Anda di halaman 1dari 16

EVALUASI PASCA HUNI PENGGUNA INTERNAL

TERHADAP PERFORMANSI FISIK KAMAR OPERASI


DI RUMAH SAKIT PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

Objek Penelitian
(Manajemen Fisik Kamar Operasi)

Evaluasi Pasca Huni :


Aspek Teknikal
Aspek Perilaku
Aspek Fungsional

Obyek empirik

Standar Depkes :
1. Pencahayaan
2. Penghawaan
3. Kelembaban
4. Kebisingan

Performansi Fisik :
Kelistrikan
Lokasi
Sirkulasi Udara
Pembagian Area
Komponen Ruang

Obyek empirik

Obyek empirik

1.

Landasan Ontologis dalam Penelitian ini

A. Performansi Fisik
Pencahayaan merupakan salah satu pertimbangan dalam kenyamanan dalam
bekerja. Pencahayaan pada ruang operasi maupun pencahayaan lampu operasi
memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu. Switches lampu baik lampu utama
kamar operasi maupun lampu operasi sentral harus terdapat di dinding dalam
kamar operasi. Lampu operasi memiliki kecerahan sampai 80.000 lux. Lampu
kamar operasi harus memiliki kecerahan yang lebih di atas kecerahan lampu
operasi. Hal ini untuk mencapai suatu efek kontras antara medan operasi dan
lingkungan sekitar medan operasi. Dalam pengaturan pencahayaan juga harus
diperhatikan tentang adanya efek glare. Efek glare adalah efek menyilaukan yang
diperoleh ketika suatu cahaya mengenai suatu benda metal atau benda yang sangat
memantulkan cahaya. Efek ini dapat dihindari dengan cara merubah design dari
barang yang menimbulkan glare maupun dengan cara menata ulang peralatan
maupun instrumen yang menghasilkan efek glare jika terkena cahaya. Lampu
operasi harus memiliki batere cadangan yang akan sangat berguna ketika terjadi
mati lampu di tengah-tengah proses operasi. Dua faktor utama di dalam konsep
perencanaan pencahayaan adalah tingkat penyinaran dan pengotrolan silau.
Selain itu unsur luar yang turut mempengaruhi kenyamanan pandangan yang
harus diselesaikan secara teknis adalah wujud objek yang di pandang, latar
belakang objek, dan kondisi fisiologis mata.

Pada hakikatnya, konsep

perencanaan pencahayaan adalah pengaturan efek sinar yang sesuai terangnya dan
tidak menyilaukan sehingga kenyamanan dapat terjadi (Hatmoko, 2010).
Selain lighting, penggunaan warna pada ruangan juga dapat mempengaruhi
kondisi gelap terang ruangan, yang kemudian dapat mempengaruhi kondisi psikis

orang yang ada di dalamnya.

Warna-warna hangat seperti orange, dapat

meningkatkan rasa sosial dalam diri seseorang. Warna-warna hangat seperti ini
dapat diterapkan pada ruang-ruang bersama seperti ruang tunggu dan ruang lobby.
Warna juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap waktu, ukuran,
berat dan volume. Pada ruang-ruang bersama penggunaan warna-warna hangat
dapat menjadikan waktu berlangsung lama, sebaliknya warna-warna dingin dapat
menjadikan waktu berlangsung cepat (Hatmoko, 2010).
Adanya pendingin ruangan atau air conditioner di dalam ruang operasi dapat
meningkatkan kenyamanan bagi tenaga medis maupun pasien. Selain berfungsi
sebagai pendingin ruangan, air conditioner juga berfungsi sebagai pengatur
sirkulasi udara di dalam ruang operasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya ventilasi
yang menghubungkan ruang operasi dengan lingkungan luar. Pendingin ruangan
namun memiliki suatu perhatian khusus, yaitu fungsinya sebagai penyaring udara,
maka harus diperhatikan agar udara luar tidak terbawa masuk ke dalam ruang
operasi dan penyaring udara tidak boleh digunakan terlalu lama karena penyaring
udara dapat menjadi tempat yang baik sebagai tempat berkembang biak bakteri
dan penyebaran spora jamur (Rao, 2004).
Untuk mencapai kenyamanan, kesehatan, dan kesegaran dalam ruangan perlu
usaha untuk mendapatkan udara segar dari aliran udara alam maupun buatan.
Untuk mendapatkan udara segar dari alam yaitu memberi bukaan (ventilancy)
pada daerah yang diinginkan, dan untuk udara segar buatan yaitu dengan
menggunakan kipas angin maupun penyejuk ruangan (Tangoro, 2000).
Ventilasi berperan penting dalam kontrol infeksi lingkungan di dalam kamar
operasi.

