Anda di halaman 1dari 14

Acute Kidney Injury Related Hemodinamic

Focus on Syok Hipovolemik


Definisi
Gangguan ginjal akut didefinisikan sebagai salah satu dibawah ini yakni :
-

Peningkatan SCr 0.3 mg/dl ( 26.5 umol/l) dalam 48 jam


Peningkatan SCr hingga 1.5 kali dari batas, yang diketahui atau dianggap muncul

dalam 7 hari.
Volume Urine < 0.5 ml/kg/jam selama 6 jam.

Syok adalah suatu sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamis dan metabolic
ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke
organ organ vital tubuh. Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala gejala seperti
berikut :
1. Hipotensi : tekanan sistole < 80 mmHg atau MAP < 60 mmHg atau menurun >30%
2. Oliguria : produksi urine kurang dari 20ml per jam
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin, dan berkerut serta pengisian
kapiler yang buruk
Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi akibat dari volume darah dalam
pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat dari perdarahan yang massif atau
kehilangan plasma darah.
Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan sedikit
gejala yang tampak terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada hipovolemia
sedang (20-40% volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia menjadi lebih
jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi orthostatic dan takikardia. Pada hipovolemia berat, maka
gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah akan menurun drastic dan tidak stabil walau
posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oligouria, agitasi atau bingung. Perfusi
ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan
kesadaran adalah gejala penting.
Gejala Klinis Syok Hipovolemik
Ringan
Sedang
Ekstremitas dingin
Sama, ditambah :

Berat
Sama, ditambah :

Waktu

Hemodinamik tak stabil

pengisian

meningkat

kapiler Takikardia

Diaphoresis

Takipnoe

Takikardia bergejala

Vena kolaps

Oliguria

Hipotensi

Cemas

Hipotensi orthostatic

Perubahan kesadaran

Epidemiologi
Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada
komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari
seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.
Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat.
Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga
disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut
dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif.
Patogenesis
GGA prerenal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperti
pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal
seperti pada pemakaian obat anti inflmasi non-steroid, obat yang menghambat angiotensin
dan pada sindroma hepatorenal. Pada keadaan hipovolemia akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi
sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopresin dan
endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi
ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan
vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostaglandin dan
nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol efferen yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II (A-II) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan
homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata rata < 70
mmHg) serta berlangsung dalam waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut
akan terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi
mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan air.

Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni:
1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%)
Gagal ginjal akut pre-renal disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat
disebabkan oleh hipovolemia atau menurunkan volume sirkulasi yang efektif. Pada
gagal ginjal akut pre-renal , integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga
prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat dikoreksi.
2. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%)
Gagal ginjal akut renal yang disebabkan oleh kelainan vaskular seperti vaskulitis,
hipertensi maligna, glomerolus nefritis akut, nefritis interstitial, akut, dan nekrosis
tubular akut.
3. Penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%).
Gagal ginjal akut post-renal merupakan 10% dari keseluruhan Gagal ginjal akut.
Gagal ginjal akut post-renal disebabkan oleh obstruksi intrarenal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamid) dan
protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvisureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla), dan ekstrinsik
(keganasan pada pelvis dan retroperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu,
tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura).
AKI Prarenal
I. Hipovolemia
-

Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular


Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus
Kehilangan darah
Kehilangan cairan ke luar tubuh Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase),
melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka
bakar)

II. Penurunan curah jantung


-

Penyebab miokard: infark, kardiomiopati


Penyebab perikard: tamponade
Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
Aritmia
Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


-

Penurunan resistensi vaskular perifer

Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat),

vasodilator (nitrat, antihipertensi)


Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B
Hipoperfusi ginjal lokal Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal


-

Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen


Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis,

hipertensi kronik,

PGK

(penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan


OAINS, COX-2 inhibi tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
-

sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)


Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
Penggunaan penyekat ACE, ARB
Stenosis a. renalis

V. Sindrom hiperviskositas
-

Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

AKI Renal/intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
-

Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma,


vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal


-

Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)


-

Iskemia (serupa AKI prarenal)


Toksin
Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organik,
asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemo- lisis, asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial


-

Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral, jamur),


infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular


-

Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida

VI. Rejeksi alograf ginjal


AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter

Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal

II. Obstruksi leher kandung kemih


-

Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana- san, darah

III. Obstruksi uretra


-

Striktur, katup kongenital, fimosis

Manifestasi Klinis
Gagal ginjal akut ditandai dengan berkurangnya volume urine yang keluar, cairan tubuh
yang tidak dapat keluar menyebabkan pembengkakan kaki dan tumit, merasa kehausan,
napas pendek, kelelahan, kebingungan, mual, pada kasus parah menimbulkan kejang atau
koma, nyeri dada atau dada terasa seperti ditekan. Terkadang penyakit ini tidak dapat
menimbulkan gejala atau pertanda apapun.
Diagnosis
Diagnosis gagal ginjal akut berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan bila terjadi
peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0.5mg% pada pasien dengan kadar kreatinin
awal <2.5mg% atau meningkat >20% bila kreatinin awal >2.5mg%. The Acute Dialysis
Quality Initiations group membuat RIFLE system yang mengklasifikasikan Gagal ginjal
akut ke dalam tiga kategori menurut beratnya (Risk Injury Failure) serta dua kategori akibat
klinik (Loss and End-stage renal disease)
Klasifikasi GGA Menurut The Acute Dialisis Quality Initiations
Kriteria Laju filtrasi Glomerulus
Kriteria Jumlah Urine
Risk
Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali
< 0.5 ml/kg/jam selama
Injury
Peningkatan serum kreatinin 2 kali
6 jam
Failure
Peningkatan serum kreatinin 3 kali atau
kreatinin 355mol/l
< 0.5 ml/kg/jam selama
Loss
Gagal ginjal akut persisten ; kerusakan
12 jam
total fungsi ginjal selama lebih dari 4
ESRD
minggu
< 0.5 ml/kg/jam selama
Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan
24 jam atau anuria
selama 12 jam

Urinalisis
Anuria menunjukan adanya obstruksi total traktus urinarius namun dapat juga merupakan
komplikasi dari kasus gagal ginjal akut prerenal maupun intrinsik renal yang berat. Pada
gagal ginjal akut prerenal, sedimennya berkarakteristik sebagai aseluler dan mengandung

sedimen hyalin transparan. Sedimen hyalin ini terbentuk pada urin yang terkonsentrasi
dalam konstitusi normal dari urine yakni protein Tamm-Horsfall,yang diekskresikan oleh sel
epitel pada angsa henle.
Pada pemeriksaan urine dapat ditemukan :
-

Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah

ginjal rusak.
Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin,

porfirin
Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh :
glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan;

menetap pada 1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.


PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal

ginjal kronik.
Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan

ratio urine/serum sering 1:1.


Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan

kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.


Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak

mampu mengabsorbsi natrium.


Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus
bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM
menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria

minimal.
Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan
selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik
pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.

Tatalaksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa
AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prerenal atau inisiasi (criteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tatalaksana optimal penyakit dasar untuk mencegah
pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI
adalah prerenal / hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zaat nefrotoksis, koreksi obstruksi
pascarenal dan menghindari penggunaan zat nefrotoksis. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria, beberapa pasien

dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi
cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial,
serta elektrolit urin dan serum.
Terapi Farmakologi
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontroversial. Obat obatan
tersebut antara lain diuretik, manitol dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel menurunkan kebutuhan energi sel thick limb ansa
henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligurik lebih
baik dibanding dengna pasien AKI oligurik. Atas dasar hal tersebut banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligurik menjadi non-oligurik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis.
Namun, penelitian dan metaanalisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk
pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi
pasien oliguri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan
peningkatan resiko ototoksisitas. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis,
diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa
hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tatalaksana AKI
adalah :
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila jumlah
urine bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna bagi AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan
oliguria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v bolus 40 mg. jika manfaat tidak terlihat, dosis
dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan
lambat 10-20mg/kgbb/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi
cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas.

