MOBILISASI, Paper
MOBILISASI, Paper
Tulang merupakan organ kaku dan sulit untuk digerakan atau dibengkokkan. Tulang
berfungsi menyokong tubuh membentuk alignment dan postur tubuh yang tepat saat
duduk, berdiri, atau berbaring. Tulang melindungi jaringan tubuh yang halus seperti otak,
medula spinalis, dan organ bagian dalam tubuh. Cadangan kalsium tubuh yang diperlukan
untuk kontraksi otot tersimpan pada matriks tulang (Tortora dan Derrickson, 2006; Gunn,
2007).
Fungsi pergerakan pada tulang dimungkinkan karena tulang menjadi tempat melekatnya
otot rangka melalui tendon, adanya ligamen dan persendian. Tortora dan Derrickson
(2006) menganalogi tulang sebagai tuas (lever), sendi sebagai titik tumpu dan otot
sebagai sumber tenaga penggerak.
Pada tulang normal, proses resorpsi dan reabsorbsi selalu dipertahankan. Proses ini
dipertahankan melalui stimulus mekanik bergerak (Setyo Widodo, 2005). Imobilisasi
lama menyebabkan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur tulang, nyeri kronik,
dan berkurangnya kemandirian (Grifin, 2005).
2. Persendian dan jaringan ikat
Persendian merupakan pertemuan antara dua buah tulang, tulang dan tulang rawan, atau
antara tulang dan gigi. Persendian dibagi menjadi tiga bagian: sinarthrosis, ampiarthrosis,
diarthrosis. Sendi diarthrosis memiliki struktur persendian sinovial yang memiliki rongga
sendi sebagai tempat persambungan tulang yang memungkinkan tulang bergerak bebas
(Tortora dan Derrickson, 2006).
Sendi dilengkapi dengan tulang rawan pada kedua ujungnya, kapsul, ligamen, dan cairan
sendi/cairan sinovial. Tulang rawan pada ujung tulang persendian memudahkan
pergerakan dan mengurangi gesekan antar tulang. Kapsul sendi menutupi sekeliling
rongga sendi dan menyatukan tulang, tersusun dari jaringan fibrus padat yang menahan
sendi agar tidak keluar dari posisinya saat bergerak dengan regangan kuat. Ligamen
menjaga tulang agar tetap berada pada posisinya. Fleksibilitas ligamen dan kapsul sendi
yang tinggi akan menghasilkan ROM yang lebih tinggi. Cairan sendi untuk memperkecil
gesekan antar tulang, meredam gaya pada tulang, menyiapkan nutrisi dan oksigen untuk
kehidupan sel tulang rawan sendi. Imobilisasi lama menurunkan produksi cairan sendi,
fleksibilitas ligamen, dan kapsul sendi (Tortora dan Derrickson, 2006).
3. Otot
Otot rangka berikatan dengan tulang dan menggerakkan tulang, kulit atau otot rangka lain
saat berkontraksi dibawah kontrol saraf. Otot rangka menstabilkan persendian dan
membantu mempertahankan posisi saat duduk atau berdiri. Aktivitas kontraksi otot
memerlukan ATP yang dihasilkan sel otot dan memegang peran utama dalam pergerakan
(Tortora dan Derrickson, 2006).
Saat kontraksi (Tortora dan Derrickson, 2006) otot menarik tulang pada tempat melekat
ujung insersi tendon ke arah tempat melekatnya tendon dengan bagian tulang yang tidak
bergerak (origin). Kelenturan dan ketahanan otot (Widodo, 2005) dipengaruhi besar
massa otot, ukuran serabut dan jumlah unit motorik pada otot. Proses menua, imobilisasi,
dan sakit kronis menyebabkan penurunan massa otot menurunkan kemampuan mobilisasi
(Ritchie, 2008). Tegangan otot dan pemendekan tendon meningkat akibat imobilisasi
menimbulkan kontraktur (Talbut dan Marsden, 2008).
4. Mekanisme keseimbangan
Mekanisme keseimbangan diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan postur
tubuh saat bergerak, terutama pergerakan kepala. Mekanisme keseimbangan berhubungan
mampu menggunakan peralatan makan seperti senduk, garpu, pisau untuk mengecilkan
dan mencampur makanan; c) mampu mengunyah dan menelan makanan.
8 = Mandiri untuk kegiatan a dan b tetapi memerlukan sedikit bantuan untuk kegiatan b
(Dibantu dengan mengecilkan makanan pasien).
5 = Dapat makan sendiri namun memerlukan pengawasan, memerlukan bantuan untuk
kegiatan b.
