Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MATA KULIAH

MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN


KONSERVASI DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL

Di susun Oleh:

Muhamad Miftahudin

26020212120008

Muhamad Fatih Hidayatullah

26020212120012

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

A. Pendahuluan
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.17/MEN/2008 dan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 memiliki bahasan
yang sama yaitu mengenai konservasi. Namun dalam kajiannya kedua peraturan menteri
tersebut memiliki kajian yang berbeda. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN
PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 mengkaji tentang
kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sedangkan PERATURAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
PER.02/MEN/2009 mengkaji tentang tata cara penetapan kawasan konservasi perairan.
Dalam kedua peraturan tersebut dijelaskan bahwa kawasan konservasi adalah bagian
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu
kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan
untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Dan kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan
sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan.

B. PERATURAN

MENTERI

KELAUTAN

DAN

PERIKANAN

REPUBLIK

INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008


Dalam peraturan ini disebutkan bahwa katagori kawasan konservasi terdiri dari kawasan
konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP3K), kawasan konservasi maritim (KKM),
kawasan konservasi perairan (KKP), dan sempadan pantai. Setiap kawasan konservasi
memiliki kriteria masing-masing.
Untuk wilayah KKP3K kriteria yang dibuat lebih mengarah pada kehidupan biota serta
pendidikan dan penelitian, seperti yang disebutkan di pasal 6, bahwa merupakan wilayah
pesisir yang menjadi tempat hidup dan berkembangbiaknya (habitat) suatu jenis atau
sumberdaya alam hayati yang khas, unik, langka dan dikhawatirkan akan punah, dan/atau
merupakan tempat kehidupan bagi jenis-jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya
memerlukan upaya perlindungan, dan/atau pelestarian serta merupakan pulau kecil yang
menjadi tempat hidup dan berkembangbiaknya (habitat) suatu jenis atau beberapa
sumberdaya alam hayati yang khas, unik, langka dan dikhawatirkan akan punah, dan atau
merupakan tempat kehidupan bagi jenis-jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya
memerlukan upaya perlindungan, dan/atau pelestarian.
Untuk wilayah KKM kriteria yang dibuat lebih merujuk kepada nilai budaya dari apa
yang terdapat di perairan tersebut. Seperti yang dituliskan pada salah satu point di pasal 8,
bahwa situs sejarah kemaritiman yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan kelestarian dan pemanfaatan
guna memajukan kebudayaan nasional.
Penetapan suatu kawasan agar menjadi kawasan konservasi akan melewati beberapa
tahapan. Untuk KKP3K dan KKM memiliki tahapan yang berbeda. Tahapan-tahapan untuk
penetapan KKP3K diantaranya adalah usulan inisiatif calon KKP3K, identifikasi dan
inventarisasi KKP3K, pencadangan KKP3K, penetapan KKP3K, dan penataan KKP3K.
sedangkan tahapan-tahapan untuk penetapan KKM adalah usulan inisiatif calon KKM,
penilayan calon KKM, dan penetapan KKM. Dalam pelaksanaannya masyarakat berperan
serta dalam mengusulkan suatu daerah untuk menjadi kawasan konservasi baik secara
individu atau kelompok. Pemerintah berperan dalam pengesahan serta pembuatan kebijakan

terkait kawasan konservasi tersebut. Pemerintah yang berperan dapat Menteri, Gubernur, dan
Walikota atau Bupati.
Dalam pola pengelolaan kawasan konservasi terdapat istilah zonasi. Zonasi adalah suatu
bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai
dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung
sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Sistem zonasi ini terdiri dari:

Zona inti;
Zona pemanfaatan terbatas;
Zona lainnya yang sesuai dengan peruntukan kawasan.