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskular sehingga dapat


digunakan untuk tatalaksana AKI khususnya pada tahan oliguria. Namun kegunaan manitol
ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut karena bersifat
nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250mg/kg tiap 4 jam. Penelitian
lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urine, pemberian manitol tidak
memperbaiki prognosis pasien.
Dopamin dosis rendah (0.5-3ug/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tatalaksana
AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 diginjal.dopamin dosis rendah
dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat NA+/K+- ATPase
dengan efek akhir pengingkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya pada
dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak
sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons
tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yangdiberikan dengan kadar plasma dopamin.respon dopamin juga sangat tergantung dari
keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas
pembuluh darah, sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak
ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitia dan metaanalisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan
efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mucosa saluran cerna,
gangren digiti dan lain lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba
dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis dianjurkan
untuk menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat
digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.
Terapi cairan
Pada umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan koloid atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit, dan
atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan hipertonik
terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang BM nya tinggi.
1. Cairan kristaloid
a. Ringer Laktat

Larutan ini mengandung konsentrasi natrium 130 mEq/L, kalium 4 mEq/L,


klorida 109 mEq/L, kalsium 3 mEq/L, dan laktat 28 mEq/L. Cairan ini
digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstraselular yang akut. Cairan
ini diberikan pada dehidrasi berat pada diare murni dan dengue fever. Pada
keadaan syok, dehidrasi, atau DSS, pemberiannya bisa diguyur.
b. Ringer Asetat
Larutan ini mengandung konsentrasi natrium 130 mEq/L, kalium 4 mEq/L,
klorida 109 mEq/L, kalsium 3 mEq/L, dan asam asetat 28 mEq/L. Cairan ini
bisa dipakai untuk menggantikan ringer laktat. Cairan ini lebih cepat
mengoreksi keadaan asidosis metabolik dibanding ringer laktat karena ringer
asetat dimetabolisir di otot sedangkan laktat di hati.
c. Glukosa, 5%, 10%, 20%
Larutan yang berisi dekstrosa 50gr/Liter, 100gr/Liter, 200gr/Liter. Glukosa
5% digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan glukosa 10% dan 20%
digunakan pada hipoglikemia, gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal
ginjal akut dengan oliguria.
d. NaCl 0.9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari Natrium 154 mEq/L dan Klorida 154 mEq/L,
yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan

hipovolemia

yang

disertai

dengan

hiponatremia,

hipokloremia, atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam


berdarah dengue, dan renjatan kardiogenik juga pada sindroma yang
berkaitan dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi
adrenokortikal dan luka bakar.
2. Cairan koloid
a. Albumin endogen
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan di hati dengan
BM antara 66000 69000 , terdiri dari 584 asam amino. Albumin merupakan
protein serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma.
Penurunan kadar albumin 50% akan menurunkan tekanan onkotik plasma
1/3nya
b. Albumin eksogen
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin eksogen
yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang
dimurnikan (purrified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yang
dimurnikan. Larutan ini digunakan pada sindroma nefrotik dan DSS
c. HES (Hidroksi Etil Strach)

Senyawa kimia sintesis yang menyerupai glikogen. Cairan ini mengandung


partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran yang sangat
heterogen. Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume
ekspander yang cukupe efektif.
d. Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan berat
molekul. Pemberian dekstran untuk resusitasi cairan pada syok dan
kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan
transfer oksigen. Cairan ini digunakan pada sindroma nefrotik dan DSS
Prinsip terapi cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek paling penting dalam perawatan pasien. Pemilihan
cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan
metabolik yang ada. Secara sederhana, tujuan terapi cairan dibagi atas resusitasi atau
pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti
kehilangan harian.
Kebutuhan air dan elektrolit sebagai terapi dibagi atas tiga kategori :
1. Terapi pemeliharaan / rumatan
Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernapasan, kulit, urin dan tinja atau
normal water losses = NWL. Kehilangan cairan melalui pernapasan dan kulit disebut
insensible water losses / IWL. Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini dihitung
berdasarkan berat badan. Kebutuhan cairan untuk terapi rumatan dipengaruhi oleh
suhu lingkungan dan oC diatas aktifitas terutama IWL oleh karena setiap kenaikan 1
o

C kebutuhan cairan ditambah 12%, dan sebaliknya.


