Anda di halaman 1dari 6

37

Keragaman
ketahananPertanian,
aksesi Capsicum
Jurnal Bioteknologi
Vol. 7,terhadap
No. 2, antraknose
2002, pp. 37-42

Keragaman ketahanan aksesi Capsicum terhadap antraknose


(Colletotrichum capsici) berdasarkan penanda RAPD
Resistance diversity of Capsicum accessions to anthracnose (Colletotrichum capsici)
based on RAPD markers

Lia Sanjaya1, G.A. Wattimena2, E. Guharja2, M. Yusuf2, H. Aswidinnoor2, dan Piet Stam3
1

Balai Penelitian Tanaman Hias, Jalan Raya Ciherang, Segunung-Pacet, Kotak Pos 8 Sdl, Cianjur 43253. Indonesia
2
Institut Pertanian Bogor, Jalan Kampus Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
3
Laboratory of Plant Breeding, Wageningen University, The Netherlands, PO Box 386, 6700 AJ, Wageningen, NL

ABSTRACT
The genetic distance of eight Capsicum accessions was
studied using random amplified polymorphic DNA (RAPD)
markers. The accessions were grouped into four clusters,
which corresponded to the four species, i.e., Capsicum
annuum, C. chinense, C. baccatum, and C. frutescens. The
clusters of C. annuum, C. frutescens, and C. chinense were
more closely linked to each other than to C. baccatum. One
RAPD marker, OPG 11 (1350 bp), correlated with resistance
to C. capsici as determined in a laboratory test. Parental
supposed for make segregation population were Jatilaba (C.
annuum) and PI 315023 (C. chinense).
[Keywords: Capsicum, Colletotrichum capsici, disease resistance, RAPD]

ABSTRAK
Jarak genetik delapan aksesi cabai telah dipelajari dengan
menggunakan markah RAPD. Aksesi dikelompokkan ke
dalam empat kelompok yang berhubungan dengan empat
spesies, yaitu Capsicum annuum, C. chinense, C. baccatum,
dan C. frutescens. Kelompok C. annuum, C. frutescens, dan
C. chinense lebih terpaut satu sama lain dibandingkan
terhadap C. baccatum. Berdasarkan hasil pengujian di
laboratorium, terdapat satu markah RAPD yang berkorelasi
dengan sifat ketahanan terhadap C. capsici, yaitu OPG 11
(1350 pb). Calon tetua yang direkomendasikan untuk pembentukan populasi segregasi adalah Jatilaba (C. annuum) dan
PI 315023 (C. chinense).
[Kata kunci: Capsicum, Colletotrichum capsici, ketahanan
terhadap penyakit, RAPD]

PENDAHULUAN
Cabai (Capsicum spp.) merupakan sayuran dan
rempah paling penting di dunia (Bosland, 1996). Genus
Capsicum berasal dari dunia baru, spesies C. annuum
dari Meksiko dan spesies lain (C. frutescens, C.

