Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Penelitian

UJI EFEKTIVITAS DEKOK KULIT BUAH KLERAK (Sapindus rarak) SEBAGAI


ANTIBAKTERI TERHADAP Methicillin Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) SECARA IN VITRO.
Sri Winarsih*, Sri Hidayati S**, Rita Sulistyaningsih***
*Laboratorium Mikrobiologi FKUB, **Laboratorium Biokimia-Biomolekuler FKUB,
**Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter FKUB

ABSTRAK
Adanya penyalahgunaan antibiotika dalam pengobatan infeksi bakteri
dapat berakibat pada resistensi antimikroba yang meluas di seluruh dunia dan
berkembang menjadi masalah kesehatan. Methicillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) merupakan galur spesifik dari bakteri Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap antimikroba semua turunan penicillin dan methicillin serta
antimikroba spektrum luas beta-lactamase resisten penicillin. Oleh karena itu
perlu dikembangkan alternatif pengobatan sebagai solusi mengatasi masalah
resistensi antibiotik. Salah satu tanaman yang telah banyak dimanfaatkan secara
tradisional namun belum banyak diteliti aktivitas antibakterinya adalah Klerak
(Sapindus rarak). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek antibakteri
dekok kulit buah klerak terhadap MRSA secara in vitro. Metode yang digunakan
adalah uji dilusi tabung yang terdiri atas tahap penentuan Kadar Hambat
Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Konsentrasi dekok kulit buah
klerak yang digunakan adalah 20%, 22,5%, 25%, 27,5%, dan 30%, sedangkan
konsentrasi MRSA adalah 106 CFU/ml. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
dekok kulit buah klerak secara signifikan dapat menghambat pertumbuhan
MRSA (ANOVA, p = 0.000) dan terdapat hubungan antara peningkatan
konsentrasi dekok kulit buah klerak dengan penurunan jumlah pertumbuhan
koloni MRSA (R = -0.922). KHM dekok kulit buah klerak terhadap MRSA adalah
27,5% v/v dan KBM-nya adalah 30% v/v. Kandungan dekok kulit buah klerak
yang diperkirakan berperan sebagai antibakteri adalah saponin dan flavonoida.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dekok kulit buah klerak memiliki efek
antibakteri terhadap MRSA secara in vitro.
Kata kunci: Klerak (Sapindus rarak), MRSA, antibakteri.

ABSTRACT
Irrational use of antibiotics in the treatment of bacterial infections can
result in antimicrobial resistance throughout the world and develop into health
problems. Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is a specific strain
of the Staphylococcus aureus that are resistant to antimicrobials such as
derivatives of penicillin, methicillin and antimicrobial broad-spectrum beta-

Jurnal Penelitian

lactamase-resistant penicillin. Therefore, its necessary to develop alternative


treatment as a solution to overcome the problem of antibiotic resistance. One
plant that has been used traditionally in daily life but has not been widely studied
its antibacterial activity is soapnut (Sapindus rarak). This experiment aims to
verify the antibacterial effect of soapnut pericarp water extract (decoctum)
against MRSA in vitro. The antibacterial test used in this experiment is tube
dilution method to determine the Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and the
Minimum Bactericide Concentration (MBC). The extract concentrations used
were 20%, 22,5%, 25%, 27,5%, and 30% , while the concentration of MRSA was
106 CFU/ml. Statistical analysis showed that soapnut pericarp water extract
(decoctum) could significantly inhibit the growth of MRSA (ANOVA, p = 0.000)
and there was a relationship between the increase of soapnut decoctum
concentrations with the decrease of MRSA colony numbers (R = -0.922). The
research also showed that the MIC was 27,5% v/v and MBC was 30% v/v. The
main contents of soapnut pericarp water extract (decoctum) that is believed to be
antibacterial agent are saponin and flavonoid. It was concluded that soapnut
pericarp water extract (decoctum) has an antibacterial effect against MRSA in
vitro.
Keyword: soapnut (Sapindus rarak) pericarp decoctum, MRSA, antibacterial
PENDAHULUAN