2 = Mandiri untuk kegiatan c, masih mampu memegang senduk tapi perlu bantuan aktif
untuk kegiatan a dan b
0 = Tidak mampu melakukan kegiatan a,b, hanya mampu kegiatan c atau memerlukan
NGT.
b. Mandi
5 = Mandiri untuk kegiatan : a) Mampu menggayung air atau memakai waslap yang
diletakkan dalam jangkauan; a) mampu menyabun seluruh tubuh; c) mengeringkan
badan.
4 = Memerlukan bantuan pengawasan suhu air mandi tapi mampu melakukan kegiatan
a,b,c.
3 = Memerlukan bantuan untuk kegiatan b dan c pada bagian tubuh yang tidak dapat
dijangkau.
1 = Memerlukan bantuan untuk semua kegiatan namun masih ada sedikit bantuan dari
pasien misalnya menggosok atau mengeringkan area dada, lengan, perut.
0= Semua kegiatan dibantu.
c. Merapikan diri/ merias diri
5 = Mandiri untuk kegiatan: a) mencuci tangan dan muka; b) menyikat gigi; c) menyisir
rambut; d) bercukur untuk pria; e) dapat mengambil, memasang, menyimpan kembali alat
cukur pada tempat; f) wanita dapat memakai tata rias.
4 = Pasien dapat melakukan semua kegiatan tapi memerlukan bantuan minimal seperti
merapikan setelah kegiatan.
3 = Memerlukan bantuan untuk beberapa tahap kegiatan
1 = Semua kegiatan dibantu namun pasien dapat melakukan satu atau dua kegiatan
dengan sempurna.
0= Memerlukan bantuan total pada semua kegiatan.
d. Berpakaian
10 = Mandiri dalam kegiatan: a) memakai dan melepas pakaian; b) mengancingkan baju,
menarik resleting, mengikat tali sepatu c) memasang ikat pinggang atau korset, pengait
bra.
8 = Memerlukan bantuan minimal untuk membuka kancing, atau resleting.
5 = Memerlukan bantuan saat memakai, dan atau melepas pakaian tertentu yang sulit
seperti pada ekstremitas bawah.
2 = Semua kegiatan dibantu dengan sedikit partisipasi pasien pada beberapa tahap
berpakaian.
0 = Bantuan total untuk semua kegiatan tanpa sedikitpun partisipasi pasien.
e. Mengontrol BAB
10 = Mampu mengontrol BAB: a) BAB spontan; b) mampu memasukan supositoria
mandiri dan klisma pada pasien cedera spinal; c) dapat mengontrol BAB.
8 = BAB spontan namun memerlukan bantuan minimal untuk memasukan supositoria,
klisma dan jarang tidak terkontrol.
5 = Kadang tidak mampu menahan BAB bila bantuan terlambat, tetapi dapat memasukan
supositoria atau memakai alat bantu.
2 = Ketidakmampuan menahan BAB lebih sering dari kemampuan kontrol, sedikit
bertahan bila dibantu dengan mengatur posisi, butuh diaper.
0 = Pasien inkontinensia dan tidak berpartisipasi sama sekali, sangat memerlukan diaper.
f. Mengontrol BAK
10 = Mampu mengontrol BAK: a) BAK spontan siang maupun malam hari; b) Pasien
cedera spinal dapat menggunakan kateter dan mengosongkan kantung penampung urine
secara mandiri.
8 = Pasien dapat mengontrol BAK pada siang maupun malam tapi kadang tidak dapat
mengontrol BAK, tidak dapat menahan bila toilet jauh atau karena tidak segera di pasang
pot/ urinal.
5 = Dapat mengontrol BAK siang hari tetapi lepas kontrol pada malam hari atau
memerlukan bantuan alat internal atau eksternal.
2 = Tidak mampu mengontrol BAK baik siang maupun malam, dapat sedikit menahan
bila segera dipasang pot atau urinal.
0 = Tidak mampu mengontrol BAK, memerlukan bantuan kateter menetap.
g. Toileting
10 = Mandiri untuk kegiatan: a) mampu melepas dan mengenakan kembali pakaian; b)
mampu jongkok dan bangun dari toilet; c) membersihkan perianal; d) mencuci tangan
setelah BAB/BAK; e) mengguyur kloset setelah BAB/BAK.
8 = Mampu melakukan kegiatan namun perlu pengawasan untuk transfer dan kegiatan di
toilet.
5 = Mampu melakukan sendiri tapi masih memerlukan bantuan seseorang untuk tahap
kegiatan sperti melepas pakaian, mencuci tangan, dan transfer ke toilet.
2 = Memerlukan bantuan maksimal untuk semua tahap kegiatan seperti transfer,
membuka pakaian, membersihkan area perianal.
