Anda di halaman 1dari 11

MOBILISASI, ROM (RANGE OF MOTION)

MOBILISASI, ROM (RANGE OF MOTION)


By HEROdes.com
A. Imobilisasi
1. Pengertian
Mobilisasi merupakan kemampuan untuk bergerak dengan bebas dan mudah, bergerak
secara ritmik dan bertujuan tertentu (Berman, et al., 2008). Encarta World English
Dictionary (2009), mendefinisikan mobilisasi sebagai kemampuan untuk bergerak
khususnya bekerja dan latihan fisik. Imobilisasi diartikan sebagai ketidakmampuan untuk
bergerak bebas, untuk mencapai suatu maksud dan melakukan kerja atau latihan.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2007) masalah
keperawatan gangguan moblisasi dapat berupa gangguan berikut:
a. Gangguan mobilisasi di tempat tidur, merupakan pembatasan pergerakan mandiri, dari
satu posisi ke posisi lainnya di tempat tidur. Pasien dapat beralih posisi bila dibantu.
b. Gangguan mobilisasi fisik, merupakan pembatasan gerakan fisik baik tubuh, satu atau
lebih ekstremitas untuk mencapai tujuan pergerakan. Pasien dengan gangguan mobilisasi
fisik masih dapat melakukan pergerakan namun gerakan yang dihasilkan lambat, terbatas,
dan tidak terkoordinasi atau gerakan refleks yang kacau.
c. Gangguan berpindah tempat (transfering), menggambarkan ketidakmampuan
seseorang berpindah tempat di antara dua permukaan sejajar. Pasien tidak mampu
mengubah letak tubuh dari satu tempat ke tempat lain yang berdekatan misalnya dari
kursi ke tempat tidur atau sebaliknya.
d. Gangguan berjalan. Keadaan ini menggambarkan ketidakmampuan pasien berjalan
kaki dalam satu lingkungan pada jarak tertentu baik pada permukaan datar atau
permukaan miring. Pasien dengan masalah ini tidak mampu berjalan pada permukaan
menanjak atau menurun dan sulit berjalan pada lingkungan rumah yang bertangga.
e. Ketidakmampuan menggunakan kursi roda. Gangguan mobilisasi menggunakan kursi
roda lebih diarahkan pada ketidakmampuan memakai kursi roda untuk berpindah tempat
pada suatu lingkungan. Pasien pada kelompok ini biasanya tidak diharapkan mampu
berjalan kaki lagi.
2. Penyebab Imobilisasi
Kemampuan mobilisasi dapat dibatasi oleh masalah kesehatan, faktor lingkungan seperti
permukaan tidak rata, dan keuangan untuk membeli alat bantu mobilisasi (Berman, et al.,
2008). Menurut Talbut dan Marsden (2008) gangguan saraf motorik seperti pada stroke
menyebabkan atropi otot, kelemahan, kekakuan ekstremitas, menimbulkan kesulitan
bergerak. Cooper dan Herrera (2008), menyatakan bahwa nyeri sendi menimbulkan
pembatasan ROM.
Imobilisasi dapat juga terjadi karena anjuran pembatasan gerakan untuk tujuan terapi.
Gunn (2008) menulis bahwa imobilisasi tulang dengan bidai, gips untuk
mempertahankan alignment tulang dan mempercepat proses penyembuhan. Apapun
tujuannya, imobilisasi lama tetap menimbulkan atropi otot, menurunkan kekuatan dan
ketahanan otot (LeMone dan Burke, 2008).
B. Fisiologi Pergerakan
1. Tulang