baccatum, C. chinense, dan C. pubescens) dari


Amerika Selatan. Oleh pedagang Portugis dan
Spanyol, cabai diintroduksikan ke Asia pada abad ke16, dan spesies cabai pedas tersebar paling luas di
Asia Tenggara (Pickersgill, 1971; Siemonsma dan
Piluek, 1994).
Lebih dari 100 spesies Capsicum telah diidentifikasi.
Lima spesies di antaranya telah dibudidayakan, yaitu
C. annuum, C. chinense, C. frutescens, C. pubescens,
dan C. baccatum (Pickersgill, 1988). Klasifikasi
spesies-spesies ini didasarkan pada karakter morfologi, terutama morfologi bunga, dapat dilakukan
persilangan antarspesies, dan biji hibrida antarspesies fertil (Heiser dan Smith, 1953). C. annuum
berbunga tunggal dengan petal berwarna putih
bersih. C. chinense berbunga dua atau lebih per
node dengan warna bunga putih kehijauan dan
penyempitan kelopak yang mencolok. C. frutescens
membentuk 1-3 bunga per node, warna bunga putih
kehijauan tanpa penyempitan pada kelopak. C.
baccatum mempunyai bercak kuning pada petal yang
berwarna putih, dan C. pubescens mempunyai petal
ungu dan biji hitam (Pickersgill, 1988). Penelitian
persilangan interspesifik menunjukkan bahwa C.
frutescens, C. pubescens, dan C. chinense dapat
disilangkan dengan C. annuum dan menghasilkan biji
yang fertil.
Pemuliaan cabai pertama dilakukan di Amerika
tropis untuk kultivar cabai manis (Siemonsma dan
Piluek, 1994). Untuk cabai pedas, pemuliaan baru
berkembang akhir-akhir ini. Informasi keragaman
genetik merupakan dasar untuk mengembangkan
strategi pemuliaan tanaman (Pickersgill, 1997). Dalam
kasus pembentukan hibrida baru yang tahan terhadap
hama dan penyakit, informasi keragaman genetik dapat
digunakan untuk seleksi plasma nutfah dan pengambilan contoh yang efisien (Prince et al., 1995).

38

Lia Sanjaya et al.

Penanda molekuler seperti markah DNA merupakan


alat yang sesuai untuk menentukan jarak genetik,
karena markah yang polimorfik dapat diperoleh lebih
cepat dan lebih banyak daripada penanda morfologi
(Posch et al., 1995). Isozim dan protein terlarut telah
digunakan untuk menentukan jarak genetik dalam
spesies Capsicum, namun markah yang polimorfik
relatif sedikit (Jensen et al., 1979; Panda et al.,
1986).
Analisis random amplified polymorphic DNA
(RAPD) telah berhasil digunakan untuk menguji
polimorfisme intraspesifik dalam spesies tanaman
(Williams et al., 1990). Analisis RAPD dengan primer
tunggal R291, R306, R353, atau R370 telah cukup untuk
membedakan empat aksesi dari C. annuum (Prince et
al., 1995). Markah yang terpaut erat dengan galur
isogenik telah dihasilkan dari penanda RAPD secara
efisien dengan menggunakan populasi back-cross.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan markah
RAPD yang diduga terpaut dengan sifat ketahanan
terhadap antraknose yang disebabkan oleh Colletotrichum capsici dan menetapkan calon tetua
persilangan untuk pembentukan populasi segregasi.

2002). Aksesi yang digunakan dan ketahanannya


terhadap C. capsici disajikan pada Tabel 1.
Isolasi DNA
DNA diisolasi menggunakan prosedur miniprep yang
dikembangkan oleh Heusden et al. (2000). Amplifikasi
DNA didasarkan pada metode Williams et al. (1990)
dengan sedikit modifikasi. Seratus delapan primer (10mer) oligonukleotida yang diperoleh dari Operon
Technologies, Inc, Alameda, California, Amerika
Serikat, digunakan sebagai primer tunggal untuk
reaksi polymorphic chain reaction (PCR). Campuran
reaksi PCR terdiri atas 25 ng total DNA genom sebagai
template, 0,2 M dekanukleotida tunggal sebagai
primer, dan 1 unit enzim Taq polymerase (BoehringerMannheim, Indianapolis, Ind). Selanjutnya ditambahkan bufer reaksi (20 mM MgCl2, 100 mM Tris HCl pH
8,3, 0,01% gelatin, dan 2,5 mM masing-masing dATP,
dCTP, dGTP, dan dTTP) hingga volume menjadi 25 l.
Amplifikasi dilaksanakan dalam mesin Omnigen
Thermocycler dengan program sebagai berikut: 1
menit pada 92o C untuk denaturasi, 2 menit pada 35o C
untuk hibridisasi, dan 2 menit pada 72 o C untuk
sintesis. Siklus diulang 45 kali. Waktu untuk proses
pemanjangan basa-basa nukleotida yang terakhir
diperlama menjadi 10 menit pada 72 o C. Produk
amplifikasi dipisahkan secara elektroforesis pada 1,5%
gel agarose dalam bufer TAE (1 x TAE = Tris, 100 mM
asam asetat/2 mM EDTA) pada voltase konstan 80 V
selama 4 jam. Selanjutnya gel direndam dalam 0,01%
etidium bromida. Visualisasi fragmen dilakukan
dengan transilluminator sinar ultraviolet dan difoto.

