I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Status Perkawinan
Alamat
II.
: Tn. N
: 34 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Jawa
: SMK
: Karyawan Swasta
: Duda (cerai mati)
: Cibubur
RIWAYAT PSIKIATRIK
Keluhan utama
Pasien datang untuk kontrol dan meminta obat rutin.
Keluhan tambahan
Pasien merasa berat badannya menurun dan merasa susah tidur apabila mengikuti dosis
Suboxon anjuran yang diresepkan oleh dokter.
Autoanamnesis:
Pasien mulai memakai putaw sejak tahun 1998, pada saat dirinya masih duduk di
bangku SMK. Pasien pertama kali memakai putaw karena diberikan oleh saudara
sepupunya. Pasien mengaku menggunakan putaw tersebut hanya untuk coba-coba dan
pada awalnya, pasien merasa pusing dan mual setiap kali menggunakan putaw. Namun
lama kelamaan, pasien menjadi kecanduan. Pasien merasakan adanya kenikmatan dan
kesenangan
setiap
kali
menggunakan
putaw
dan
pasien
akan
merasakan
ketidaknyamanan dan berbagai keluhan seperti batuk-batuk sakaw, gelisah dan sulit tidur
apabila tidak menggunakannya. Oleh karena itu, pasien menjadi rutin menggunakan
putaw, sebanyak 3-4 kali seminggu. Awalnya putaw digunakan dengan cara nge-dreg
(dragon), namun lama kelamaan pasien menggunakannya dengan cara suntik untuk
mendapat efek yang diinginkan. Selain itu pasien juga pernah menggunakan shabu dan
ganja sebagai selingan putau, namun menurut pengakuan pasien, shabu dan ganja hanya
dikonsumsi sekitar satu kali dalam sebulan. Hal ini berlangsung selama 7 tahun.
Setelah lulus SMK, pasien menikah, namun pada tahun 2003 istri pasien
meninggal dunia. Akibatnya, pasien menjadi depresi dan konsumsi putaw meningkat.
Pada tahun 2005, pasien bertekad untuk berhenti mengkonsumsi NAPZA dan
memutuskan untuk pindah ke Jogjakarta. Selama di Jogjakarta, pasien berhasil lepas dari
NAPZA dengan cara menahan rasa craving dan gejala withdrawalnya (tanpa rehabilitasi).
Pasien juga berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai juru masak di sebuah restoran,
namun pasien mulai mengeluh batuk-batuk yang tak kunjung sembuh. Pasien kemudian
memeriksakan diri ke rumah sakit. Pasien didiagnosis menderita TBC dan hasil
pemeriksaan HIV positif.
Pada tahun 2012, pasien kembali ke Jakarta untuk tinggal bersama keluarganya.
Oleh saudara sepupunya, pasien diajak mengkonsumsi zat Subutex, sehingga pasien
kembali menjadi pecandu. Namun karena pasien memiliki keinginan yang kuat untuk
kembali berhenti menggunakan NAPZA, maka pasien pergi berobat ke Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) untuk meminta bantuan. Oleh dokter, diberikan terapi
dengan menggunakan Suboxon 1 x 4 mg.
RIWAYAT PEMAKAIAN ZAT PSIKOAKTIF
N
Jenis Zat
Ganja
o
1.
2.
Opioid
(heroin)
Sejak umur
Cara penggunaan
18 tahun
Dreg
Suntik
18 tahun
Merokok
3.
3-4
1x/bulan
4.
kuantitas
Pemakaian 1 thn terakhir
kali/bulan
terapi
5.
Suboxon
terapi
6.
Pemakaian yg terakhir
7.