Pada ruangan yang tidak memiliki horizontal laminar airflow maka

penyalur udara bersih diletakan di langit-langit dan penghisap udara berada di


dekat lantai. Pintu ruang operasi harus selalu dalam keadaan tertutup. Pintu
dibuka hanya ketika tenaga medis, peralatan, maupun pasien akan melewatinya.
Konsep pengolahan dan pengendalian udara atau penghawaan pada ruang pada
hakekatnya terdiri dari tiga hal yaitu :
a. Pengendalian kalor atau panas dan suhu serta penggunaan bahan material
bangunan seperti jenis dan tekstur bangunan, zat pelapis atau cat, orientasi
bangunan terhadap arah sinar matahari dan angin, tata hijau lingkungan
mempengaruhi seberapa besar atau seberapa kecil panas atau kalor yang
diserap atau dikeluarkan untuk menciptakan suhu nyaman bagi pengguna
yaitu berkisar 25-26 derajat selsius.
b. Pengendalian kelembaban udara yang nyaman bagi tubuh adalah sekitar
40-70%.

Salah satu strategi untuk mengendalikan kelembaban udara

dalam suatu ruangan yaitu dengan mempercepat proses penguapan. Hal ini
dicapai dengan mengoptimalkan aliran sirkulasi udara atau ventilasi.
Ventilasi diperoleh dengan memanfaatkan perbedaan bagian-bagian
ruangan yang berbeda suhunya, dan karena berbeda tekanan udaranya.
c. Pengendalian pertukaran udara.

Kesegaran udara dalam ruang serta

kesehatannya diukur dengan besarnya kadar zat asam (CO2) tidak


melebihi 0,1-0,5 %. Pergantian udara dalam ruang dikatakan baik apabila
untuk ruangan dengan dimensi lima meter kubik per orang, udara dalam
ruang harus diganti lima kali per jam. Semakin kecil rasio ruang per
orang, frekuensi pergantian udara semakin tinggi (Hatmoko, 2010).

Kebisingan dapat mengganggu kinerja tenaga medis di dalam kamar operasi.


Dengan adanya kebisingan, percakapan yang terjadi antara tenaga medis di dalam
kamar operasi bisa terganggu. Sumber kebisingan bisa dari instrumen-instrumen
yang terdapat dalam kamar operasi maupun orang itu sendiri (Clancy, 2008).
Akustik adalah suatu bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu atau
berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Bising yang cukup keras di atas 70 desibel
dapat menyebabkan kegelisahan, kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit
lambung dan masalah peredaran darah (Doelle, 1980). Sumber kebisingan bisa
berasal dari dalam bangunan (Interior noise/impact noise) dan kebisingan yang
berasal dari luar bangunan (Exterior noise/airborne noise).