Staphylococcus
aureus
yang
resisten
terhadap
antimikroba
semua turunan penicillin
dan
methicillin
serta
antimikroba
spectrum
luas
beta-lactamase
2
resisten penicillin . Infeksi MRSA
masih tergolong baru. Menurut
Sheen dalam bukunya yang berjudul
Diseases and Disorder: MRSA,
infeksi ini pertama kali ditemukan
pada pasien-pasien di rumah sakit
dan panti jompo di Amerika Serikat
pada tahun 1960. Sejak epidemi
pertama-nya di Amerika Serikat
pada tahun 1968, hingga kini MRSA
masih menjadi masalah utama
infeksi nosokomial. Bakteri yang
termasuk dalam emerging infectious
pathogen ini bisa menyebar melalui
kontak antara tenaga kesehatan
yang
terinfeksi
atau
memiliki
kolonisasi
(bertindak
sebagai
reservoir) dengan pasien di rumah
sakit3.
Menurut Center for Disease
Control and Prevention (CDC), yang
telah meneliti kasus MRSA di
sembilan negara selama lebih dari
tiga puluh tahun, infeksi MRSA

Penyakit
infeksi
masih
menjadi penyebab utama dari
kematian di seluruh dunia, yang
menyebabkan setidaknya 50.000
orang
meninggal
setiap
hari.
Penyalahgunaan antibiotika dalam
pengobatan infeksi bakteri berakibat
pada resistensi antimikroba yang
meluas di seluruh dunia dan
berkembang
menjadi
masalah
kesehatan. Dalam beberapa dekade
terakhir,
insiden
multi-drug
resistance pada bakteri Gram positif
(Staphylococcus
aureus,
Streptococcus pneumonia), Gram
negatif (E. coli, Shigella dysentriae,
Haemophilus influenzae) dan bakteri
lain
seperti
Mycobacterium
tuberculosis dilaporkan meningkat
hampir di seluruh penjuru dunia.
Bakteri multi-drug resistant ini juga
menimbulkan masalah serius bagi
pasien dengan penyakit kanker dan
HIV/AIDS1.
Methicillin
resistant
Staphylococcus aureus (MRSA)
merupakan galur spesifik dari bakteri

Jurnal Penelitian

lain, seperti klerak (Sapindus rarak)


sudah
dimanfaatkan
secara
tradisional dalam kegiatan rumah
tangga, tetapi nilai medisnya belum
dimanfaatkan secara maksimal.
Klerak ( Sapindus rarak)
mengandung
saponin,
suatu
surfaktan
alami
yang
dapat
digunakan
sebagai
pengganti
deterjen6.
Secara
tradisional,
saponin yang didapat dengan cara
merendam potongan perikarp klerak
dalam
air
selama
semalam
dimanfaatkan
oleh
masyarakat
Indonesia untuk mencuci batik7.
Selain saponin, kulit buah klerak
juga
mengandung
flavonoid,
alkaloid, dan polifenol8. Berdasarkan
penelitian Soetan yang bertujuan
untuk mengetahui efek antimikroba
saponin dari ekstrak Sorghum
bicolor terhadap Staphylococcus
aureus, Eschericia coli, dan Candida
albicans, diketahui bahwa ekstrak
saponin dari Sorghum bicolor dapat
menghambat pertumbuhan bakteri
Gram positif, sehingga dapat
digunakan
sebagai antibakteri9.
Namun,
untuk
mengetahui
efektivitas saponin pada klerak
sebagai antibakteri terhadap MRSA,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
secara in vitro.
Pada penelitian ini digunakan
dekok kulit buah klerak karena
diasumsikan
di
dalam
dekok
tersebut akan terkandung bahan
aktif yang diduga memiliki efek
antibakteri.