0 = Tidak mampu melakukan apapun.
h. Transfer
15 = Mandiri untuk kegiatan: a) Dapat bangun dan duduk di samping tempat tidur; b)
berpindah secara aman ke kursi atau berpindah dari kursi ke tempat tidur; c) berpegangan
secara aman saat berpindah.
12 = Memerlukan pengawasan seseorang untuk memastikan keamanan.
8 = Memerlukan bantuan fisik satu orang untuk beberapa tahap transfer.
3 = Memerlukan bantuan maksimal satu atau dua orang secara fisik untuk transfer, tapi
mampu duduk.
0 = Tidak mampu transfer, tidak seimbang saat duduk.
i. Berjalan pada tempat datar
15 = Pasien dapat mengambil posisi berdiri, kemudian berjalan mandiri atau dengan
tongkat lebih dari 50 meter tanpa pengawasan.
12 = Dapat berjalan mandiri tapi kurang dari 50 meter, memerlukan pengawasan untuk
memastikan keamanan.
8 = Memerlukan bantuan seseorang untuk menahan saat berjalan.
3 = Memerlukan bantuan maksimal satu orang atau lebih saat berjalan.
0 = Tidak dapat berjalan meskipun dibantu.
j. Menaiki tangga
10= Dapat naik turun tangga tanpa bantuan fisik atau pengawasan. Pasien dapat
berpegangan secara aman dan membawa tongkat saat berjalan.
8= Dapat mandiri namun memerlukan pengawasan untuk memastikan keamanan.
5= Dapat naik turun tangga tapi tidak dapat membawa serta alat bantu jalan. Pasien
memerlukan bantuan dan pengawasan.
2= Dapat naik turun tangga dengan bantuan.
0= Tidak mampu melakukan.
Skor IB 100 berarti pasien mandiri dan mampu melakukan sepuluh komponen kegiatan
tanpa bantuan fisik atau pengawasan. Nilai 91 99 ketergantungan minimal, hanya perlu
pengawasan. Nilai 75 90 ketergantungan ringan, memerlukan bantuan minimal namun
beberapa komponen memerlukan bantuan sedang. Nilai 50 74, ketergantungan sedang,
memerlukan bantuan lebih banyak, sebagian kegiatan dilakukan mandiri. Nilai 25 49
ketergantungan maksimal: memerlukan bantuan maksimal, namun masih mampu
melakukan beberapa kegiatan. Nilai 0-24 pasien ketergantungan total.
D. Aktivitas Keperawatan pada Pasien Imobilisasi
Aktivitas keperawatan pada pasien imobilisasi menurut LeMone dan Burke (2008)
merupakan semua kegiatan yang dilakukan perawat pada pasien imobilisasi baik
langsung maupun tak langsung untuk mempertahankan, memperbaiki, mencegah
komplikasi dan kehilangan fungsi gerakan. Aktivitas keperawatan dapat dilakukan atas
inisiatip perawat sendiri, dokter, maupun tenaga kesehatan lain.
Aktivitas keperawatan berfokus pada kebutuhan pasien akan pelayanan keperawatan.
Pasien dengan imobilisasi mengalami kesulitan untuk melakukan perawatan diri
(Berman, et al., 2008). Talbut dan Marsden (2008) mengemukakan bahwa pasien
imobilisasi karena gangguan saraf motorik akan kesulitan menggunakan tangan untuk
aktivitas makan, kesulitan makan karena ketidakmampuan mengunyah dan menelan, dan
aktivitas rutin toileting akibat kesulitan bergerak dan semua kegiatan yang ada
memerlukan gerakan. Pasien perlu dibantu dalam ADL.
Orem dalam self care deficit theory (Berman, et al., 2008) menerangkan bahwa perawat
membantu pasien yang mengalami ketidakmampuan merawat diri melalui lima metode:
bekerja langsung pada pasien, memandu, mengajarkan, memberi dukungan dan
menyiapkan lingkungan yang meningkatkan kemampuan klien untuk melakukan aktivitas
mandiri. Orem mengidentifikasi sistem pelayanan keperawatan menjadi tiga bagian: 1)
sistem kompensasi menyeluruh dimana segala aktivitas perawatan diri pasien dikerjakan
seluruhnya oleh perawat; 2) sistem kompensasi sebagian, perawat mengerjakan sebagian
dari aktivitas perawatan diri pasien; 3) Sistem dukungan dan pendidikan pasien,
dilakukan agar pasien mampu merawat diri sendiri.
Aktivitas keperawatan dapat dilakukan sebagai aktivitas mandiri dan aktivitas kolaborasi.
Aktivitas mandiri dilakukan perawat atas inisiatif perawat, berdasarkan ilmu dan
ketrampilan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien akan pelayanan keperawatan.
