SIDA
Disusun oleh :
Veresa Chintya
11.2013.215
Pembimbing :
dr. Ruswhandi, Sp.PD, KGEH
: 11.2013.215
Dr.Pembimbing/Penguji
============================IDENTITAS PASIEN==============================
Nama lengkap: Ny. YO
Tempat/tanggal lahir: Jakarta, 15 Oktober 1980
Status perkawinan: Menikah
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Alamat: Rawasari Timur I dalam, Cempaka Putih
A.ANAMNESIS
Diambil dari: Auto/Alloanamnesis Tanggal: 8/01/2015 Jam: 09.00
Keluhan utama
Badan lemas sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh lemas sejak 1 minggu SMRS. Selain itu pasien juga mengeluh kepala terasa
pusing, jantung berdebar-debar, demam hilang timbul, suhu badan tidak diukur oleh pasien.
Demam tidak diikuti dengan menggigil, tidak ada nyeri sendi, tidak ada riwayat mimisan
maupun gusi berdarah, tidak ada riwayat batuk-batuk lama, tidak ada nyeri tenggorokan maupun
nyeri menelan, dan tidak diare. Tidak terdapat nyeri ulu hati. Terdapat mual namun tidak muntah.
Nafsu makan biasa, dan tidak terdapat penurunan berat badan. BAK tidak nyeri, tidak anyang
anyangan, dengan konsistensi jernih kekuningan dalam sehari kira kira 6 gelas aqua. BAB
normal. Pasien diketahui menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu. Suami pasien meninggal 1,5
bulan yang lalu karena SIDA. Terdapat riwayat meminum ARV( Anti Retroviral) sejak 1,5 bulan
yang lalu, obat ARV yang digunakan yaitu Nevirapin 1xsehari, Lamivudin 1xsehari. Saat
diketahui SIDA CD4 302.
(-) Malaria
(-)Disentri
(-)Burut (Hernia)
(-)Difteri
(-)Hepatitis
(-)Penyakit prostat
(-)Batuk rejan
(-)Tifus abdominalis
(-) Wasir
(-)Campak
(-)Skrofula
(-)Diabetes
(-)Influensa
(-)Sifilis
(-)Alergi
(-)Tonsilitis
(-)Gonore
(-)Tumor
(-)Korea
(-)Hipertensi
(-)Penyakit Pembuluh
(-)Ulkus Ventrikuli
(-)Perdarahan otak
(-)Pneumonia
(-)ulkus duodeni
(-)Psikosis
(-)Pleuritis
(-)Gastritis
(-)Neurosis
(-)Tuberkulosis
(-)Batu Empedu
Lain-lain: (-)Operasi
(-)Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Suami pasien menderita SIDA, dan telah meninggal 1,5 bulan yang lalu.
Tidak ada keluarga pasien yang menderita DM, Asma, Hipertensi, Penyakit jantung, penyakit ginjal.
Adakah kerabat yang menderita:
Penyakit
Alergi
Asma
Tuberculosis
Arthritis
Rematisme
Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung
Ya
Tidak
V
V
Suami
V
V
V
V
V
V
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Hubungan
Habitus
: Atleticus
Keadaan gizi
: Normoweight
Tinggi badan
: 153 cm
Berat badan
: 50 kg
IMT
: 21,4 kg/m2
Tanda-tanda vital
o TD
: 110/70 mmHg
o Nadi
o RR
: 20 x/menit
o Suhu
: 37 0 C per axilla
Kepala
:bentuk
Telinga
timpani intak
Hidung
Mulut
Tenggorokan
Leher
: JVP: 5-2 cm
Thorax
Pulmo
Cor :
Abdomen
:I
:P
Ekstremitas
:P
: timpani
:A
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
4,2
12-16 gr/dL
Hematokrit
11
37-47 %
Eritrosit
1,1
4,3-6,0 juta/uL
Leukosit
1880
4800-10.800/uL
Trombosit
192000
150.000-400.000/uL
MCV
103
80-96 fl
MCH
39
27-32 pg
MCHC
38
32-36 g/dL
Ureum
17
20-50 mg/dL
Kreatinin
0.6
0.5-1.5 mg/dL
99
<140 mg/dL
Natrium (Na)
135
135-147 mmol/L
Kalium (K)
3.6
3.5-5.0 mmol/L
Klorida (Cl)
100
95-105 mmol/L
D. RINGKASAN (RESUME)
Wanita 34 tahun datang ke RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1
minggu SMRS. Selain itu pasien juga mengeluh badan terasa pusing, jantung berdebar-debar,
demam hilang timbul. Terdapat mual namun tidak muntah. Pasien diketahui menderita SIDA
sejak 4 bulan yang lalu. Suami pasien meninggal 1,5 bulan yang lalu karena SIDA. Terdapat
riwayat meminum ARV( Anti Retroviral) sejak 1,5 bulan yang lalu, obat ARV yang digunakan
yaitu Nevirapin 1xsehari, Lamivudin 1xsehari. Saat diketahui SIDA CD4 302.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang kesadaran compos
mentis TD 110/70 Nadi 104x/menit RR 20x/menit Suhu 37 o C, terdapat konjungtiva anemis +/+
dan kulit terlihat pucat. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 4,2 g/dl Ht 11% Eritrosit
1,1 juta/uL, Leukosit 1880, MCV 103 fL, MCH 39 pg, MCHC 38 g/dL, dan ureum 17mg/dL.