hanya menyumbang 2 persen dari


seluruh
infeksi
Staphylococcus
aureus pada tahun 1974. Angka itu
meningkat menjadi 22 persen pada
1995. Kemudian
dengan
cepat
mencapai hampir 65 persen pada
tahun 2008 dan masih terus
bertambah4.
Pada komunitas, sebagian
besar infeksi MRSA merupakan
infeksi pada kulit4, biasanya bersifat
akut, agresif, membentuk lesi lokal
yang destruktif dan purulen2.
Penicillin G merupakan terapi
pilihan untuk mengobati infeksi dari
strain S. aureus yang sensitif,
sedangkan
penicillinase-resistant
penicillins
(methicillin,
nafcillin,
oxacillin) dan generasi pertama dari
cephalosporin digunakan bila terjadi
resistensi. Untuk strain yang resisten
terhadap
antibiotik
tersebut,
alternatif terapinya adalah dengan
vancomycin,
clindamycin,
atau
erythromycin2. Meskipun demikian,
masih banyak penduduk Indonesia
yang lebih memilih bahan alami
untuk mengatasi keluhan kesehatan
mereka, meskipun pilihan terapi
yang tersedia terbukti efektif.
Masyarakat Indonesia telah
mengenal dan menggunakan obat
tradisional sejak dulu kala sebagai
warisan nenek moyang. Obat
tradisional ini, baik berupa jamu
maupun tanaman obat masih
digunakan hingga saat ini, terutama
oleh masyarakat menengah ke
bawah.
Obat-obatan
tradisional
digunakan baik dalam bentuk jamu
yang diminum atau diaplikasikan
pada kulit. Adapun spesies yang
umum dimanfaatkan adalah jahe
(Zingiber officinale), kunyit (Curcuma
longa),
lengkuas
(Kaempferia
galanga), kumis kucing (Orthosiphon
aristatus),
secang
(Caesalpinia
sappan), brotowali (Tiospora rumpii),
dan kayu manis (Gijeyzahyza
glabra)5. Beberapa spesies tanaman

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Rancangan penelitian yang
dilakukan
adalah
penelitian
eksperimental dengan desain post
tes
control
group
yang
menggunakan metode dilusi tabung
untuk mengetahui konsentrasi dekok
kulit buah klerak yang dapat

Jurnal Penelitian

Variabel Tergantung
Variabel tergantung dalam
penelitian ini adalah pertumbuhan
bakteri MRSA
Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini
adalah dekok kulit buah klerak
(Sapindus rarak) yang dibuat dalam
konsentrasi tertentu.

mempengaruhi pertumbuhan isolat


bakteri MRSA secara in vitro.
Metode ini meliputi dua tahap, yaitu
tahap
pengujian
bahan
pada
medium broth untuk menentukan
KHM, serta tahap penggoresan pada
media NAP (Nutrient Agar Plate)
untuk mengetahui KBM.
Sampel Penelitian
Pada penelitian ini digunakan
sampel berupa bakteri MRSA
dengan kepadatan 106 CFU/ml yang
dikembangbiakkan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas
Brawijaya
Malang.
Sampel diperoleh dari spesimen
berupa swab tenggorok pasien di
Rumah Sakit Saiful Anwar Malang.
Banyaknya
sampel
diatas
dihitung
dengan
menggunakan
rumus10:
p (n-1) > 15

Lokasi dan Waktu Penelitian


Prosedur
penelitian
pembuatan dekok dilaksanakan di
laboratorium Mikrobiologi FKUB
pada tanggal 8 April 2011 s.d 8 Juli
2011. Prinsip-prinsip asepsis yaitu
dengan cara penggunaan ruang
kultur steril dan penggunaan alat
dan bahan yang steril, menjaga agar
lingkungan penelitian tetap bersih
dan steril, serta dengan mengikuti
prosedur eksperimen yang benar
telah diterapkan dalam pelaksanaan
penelitian ini untuk mencegah
kontaminasi yang bisa mengganggu
hasil eksperimen.