Tulang merupakan organ kaku dan sulit untuk digerakan atau dibengkokkan. Tulang
berfungsi menyokong tubuh membentuk alignment dan postur tubuh yang tepat saat
duduk, berdiri, atau berbaring. Tulang melindungi jaringan tubuh yang halus seperti otak,
medula spinalis, dan organ bagian dalam tubuh. Cadangan kalsium tubuh yang diperlukan
untuk kontraksi otot tersimpan pada matriks tulang (Tortora dan Derrickson, 2006; Gunn,
2007).
Fungsi pergerakan pada tulang dimungkinkan karena tulang menjadi tempat melekatnya
otot rangka melalui tendon, adanya ligamen dan persendian. Tortora dan Derrickson
(2006) menganalogi tulang sebagai tuas (lever), sendi sebagai titik tumpu dan otot
sebagai sumber tenaga penggerak.
Pada tulang normal, proses resorpsi dan reabsorbsi selalu dipertahankan. Proses ini
dipertahankan melalui stimulus mekanik bergerak (Setyo Widodo, 2005). Imobilisasi
lama menyebabkan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur tulang, nyeri kronik,
dan berkurangnya kemandirian (Grifin, 2005).
2. Persendian dan jaringan ikat
Persendian merupakan pertemuan antara dua buah tulang, tulang dan tulang rawan, atau
antara tulang dan gigi. Persendian dibagi menjadi tiga bagian: sinarthrosis, ampiarthrosis,
diarthrosis. Sendi diarthrosis memiliki struktur persendian sinovial yang memiliki rongga
sendi sebagai tempat persambungan tulang yang memungkinkan tulang bergerak bebas
(Tortora dan Derrickson, 2006).
Sendi dilengkapi dengan tulang rawan pada kedua ujungnya, kapsul, ligamen, dan cairan
sendi/cairan sinovial. Tulang rawan pada ujung tulang persendian memudahkan
pergerakan dan mengurangi gesekan antar tulang. Kapsul sendi menutupi sekeliling
rongga sendi dan menyatukan tulang, tersusun dari jaringan fibrus padat yang menahan
sendi agar tidak keluar dari posisinya saat bergerak dengan regangan kuat. Ligamen
menjaga tulang agar tetap berada pada posisinya. Fleksibilitas ligamen dan kapsul sendi
yang tinggi akan menghasilkan ROM yang lebih tinggi. Cairan sendi untuk memperkecil
gesekan antar tulang, meredam gaya pada tulang, menyiapkan nutrisi dan oksigen untuk
kehidupan sel tulang rawan sendi. Imobilisasi lama menurunkan produksi cairan sendi,
fleksibilitas ligamen, dan kapsul sendi (Tortora dan Derrickson, 2006).
3. Otot
Otot rangka berikatan dengan tulang dan menggerakkan tulang, kulit atau otot rangka lain
saat berkontraksi dibawah kontrol saraf. Otot rangka menstabilkan persendian dan
membantu mempertahankan posisi saat duduk atau berdiri. Aktivitas kontraksi otot
memerlukan ATP yang dihasilkan sel otot dan memegang peran utama dalam pergerakan
(Tortora dan Derrickson, 2006).
Saat kontraksi (Tortora dan Derrickson, 2006) otot menarik tulang pada tempat melekat
ujung insersi tendon ke arah tempat melekatnya tendon dengan bagian tulang yang tidak
bergerak (origin). Kelenturan dan ketahanan otot (Widodo, 2005) dipengaruhi besar
massa otot, ukuran serabut dan jumlah unit motorik pada otot. Proses menua, imobilisasi,
dan sakit kronis menyebabkan penurunan massa otot menurunkan kemampuan mobilisasi
(Ritchie, 2008). Tegangan otot dan pemendekan tendon meningkat akibat imobilisasi
menimbulkan kontraktur (Talbut dan Marsden, 2008).
4. Mekanisme keseimbangan
Mekanisme keseimbangan diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan postur
tubuh saat bergerak, terutama pergerakan kepala. Mekanisme keseimbangan berhubungan

dengan propriosepsi. Propriosepsi merupakan istilah yang digunakan untuk


menggambarkan keadaan postur, pergerakan, perubahan, keseimbangan, dan mengetahui
posisi, berat, serta tahanan suatu benda terhadap tubuh (Berman, et al., 2008). Gangguan
keseimbangan sering terjadi pada pasien tua, paska stroke, artritis, dan hipotensi
orthostatik (Widodo, 2005).
5. Saraf
Saraf mengkoordinasi tujuan pergerakan dengan mengintegrasi secara kompleks interaksi
antara saraf otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Saraf berhubungan dengan otot pada
neuromuscular junction. Sinaps antara saraf motorik dan otot melepaskan asetilkolin
yang membangkitkan aksi potensial dan menimbulkan kontraksi otot. Pada otot terdapat
beberapa ujung saraf membawa informasi dari sendi, otot ke spinal kord mengenai nyeri
dan peregangan untuk diteruskan ke otak dan berespon melalui saraf motorik ke otot
untuk mengatur pergerakan tubuh (LeMone dan Burke, 2008). Menurut Talbut dan
Marsden (2008), otot yang tidak mendapat stimulus dari saraf motorik akan mengalami
atropi. Kerusakan saraf motorik menimbulkan kesulitan dalam gerakan sadar.
C. Pasien Imobilisasi
1. Pasien Imobilisasi
Mobilisasi menjadi hal dasar dalam pelaksanaan ADL. Imobilisasi meningkatkan
ketergantungan pasien akan ADL (makan minum, mandi, berpakaian, berias, kegiatan di
toilet, berpindah tempat dan berjalan). Bantuan ADL diberikan sesuai dengan tingkat
ketergantungan pasien.
Indeks Barthel (IB) dan indeks Katz sering dipakai untuk mengukur tingkat
ketergantungan pasien imobilisasi melakukan ADL. Petrea, et al. (2009) menggunakan
indeks Katz untuk mengukur tingkat ketergantungan pada pasien stroke. Martinson dan
Eksborg (2006) menyatakan bahwa IB lebih signifikan digunakan untuk mengukur
tingkat ketergantungan ADL pasien stroke pada minggu awal dibandingkan dengan
Activity Indeks.
Indeks Katz memiliki 6 komponen: mandi, makan, berpakaian, kegiatan di kamar kecil
(toileting), berpindah tempat (transfer), mengontrol urin dan feses. Indeks Barthel
memiliki sepuluh komponen meliputi makan, mandi, berpakaian, merawat diri,
mengontrol Buang Air Besar (BAB), mengontrol Buang Air Kecil (BAK), toileting,
transfer, ambulasi, dan naik turun tangga.
2. Indeks Barthel
Indeks Barthel (IB) dirumuskan oleh Mahoney, F.I dan Barthel D.W., menjadi salah satu
indeks untuk mengukur tingkat ketergantungan ADL dan kemampuan gerak pasien
imobilisasi. Nilai IB mudah diperoleh dengan cara anamnesis dan observasi
(Supraptiningsih dkk, 2002).
Nilai IB mula-mula dibuat dalam dalam dua kategori yaitu mandiri dan butuh bantuan
namun dalam perkembangannya dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kondisi tempat rawat
pasien (Supraptiningsih, 2002). Shah, Vanclai, Cooper (1998, cit Australian Departement
of Health and Ageing, 2006) memodifikasi IB menjadi lima tingkatan ketergantungan
pada setiap komponen dengan nilai indeks sebagai berikut:
a. Makan
10 = Mandiri untuk kegiatan: a) menyuap makanan yang diletakkan dalam jangkauan; b)

