Anda di halaman 1dari 4

MINGGU, 11 MEI 2014

Ini Tas dari Limbah


Loh...
Oleh: Sri Rejeki & Dwi As Setianingsih

Karung plastik bekas wadah tepung atau beras seharga Rp 3.000 itu berubah
menjadi tas berharga Rp 250.000. Ini bukan sulap atau sihir, melainkan
kreativitas para ibu dalam memanfaatkan limbah menjadi produk bermanfaat.
Di tangan Ursula Tumiwa, Millaty Ismail, karung plastik bekas mereka padukan
dengan kain batik, agar kesan Indonesia semakin kental. Hal ini sesuai misi mereka
yaitu mengangkat keunikan Indonesia. Itu mengapa mereka memberi merek produk
tersebut, Indonesia Loh.

Sengaja dipilih kain batik pesisiran karena berwarna cerah, seperti merah, kuning,
hijau, dan biru. Kain batik itu diaplikasikan di sekeliling tas ditambah kulit sintetis
sebagai pegangan (handle) atau tali tas. Ula, sapaan Ursula, dan Milla, sengaja
membiarkan logo dan tulisan tepung terigu atau beras tetap terlihat untuk
menguatkan kesan ramah lingkungan, salah satu pesan yang juga ingin
disampaikan oleh Indonesia Loh. Setelah jadi, harga tas produksi Indonesia Loh
dibanderol mulai Rp 135.000-Rp 250.000 per buah, tergantung dari ukuran dan
modelnya.
Ide pembuatan tas itu terinspirasi dari tas-tas serupa yang terbuat dari bekas
kemasan plastik sabun cair, pencuci piring, pewangi pakaian, yang belakangan
cukup marak di pasaran. Proses pembuatan tas diawali dengan terlebih dahulu
mencuci karung plastik. Setelah dicuci, karung plastik diberi kain pelapis di bagian
dalam. Kain batik diaplikasikan di bagian tepi luar tas atau sebagai aksen kantong.
Beberapa model tas juga dipasang retsleting.
Selain tas, karung plastik tersebut juga disulap menjadi dompet, wadah gadget,
seperti telepon selular atau komputer tablet, dan sarung bantal kursi. Sarung bantal
kursi berharga Rp 135.000. Adapun sarung bantal kursi beserta bantalnya seharga
Rp 150.000. Produk-produk itu dipasarkan baik melalui penjualan online atau
pameran. Indonesia Loh juga memiliki toko di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Selain karung plastik bekas, Ula dan Milla juga menggunakan bahan lain berupa
serat alam, seperti rafia alam, pandan, eceng gondok, dan gajih. Material ini
digunakan untuk membuat produk mode dan dekorasi rumah, seperti keranjang, peti
kecil, sarung bantal, topi, dan lain sebagainya.
Produksi tas serat alam dikerjakan oleh tiga perajin di Sentolo, Yogyakarta, dan
Jawa Tengah. Sisanya dibuat di Jakarta. Konsepnya dibuat unik dan sangat
Indonesia. Seperti pada bantal kecil yang di bagian depannya diberi gambar kaleng
kerupuk bertuliskan Saya suka kerupuk. Benda lainnya, seperti tas dan kaus
dipermanis dengan kalimat : Saya suka nasi atau Aku suka gorengan.
Memberdayakan
Produk ramah lingkungan serupa juga dibuat oleh Harining Mardjuki dengan label
Daughter of Klaten. Usaha yang dirintis di Bali sejak tahun 2008 itu, diawali
Harining dari posisi sebagai agen bagi produk keluaran Lawe dari Yogyakarta. Lawe

dikenal sebagai salah satu pemasok produk kerajinan tangan di gerai Mirota
Yogyakarta.
Harining memulai usahanya setelah meninggalkan pekerjaan di lembaga swadaya
masyarakat

(LSM).

Perempuan

yang

pernah

menjadi

peserta

Social

Entrepreneurship and Enterprise Development (SEED) di Asian Institute of


Managements MDM ini kemudian melanjutkan usaha dengan menjadi agen produk
yang dihasilkan oleh ibu-ibu di Bali. Prinsip Harining dalam berbisnis, selain
memberdayakan diri, juga memberdayakan orang lain.
Tak mau sekadar menjadi agen, Harining pada 2010 membuat produk sendiri
dengan mengusung nama Daughter of Klaten. Karena ibu saya berasal dari
Klaten, Jawa Tengah, kata Harining.
Produk pertama Daughter of Klaten adalah tas tangan motif lurik dan tenun Bali
(endek) yang dibuat dengan handle kayu. Bahan kayu yang dipakai sebagai
pegangan

adalah

produk

kayu

lestari,

bekerja

sama

dengan

Asosiasi

Pengembangan Industri Kerajinan Republik Indonesia (APIKRI) Yogyakarta. Kayu


lestari adalah kayu yang dipanen secara legal dan lestari untuk mengurangi dampak
penebangan terhadap lingkungan.
Untuk membuat produk Daughter of Klaten, Harining melanjutkan kerja samanya
dengan Lawe. Pilihan ini diambil karena bagi Harining, bukan hal mudah untuk
mengelola pegawai dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh
anak. Mengelola pegawai dan mengurus produksi bukan hal mudah. Karena alasan
itulah saya lebih memilih bekerja sama dengan Lawe yang sudah jelas kualitasnya.
Dengan menggandeng Lawe, saya juga turut berpartisipasi dalam pemberdayaan
perempuan seperti yang selalu ingin saya lakukan, papar Harining.
Harining juga membuat berbagai produk seperti dompet, sarung bantal, dan
berbagai wadah dengan berbagai ukuran. Dalam hal penggunaan bahan baku,
Harining terus bereksplorasi. Selain lurik, Harining juga menggunakan karung goni
yang menurut dia bersifat tahan lama. Bahan tersebut ia gunakan sebagai tas
belanja berukuran besar seperti yang dikeluarkan oleh jaringan supermarket besar di
sejumlah kota besar di Indonesia. Misinya tidak berubah, yaitu menciptakan produk
ramah lingkungan.

Ide untuk memberdayakan komunitas marjinal juga terus dilakukan oleh Harining.
Setelah Lawe dan komunitas ibu-ibu di Bali, Harining melanjutkan gagasan tentang
pemberdayaan dengan Perkumpulan Bina Lingkungan Yogyakarta. Perkumpulan ini
terdiri dari para ibu yang berdomisili di Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo,
Yogyakarta. Di perkumpulan tersebut, para ibu bekerja mengolah sampah nonorganik yang kemudian diubah menjadi material daur ulang yang dikenal dengan
istilah awul.
Awul ini dibuat dari kemasan-kemasan produk seperti bubuk detergen, pembersih
lantai hingga kopi yang kemudian dicacah menjadi material berukuran kecil yang
kemudian dikelompokkan sesuai warnanya, kata Harining.
Awul kemudian dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan produk seperti kotak
penyimpanan barang hingga dompet dan berbagai macam tas. Produk Daughter of
Klaten berhasil mencuri perhatian konsumen. Terlebih harga yang ditawarkan cukup
terjangkau, yaitu mulai Rp 45.000 hingga ratusan ribu.
Yang bekas, ternyata bisa juga berkelas.

Anda mungkin juga menyukai