling sering yang menyebabkan anemia terkait gagal
ginjal akut ialah produksi eritropoetin yang tidak adekuat dan penurunan respons
terhadap eritropoetin. Terdapat juga peningkatan destruksi sel darah merah yang
merupakan hasil dari peningkatan kerapuhan eritrosit.
6. Hyperphospatemia
Hiperfosfatemia sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut. Mekanisme
utama ialah dikarenakan penurunan dari ekskresi ginjal, kerusakan jaringan dan
perpindahan cairan dari intravaskular ke ekstravaskular. Hiperfosfatemia dapat
diterapi dengan menggunakan pengikat fosfat seperti calsium karbonat, calsium
carbonat, sevalamer HCL atau Lanthanum carbonat.
7. Electrolit imbalace lainnya
Hipocalcemia, walaupun sering, jarang memerlukan terapi. Faktor faktor yang dapat
menyebabkan
hipocalcemia
termasuk
hipomagnesiemia,
hiperphospatemia,
sendiri. Angka kematian sangat bervariasi tergantung pada penyebab gagal ginjal akut : 15%
pada pasien kebidanan, 30% pada gagal ginjal akut terkait toksin dan 60% mengikuti trauma
ataupun operasi besar. Adanya oliguria (<400ml/hari) pada saat presentasi dan peningkatan
kreatinin serum >265 mol/L (>3mg/dL) berhubungan dengan prognosis yang buruk dan
mungkin menggambarkan tingkat keparahan kerusakan ginjal dan penyakit utama. Angka
kematian lebih tinggi pada pasien yang lebih tua dan lemah serta pada yang mengalami
kegagalan beberapa organ. Kebanyakan orang yang bertahan hidup dari gagal ginjal akut
memulihkan fungsi ginjal yang cukup untuk hidup normal. Namun 50% memiliki gangguan
fungsi ginjal secara subklinis dan terdapat sisa jaringan parut pada biopsi ginjal. Sekitar 5%
pasien tidak pulih fungsi ginjalnya dan memerlukan terapi pengganti ginjal jangka panjang
dengan dialisis ataupun transplantasi.
Daftar Pustaka
1. Kidney International Supplements KDIGO. Diunduh dari : http://www.kidneyinternational.org
2. Sinto R, Nainggolan G. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Diunduh dari :
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/712/709
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta.
4. Kasper, Braunwald, Fauci. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed.
McGraw-Hill. NewYork. 2005
5. Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. Current Diagnosis & Treatment
Nephrology & Hipertension. McGraw-Hill. NewYork. 2009
6. Acute Kidney Injury diunduh dari : www.medscape.com
7. McPhee SJ, Papadakins MA. Current Medical Diagnosis & Treatment.
McGrawHill. NewYork.2009
8. Mahadevan SV, Garmel GM. An Introduction to Clinical Emergency Medicine.
Cambrige University Press. Cambridge. 2005