Zona inti dikhususkan untuk bidang penelitian dan pendidikan dimana populasi serta
ekosistem ikan yang ada disana diawasi secara serius demi kelangsungan hidupnya. Pada
pasal 32 disebutkan bahwa perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur
migrasi biota laut. Zona pemanfaatan kawasan konservasi dapat dilakukan kegiatan
pariwisata dan rekreasi. Zona lainnya dijelaskan dalam pasal 32 yaitu zona lainnya
merupakan zona diluar zona inti dan zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan
kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi.
Dalam penggunaan kawasan konservasi KKP3K dan KKM diperlukan perizinan melalui
Menteri, gubernur, walikota/bupati. Dimana izin tersebut meliputi objek dan subyek
perizinan, jenis perizinan, jangka waktu, tatacara dan persyaratan pemberian izin, berakhirnya
izin, hak dan kewajiban pemegang izin, dan sanksi pemegang izin.
C. PERATURAN

MENTERI

KELAUTAN

DAN

PERIKANAN

REPUBLIK

INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009


Dalam peraturan ini disebutkan serta dijelaskan mengenai kriteria kawasan konservasi.
Diantaranya adalah kriteria ekologi, kriteria sosial budaya dan kriteria ekonomi. Disebutkan
dalam bab II pasal 4 bahwa kriteria ekologi meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan,
keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produkvitas, daerah ruaya, habitat ikan
langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan. Kriteria sosial budaya meliputi
dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, dan kearifan lokal

serta adat istiadat. Kriteria ekonomi meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan
pariwisata, estetika, dan kemudahan mencapai kawasan.
Jenis-jenis wilayah konservasi perairan adalah taman nasional perairan, suaka alam
perairan, taman wisata perairan, dan suaka perikanan. Setiap wilayah konservasi memiliki
peran masing-masing. Taman nasional perairan diperuntukan untuk kegiatan penelitian serta
pendidikan yang mendukung ilmu pengetahuan. Suaka alam perairan untuk perlindungan
terhadap biota dan ekosistem. Taman wisata perairan untuk keperluan rekreasi dan
pariwisata. Suaka perikanan diperuntukan untuk perlindungan terhadap jenis ikan tertentu.
Tahapan penetapan kawasan konservasi perairan terdiri dari usulan inisiatif kawasan
konservasi, identifikasi dan inventarisasi calon kawasan konservasi, pencadangan kawasan
konservasi, penetapan kawasan konservasi perairan, dan penataan batas kawasan konservasi
perairan. Dalam proses penetapan kawasan konservasi, calon wilayah konservasi dapat
diusulkan oleh masyarakat baik secara perorangan atau kelompok yang selanjutnya dapat
dikoordinasikan dengan pemerintah (Menteri, gubernur, bupati/walikota).
Dengan ketentuan yang ada kawasan konservasi dapat ditunjuk oleh pemerintah,
pemerintah daerah provinsi atau kota/kabupaten apabila Peraturan Menteri tersebut belum
dibuat dengan nantinya kawasan konservasi ini harus menyesuaikan dengan peraturan yang
ada apabila telah selesai dibuat.

PERATURAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2015
TENTANG
PENANGKAPAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN
RAJUNGAN (Portunus pelagicus spp.)
Pasal 2
Setiap orang dilarang melakukan penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting
(Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dalam kondisi bertelur.
Pasal 3
(1) Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus
pelagicus spp.) dapat dilakukan dengan ukuran:
a. Lobster (Panulirus spp.) dengan ukuran panjang karapas >8 cm (di atas delapan
sentimeter);
b. Kepiting (Scylla spp.) dengan ukuran lebar karapas >15 cm (di atas lima belas
sentimeter); dan
c. Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dengan ukuran lebar karapas >10 cm (di atas
sepuluh sentimeter).
(2) Cara Pengukuran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus
pelagicus spp.) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Setiap orang yang menangkap Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan
Rajungan (Portunus pelagicus spp.) wajib:
a. melepaskan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus
pelagicus spp.) dalam kondisi bertelur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau dengan
ukuran yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) jika
masih dalam keadaan hidup;

b. melakukan pencatatan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan
(Portunus pelagicus spp.) dalam kondisi bertelur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan/atau dengan ukuran yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) yang tertangkap dalam keadaan mati dan melaporkan kepada Direktur
Jenderal melalui kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin
Penangkapan Ikan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015
yang telah ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Nomor 18/MEN-KP/I/2015. Surat Edaran ini
diterbitkan guna memberikan kejelasan pada publik terkait pelaksanaan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015.
Lobster laut merupakan salah satu sumber daya hayati kelautan yang penting, baik secara
lokal maupun global. Lobster merupakan bahan makanan popular yang memiliki nilai ekonomis
tinggi sehingga banyak dicari dan ditangkap secara global.Sehingga tidak salah apabila banyak
orang yang berburu Lobster,Kepiting dan Rajungan ini.
Karena eksploitasi yang berlebihan terhadap Lobster, kepiting dan Rajungan kurang
terkendali sehingga menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya Perairan.Seperti yang
dilansir dari website Jurnal Asia bahwasanya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
menyatakan bahwa saat ini semakin berkurangnya populasi kepiting dan lobster sudah mulai
terlihat di dua tempat yaitu di Simeuleu, Aceh dan Pangandaran, Jawa Barat.
Menurut Yusnaini, dkk. 2009 menyatakan bahwa
ditingkatkan dengan pengelolaan yang taat pada asas