SedatifHipnotik
Halusino
18 tahun
Hisap dengan
bong
1x/bulan
Suboxon
terapi
10 tahun
kali
Suboxon
yang lalu
Alasan pemakaian
Diberikan
(2004)
Diberikan
oleh
oleh
sepupu
sepupu
pertama kali
Kokain
Alkohol
Metamfetamin
gen
10 tahun yang
Diberikan oleh
sepupu
(+) pada tahun 2000 karena ketahuan saat sedang transaksi putaw. Pasien dipenjara selama 8
bulan.
lalu (2004)
Tembakau
Masalah dengan :
1. Orang tua
3. Teman
:-
4. Pekerjaan
:-
5. Keuangan
:-
KEADAAN FISIK
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 120/70mmHg
Nadi
: 78 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,7oC
Tinggi badan
: 170 cm
Berat badan
: 65 kg
Kepala
: normosefali, deformitas (-)
Mata
: sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/Hidung
: septum nasi di tengah, sekret -/Mulut
: mukosa oral basah, merah muda
Paru
: dalam batas normal
Jantung
: dalam batas normal
Abdomen
: dalam batas normal
Punggung
: deformitas (-), kifosis (-), skoliosis (-)
Ekstremitas :
Capillary Refill Time < 2 detik
Akral hangat
Refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/Needle track (-)
HASIL PEMERIKSAAN PSIKIATRIK
Penampilan
Perilaku dan aktivitas psikomotor
Sikap terhadap pemeriksa
Pembicaraan
Mood
Afek
Keserasian
Gangguan persepsi
Halusinasi
Ilusi
Arus pikiran
Produktivitas
Kontinuitas
Isi pikiran
Preokupasi pikiran
Waham
Usaha bunuh diri
Sensorium, kognitif
Kesadaran
Orientasi
waktu
tempat
orang
situasi
Daya ingat
Recent memory
Immediate memory
Remote memory
Konsentrasi, perhatian
Pikiran abstrak
Pengendalian impuls
Insight
Judgement
Taraf dapat dipercaya
: baik
: tidak terganggu
:::: Compos mentis
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik (derajat VI)
: Baik
: Dapat dipercaya
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS
Afek
Persepsi
Isi pikir
: Luas
: Tidak terganggu
: Tidak terganggu
Tidak dilakukan
RIWAYAT PERAWATAN/PENGOBATAN/REHABILITASI SEBELUMNYA
Efek Positif
gembira
Efek Negatif : Gelisah, marah-marah dan memaki
Riwayat penyakit : HIV (+), TBC (+)
Laboratorium : dalam batas normal
DIAGNOSIS
Axis I
Axis II
Axis III
Axis IV
Axis V
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: dubia ad malam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
PENATALAKSANAAN
Terapi Farmakologi :
Suboxon 1 x 4 mg
Tenofovir 4x300 mg po
Lopinavir 2 x 200 mg, Ritonavir 2 x 50 mg
DASAR TEORI
OPIOID
Opioid
merupakan
sangat kuat
potensi
ketergantungannya, sehingga disebut dengan julukan "horror drug". Termasuk golongan opioid
adalah morfin, petidin, heroin, metadon, kodein. Golongan opioid yang paling sering
disalahgunakan adalah heroin. Heroin di Indonesia disebut "putauw". Heroin merupakan opioid
semi-sintetik yang berasal dari morfin. Ada 3 bentuk penggunaan heroin di Indonesia, yaitu:
a. cara "dragon" : uap heroin yang dipanaskan melalui alumunium foil dihirup dengan bibir
menggunakan
bong
pipa
dari
uang
kertas
atau
plastik).
b. cara injeksi dengan menggunakan suntikan melalui intra venous atau intra muskuler
c.
cara
merokok
bubuk
heroin
dicampurkan
dengan
rokok/tembakau.
EPIDEMIOLOGI
Orang dengan ketergantungan opioid paling sering menggunakan heroin. Menurut DSM-IV-TR ,
prevalensi seumur hidup penggunaan heroin adalah sekitar 1%. Jumlah pengguna heroin di
Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 300-500ribu. Rasio pria terhadap wanita dengan
ketergantungan heroin adalah sekitar 3:1. Pengguna opioid biasanya mulai menggunakan zat
pada usia awal 20-an, sebagian besar ketergantungan opioid berusia 30-an sampai 40-an.
Menurut DSM-IV-TR, kecenderungan ketergantungan mengalami remisi biasanya
setelah
umur
40
tahun
dan
disebut
dimulai
pendewasaan.