Impact noise

merupakan kebisingan yang terjadi karena aktivitas yang terjadi di dalam


bangunan itu sendiri, sedangkan airborne noise merupakan kebisingan yang
terjadi karena situasi di luar bangunan (Doelle, 1972).
Faktor kenyamanan terhadap kebisingan adalah tingkat kebisingan yang dapat
diterima dan dapat diatasi oleh elemen interior di dalam melawan airborne noise
dan impact noise, elemen interior seperti dinding atau partisi pada klinik harus
meredam bunyi dengan kekuatan 40-50 desibel (Simha, 1985).
Konsep pengendalian kebisingan ditujukan untuk mengatasi kebisingan dari
dalam bangunan (interior noise/impact noise), dan dari luar bangunan (exterior
noise/airborne noise). Tingkat kebisingan yang diijinkan untuk sebuah pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit yaitu antara 35 sampai 45 desibel, sehingga
penyelesaian pengendalian kebisingan diupayakan melalui elemen interior seperti
dinding atau partisi di mana untuk rumah sakit paling tidak harus dapat meredam
bunyi dengan kekuatan 40 sampai 45 desibel. Konsep yang digunakan untuk

mengatasi masalah kebisingan adalah mengolah tata letak dan perencanaan


interior, pemilihan material bangunan serta finishing dinding sedemikian rupa
yang dapat mendukung pengendalian kebisingan tersebut. Di sisi lain,
perencanaan tata massa bangunan juga berperan dalam pengendalian kebisingan.
Penggunaan material seperti karpet, baik pada lantai maupun dinding dapat
mereduksi kebisingan sampai 70 persen. Penggunaan plafon yang tepat juga
dapat mereduksi kebisingan terutama dari lantai ke lantai. Kebisingan juga dapat
dihindari dengan tidak menggunakan bahan-bahan logam pada furnitur (Hatmoko,
2010).
Debu dan getaran akan muncul dari aktivitas pengolahan sampah padat
melalui insenerator atau dari generator listrik.

Oleh karena itu, salah satu

penyelesaian untuk mencegah kondisi di atas dengan langkah aktif maupun


dengan langkah pasif. Sebagai langkah aktif adalah melakukan pengelolaan dan
pemeliharaan di lokasi yang memungkinkan timbulnya sumber bau.

Sedang

langkah pasif adalah melakukan rekayasa bangunan dan tata ruang terbuka dengan
memanfaatkan vegetasi atau tata hijau yang ditanam rapat. Dari tata hijau tersebut
diharapkan mampu mereduksi bau, debu maupun getaran yang mungkin terjadi.
Pada ruang perawatan kadar debu maksimal 150 g/m3 udara dalam pengukuran
rata-rata 24 jam, selain itu sudut ruang yang menggunakan bentuk konus juga
sangat berpengaruh untuk menghindari debu dan memudahkan sistem kebersihan
dan perawatan dalam ruangan (Hatmoko, 2010).
Pentingnya kaitan fisik rumah sakit juga terlihat dari beberapa dimensi mutu
yang mensyaratkan perlunya manajemen fisik rumah sakit yang baik untuk
mewujudkan dimensi tersebut antara lain :

a. Physical safe : membutuhkan lingkungan yang secara fisik aman.


b. Tangibles : membutuhkan penampilan fisik yang baik.
c. Accessibility : membutuhkan kondisi fisik yang mempermudah akses
bagi yang membutuhkan.
d. Ammenities : membutuhkan fasilitas fisik yang nyaman.
e. Affordability : membutuhkan sarana fisik yang dapat menunjang
efisiensi pelayanan.
f. Interpersonal relationship : membutuhkan fasilitas fisik yang
memperhatikan hubungan antar manusia baik antara pemberi layanan
dengan pelanggan, maupun antara petugas pemberi layanan.
g. Respect and caring : membutuhkan lingkungan fisik yang
memberikan kesan perlakuan hormat, sopan dan penuh perhatian
(Hatmoko, 2010).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Miller dan Swenson (1995) mengenai
desain yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan pelanggan hasilnya antara
lain :
a.

Physical comfort : meliputi kenyamanan temperatur, cahaya yang


sesuai, tidak bising, furniture yang nyaman, ada fasilitas telepon, tidak
berbau.

b.

Social comfort : meliputi cukup privasi (percakapan dengan dokter


tidak mudah didengar orang yang tidak berkepentingan).

c.

Symbolic meaning : seperti ruang tunggu yang sempit dan kursi yang
tidak nyaman akan mengesankan merendahkan pasien.

d.