mampu menggunakan peralatan makan seperti senduk, garpu, pisau untuk mengecilkan
dan mencampur makanan; c) mampu mengunyah dan menelan makanan.
8 = Mandiri untuk kegiatan a dan b tetapi memerlukan sedikit bantuan untuk kegiatan b
(Dibantu dengan mengecilkan makanan pasien).
5 = Dapat makan sendiri namun memerlukan pengawasan, memerlukan bantuan untuk
kegiatan b.
2 = Mandiri untuk kegiatan c, masih mampu memegang senduk tapi perlu bantuan aktif
untuk kegiatan a dan b
0 = Tidak mampu melakukan kegiatan a,b, hanya mampu kegiatan c atau memerlukan
NGT.
b. Mandi
5 = Mandiri untuk kegiatan : a) Mampu menggayung air atau memakai waslap yang
diletakkan dalam jangkauan; a) mampu menyabun seluruh tubuh; c) mengeringkan
badan.
4 = Memerlukan bantuan pengawasan suhu air mandi tapi mampu melakukan kegiatan
a,b,c.
3 = Memerlukan bantuan untuk kegiatan b dan c pada bagian tubuh yang tidak dapat
dijangkau.
1 = Memerlukan bantuan untuk semua kegiatan namun masih ada sedikit bantuan dari
pasien misalnya menggosok atau mengeringkan area dada, lengan, perut.
0= Semua kegiatan dibantu.
c. Merapikan diri/ merias diri
5 = Mandiri untuk kegiatan: a) mencuci tangan dan muka; b) menyikat gigi; c) menyisir
rambut; d) bercukur untuk pria; e) dapat mengambil, memasang, menyimpan kembali alat
cukur pada tempat; f) wanita dapat memakai tata rias.
4 = Pasien dapat melakukan semua kegiatan tapi memerlukan bantuan minimal seperti
merapikan setelah kegiatan.
3 = Memerlukan bantuan untuk beberapa tahap kegiatan
1 = Semua kegiatan dibantu namun pasien dapat melakukan satu atau dua kegiatan
dengan sempurna.
0= Memerlukan bantuan total pada semua kegiatan.
d. Berpakaian
10 = Mandiri dalam kegiatan: a) memakai dan melepas pakaian; b) mengancingkan baju,
menarik resleting, mengikat tali sepatu c) memasang ikat pinggang atau korset, pengait
bra.
8 = Memerlukan bantuan minimal untuk membuka kancing, atau resleting.
5 = Memerlukan bantuan saat memakai, dan atau melepas pakaian tertentu yang sulit
seperti pada ekstremitas bawah.
2 = Semua kegiatan dibantu dengan sedikit partisipasi pasien pada beberapa tahap
berpakaian.
0 = Bantuan total untuk semua kegiatan tanpa sedikitpun partisipasi pasien.
e. Mengontrol BAB
10 = Mampu mengontrol BAB: a) BAB spontan; b) mampu memasukan supositoria
mandiri dan klisma pada pasien cedera spinal; c) dapat mengontrol BAB.
8 = BAB spontan namun memerlukan bantuan minimal untuk memasukan supositoria,
klisma dan jarang tidak terkontrol.