ETIOLOGI
Faktor Psikososial
Ketergantungan opioid tidak terbatas pada kelas sosioekonomi rendah, meski insiden
ketergantungan opioid lebih besar pada kelompok ini daripada kelas sosioekonomi yang lebih
tinggi. Kurang lebih 50% pengguna heroin di perkotaan adalah anak dari orang tua tunggal atau
orang
satu
tua
anggota
bercerai
keluarga
dan
berasal
lain
dari
mengalami
keluarga
gangguan
yang
terkait
setidaknya
zat.
Sejumlah pola perilaku konsisten tampaknya terutama menonjol pada remaja dengan
ketergantungan opioid. Pola ini disebut sebagai sindrom perilaku heroin : depresi yang
mendasari, sering berupa agitatif dan kerap disertai gejala ansietas; impulsivitas yang
ditunjukkan dengan orientasi pasif-agresif; takut gagal; penggunaan heroin sebagai obat
antiansietas untuk menyamarkan perasaan rendah diri, keputusasaan ; rendahnya toleransi
frustasi disertai kebutuhan pemuasan segera; serta gangguan dalam hubungan sosial dan
interpersonal dengan teman sebaya yang dipertahankan dengan pengalaman menggunakan zat
bersama.
Faktor Biologis dan genetik
Terdapat bukti adanya faktor kerentanan yang diturunkan secara genetik yang
meningkatkan kecenderungan mengalami ketergantungan obat. Orang dengan gangguan terkait
opioid mungkin memiliki hipoaktivitas sistem opiat yang ditentukan secara genetik.
DIAGNOSIS
HEROIN
Heroin
(INN:
opioid yang di
diacetylmorphine,
sintesa dari
kandungan
efektif.
ampas
morfin
Heroin
bunga
dan
opium
kodein
merupakan
diamorphine)
adalah
BAN:
(Papaverum
yang
3.6-diacetyl
ester
dari
dari
sintetik
opium.
Pada
somniferum)
merupakan
semi
yang
mempunyai
penghilang
rasa
nyeri
morphine
(oleh
yang
karena
itu
chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.
Karakteristik
Heroin
merupakan
ketergantungan.
narkoba
Heroin ini
yang
bentuknya
sangat
berupa
sering
menimbulkan
efek
pahit.
Dalam pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya
dengan injeksi atau dihirup atau per oral.
Farmakokinetik
Absorpsi
Heroin diabsorpsi baik di subkutaneus, intramuscular, dan permukaan mukosa hidung
atau mulut.
Distribusi
Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju ke dalam jaringan. Konsentrasi
heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal, dan limpa, sedangkan diotot skelet konsentrasinya
rendah. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin
atau golongan opioid lainnya.
Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi
morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi 6-glukoronid yang
berefek analgesic lebih kuat dibandingkan morfin sendiri.
Ekskresi
Heroin terutama dieksresi melalui urine ( ginjal). 90% diekresikan dalam 24 jam pertama ,
meskipun masih dapat ditemukan dalam urin 48 jam.
Farmakodinamik
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang
berlokasi di otak dan medulla spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri.
Terdapat 3 reseptor spesifik, yaitu reseptor (mu), delta dan kappa. Reseptor merupakan
reseptor untuk heroin. Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan
dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan
neurotransmitter terhambat.
Gejala dan Tanda Pemakaian Heroin
Efek Pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair,
kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas, tidak dapat
berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi a[abila si pecandu putus menggunakan
putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan pecandu
melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw
yaitu mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal dibawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan.
Penatalaksanaan.
Intoksikasi akut (over dosis)
Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
Oksigenasi yang adekuat
Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)
Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10menit. Bila tidak
ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hinggamaksimum 10 mg. Naloxone efektif
untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus
diobservasi terhadap efek naloxonedalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek.
Untuk mencegahrekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga
gejalaminimal (menghilang).
b. Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1.Terapi kondisi withdrawl
2.Terapi detoksifikasi
3.Terapi rumatan (maintenance)
4.Terapi komplikasi
5.Terapi aftercare
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat prioritas.
Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan zat
lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal,
danjantung), juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan
penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi
lainyang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan hospitalisasi
lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh
sebagai akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental,
hospitalisasi membatu mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty
feelingkarena
penyesalan
perbuatannya
dimasa
lalu,
destruksi
diri
dan
tindak
kekerasan.Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus
mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien
dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien tidak pernah
disarankan untuk perawatan jangka panjang.