Way finding : orang yang datang ke rumah sakit umumnya dalam


keadaan stress dan panik, bila petunjuk menuju ruang-ruang di rumah
sakit yang kurang jelas dan banyak maka pasien atau keluarga pasien
dapat menuju daerah terlarang atau berbahaya.

B. Evaluasi Pasca Huni


Evaluasi pasca huni didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat
keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada
pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya (Preiser, et.al, 1998).
Hatmoko (2004) menyebutkan evaluasi pasca huni adalah suatu proses
evaluasi fasilitas dengan cara yang sistematik setelah fasilitas tersebut dibangun
dan dihuni dalam suatu kurun waktu tertentu.
Kebanyakan fasilitas kesehatan sekarang berada dalam tahap penghunian dan
pemanfaatan, sehingga sangat diperlukan evaluasi terhadap fasilitas yang ada
sekarang.

Tahap evaluasi pasca huni adalah tahap yang sangat perlu untuk

melihat kesesuaian antara apa yang ada sekarang denga pola-pola pemanfaatan
oleh manusia dan perilakunya (Hatmoko, 2004).
Evaluasi pasca huni adalah kegiatan dalam rangka penilaian tingkat
keberhasilan suatu bangunan dalam rangka memberikan kepuasan dan dukungan
kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Kegiatan
evaluasi pasca huni dilakukan untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan
dan lingkungan binaan dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuni bangunan,
disamping itu juga untuk memberikan masukan dalam merancang bangunan yang
mempunyai fungsi yang sama (Suryadhi,2005)

Menurut Watson (2004) evaluasi pasca huni bisa dilaksanakan pada setiap
gedung, baik pada gedung yang sudah lama maupun gedung yang baru. Untuk
gedung baru, evaluasi pasca huni lebih banyak ditekankan bagaimana untuk
memberikan sentuhan akhir, karena tentunya masih ada beberapa ketidaksesuaian
antara perencanaan dengan penghunian.
Mayoritas fasilitas kesehatan sekarang berada dalam tahap penghunian dan
pemanfaatannya.

Oleh karena itu, sesungguhnya sangat diperlukan evaluasi

terhadap fasilitas yang ada sekarang, yang lazim disebut dengan evaluasi pasca
huni. Tahap evaluasi pasca huni adalah tahap yang sangat perlu untuk melihat
kesesuaian antara apa yang ada sekarang dengan pola-pola pemanfaatan oleh
manusia dan perilakunya.

Evaluasi pasca huni adalah suatu proses evaluasi

fasilitas dengan cara yang sistematik setelah fasilitas tersebut dibangun dan dihuni
dalam suatu kurun waktu tertentu (Hatmoko, 2010).
Kegunaan evaluasi pasca huni bagi rumah sakit terbagi dalam tiga jangka
waktu menurut Hatmoko (2010), antara lain :
a. Kegunaan jangka pendek, yaitu meliputi peningkatan dalam hal
identifikasi masalah dan solusi dalam manajemen fasilitas, manajemen
fasilitas yang proaktif terhadap aspirasi pengguna, peningkatan
pemanfaatan ruang dan umpan balik terhadap kinerja bangunan,
peningkatan sikap pengguna melalui keterlibatan dalam proses evaluasi,
pemahaman implikasi kinerja dalam kaitannya dengan ketersediaan
anggaran, serta proses pengambilan keputusan yang lebih rasional dan
objektif.

b. Kegunaan jangka menengah, yaitu meliputi peningkatan dalam hal


kemampuan pengembangan fasilitas sesuai dengan pertumbuhan
organisasi,

penghematan

biaya

dalam

proses

pemanfaatan

dan

pemeliharaan bangunan serta peningkatan usia bangunan, akuntabilitas


kinerja bangunan oleh semua pengguna.
c. Kegunaan jangka panjang, yaitu meliputi peningkatan dalam hal kinerja
fasilitas dalam jangka panjang, perbaikan basis data, standar, dan kriteria
untuk perancangan fasilitas, serta perbaikan sistem penilaian fasilitas
melalui kuantifikasi.
Menurut Preiser et.al (1998) evaluasi purna huni mempunyai tiga tingkatan
yaitu :
a.