5 = Kadang tidak mampu menahan BAB bila bantuan terlambat, tetapi dapat memasukan
supositoria atau memakai alat bantu.
2 = Ketidakmampuan menahan BAB lebih sering dari kemampuan kontrol, sedikit
bertahan bila dibantu dengan mengatur posisi, butuh diaper.
0 = Pasien inkontinensia dan tidak berpartisipasi sama sekali, sangat memerlukan diaper.
f. Mengontrol BAK
10 = Mampu mengontrol BAK: a) BAK spontan siang maupun malam hari; b) Pasien
cedera spinal dapat menggunakan kateter dan mengosongkan kantung penampung urine
secara mandiri.
8 = Pasien dapat mengontrol BAK pada siang maupun malam tapi kadang tidak dapat
mengontrol BAK, tidak dapat menahan bila toilet jauh atau karena tidak segera di pasang
pot/ urinal.
5 = Dapat mengontrol BAK siang hari tetapi lepas kontrol pada malam hari atau
memerlukan bantuan alat internal atau eksternal.
2 = Tidak mampu mengontrol BAK baik siang maupun malam, dapat sedikit menahan
bila segera dipasang pot atau urinal.
0 = Tidak mampu mengontrol BAK, memerlukan bantuan kateter menetap.
g. Toileting
10 = Mandiri untuk kegiatan: a) mampu melepas dan mengenakan kembali pakaian; b)
mampu jongkok dan bangun dari toilet; c) membersihkan perianal; d) mencuci tangan
setelah BAB/BAK; e) mengguyur kloset setelah BAB/BAK.
8 = Mampu melakukan kegiatan namun perlu pengawasan untuk transfer dan kegiatan di
toilet.
5 = Mampu melakukan sendiri tapi masih memerlukan bantuan seseorang untuk tahap
kegiatan sperti melepas pakaian, mencuci tangan, dan transfer ke toilet.
2 = Memerlukan bantuan maksimal untuk semua tahap kegiatan seperti transfer,
membuka pakaian, membersihkan area perianal.
0 = Tidak mampu melakukan apapun.
h. Transfer
15 = Mandiri untuk kegiatan: a) Dapat bangun dan duduk di samping tempat tidur; b)
berpindah secara aman ke kursi atau berpindah dari kursi ke tempat tidur; c) berpegangan
secara aman saat berpindah.
12 = Memerlukan pengawasan seseorang untuk memastikan keamanan.
8 = Memerlukan bantuan fisik satu orang untuk beberapa tahap transfer.
3 = Memerlukan bantuan maksimal satu atau dua orang secara fisik untuk transfer, tapi
mampu duduk.
0 = Tidak mampu transfer, tidak seimbang saat duduk.
i. Berjalan pada tempat datar
15 = Pasien dapat mengambil posisi berdiri, kemudian berjalan mandiri atau dengan
tongkat lebih dari 50 meter tanpa pengawasan.
12 = Dapat berjalan mandiri tapi kurang dari 50 meter, memerlukan pengawasan untuk
memastikan keamanan.
8 = Memerlukan bantuan seseorang untuk menahan saat berjalan.
3 = Memerlukan bantuan maksimal satu orang atau lebih saat berjalan.
0 = Tidak dapat berjalan meskipun dibantu.
j. Menaiki tangga

10= Dapat naik turun tangga tanpa bantuan fisik atau pengawasan. Pasien dapat
berpegangan secara aman dan membawa tongkat saat berjalan.
8= Dapat mandiri namun memerlukan pengawasan untuk memastikan keamanan.
5= Dapat naik turun tangga tapi tidak dapat membawa serta alat bantu jalan. Pasien
memerlukan bantuan dan pengawasan.
2= Dapat naik turun tangga dengan bantuan.
0= Tidak mampu melakukan.
Skor IB 100 berarti pasien mandiri dan mampu melakukan sepuluh komponen kegiatan
tanpa bantuan fisik atau pengawasan. Nilai 91 99 ketergantungan minimal, hanya perlu
pengawasan. Nilai 75 90 ketergantungan ringan, memerlukan bantuan minimal namun
beberapa komponen memerlukan bantuan sedang. Nilai 50 74, ketergantungan sedang,
memerlukan bantuan lebih banyak, sebagian kegiatan dilakukan mandiri. Nilai 25 49
ketergantungan maksimal: memerlukan bantuan maksimal, namun masih mampu
melakukan beberapa kegiatan. Nilai 0-24 pasien ketergantungan total.
D. Aktivitas Keperawatan pada Pasien Imobilisasi
Aktivitas keperawatan pada pasien imobilisasi menurut LeMone dan Burke (2008)
merupakan semua kegiatan yang dilakukan perawat pada pasien imobilisasi baik
langsung maupun tak langsung untuk mempertahankan, memperbaiki, mencegah
komplikasi dan kehilangan fungsi gerakan. Aktivitas keperawatan dapat dilakukan atas
inisiatip perawat sendiri, dokter, maupun tenaga kesehatan lain.
Aktivitas keperawatan berfokus pada kebutuhan pasien akan pelayanan keperawatan.
Pasien dengan imobilisasi mengalami kesulitan untuk melakukan perawatan diri
(Berman, et al., 2008). Talbut dan Marsden (2008) mengemukakan bahwa pasien
imobilisasi karena gangguan saraf motorik akan kesulitan menggunakan tangan untuk
aktivitas makan, kesulitan makan karena ketidakmampuan mengunyah dan menelan, dan
aktivitas rutin toileting akibat kesulitan bergerak dan semua kegiatan yang ada
memerlukan gerakan. Pasien perlu dibantu dalam ADL.
Orem dalam self care deficit theory (Berman, et al., 2008) menerangkan bahwa perawat
membantu pasien yang mengalami ketidakmampuan merawat diri melalui lima metode:
bekerja langsung pada pasien, memandu, mengajarkan, memberi dukungan dan
menyiapkan lingkungan yang meningkatkan kemampuan klien untuk melakukan aktivitas
mandiri. Orem mengidentifikasi sistem pelayanan keperawatan menjadi tiga bagian: 1)
sistem kompensasi menyeluruh dimana segala aktivitas perawatan diri pasien dikerjakan
seluruhnya oleh perawat; 2) sistem kompensasi sebagian, perawat mengerjakan sebagian
dari aktivitas perawatan diri pasien; 3) Sistem dukungan dan pendidikan pasien,
dilakukan agar pasien mampu merawat diri sendiri.
Aktivitas keperawatan dapat dilakukan sebagai aktivitas mandiri dan aktivitas kolaborasi.
Aktivitas mandiri dilakukan perawat atas inisiatif perawat, berdasarkan ilmu dan
ketrampilan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien akan pelayanan keperawatan.
Tindakan kolaborasi dilakukan bila ada instruksi atau saran dari tim kesehatan lain untuk
pengobatan dan atau terapi. Pada tindakan kolaborasi, perawat dan tim kesehatan lain
bersama- sama terlibat dalam tindakan ini (Berman et al, 2008).
Hampir semua aktivitas keperawatan pada pasien imobilisasi adalah aktivitas mandiri
keperawatan. Aktivitas kolaborasi berupa aktivitas pengobatan dan terapi. Pada aktivitas
latihan ROM, dapat dilakukan sebagai aktivitas mandiri atau aktivitas kolaborasi.
1. Aktivitas perawatan diri pasien.