BAHAN DAN METODE


Bahan tanaman
Delapan aksesi Capsicum diseleksi dari sekumpulan
aksesi yang lebih besar untuk program persilangan.
Seleksi didasarkan pada ketahanan dan kepekaannya
terhadap busuk buah antraknose (Sanjaya dan Voorrips,

Tabel 1. Koefisien matrik kesamaan genetik di antara delapan aksesi Capsicum spp.
Table 1. Coefficient of genetic similarity matrix among eight accessions of Capsicum spp.
Aksesi
Accession

Spesies 1)
Species

Jatilaba 2)
Buketen-3 3)
Fiesta 3)
Pallagi 3)
PI 281428 3)
PI 315023 3)
Tabasco 3)
PI 260580 3)

C.
C.
C.
C.
C.
C.
C.
C.

annuum*
annuum**
annuum*
annuum**
chinense**
chinense**
frutescens*
baccatum**

1,000
0,924
0,936
0,921
0,647
0,668
0,767
0,652

1,000
0,917
0,993
0,664
0,684
0,759
0,681

1,000
0,914
0,629
0,638
0,745
0,595

1,000
0,667
0,687
0,761
0,687

1,000
0,983
0,733
0,599

1,000
0,733
0,605

1,000
0,652

1,000

Keterangan/Notes:
1)
Derajat ketahanan terhadap C. capsici berdasarkan pengujian di laboratorium/Resistance based C. capsici isolates on
laboratory tests: * = rentan/susceptible, ** = resisten/resistant.
2)
Diperoleh dari PT EWINDO, Indonesia/Obtained from East West Seed Co. Purwakarta, Indonesia.
3)
Diperoleh dari Pusat Sumber Genetik, Belanda/Obtained from Centre for Genetic Resources (CGN), Plant Research
International, The Netherlands.

39

Keragaman ketahanan aksesi Capsicum terhadap antraknose

Data dari amplifikasi PCR terhadap delapan aksesi


cabai dianalisis sebagai berikut. Ada dan tidak ada
pita polimorfik diskor sebagai 1 dan 0. Koefisien
kesamaan genetik dihitung dengan formula Nei (1979),
yaitu S = 2n xy/(n x+ n y); n xy adalah jumlah pita yang
umum ditemukan pada aksesi x dan y, nx adalah jumlah
total pita pada aksesi x, dan ny adalah jumlah total pita
pada aksesi y. Analisis pita polimorfik juga dilakukan
terhadap pasangan aksesi tahan dan rentan (15
pasang), dengan skor 1 pada aksesi tahan dan skor 0
pada aksesi rentan. Pita yang polimorfik tersebut
kemudian dijumlahkan. Berdasarkan jumlah pita
polimorfik dari primer RAPD terpilih, ditentukan
rekomendasi calon tetua persilangan untuk membentuk populasi segregasi. Dendogram dibuat berdasarkan analisis grup the unweighted pairgroup
mean arithmetic (UPGMA) dengan piranti lunak
NTSys 2.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Koefisien kesamaan genetik
Seratus delapan dekamer primer dari sekuen acak
digunakan pada delapan aksesi cabai dalam suatu
reaksi RAPD. Sebanyak 78 primer mengamplifikasi
sekuen DNA pada semua aksesi. Hasil amplifikasi dari
30 primer lainnya diabaikan untuk mencegah kesalahan penentuan polimorfisme yang disebabkan oleh