Keterangan:
p = Jumlah perlakuan (terdiri dari
lima
macam
perlakuan/konsentrasi)
n = Jumlah sampel

Definisi Operasional
Kulit buah klerak yang
digunakan adalah kulit buah
yang dipisahkan dari klerak
utuh yang dibeli di salah satu
pasar tradisional di Malang,
yaitu Pasar Besar Malang.
Dekok kulit buah klerak
didapatkan dari pendidihan
kulit buah klerak
dalam
aquadest steril, kemudian
dilakukan pendinginan dan
penyaringan.
Isolat MRSA adalah galur S.
aureus
yang
resisten
terhadap antibiotik methicillin
yang diperoleh dari swab
tenggorok 4 pasien di Rumah
Sakit Saiful Anwar Malang.
Sebelumnya, MRSA yang
berasal dari spesimen diuji
dengan pewarnaan Gram, uji
katalase dan koagulase,

Penelitian ini menggunakan 5


konsentrasi (20%, 22,5%, 25%,
27,5%, 30%) dari dekok kulit buah
klerak dan 1 kontrol MRSA tanpa
diberi dekok kulit buah klerak
(p=5+1=6) maka didapatkan jumlah
pengulangan:
6(n-1) 15
6n-6 15
6n 21
n 3,5 4
Dengan demikian, untuk
memenuhi persyaratan uji statistik
diperlukan sedikitnya 4 sampel
MRSA.
Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini
terdiri dari variabel bebas dan
variabel tergantung.

Jurnal Penelitian

serta tes kepekaan dengan


difusi cakram cefoxitin.
Kadar
Hambat
Minimal
(KHM) adalah konsentrasi
dekok kulit buah klerak
terendah
yang
mampu
menghambat pertumbuhan
bakteri MRSA yang ditandai
dengan kejernihan dalam
tabung.
Kadar Bunuh Minimal (KBM)
adalah
konsentrasi dekok
kulit buah klerak terendah
yang mampu membunuh
bakteri MRSA yang dapat
dilihat dari tidak adanya
koloni yang tumbuh pada
agar plate atau jumlah koloni
kurang dari 0,1% dari jumlah
koloni
pada
original
inoculum.

Laboratorium Mikrobiologi Fakultas


Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang.
Masing-masing
isolat
bakteri kemudian digoreskan pada
medium NAP dan diidentifikasi
dengan pewarnaan Gram. Bentuk
koloni S. aureus pada media NAP
berupa koloni bulat, halus, menonjol,
transparan, dan mengkilat. Saat
diidentifikasi dengan pewarnaan
Gram, dan diamati di bawah
mikroskop
dengan
perbesaran
1000x akan tampak gambaran
bakteri bentuk kokus yang tersusun
seperti buah anggur dan berwarna
ungu (Gram Positif).
Tahap selanjutnya dilakukan
uji katalase dan koagulase dan
hasilnya adalah positif. Langkah
berikutnya dilakukan uji sensitivitas
terhadap methicillin . Uji sensitivitas
untuk
identifikasi MRSA ini
dilakukan dengan metode difusi
cakram. Melalui metode difusi
cakram
menggunakan
cefoxitin
30g, bakteri dikatakan sebagai
MRSA apabila diameter zona inhibisi
< 21 mm dan untuk cefoxitin 10g
dikatakan sebagai MRSA (resisten
terhadap cefoxitin) apabila diameter
zona inhibisi < 16 mm. Pada
penelitian
ini,
bakteri
sampel
dikriteriakan sebagai MRSA karena
pada
cakram
cefoxitin
30g
didapatkan zona inhibisi < 21 mm
dan pada cefoxitin 10g didapatkan
zona inhibisi < 16 mm.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan
adalah uji statistik one way ANOVA
dan uji statistik korelasi-regresi. Uji
statistik one way ANOVA dengan
derajat kepercayaan 95 % ( = 0,05)
digunakan untuk mengetahui adanya
pengaruh
pemberian
berbagai
konsentrasi dekok kulit buah klerak
terhadap jumlah koloni
MRSA.
Sedangkan
uji
korelasi-regresi
digunakan
untuk
mengetahui
hubungan antara konsentrasi dekok
kulit
buah
klerak
terhadap
pertumbuhan MRSA.
HASIL
PENELITIAN
ANALISIS DATA