Aktivitas perawatan diri merupakan aktivitas mandiri keperawatan. Aktivitas ini


dilakukan saat pasien tidak mampu menolong diri sendiri dan keluarga tidak mampu
memberi pertolongan sesuai yang diharapkan. Perawat dapat melakukan sepenuhnya,
melakukan sebagian, atau dengan memberikan petunjuk. Kegiatan perawatan diri dapat
didelegasikan kepada pemberi pelayanan keperawatan. Perawat membantu pasien dan
keluarga menemukan cara yang aman dan mudah untuk melakukan ADL, dan
meningkatkan kemandirian klien. Keterlibatan pasien dapat meningkatkan konsep diri
yang positip (Berman, et al, 2008).
Pasien dengan ketergantungan total semua kegiatan dilakukan oleh perawat. Pada
ketergantungan sebagian perawat menyiapkan peralatan, pasien sendiri mengerjakannya
dan perawat membantu pada bagian yang sulit dilakukan pasien. Pada tingkat
ketergantungan minimal perawat memantau, memberi petunjuk, dan memberi motivasi
dan pasien melakukan sendiri aktivitasnya (Wilkinson, 2005).
a. Mandi. Mandi bermanfaat untuk menjaga kebersihan kulit dan mengurangi terjadinya
kerusakan kulit, untuk kenyamanan dan relaksasi pasien. Saat pasien dimandikan,
perawat dapat mengkaji area kulit yang lembab berlebihan atau sangat kering pada areaarea yang tertutup terhadap kerusakan kulit dan mengkaji kemampuan mobilisasi
(Berman, et al., 2008).
Pasien dengan ketergantungan total, semua kegiatan dilakukan perawat. Pada pasien
ketergantungan sedang perawat menyiapkan semua perlengkapan, memposisikan pasien,
melepas pakaian, menggosok semua bagian tubuh dengan sedikit bantuan dari pasien.
Ketergantungan sebagian perawat menyiapkan perlengkapan dalam jangkauan pasien,
pasien sendiri menggosok tubuh, perawat membantu pada area punggung dan kaki.
Kegiatan ini dapat didelegasikan kepada pemberi perawatan. Perawat dapat melibatkan
keluarga (Berman, et al., 2008; Wilkinson, 2005)
b. Makan. Nutrisi bermanfaat untuk memberikan energi untuk kebutuhan tubuh,
membentuk jaringan tubuh, dan perlindungan tubuh. Nutrisi dan cairan yang baik
membantu mencegah kerusakan kulit dan cairan yang cukup mencegah infeksi saluran
kencing ( Rosdahl dan Kowalski, 2008).
Pasien dengan ketidakmampuan menelan dan penurunan kesadaran dapat dilayani
makanan lewat selang atau diberikan nutrisi dan cairan lewat infus. Pada pasien dengan
kelemahan perawat dapat menyuapi dan bekerjasama dengan ahli gizi untuk menyiapkan
makanan yang mudah ditelan. Perawat membantu memotong makanan, mengatur posisi
pasien dan memotivasi untuk makan dan memantau pasien ketergantungan sedang.
Pasien ketergantungan sebagian perawat membantu dengan mendekatkan makanan,
mengatur posisi dan memantau makan (Berman et al., 2008; Wilkinson, 2005)
c. Kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang baik mengurangi keasaman mulut dan
mencegah berkembangnya bakteri dan peradangan mukosa mulut (Nainar & Mohummed,
2004 cit Berman et al., 2008). Perawat melakukan semua kegiatan untuk membersihkan
mulut pada pasien dengan ketergantungan total. Pasien ketergantungan sedang dibantu
perawat dengan menyiapkan perlengkapan dan memposisikan pasien dan perawat
membantu memberi arahan dan motivasi (Berman, et al., 2008; Wilkinson, 2005).
d. Berpakaian dan berdandan. Perawat melepaskan dan membantu pasien mengenakan
pakaian, menyisir rambut memberi bedak atau bercukur untuk pasien ketergantungan
total. Pada ketergantungan sedang pasien dapat membantu merisleting, mengancingkan
baju. Ketergantungan sebagian perawat menyiapkan pakaian dan pasien mengerjakan