kegagalan reaksi PCR. Dengan menggunakan 78


primer ini, dihasilkan 415 produk amplifikasi yang
berbeda. Masing-masing primer menghasilkan 2-8
fragmen per aksesi. Dari 415 fragmen, 102 fragmen
(24%) terdapat pada semua aksesi dan 313 fragmen
sisanya adalah polimorfik. Enam puluh dari 313 pita
yang polimorfik memiliki keunikan untuk satu aksesi.
Lima puluh lima dari 60 fragmen yang unik terjadi pada
PI 260580 (C. baccatum), 3 fragmen pada Tabasco (C.
frutescens), dan 1 fragmen masing-masing pada Pallagi
dan Fiesta (C. annuum).
Tabel 1 menyajikan koefisien kesamaan genetik
delapan aksesi Capsicum. Nilai tengah indeks
kesamaan dari semua perbandingan ini adalah 0,7443.
Aksesi PI 260580 (C. baccatum) menunjukkan nilai
indeks kesamaan yang rendah (rata-rata 0,6385) dalam
semua perbandingan dengan aksesi-aksesi lainnya,
dan nampaknya merupakan aksesi yang paling
berbeda. Nilai jarak genetik tidak ditampilkan, karena
rumusnya merupakan inversi dari formula koefisien
kesamaan. Nilai jarak genetik yang lebih kecil
menunjukkan koefisien kesamaan yang lebih besar.
Berdasarkan pohon filogenetik yang dibangun
dengan markah RAPD, hubungan antara spesies C.
annuum, C. chinense, dan C. frutescens lebih erat satu
sama lain daripada dengan C. baccatum (Gambar 1).
Hasil ini sesuai dengan klasifikasi cabai berdasarkan
pada morfologi (Pickersgill, 1988), analisis variasi
alozim (Jensen et al., 1979) maupun keberhasilan
persilangan (Zijlstra et al., 1991).

Buketen-3/C. annuum
Pallagi/C. annuum
Fiesta/C. annuum
Jatilaba/C. annuum
Tabasco/C. frutescens
PI 281428/C. chinense
P1 315023/C. chinense
P1 260580/C. baccatum
0,00

0,25

0,50

0,75

1,00

Koefisien/Coefficient
Gambar 1. Pohon filogenetik delapan aksesi Capsicum berdasarkan polimorfisme DNA (RAPD). Koefisien kesamaan genetik
di antara aksesi/kelompok dengan kisaran nilai 0-1.
Fig. 1. Phylogenetic tree of eight accessions of Capsicum based on genomic RAPD data. Genetic similarity coefficient among
accessions/cluster with 0-1 range.

40
Keterpautan markah RAPD dan sifat ketahanan
terhadap C. capsici
Berdasarkan seleksi delapan aksesi cabai terhadap C.
capsici, diketahui tiga aksesi tergolong peka, yaitu
Jatilaba dan Fiesta (C. annuum) serta Tabasco (C.
frutescens). Tidak terdapat hubungan antara sifat
ketahanan dan spesies pada setiap aksesi. Gambar 2
memperlihatkan bahwa satu markah RAPD, yaitu pita
yang teramplifikasi oleh primer OPG11 pada 1350 pb,
berhubungan dengan sifat ketahanan tersebut. Markah RAPD yang diduga terpaut dengan gen tahan bisa
dipastikan, dan mungkin diwariskan kepada ketiga
spesies tersebut secara identik dari moyangnya
(keluarga Solanaceae). Dari delapan aksesi cabai,
peluang markah yang diharapkan menunjukkan pola
kosegregasi dengan OPG11 sebesar 1/254. Dengan
jumlah 415 markah yang polimorfik, diperkirakan
didapatkan 2 markah yang memiliki pola yang sama
dengan OPG11.
Markah OPG 11 (1350 pb) sebagai penanda sifat
ketahanan terhadap antraknose perlu dibuktikan
dengan analisis keterpautan genetik karena tingkat
artefactual variation dari penanda RAPD yang
sangat tinggi, yaitu adanya pita yang nonparental
(Ellsworth et al., 1993; Micheli et al., 1993). Hasil
RAPD yang kurang konsisten bisa disebabkan oleh
tipe mesin PCR (Penner et al., 1993) atau enzim Taq
polymerase yang digunakan (Ridout dan Donini,
1999), perbandingan yang tidak seimbang antara
primer dan template (Neal dan Harry, 1994), serta
rendahnya suhu (annealing) dan pendeknya primer
RAPD yang digunakan (Yang et al., 1996). Suhu