Indikatif EPH : Indikasi keberhasilan dan kegagalan bangunan dilakukan


dalam waktu yang singkat (tiga jam, maksimal satu hari). Biasanya
evaluator sudah sangat mengenal objek evaluasinya. Perolehan data dari
mempelajari dokumen (blue print, walk-through, Kuesioner, wawancara).

b.

Investigatif EPH : berlangsung lebih lama dan lebih komplek, biasanya


dilakukan setelah ditemukannya isu-isu (saat indikatif EPH), dikerjakan
selama dua sampai empat minggu.

c.

Diagnostik EPH: menggunakan metode yang lebih canggih, dengan hasil


yang lebih tepat dan akurat, memerlukan waktu beberapa bulan, hasilnya
merupakan evaluasi yang menyeluruh.

Preiser et.al (1998) menyebutkan dalam evaluasi pasca huni yang diukur
adalah kriteria performansi yang meliputi tiga aspek yaitu:

a. Aspek teknikal : dapat menjadi ciri latar belakang lingkungan pengguna


beraktivitas.

Meliputi struktur, sanitasi dan ventilasi, keselamatan

kebakaran, elektrikal, dinding eksterior, finishing interior, atap, akustik,


pencahayaan, dan sistem kontrol lingkungan.
b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi
dan alur kerja, fleksibilitas, dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe
atau unit bangunan. Organisasi yang menempati gedung mengharapkan
memperoleh kepuasan dari gedung tersebut karena kinerja fungsionalnya.
c. Aspek perilaku : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi
lingkungan, citra dan makna, serta kognisi dan orientasi lingkungan.

2.

Landasan Epistemologis dalam Penelitian ini

A. Kerangka Pikir

Standar yang
diterapkan

Performansi
fisik

Evaluasi
pengguna

Kesenjangan

Tingkat kesesuaian

Rekomendas
i

1.

Performansi Fisik
Performansi fisik kamar operasi adalah keadaan kondisi fisik kamar

operasi dari aspek teknikal, aspek fungsional, dan aspek perilaku yang
ditemukan di kamar operasi rumah sakit Panembahan Senopati Bantul.
2.

Evaluasi Pasca Huni


Evaluasi pasca huni adalah kegiatan dalam rangka penilaian tingkat

keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan


kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang
terdapat di kamar operasi rumah sakit Panembahan Senopati Bantul.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional, jenis data dan analisis
data berupa data kualitatif dan kuantitatif.

Data kualitatif diperoleh dari

performansi fisik kamar operasi, hasil kuesioner evaluasi pasca huni kepada
pengguna internal. Data kuantitatif diperoleh dari pengukuran suhu, pencahayaan,
kebisingan dan kelembaban ruangan.

C. Analisis Data

Data yang terkumpul dari kuesioner evaluasi pasca huni ditabulasi, diolah,
dan dianalisis menggunakan statistik deskriptif menggunakan program SPSS versi
20 yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan kemudian ditarik
kesimpulan. Data yang terkumpul dari alat ukur sudah merupakan suatu hasil
penelitian.

3. Landasan Aksiologis dalam Penelitian ini


1. Bagi rumah sakit khususnya instalasi bedah sentral

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pihak rumah


sakit dalam rangka memperbaiki instalasi bedah sentral yang sesuai dengan
standar sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien dan
dapat mengurangi resiko-resiko yang mungkin terjadi di kamar operasi
2. Bagi ilmu pengetahuan
Memberikan tambahan kajian tentang manajemen fisik rumah sakit
terutama di bagian instalasi bedah sentral atau kamar operasi.
3. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan peneliti dalam hal manajemen fisik kamar
operasi.
4.