sendiri dengan arahan perawat (Berman, et al., 2008; Wilkinson, 2005).


e. Toileting. Pasien ketergantungan total perawat membantu melepas pakaian bawah,
menempatkan pasien pada pispot dan membersihkan area perianal setelah kegiatan.
Pasien ketergantungan sedang perawat menyiapkan pispot, menempatkan pasien di pispot
atau kloset dan mencuci tangan pasien setelah tindakan. Pada ketergantungan sebagian
pasien dapat dibimbing ke kamar kecil, perawat membantu melepaskan pakaian. Untuk
kegiatan di kamar kecil perawat perlu memantau kemampuan pasien untuk melakukan
transfer dan memakai pakaian (Berman, et al., 2008; Wilkinson, 2005).
Pasien dengan inkontinensia dapat dipertimbangkan untuk penggunaan kateter, kondom
kateter atau diaper tapi perlu diawasi. Penggunaan kateter menetap berisiko untuk infeksi
saluran kencing sedang diaper yang lembab berlebih berisiko untuk iritasi dan kerusakan
kulit (Berman, et al., 2008; Rosdahl dan Kowalski, 2008).
2. Mengatur posisi pasien
Mengubah posisi pasien imobilisasi di tempat tidur merupakan aktivitas mandiri
keperawatan yang bermanfaat untuk mengurangi ketidaknyamanan, mencegah kerusakan
saraf perifer dan pembuluh darah yang beresiko bagi kerusakan kulit. Perubahan posisi
juga bermanfaat untuk mempertahankan tonus otot, menstimulasi refleks postural, dan
mencegah kontraktur otot (LeMone dan Burke, 2008; Gulanick, et al., 2009).
Posisi pasien di tempat tidur dapat diatur dengan posisi terlentang, telungkup,
menyamping, sims, posisi setengah duduk rendah, setengah duduk tinggi. Mengubah
posisi tiap 2 jam dapat membantu mengurangi tekanan pada kulit dan memperlancar
aliran darah. Perawat membuat jadwal pergantian posisi, menjelaskan kepada keluarga
cara melakukan perubahan posisi secara aman. Perawat perlu memperhatikan alignment
tubuh agar tidak menimbulkan regangan berlebihan pada otot yang menyebabkan nyeri
(Berman, et al., 2008).
Posisi fowler merupakan posisi setengah duduk dengan peninggian 45 90 derajat. Posisi
ini membantu meningkatkan ekpansi paru saat bernapas. Cocok untuk pasien yang
mengalami masalah jantung paru (Berman, et al., 2008).
Posisi telungkup (prone), bantal dipakai pada kepala dan diletakan dibawah perut dengan
kepala dimiringkan ke samping dan kedua tangan fleksi. Posisi ini baik untuk
meningkatkan ekstensi penuh bagian panggul dan lutut, mempertahankan kelengkungan
normal tulang belakang, meningkatkan drainase dari mulut dan mencegah aspirasi. Posisi
ini tidak cocok untuk pasien dengan gangguan jantung dan paru karena menghambat
ekspansi paru. Tidur lama dalam posisi telungkup dapat menyebabkan plantar fleksi pada
kaki (Berman, et al., 2008).
Posisi menyamping (Lateral) dibentuk dengan mengatur posisi tidur pada sisi tubuh, kaki
difleksi pada atas panggul dan lutut membentuk segitiga. Posisi ini bermanfaat
meningkatkan alignment tubuh yang baik, membantu fleksi pada puncak tulang panggul,
mengurangi tekanan pada tumit. Cocok dan nyaman untuk pasien dengan defisit sensori
motorik (Berman, et al., 2008).
Posisi sims (semiprone) merupakan posisi menyamping yang cenderung telungkup
dengan tangan bagian bawah diletakkan menyamping dan tangan bagian atas flesksi pada
siku. Kedua kaki fleksi dengan bagian atas lebih fleksi dari bagian bawah. Posisi ini
cocok untuk pasien dengan penurunan kesadaran dan defisit sensori motorik karena
meningkatkan drainase dari mulut dan untuk pasien dengan paralisis dapat mengurangi
tekanan di atas trokanter mayor dan pada panggul (Berman, et al., 2008).