Lia Sanjaya et al.

annealing di bawah 50-60 o C dapat menyebabkan


terjadinya annealing primer yang tidak spesifik dan
eksistensi terhadap primer ini dalam PCR akan
menghasilkan produk yang spesifitasnya rendah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengulangan untuk
mendapatkan pita yang konsisten (Kantety et al.,
1995). Menurut Qi dan Lindhout (1997), resolusi dan
reliabilitas pola pita RAPD bukan saja ditentukan oleh
primer dalam PCR, tetapi juga dipengaruhi oleh
kualitas gel, kondisi running gel, lamanya separasi
fragmen pada gel, serta prosedur laboratorium
selanjutnya. Berkaitan dengan fungsinya sebagai
marker assisted selection (MAS), markah RAPD yang
telah terbukti terkait dengan sifat tertentu dapat
dikonversi menjadi sequence characterize amplified
regions (SCARs) (Paran dan Michelemore, 1993; Paran
et al., 1998).
Pembentukan populasi segregasi (mapping
population)
Untuk analisis keterpautan diperlukan pembentukan
populasi yang bersegregasi. Calon tetua terpilih harus
memiliki tingkat keragaman yang besar. Berdasarkan
data pita polimorfisme antara pasangan aksesi tahan
dan rentan, diperoleh 27 primer dengan jumlah pita >
4. Primer-primer tersebut adalah OPA (7, 9, 12, 16, 18,
dan 20); OPB (5 dan 8); OPC (1, 7, 10, 11, 13, dan 14);
OPD (1, 3, 9, 13, 14, 15, dan 19); OPF (7, 10, 14, dan 15);
dan OPG (7 dan 11). Hasil analisis pola sidik jari
RAPD antara individu aksesi tahan dan rentan
menunjukkan adanya variasi polimorfisme antara
berbagai pasangan aksesi (Tabel 2).

1350 pb

Gambar 2. Pola pita yang teramplifikasi oleh primer OPG 11 pada delapan aksesi Capsicum. Pita pada 1350 pb berhubungan
dengan sifat tahan terhadap antraknose.
Fig. 2. Amplified bands pattern of eight Capsicum accessions by OPG 11 primer. Bands on 1350 bp was associated with
resistance character to anthracnose.

41

Keragaman ketahanan aksesi Capsicum terhadap antraknose

Tabel 2. Jumlah pita polimorfik antara pasangan aksesi tahan dan peka terhadap Colletotrichum capsici.
Table 2. Polymorphic bands resulted in pairing between resistant and susceptible accesions to C. capsici.
Tahan/Resistant
Peka/Susceptible

PI 260580
(C. baccatum)

PI 315023
(C. chinense)

PI 281428
(C. chinense)

Pallagi
(C. annuum)

Buketen-3
(C. annuum)

99

86

86

31

31

98

90

92

31

30

98

67

66

66

67

Jatilaba
(C.annuum)
Fiesta
(C. annuum)
Tabasco
(C. frutescens)