kelestarian dan produksi dapat


keberlanjutan dengan memberi

kesempatan induk memijah, menjaga jumlah minimal induk di setiap area dan memperbaiki
habitat. Tetapi hal tersebut sulit diwujudkan karena keterbatasan dalam pengontrolan eksploitasi
dan pertumbuhan lobster relatif lambat.
Dengan di keluarkannya peraturan Menteri ini, diharapkan masyarakat tidak lagi
mengeksploitasi Lobster, Kepiting dan juga Rajungan di luar aturan yang telah ditentukan oleh
Pemerintah. Namun dengan dikeluarkannya aturan ini, banyak yang tidak setuju, terutama
nelayan nelayan dan para pengusaha Lobster. Bahkan banyak dari para Nelayan tersebut
meminta untuk meninjau kembali peraturan tersebut bahkan ada yang meminta untuk menghapus
Peraturan tersebut.

Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada publik terutama kepada para Nelayan
dan para pengusaha pada sector perikanan laut khususnya Lobster, Kepiting dan rajungan.
Berdasarkan surat Nomor 18/MEN-KP/I/2015 menyatakan bahwa peraturan Menteri tersebut
memuat pelarangan penangkapan Lobster, kepiting dan rajungan dalam kondisi bertelur dan
pengaturan pembatasan ukuran ketiga pesies tersebut yang boleh ditangkap.
Pembatasan ukuran Lobster, Kepiting, dan rajungan yang boleh ditangkap dilaksanakan
secara bertahap sebagia berikut :
1. Bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Desember 2015, Ukuran yang boleh ditangkap
dan di perjualbelikan yaitu:
a. Lobster dengan ukuran berat > 200 gram
b. Kepiting dengan ukuran berat > 200 gram
c. Rajungan dengan ukuran berat > 55 gram
d. Dan kepiting soka dengan berat > 150 gram
2. Bulan Januari tahun 2016 hingga seterusnya , ukuran dan berat yang boleh ditangkap
yaitu:
a. Lobster dengan ukuran panjang karapas > 8 cm atau dengan ukuran berat > 300
gram
b. Kepiting dengan ukuran lebar karapas > 15 cm atau dengan ukuran berat > 350
gram
c. Rajungan dengan ukuran lebar karapas > 10 cm atau dengan ukuran berat >55
gram.
Ketentuan Pelarangan dan pembatasan Penangkapan Lobster, Kepiting dan rajungan ini
dikecualikan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan serta kegiatan pendidikan.

PERATURAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34/PERMEN-KP/2014
TENTANG
PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU
KECIL

Pada

PERATURAN

MENTERI

KELAUTAN

DAN

PERIKANAN

REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 34/ PERMEN KP/2014 menjelaskan tentang bagaimana dalam


merencanakan pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan
ini di buat sebagai bentuk norma, standar dan pedoman bagi pemerintah daerah Provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melakukan penyusunan perencanaan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
PERATURAN

MENTERI

KELAUTAN

DAN

PERIKANAN

REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 34/ PERMEN KP/2014 ini merupakan perbaikan terhadap peraturan
sebelumnya yaitu PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR
16 /PERMEN KP / 2008. Pada PERMEN KP NO 34 /2014 ini pada intinya sama dengan
peraturan yang berada pada PERMEN KP NO 16/2008 hanya ada beberapa pasal dan ayat
yang di rubah redaksinya atau bahkan ada yang dihilangkannya.
Seperti pada Pasal 1 ayat 3 pada PERMEN KP NO 16 tahun 2008 yang berbunyi
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur kepentingan
didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah
atau daerah dalam jangka waktu tertentu.
Ayat tersebut pada PERMEN KP No 34/2014 dihilangkan, Selain itu pada PERMEN
KP No 34 /2014 lebih tertuju kepada masyarakat sebagai objek, hal ini dapat di buktikan ada
beberapa ayat yang membahas tentang masyarakat yang dimana pada peraturan sebelumnya
tidak di temukan hal tersebut. Adapun bunyi ayat ayat tersebut adalah sebagai berikut :