3. Memonitor tanda-tanda vital


Imobilisasi lama sering menimbulkan hipotensi orthostatik saat perubahan dari posisi
baring ke posisi duduk dan infeksi. Pasien dengan gangguan jantung, pembuluh darah
dan paru sering berespon terhadap perubahan posisi atau aktivitas dan menurut Widodo
(2005) latihan memengaruhi peningkatan tekanan darah dan nadi. Perlu dimonitor tanda
-anda vital sebelum, selama, dan setelah melakukan latihan gerak untuk menentukan
respon oksigenasi pasien.
4. Melakukan latihan ROM
Latihan ROM merupakan bentuk latihan pergerakan yang dilakukan dengan
menggerakan semua bagian persendian hingga mencapai rentangan penuh tanpa
menimbulkan rasa nyeri atau bunyi berderik pada persendian. Latihan ini bermanfaat
untuk meningkatkan dan mempertahankan pergerakan pada setiap persendian, mencegah
kontraktur sendi dan atropi otot, memperlancar aliran darah dan mencegah pembentukan
trombus dan embolus, mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot. ROM juga
bermanfaat untuk membantu pasien mencapai kemampuan aktivitas normal (Brookside
Associates, 2007). Latihan ini dapat dikerjakan mandiri atau berkolaborasi dengan
fisioterapist.
Latihan ROM dibedakan menjadi ROM pasif, aktif, aktif asistif, resistif, dan isometrik.
ROM pasif dilakukan oleh perawat, pasien pasif. ROM aktif dikerjakan oleh pasien
sendiri tanpa bantuan perawat, sedang pada jenis aktif asistif perawat membantu
menyokong bagian distal persendian . ROM resisitf dilakukan pasien dengan menekan
atau mendorong obyek kuat sedang latihan isometrik dikerjakan sendiri oleh pasien
dengan mengkontraksikan dan merelaksasi otot (Brookside Associates,2007; Rosdahl dan
Kowalski, 2008).
ROM pasif, pasien tidak terlibat, semua dikerjakan oleh perawat. Jenis latihan ini baik
untuk mempertahankan kelenturan sendi tetapi tidak meningkatkan kekuatan otot dan
mencegah demineralisasi tulang karena tidak terjadi kontraksi volunter otot, tekanan pada
tulang dan pemanjangan masa otot. Untuk meningkatkan kekuatan otot, mencegah
demineralisasi tulang, dan mempertahankan fungsi otot dapat menggunakan jenis latihan
ROM aktif, aktif resisitif, aktif asisitif, dan latihan isometrik, yang dapat memperlancar
aliran balik vena (Brookside Associates, 2007; Rosdahl dan kowalski, 2008). Perawat
dapat berkolaborasi dengan fisioterapist untuk perencanaan kebutuhan latihan,
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan gerak (Wilkinson, 2005).
Latihan ROM tidak dianjurkan bila pasien memiliki gangguan jantung, pernapasan,
gangguan jaringan ikat sendi. Latihan ROM pada pasien dengan gangguan jantung dan
paru menyebabkan peningkatan kebutuhan sirkulasi untuk menyediakan energi yang
diperlukan untuk melakukan pergerakan. Pada sendi yang meradang bila dilakukan
latihan ROM akan memperburuk kerusakan dan dapat merusak jaringan disekelilingnya
(Brookside Associates, 2007; Widodo, 2005).
5. Mencegah dan mengontrol kerusakan kulit
Untuk mengurangi kerusakan kulit perawat dapat melakukan kegiatan seperti merubah
posisi, menjaga area kulit tetap bersih dan kering, memberikan lotion pada kulit yang
sangat kering. Kegiatan ini dapat dikerjakan bersamaan dengan kegiatan perawatan diri
misalnya mandi, membersihkan area perianal setelah BAB/ BAK. Setiap pergantian
posisi perawat mengontrol tanda-tanda kerusakan kulit pada area tertekan. Untuk
mengurangi tekanan pada kulit dapat digunakan kasur udara (Berman, et al., 2008;