Berdasarkan Tabel 2, semua pasangan aksesi cabai


dapat digunakan untuk pembentukan populasi
segregasi, karena pita polimorfik yang terdapat di
antara pasangan-pasangan tersebut relatif banyak.
Namun, agar peluang mendapatkan markah yang
terkait dengan sifat tahan terhadap antraknose lebih
besar, dianjurkan untuk menggunakan tetua persilangan dari spesies yang berbeda. Di antara
pasangan aksesi tahan dan peka, jumlah pita
polimorfik terbanyak didapatkan pada pasangan
Jatilaba (C. annuum) x PI 260580 (C. baccatum).
Namun, kedua spesies tersebut sulit disilangkan,
kecuali dengan penyelamatan embrio (Pickersgill,
1971; Radhakrishnan et al., 1977; Molchova dan
Michailova, 1982; Krisnakumari dan Peter, 1986).
Calon tetua lainnya yang dapat dianjurkan untuk
pembentukan populasi segregasi adalah Jatilaba (C.
annuum) dengan PI 315023 atau PI 281428 (C.
chinense). Meskipun pasangan Jatilaba dan C.
chinense (PI 315023/PI 281428) memiliki jumlah pita
polimorfik yang lebih rendah daripada pasangan Fiesta
dan C. chinense (PI 315023/PI 281428), dalam penelitian ini dipilih pasangan Jatilaba dan C. chinense
(PI 315023/PI 281428), karena Jatilaba memiliki karakter
lain yang lebih unggul daripada Fiesta, lebih tahan
terhadap penyakit hawar (Phytophthora capsici),
kualitas buah memenuhi preferensi konsumen, dan
telah beradaptasi baik di Indonesia (Ameriana, 1998;
Gofur, 2000; Sanjaya dan Voorrips, 2002). Tetua tahan
PI 315023 digunakan dalam penelitian ini karena
ukuran buah lebih besar, jumlah buah per tanaman
lebih banyak, dan percabangan lebih intensif dibandingkan PI 281428 (Sanjaya dan Voorrips, 2002).
KESIMPULAN
Markah RAPD OPG 11 (1350 pb) dapat membedakan
aksesi cabai tahan dan peka antraknose. Calon tetua

terbaik dalam pembentukan populasi segregasi adalah


Jatilaba (C. annuum) dan PI 315023 (C. chinense).
DAFTAR PUSTAKA
Ameriana, M. 1998. Perbaikan kualitas sayuran berdasarkan
preferensi konsumen. Monograf no. 17. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Lembang.
Bosland, P.W. 1996. Capsicum: Innovative uses of an ancient
crop. p. 479-487. In J. Janick (Ed.) Progress in New Crops.
ASHS-Press, New York.
Ellsworth, D.L., K. Rittenhouse, and R.L. Honycutt. 1993.
Artefactual variation in randomly amplified polymorphic
DNA banding patterns. Biotechniques 14: 214-217.
Gofur, T.A. 2000. Pengaruh penyakit C. gloeosporioides terhadap ketahanan beberapa varietas cabai (Capsicum annuum
L.). Skripsi Jurusan Budi Daya Pertanian, Universitas Djuanda,
Bogor.
Heiser, C.B. and P.G. Smith. 1953. The cultivated Capsicum
peppers. Econ. Bot. 7: 214-226.
Heusden, van A.W., J.W. van Ooijen, R.V. van Ginkel, W.H.J.
Verbeek, W.A. Wietsma, and C. Kik. 2000. Genetic map of an
interspecific cross in Allium based on amplified fragment
length polymorphism (AFLPTM) markers. Theor. Appl. Genet.
100: 118-126.
Jensen, R.J., M.J. McLeod, W.H. Esbaugh, and S.I. Guttman.
1979. Numerical taxonomic analysis of allozymeic variation in Capsicum (Solanaceae). Taxon 28: 315-327.
Kantety, R.V., X. Zeng, J.L. Bennetzen, and B.E. Zehr. 1995.
Assessment of genetic diversity in dent and popcorn inbred
lines using intersimple sequence repeat amplification. Mol.
Breed. I: 365-373.
Krisnakumari, K. and K.V. Peter. 1986. Compatibility among
varieties of Capsicum annuum L. and Capsicum frutescens
L. Indian J. Gen. Plant Breed. 46 (3): 521-525.
Micheli, M., R. Bova, E. Pascale, and E. DAmbrosio. 1993.
Reproducible DNA fingerprinting with the random amplified
polymorphic DNA (RAPD) method. Nucleic Acids Res. 22:
1921-1922.
Molchova, E. and M. Michailova. 1982. On the interspecific
crossability between Capsicum annuum L. and Capsicum
pubescens R. and Capsicum annuum L. and Capsicum
pendulum Will. (Syn. baccatum). Capsicum Newsletter 1:
38-40.