2. Terapi defisit
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal (previous water
losses) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya berkisar antara 5-15% BB.
Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi ini disebabkan oleh diare,
muntah muntah akibat stenosis pilorus, kesulitan pemasukan oral, dan asidosis
karena diabetes.
3. Terapi pengganti kehilangan cairan yang masih tetap berlangsung (concomitent
water losses)
Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih tetap
berlangsung, pengisapan lendir, parasentesis, dan lainnya. Jumlah kehilangan cairan
CWL ini diperkirakan 25ml/kgb/24jam untuk semua umur.

Pemilihan cairan intravena


Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasikan berupa cairan kristaloid, koloid
dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi
alergi. Kelebihan cairan kristaloid dapat mengakibatkan terjadinya edema pada tubuh
sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penangan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremik, hipokloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan ringer laktat. Tempat metabolisme laktat
terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada
hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan ringer
asetat sebagai cairan resusitasi perlu diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
berat seperti sirosis hati atau asidosis laktat.
Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya dan kondisi
komorbidnya, dari kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan tinggi seperti pada
pasien sepsis. Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA
kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru
dilakukan pembatasan pembatasan.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan
air, asam basa, elektrolit, tetapi juga asam amino / protein, karbohidrat, dan lemak.
Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini
lebih kompleks. Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan pada proses katabolis yang
terjadi sehingga pada suatu saat menjadi normal kembali.
Rekomendasi intake protein ialah sekitar 1.2-1.4 g/kg dan 20-25% dari kalori sehari harus
berasal dari lemak. Glukosa biasanya diberikan dalam cairan sebanyak 70%. Perkiraan
keperluan energi untuk pasien AKI biasanya sekitar 30-40 kcal/kgbb/hari. Keperluan
vitamin dan mineral unutk pasien AKI masih belum dapaat dipastikan namun vitamin larut
air mesti diberikan.
Dialisis

Indikasi :
1. Keadaan oligouria,
2. Anuria,
3. Hiperkalemia (K>6,5 mEq/l),
4. Asidosis berat (pH<7,1),
5. Azotemia (ureum>200 mg/dl),
6. Edema paru,
7. Ensefalopati uremikum,
8. Perikarditis uremikum,
9. Neuropati atau miopati uremikum,
10. Disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l),
11. Hipertermia,
12. Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.
Komplikasi
1. Hiperkalemia
Pada pasien dengan gagal ginjal akut, serum potasium meningkat secara signifikan,
terutama karena adanya lysis sel seperti yang terjadi pada cidera otot, hemolisis,
iskemia gastrointestinal, sindroma lisis tumor, demam tinggi, atau transfusi darah.
Hiperkalsemia diperburuk lebih jauh oleh asidosis metabolik dimana potasium
bergerak dari intraselular menuju ekstraselular. Konsentrasi serum potasium dapat
diturunkan sementara dengan pemberian glukosa dan insulin, bicarbonate, inhalasi
2agonis, dan resin pengikat potasium. Bagaimanapun, jika gagal ginjal tetap ada,
hiperkalemia akan tetap muncul dan akan berespon hanya terhadap terapi pengganti
ginjal.
2. Metabolic Asidosis
Keparahan metabolic asidosis biasanya tidak dapat dijelaskan dengan produksi
normal dari 1 mEq/kg/hari ion hidrogen. Pasien dengan gagal ginjal akut sering
dalam keadaan hiper katabolisme (demam, trauma, sepsis) dan, sebagai tambahan,
asidosis laktat dapat juga muncul karena adanya metabolisme anaerob (hypoperfusi).
Tambahan asidosis respiratory, sekunder terahadap retensi CO 2, dapat menghasilkan
acidemia (pH<7.1) yang berat terhadap metabolic asidosis. Koreksi asidosis
metabolic dengan pemberian sodiumbicarbonat secara intravena terbatas oleh resiko
hipervolemia dan atau hipernatremia. Dialisis dapat memberikan hasil memuaskan
untuk asidosis metabolic.
3. Volume Overload