Wilkinson, 2005).
Pemberian nutrisi dan cairan yang adekuat turut membantu mencegah kerusakan kulit
karena membantu kulit berfungsi baik. Pasien dimotivasi untuk mempertahankan jumlah
minum yang cukup jika tidak ada kontraindikasi (Rosdahl & Kowalski, 2008).
6. Latihan mengontrol BAK dan BAB
Latihan ini dapat diajarkan perawat untuk meningkatkan kemampuan mengontrol dan
merasakan tanda- tanda BAK dan BAB dengan mengkontraksikan otot perinium. Pasien
yang menggunakan kateter dapat dilatih dengan membendung aliran kateter dan
membukanya tiap dua jam atau saat merasa ada stimulus BAK.
Pasien imobilisasi dapat mengalami inkontinensia feses atau konstipasi akibat kehilangan
inervasi pada saluran gastrointestinal. Pasien dapat dilatih untuk BAB mengikuti jadwal
yang dibuat dan latihan menahan di luar jadwal. Perawat perlu mengkaji pola BAB
pasien sebelum memulai program latihan. Pasien dengan konstipasi dapat diatur diet yang
tinggi serat, kecukupan cairan (Rosdahl & Kowalski, 2008).
7. Latihan dan bantuan ambulasi pasien
Sebelum melakukan ambulasi jalan, perawat perlu mengkaji kemampuan pasien dengan
mengontrol kekuatan otot, terutama otot quadricep femoris yang mengekstensi lutut dan
memfleksi paha saat berjalan. Perawat dapat memandu pasien melakukan latihan untuk
meregangkan dan merelaksasi saat pasien masih di tempat tidur (Berman, et al., 2008).
Bila pasien dinilai kuat dan aman untuk ambulasi dapat dikaji kemampuan ambulasi.
Perawat perlu memastikan bahwa pasien memerlukan bantuan satu atau dua orang,
keamanan lingkungan saat latihan ambulasi serta kekuatan dan kemampuan perawat agar
tidak mencederai diri perawat dan pasien. Sebelum, selama dan sesudah latihan perawat
perlu mewaspadai adanya hipotensi orthostatik (Berman, et al., 2008; Rosdahl dan
Kowalski, 2008). Perawat dapat bekerjasama dengan fisioterapist atau okupasi terapist
untuk penggunaan alat bantu jalan (Wilkinson, 2005; Rosdahl dan Kowalski, 2008).
8. Kegiatan untuk pencegahan hipotensi orthostatik
Perubahan posisi ke arah vertikal dapat menyebabkan hipotensi orthostatik pada pasien
imobilisasi akibat penurunan refleks postural dan tonus pembuluh darah. Sebelum
perubahan posisi dari berbaring ke posisi duduk perawat perlu menganjurkan pasien
untuk melakukan perubahan posisi dengan bertahap meninggikan kepala, menjuntai kaki
ke lantai, dan bangun duduk dengan selang waktu istirahat satu menit. Perawat perlu
menjelaskan tanda-tanda hipotensi orthostatik dan mengajarkan pasien perlunya latihan
peregangan tungkai bawah untuk menguatkan tonus dan merangsang refleks postural.
Pasien juga dikontrol terhadap efek pengobatan yang beresiko hipotensi (Berman, et al.,
2008).
9. Mencegah Kontraktur dan Deformitas Tulang Ekstremitas
Menurut Gulanick, et al.(2009) perawat dapat menempatkan alat bantuan untuk
mempertahankan kaki, tangan dalam posisi normal. Perawat dapat memasang
penyanggah kaki yang dilapisi bahan yang lembut agar selalu dalam posisi dorsofleksi
untuk mencegah kelayuan kaki (plantarfleksi) saat pasien dalam terlentang. Perawat
menempatkan gulungan handuk kecil ditelapak tangan untuk mempertahankan posisi
tangan selalu terbuka. Posisi terlentang yang lama memudahkan terjadinya rotasi hip
maka untuk mempertahankannya dapat dipakai trokanter rol. Alat ini dapat dimodifikasi
dari gulungan handuk mandi yang besar atau selimut (Berman, et al., 2008; Rosdahl dan
Kowalski, 2008).

10. Mencegah Jatuh


Pasien dengan penurunan kesadaran perlu dimonitor tingkat kesadaran, memberi
pengaman pada sisi tempat tidur (Gulanick, et al., 2009). Perawat dapat melibatkan
keluarga untuk menunggui pasien. Lantai kering, tidak ada rintangan saat pasien belajar
berjalan. Pasien yang menggunakan kursi roda perlu diperhatikan keamanan kursi roda
(Berman, et al., 2008).
11. Kebutuhan Oksigenasi
Pasien imobilisasi karena penurunan kesadaran atau gangguan saraf motorik (Talbut dan
Marsden, 2008) sering mengalami kesulitan mengeluarkan sekresi mukus berlebihan
akibat gangguan saraf motorik pada otot sehingga perlu memperhatikan kebersihan jalan
napas. Posisi sims atau telungkup dapat membantu drainase sekresi bronkus (Berman et
al., 2008), dan bila sekresi sangat banyak dapat dilakukan penghisapan dengan mesin.
Pemberian oksigen disesuaikan dengan kondisi pasien. Pasien sadar dapat diberikan
latihan napas dalam dan batuk agar memudahkan pengeluarkan sekret dan meningkatkan
pengembangan paru (Gulanick et al., 2009).
12. Pengobatan dan terapi
Pasien imobilisasi akibat nyeri dapat diberikan analgetik sesuai kebutuhan. Pasien
mungkin memerlukan pemeriksaan laboratorium kadar albumin pada gangguan nutrisi,
pemeriksaan kultur urine jika ada infeksi saluran kencing (Wilkinson, 2005).
Posted by HEROdes at 04.37
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
Reactions:
0 comments:

Anda mungkin juga menyukai