2. Hasil Uji Dilusi Tabung


Pada
penelitian
ini
digunakan lima macam konsentrasi
dekok kulit buah klerak (Sapindus
rarak) yaitu 20%, 22,5%, 25%,
27,5%, 30%, serta konsentrasi 0%
(kontrol bakteri atau bakteri tanpa
dekok) dan konsentrasi 50%
sebagai kontrol bahan atau bahan
dekok tanpa bakteri. KHM (Kadar

DAN

Hasil Penelitian
1. Hasil Identifikasi MRSA
Dalam penelitian ini digunakan
empat isolat bakteri MRSA yang
berasal dari swab tenggorok dan
diperoleh dari Rumah Sakit Saiful
Anwar Malang. Selanjutnya bakteri
tersebut diidentifikasi ulang di

Jurnal Penelitian

Hambat
Minimal)
atau
MIC
(Minimum Inhibitory Concentration)
adalah
kadar
terendah
dari
antimikroba
yang
mampu
menghambat pertumbuhan bakteri
(ditandai dengan tidak adanya
kekeruhan pada tabung), setelah
diinkubasikan selama 18-24 jam.
Tingkat kekeruhan larutan dekok
kulit buah klerak diamati untuk
menentukan KHM. Berdasarkan
hasil uji dilusi tabung setelah
diinkubasi, dapat diamati bahwa
pada tabung 20% tampak masih
sangat keruh yang artinya masih
sangat banyak bakteri yang tumbuh,

KK

20%

pada tabung 22,5% tampak keruh


yang artinya banyak bakteri yang
tumbuh, pada tabung 25% tampak
sedikit keruh yang artinya bakteri
yang tumbuh sedikit sedangkan
pada tabung 27,5% mulai tampak
jernih yang artinya nyaris tidak ada
bakteri yang tumbuh. Tabung 30%
tampak jernih yang artinya tidak ada
bakteri yang tumbuh. Tabung 27,5%
merupakan
tabung
dengan
konsentrasi dekok terkecil yang
mulai tampak jernih sehingga dapat
ditentukan bahwa KHM dalam
penelitian ini adalah konsentrasi
dekok klerak 27,5% v/v.

22,5%

25%

27,5%

Gambar 1. Hasil Uji Dilusi Tabung


Dekok Kulit Buah Klerak Berbagai Konsentrasi
Keterangan:
20%
: tabung dengan konsentrasi dekok 20% v/v
22,5% : tabung dengan konsentrasi dekok 22,5% v/v
25%
: tabung dengan konsentrasi dekok 25% v/v
27,5% : tabung dengan konsentrasi dekok 27,5% v/v
30%
: tabung dengan konsentrasi dekok 30% v/v
KK
: kontrol kuman (tabung dengan konsentrasi dekok 0%)

30%

Jurnal Penelitian

3. Hasil
Pengukuran
Pertumbuhan
MRSA
pada
Medium NAP
Setelah tabung diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37C
dan diamati tingkat kekeruhannya
untuk
melihat
KHM,
tiap
konsentrasi
dekok
tersebut
digoreskan penuh dalam NAP.
Kemudian NAP diinkubasi lagi pada
suhu 37C selama 18-24 jam.
Keesokannya
dilakukan
penghitungan jumlah koloni yang
tumbuh
pada
masing-masing
konsentrasi
NAP
dengan
menggunakan colony counter. Hal
ini berlaku pada keempat isolat
bakteri MRSA untuk melihat kadar
bunuh minimum (KBM).
KBM (Kadar Bunuh Minimal)
atau MBC (Minimal Bactericidal
Concentration)
adalah
kadar
terendah dari antibakteri yang dapat
membunuh bakteri (ditandai dengan
tidak tumbuhnya kuman pada NAP)
atau pertumbuhan koloninya kurang
dari 0,1% dari jumlah koloni
inokulum awal (original inoculum/OI)
pada medium NAP yang telah