E. MASALAH
1. SIDA
2. Anemia Gravis
F.PENGKAJIAN MASALAH DAN RENCANA TATALAKSANA
1
SIDA
Dasar yang mendukung :
Anamnesis :
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Penunjang :
Rencana diagnostik :
-Cek CD4
-Rontgen Thorax
Rencana terapi :
- Tenofovir 1x1
- Hiviral 2x1
- Neviral 1x1
Anemia Gravis ec ARV dd/ defisiensi asam folat dd/ defisiensi vitamin B12
Dasar yang mendukung
Anamnesis:
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Penunjang :
Rencana diagnostik :
Rencana terapi :
-
G.KESIMPULAN
1. Perempuan 34 tahun mengidap SIDA dan mengalami Anemia gravis ec ARV
H.PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia
I.
Ad functionam : dubia
Ad sanationam : dubia
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 09/01/2015 pukul 08.00
S:
Pasien mengatakan badan terasa lemas, kepala pusing, jantung berdebar, dan terkadang
Pemeriksaan fisik
O:
HIV - AIDS
DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit yang
diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
EPIDEMIOLOGI
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus
baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
(Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur
telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic).
( Mustikawati DE dkk, 2009)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS
yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat
dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada
tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110
kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar
74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan
48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan
2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok
homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun
hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok usia 2029 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 3039 tahun. (Depkes RI, 2008)
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif
kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan
2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah
kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes
RI,2008)
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008
adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350
jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar
20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,
diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146
kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008)
ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk
retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana
lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper
lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.
Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim
transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama
disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang
terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat
dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)
MODE PENULARAN
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa genital
(hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang
terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu
ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
.
Risiko tinggi
rendah
selama
ditentukan
Darah, serum
Semen
Sputum
Sekresi vagina
tidak
terkontaminasi
darah
Cairan amnion
Mukosa seriks
Cairan
Muntah
serebrospinal
Feses
Cairan pleura
Saliva
Cairan peritoneal
Keringat
Cairan perikardial
Air mata
Cairan synovial
Urin
Sumber : Djauzi S, 2002
PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai
afinitas
terhadap
molekul
permukaan
CD4.
Limfosit
CD4+
berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan
fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk,
2006)
Namun beberapa se lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,
mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit
CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan
bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi
pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific
intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Antigen gp120 yang berada
pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5,
dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel
CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan
bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA
pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai
provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim
polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-
protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini
menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion
akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di
kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,
akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai
antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di
sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali
sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela.
Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun
selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T
CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan
terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien
HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)
PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z
dkk, 2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat,
dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan
memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Kelompok
Umum
Mukokutan
Limfadenopati
Neurologi
Saluran cerna
Gejala
Demam
Nyeri otot
Nyeri sendi
Rasa lemah
Ruam kulit
Ulkus di mulut
Kekerapan (%)
90
54
70
12
74
Nyeri kepala
32
Nyeri belakang mata
Fotofobia
Depresi
Meningitis
12
Anoreksia
Nausea
Diare
32
Jamur di mulut
12
Gejala klinis infeksi primer HIV
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan
menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.
Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit
CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata
yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam
kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan limfoid, yang
dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar
getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban
Z dkk, 2006)
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang
tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan
efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya
lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006).
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV menyebar
luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada pemeriksaan darah tepi.
Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan penurunan viremia.
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga mencapai
di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.
DIAGNOSIS
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yang
tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV,
deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni
melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit
Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. ( Depkes RI, 2007)
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan jika
ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika
suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil,
mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan.
Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia),
disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.
(Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki sensitivitas
tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif, maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi
oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot
(WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum
tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini
dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18
bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan
WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan
strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan
pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal
hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate
dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila
orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS).
Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai
panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah
terapi ARV.
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam 8
tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
nevirapin
Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung
jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi
dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh
dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai
terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya
setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda
klinis yang baru. (Depkes RI, 2007)
Jika
tidak
tersedia
pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak diberikan
Bila jumlah total limfosit
<1200
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru
dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai
penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm 3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat
ditentukan.
3. Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4
tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau
III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini
belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV
adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit
akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi
dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV
sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk
memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien
dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi
ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3.
Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan
memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai
pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang
aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan
fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin
(AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan
lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu
setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)
Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan
oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi
ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan
monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara
yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI
dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin
(3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan
efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007)
Terapi ARV
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +
NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan
anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.
Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti
lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.
digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya
dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat.
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal
terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya
masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama
kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3
yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
Pencegahan Infeksi Oportunistik
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yakni
(Djauzi S dkk, 2002) :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi. Misalnya
pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm 3 untuk mencegah
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi. Contohnya
setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam dosis yang
lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi
oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan. Namun
bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut
menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik.
Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi
pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL.
editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of
America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors.
Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
6. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z,
Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in
Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM 2009
7. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
8. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.
Geneva. 2010.