42
Neal, D.B. and D.E. Harry. 1994. Genetic mapping in forest
trees: RFLPs, RAPDs, and beyond. Ag. Biotech news and
Information 6: 107N-114N. http://dendrome.ucdavis.edu/
loblolly-pine-refs. html.
Nei, M. 1979. Mathematical model for studying genetic
variation in term of restriction endonucleases. Proc. Natl.
Acad. Sci. USA 76: 5269-5273.
Panda, R.C., O. Aniel Kumar, and K.G. Raja Rao. 1986. The
use of seed protein electrophoresis in the study of phylogenetic relationships in chilli pepper (Capsicum spp.).
Theor. Appl. Genet. 72: 683-690.
Paran, I. and R.W. Michelemore. 1993. Development of
reliable PCR-based markers linked to downy mildew
resistance genes in lettuce. Theor. Appl. Genet. 85: 985993.
Paran, I., E. Aftergoot, and C. Shifriss. 1998. Variation in
Capsicum annuum revealed by RAPD and AFLP markers.
Euphytica 99: 167-173.
Penner, G.A., A. Bush, R. Wise, W. Kim, L. Domier, K.
Kasha, A. Laroche, G. Scoles, S.J. Monar, and G. Fedak.
1993. Reproducibility of random amplified polymorphic
DNA (RAPD) analysis among laboratories. PCR Methods
and Appl. 2: 341-345.
Pickersgill, B. 1971. Relationships between weedy and
cultivated forms in some species of chilli peppers (genus
Capsicum). Evolution 25: 683-691.
Pickersgill, B. 1988. The genus Capsicum: A multidisciplinary
approach to the taxonomy of cultivated and wild plants. Biol.
Zentralbl. 107: 381-389.
Pickersgill, B. 1997. Genetic resources and breeding of
Capsicum spp. Euphytica 96: 129-133.
Posch, A., B.M. van den Berg, and A. Gorg. 1995. Association
of protein polymorphism among pepper (Capsicum annuum

Lia Sanjaya et al.


L.) inbred lines with agronomic performance of their crosses.
Electrophoresis 16: 860-864.
Prince, J.P., V.K. Lackney, C. Angeles, J.R. Blauth, and M.M.
Kyle. 1995. A survey of DNA polymorphism within the genus
Capsicum and the fingerprinting of the pepper cultivars.
Genome 38 (2): 224-231.
Qi, X. and P. Lindhout. 1997. Development of AFLP markers
in barley. Mol. Gen. Genet. 254: 330-336.
Radhakrishnan, K.P., S.T. Mercy, and M.K. George. 1977.
Crossability studies and analysis of incompatibility in three
species of Capsicum. Agric. Res. J. Korean 15 (2): 124.
Ridout, C.J. and P. Donini. 1999. Use of AFLP in cereal
research. Trends in Plant Sci. 4: 76-79.
Sanjaya, L. and R.E. Voorrips. 2002. A laboratory test for
resistance of Capsicum accessions to anthracnose (Colletotrichum spp.) and comparison with field test results.
(Submitted to European J. Phytopathol.).
Siemonsma, J.S. and K. Piluek. 1994. Capsicum L. Plant
Resources of South East Asia 8 (Vegetables). PROSEA,
Bogor, Indonesia. p. 136-140.
Williams, J.G.K., A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalski, and
S.V. Tingey. 1990. DNA polymorphisms amplified by
arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic
Acids Res. 18: 6531-6535.
Yang, W., A.C. de Olivera, I. Godwin, K. Schertz, and J.L.
Bennetzen. 1996. Comparison of DNA markers technologies
in characterizing plant genome diversity: Variability in
Chinese sorghums. Crop Sci. 36: 1669-1676.
Zijlstra, S., C. Purimahua, and P. Lindhout. 1991. Pollen tube
growth in interspecific crosses between Capsicum species.
Hort. Sci. 26: 585-586.

Anda mungkin juga menyukai