Ayat 19 pasal 1 PERMEN KP NO 34/ 2014 Masyarakat adalah masyarakat yang


terdiri atas Masyarakat Hukum Adat,Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang
bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ayat 20 pasal 1 PERMEN KP NO 34 /2014 Masyarakat Hukum Adat adalah
sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat
dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan
hukum adat di wilayah adatnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat 21 pasal 1 PERMEN KP NO 34 /2014 berbunyi Masyarakat Lokal adalah
kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan
yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung
pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tertentu.
Ayat 22 pasal 1 PERMEN KP NO 34 /2014 berbunyi Masyarakat Tradisional adalah
masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan
kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada
dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
Adapun Prinsip perencanaan Pembangunan Wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil di
jelaskan dalam pasal 3 PERMEN KP NO 34 /2014 .
Prinsip perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu:
a) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen dari sistem
perencanaan pembangunan daerah;
b) mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, antarsektor,
antara pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem darat dan
ekosistem laut, dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen;
c) dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang dimiliki masing-masing
daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya daerah dan nasional; dan
d) melibatkan peran serta masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya.
Jadi pada intinya, Pada prinsip perencanaan Pembangunan wilayah pesisir dan pulau pulau
kecil tidak bisa dilakukan sendiri- sendiri, tapi harus ada kerjasama dari berbagai pihak dalam
hal ini pihak yang terkait yaitu Masyarakat, Pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah, lembaga-lembaga mitra usaha masyarakat, dan berbagai macam SDM yang
di perlukan dalam pengelolaan SDA di wilayah pesisir.
Adapun ruang lingkup Perencanaan Pemangunan wilayajh pesisir dan pulau pulau kecil
tercantum dalam pasal 4 PERMEN KP no 34 tahun 2014.
Ruang lingkup perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi:
a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RSWP-3-K;
b)

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RZWP-3-K;

c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RPWP-3-K; dan
d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya
disebut RAPWP-3-K.
Selanjutnya pada pasal- pasal selanjutnya di jelaskan bahwa pemerintah daerah ( kabupaten /
provinsi) yang akan menyusun dan mengatur Rencana Strategis wilayah pesisir dan pulau
pulau kecil yang dimana dalam pembentukanya itu pemerinth daerah tidak bekerja sendiri , akan
tetapi harus membuat kelompok kerja yang terdiri dari Kepala Bappeda sebagai ketua, Kepala
Dinas yang membidangi kelautan dan perikanan sebagai sekretaris, dan anggota terdiri dari
SKPD/instansi terkait sesuai dengan kewenangan dominan dan karakteristik daerah yang
bersangkutan.
Dan pada peraturan ini

dijelaskan pula langkah- langkah penyusunan, dan pembuatan

rencana pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pada akhir kegiatan menteri
kelautan, Gubernur, Bupati / wali kota di wajibkan untuk

mengadakan evaluasi terhadap

kegiatan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan hasil evaluasi ini yang akan
digunakan sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dann
pulau-pulau kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor 1/permen-kp/2015 tentang
penangkapan lobster (panulirus spp.), kepiting (scylla spp.), dan rajungan (portunus
pelagicus spp.)
Peraturan menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor 34/permen-kp/2014 tentang
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Peraturan menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor per.02/men/2009 tentang
tata cara penetapan kawasan konservasi perairan
Peraturan menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor per.17/men/2008 tentang
kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
peraturan menteri kelautan dan perikanan republik indonesia Nomor per.16/men/2008 tentang
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Surat edaran no 18/ men-kp/1/2015 tentang penangkapan lobster (panulirus spp.), kepiting
(scylla spp.), dan rajungan (portunus pelagicus spp.)
http://www.jurnalasia.com/2014/11/13/lobster-dan-kepiting-bertelur-tak-boleh-ditangkap/

Anda mungkin juga menyukai