Volume overload merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut oliguria. Ini
dapat menyebabkan terjadinya edema paru maupun edema perifer. Terapi paling baik
untuk volume overload ialah loop diuretics. Furosemid dapat diberikan secara
intravena maupun secara terus menerus melalui infus. Jika diberikan pada stadium
awal gagal ginjal akut, bersama dengan restriksi cairan, dapat sangat berguna dalam
mencegah volume overload.
4. Hyponatremia
Hiponatremia biasanya terkait dengan volume overload. Hiponatremia simptomatik
harus diterapi secara agresif namun harus dengan pengawasan karena koreksi
natremia yang rendah dapat mengarah ke myelinolisis central pontine jika durasi dari
elektrolit imbalance telah lebih dari 48 jam. Target peningkatan kadar natrium harus
antara 1-2 mEq/L/jam hingga simptom hilang atau hingga kadar natrium > 120
mEq/L
5. Anemia
Anemia sangat umum pada pasien dengan gagal ginjal akut. Beberapa mekanisme
terkait dalam hal ini. Hal paling sering yang menyebabkan anemia terkait gagal
ginjal akut ialah produksi eritropoetin yang tidak adekuat dan penurunan respons
terhadap eritropoetin. Terdapat juga peningkatan destruksi sel darah merah yang
merupakan hasil dari peningkatan kerapuhan eritrosit.
6. Hyperphospatemia
Hiperfosfatemia sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut. Mekanisme
utama ialah dikarenakan penurunan dari ekskresi ginjal, kerusakan jaringan dan
perpindahan cairan dari intravaskular ke ekstravaskular. Hiperfosfatemia dapat
diterapi dengan menggunakan pengikat fosfat seperti calsium karbonat, calsium
carbonat, sevalamer HCL atau Lanthanum carbonat.
7. Electrolit imbalace lainnya
Hipocalcemia, walaupun sering, jarang memerlukan terapi. Faktor faktor yang dapat
menyebabkan

hipocalcemia

termasuk

hipomagnesiemia,

hiperphospatemia,

resistensi terhadap hormon paratiroid, kekurangan vitamin D, dan penggunaan infus


yang mengandung sodium bikarbonat. Hipercalcemia dapat terjadi dari kelainan
dasar seperti keganasan ataupun multipel myeloma serta rhabdomiolisis
Prognosis
Angka kematian pasien dengan gagal ginjal akut mendekati 50% dan telah berubah sedikit
selama 30 tahun terakhir. Perlu ditekankan bahwa pasien biasanya meninggal akibat gejala
sisa dari penyakit utama yang diinduksi gagal ginjal akut dan bukan dari gagal ginjal akut

sendiri. Angka kematian sangat bervariasi tergantung pada penyebab gagal ginjal akut : 15%
pada pasien kebidanan, 30% pada gagal ginjal akut terkait toksin dan 60% mengikuti trauma
ataupun operasi besar. Adanya oliguria (<400ml/hari) pada saat presentasi dan peningkatan
kreatinin serum >265 mol/L (>3mg/dL) berhubungan dengan prognosis yang buruk dan
mungkin menggambarkan tingkat keparahan kerusakan ginjal dan penyakit utama. Angka
kematian lebih tinggi pada pasien yang lebih tua dan lemah serta pada yang mengalami
kegagalan beberapa organ. Kebanyakan orang yang bertahan hidup dari gagal ginjal akut
memulihkan fungsi ginjal yang cukup untuk hidup normal. Namun 50% memiliki gangguan
fungsi ginjal secara subklinis dan terdapat sisa jaringan parut pada biopsi ginjal. Sekitar 5%
pasien tidak pulih fungsi ginjalnya dan memerlukan terapi pengganti ginjal jangka panjang
dengan dialisis ataupun transplantasi.
Daftar Pustaka
1. Kidney International Supplements KDIGO. Diunduh dari : http://www.kidneyinternational.org
2. Sinto R, Nainggolan G. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Diunduh dari :
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/712/709
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta.
4. Kasper, Braunwald, Fauci. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed.
McGraw-Hill. NewYork. 2005
5. Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. Current Diagnosis & Treatment
Nephrology & Hipertension. McGraw-Hill. NewYork. 2009
6. Acute Kidney Injury diunduh dari : www.medscape.com
7. McPhee SJ, Papadakins MA. Current Medical Diagnosis & Treatment.
McGrawHill. NewYork.2009
8. Mahadevan SV, Garmel GM. An Introduction to Clinical Emergency Medicine.
Cambrige University Press. Cambridge. 2005

Anda mungkin juga menyukai