Tindakan kolaborasi dilakukan bila ada instruksi atau saran dari tim kesehatan lain untuk
pengobatan dan atau terapi. Pada tindakan kolaborasi, perawat dan tim kesehatan lain
bersama- sama terlibat dalam tindakan ini (Berman et al, 2008).
Hampir semua aktivitas keperawatan pada pasien imobilisasi adalah aktivitas mandiri
keperawatan. Aktivitas kolaborasi berupa aktivitas pengobatan dan terapi. Pada aktivitas
latihan ROM, dapat dilakukan sebagai aktivitas mandiri atau aktivitas kolaborasi.
1. Aktivitas perawatan diri pasien.
Wilkinson, 2005).
Pemberian nutrisi dan cairan yang adekuat turut membantu mencegah kerusakan kulit
karena membantu kulit berfungsi baik. Pasien dimotivasi untuk mempertahankan jumlah
minum yang cukup jika tidak ada kontraindikasi (Rosdahl & Kowalski, 2008).
6. Latihan mengontrol BAK dan BAB
Latihan ini dapat diajarkan perawat untuk meningkatkan kemampuan mengontrol dan
merasakan tanda- tanda BAK dan BAB dengan mengkontraksikan otot perinium. Pasien
yang menggunakan kateter dapat dilatih dengan membendung aliran kateter dan
membukanya tiap dua jam atau saat merasa ada stimulus BAK.
Pasien imobilisasi dapat mengalami inkontinensia feses atau konstipasi akibat kehilangan
inervasi pada saluran gastrointestinal. Pasien dapat dilatih untuk BAB mengikuti jadwal
yang dibuat dan latihan menahan di luar jadwal. Perawat perlu mengkaji pola BAB
pasien sebelum memulai program latihan. Pasien dengan konstipasi dapat diatur diet yang
tinggi serat, kecukupan cairan (Rosdahl & Kowalski, 2008).
7. Latihan dan bantuan ambulasi pasien
Sebelum melakukan ambulasi jalan, perawat perlu mengkaji kemampuan pasien dengan
mengontrol kekuatan otot, terutama otot quadricep femoris yang mengekstensi lutut dan
memfleksi paha saat berjalan. Perawat dapat memandu pasien melakukan latihan untuk
meregangkan dan merelaksasi saat pasien masih di tempat tidur (Berman, et al., 2008).
Bila pasien dinilai kuat dan aman untuk ambulasi dapat dikaji kemampuan ambulasi.
Perawat perlu memastikan bahwa pasien memerlukan bantuan satu atau dua orang,
keamanan lingkungan saat latihan ambulasi serta kekuatan dan kemampuan perawat agar
tidak mencederai diri perawat dan pasien. Sebelum, selama dan sesudah latihan perawat
perlu mewaspadai adanya hipotensi orthostatik (Berman, et al., 2008; Rosdahl dan
Kowalski, 2008). Perawat dapat bekerjasama dengan fisioterapist atau okupasi terapist
untuk penggunaan alat bantu jalan (Wilkinson, 2005; Rosdahl dan Kowalski, 2008).
8. Kegiatan untuk pencegahan hipotensi orthostatik
Perubahan posisi ke arah vertikal dapat menyebabkan hipotensi orthostatik pada pasien
imobilisasi akibat penurunan refleks postural dan tonus pembuluh darah. Sebelum
perubahan posisi dari berbaring ke posisi duduk perawat perlu menganjurkan pasien
untuk melakukan perubahan posisi dengan bertahap meninggikan kepala, menjuntai kaki
ke lantai, dan bangun duduk dengan selang waktu istirahat satu menit. Perawat perlu
menjelaskan tanda-tanda hipotensi orthostatik dan mengajarkan pasien perlunya latihan
peregangan tungkai bawah untuk menguatkan tonus dan merangsang refleks postural.
Pasien juga dikontrol terhadap efek pengobatan yang beresiko hipotensi (Berman, et al.,
2008).
9. Mencegah Kontraktur dan Deformitas Tulang Ekstremitas
Menurut Gulanick, et al.(2009) perawat dapat menempatkan alat bantuan untuk
mempertahankan kaki, tangan dalam posisi normal. Perawat dapat memasang
penyanggah kaki yang dilapisi bahan yang lembut agar selalu dalam posisi dorsofleksi
untuk mencegah kelayuan kaki (plantarfleksi) saat pasien dalam terlentang. Perawat
menempatkan gulungan handuk kecil ditelapak tangan untuk mempertahankan posisi
tangan selalu terbuka. Posisi terlentang yang lama memudahkan terjadinya rotasi hip
maka untuk mempertahankannya dapat dipakai trokanter rol. Alat ini dapat dimodifikasi
dari gulungan handuk mandi yang besar atau selimut (Berman, et al., 2008; Rosdahl dan
Kowalski, 2008).