Pandangan Dari Sudut Agama


Manajemen fisik dilihat dari berbagai aspek yang salah satunya adalah aspek

teknikal yang mengandung unsur sanitasi atau kebersihan di dalamnya. Studi


Islam tentang hidup bersih merupakan hal yang sangat urgen bagi manusia karena
bersih identik dengan iman.

Hal ini dapat ditemui dalam Al-Quran yang

menyebutkan sebanyak 33 kali tentang kebersihan. Ayat-ayat tersebut mengatur


berbagai aspek kebersihan seperti kebersihan lahir, kebersihan batin, kebersihan
pakaian, kebersihan makanan, kebersihan harta, kebersihan tempat tinggal dan
kebersihan lingkungan.
Diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqas dari bapaknya, dari Rasullullah
SAW : sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia
Maha Bersih yang menyukai kebersihan.

Dia Maha Mulia yang menyukai

kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah
tempat-tempatmu (HR. Tirmizi).
5.

Pandangan Pribadi
Tumbuhnya persaingan antara rumah sakit yang semakin ketat dan tajam,

maka setiap rumah sakit dituntut untuk meninggikan daya saing dengan berusaha

memberikan kenyamanan ruang terhadap pasien, penunggu maupun pengunjung


rumah sakit. Pasien dan pengunjung lainnya merupakan kelompok pengguna jasa
layanan rumah sakit yang perlu dipertimbangkan, karena merupakan kekuatan di
masa yang akan mendatang.

Mereka semakin pemilih dan memperhatikan

keberadaan rumah sakit.


Perubahan tersebut menuntut kemampuan pengelola rumah sakit untuk
berpikir stratejik dengan cara mengembangkan berbagai upaya agar mampu
meningkatkan pendapatan rumah sakit tanpa mengurangi fungsi sosialnya.
Pelayanan rumah sakit yang berorientasi kepada kepuasan pasien dan
keluarganya, profesionalisme petugas, dan tersedianya sarana dan prasarana yang
memadai yang didukung oleh manajemen yang efisien, merupakan kunci pokok
dalam meningkatkan mutu pelayanan, yang pada akhirnya akan meningkatkan
pendapatan rumah sakit.
Pada dasarnya fisik rumah sakit juga berhubungan langsung dengan kualitas
layanan medik. Bangunan yang baik akan memberikan tingkat kenyamanan yang
tinggi dalam pemanfaatannya sehingga memberikan sumbangan pada proses
penyembuhan pasien dan produktivitas pelaku. Bangunan yang baik juga akan
memberikan jaminan bagi terlaksananya prosedur-prosedur pelayanan medik yang
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Clancy, C.M (2008), Designing for Safety : Evidence Based Design and
Hospital. American Journal of Medical Quality.
Doelle, L.L (1972), Environment Acoustics, Montreal : Mc Graw-Hill Inc.
Doelle, L.L (1980), Environment Acoustics, New Delhi : Mc Graw-Hill Inc.

Hatmoko, A.U (2010), Arsitektur Rumah Sakit. Yogyakarta : Global Rancang


Selaras.
Miller, R.L, Swensson, E.S (1995), New Direction in Hospital and Healthcare
Facility Design, New York : MC Graw-Hill,Inc.
Preiser, W.F.E, Rabinowitz, H.Z., and White, E.T (1998), Post Occupancy
Evaluation. New York : Von Nortsrtand Reinhold Company.
Rao, S.K.M (2004), Designing Hospital for Better Infection Control. MJAFI. 60 :
63-66.
Simha, D.A (1985), Building Environment, New Delhi : Mc Graw-Hill Publishing
Company Limited.
Suryadhi (2005), Evaluasi Pasca Huni Instalasi Rawat Darurat Di Badan Rumah
Sakit Umum Tabanan. Tesis IKM FK UGM.
Tangoro, D (2000), Utilitas Bangunan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Hal:46,47.
Watson, C.G (2004), Review of Building Quality Using Post Occupancy
Evaluation. http://postoccupancyevaluation.com

Anda mungkin juga menyukai