dilakukan penggoresan sebanyak


satu ose (Dzen et al., 2003). Dari
hasil
pertumbuhan
dan
penghitungan koloni keempat isolat
bakteri MRSA tersebut dapat
ditentukan kadar bunuh minimal dari
dekok kulit buah klerak yaitu pada
NAP yang tidak ditumbuhi koloni
atau jumlah koloni < dari 0,1% dari
original inoculum. KBM terlihat pada
konsentrasi dekok 30% pada
keempat isolat MRSA yang diteliti.
Konsentrasi
27,5%
bukan
merupakan KBM karena rerata
jumlah koloninya lebih besar dari
0,1% rerata OI, sehingga didapatkan
KBM pada konsentrasi 30% karena
pada konsentrasi tersebut rerata
jumlah koloninya lebih kecil dari
0,1% rerata OI. Selain itu, pada
konsentrasi 30% tidak menunjukkan
adanya pertumbuhan koloni bakteri
MRSA. Hasil penghitungan koloni
yang tumbuh di NAP pada masingmasing dapat dilihat pada Gambar 2
dan Tabel 1. Jumlah koloni dihitung
dengan
menggunakan
colony
counter.

Jurnal Penelitian

Kontrol Bahan (KB)

Original Inoculum (OI)

Konsentrasi dekok 20%

Konsentrasi dekok 22,5%

Konsentrasi dekok 27,5%

Kontrol Kuman (KK)

Konsentrasi dekok 25%

Konsentrasi dekok 30%

Gambar 2. Jumlah Koloni MRSA pada Media NAP setelah Perlakuan


dengan Dekok Kulit Buah Klerak

Tabel 1. Jumlah Koloni MRSA pada Media NAP per ose (10 l)
Konsentrasi
(dalam %
v/v)

Jumlah Koloni per isolat

Jumlah

Rerata SD

KK 0%

I
500

II
486

III
448

IV
475

1909

477,25 0,5065

20%
22,5%
25%

275
100
23

165
94
36

215
88
15

239
106
25

894
388
99

223,5 1,57308
97 0,39367
24,75 0,87263

27,5%

10

15

3,75 1,01932

30%

KB

257

304

264

225

1050

OI
Keterangan:

KK : Kontrol Kuman

KB : Kontrol Bahan

262,5

OI : Original Inoculum

Jurnal Penelitian
bersih ditimbang dan direndam
seluruhnya dengan akuades di dalam
tabung dekok dengan perbandingan
1:1.
Tabung
dekok
tersebut
dipanaskan dalam wadah berisi air
yang sebelumnya telah mendidih
selama 30-45 menit. Larutan dekok
kemudian
mengalami
proses
penyaringan
menggunakan kertas
saring, filter Whatman, dan filter
Sartorius, sehingga pada akhirnya
didapatkan larutan dekok kulit buah
klerak yang siap digunakan. Proses
pembuatan
dekok dilakukan
di
Laboratorium Mikrobiologi FKUB.
Penelitian eksplorasi dilakukan
terlebih dahulu untuk menentukan
konsentrasi perlakuan. Dari eksplorasi
dapat diketahui konsentrasi yang tidak
didapatkan
pertumbuhan
bakteri
MRSA, yaitu pada konsentrasi dekok
50% v/v. Dari angka ini dapat
ditentukan konsentrasi yang tepat
pada penelitian. Konsentrasi dekok
yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu konsentrasi 20%, 22,5%, 25%,
27,5%, dan 30%. Rentang konsentrasi
tersebut dimaksudkan untuk dapat
menentukan KBM (Kadar Bunuh
Minimal) yang lebih tepat.
Dari pengamatan pada dilusi
tabung dapat ditentukan bahwa KHM
dekok kulit buah klerak terhadap
MRSA adalah pada konsentrasi 27,5%
v/v.
selanjutnya
dilakukan
penggoresan
pada
NAP
untuk
mengamati
pertumbuhan
koloni
MRSA, sehingga KBM didapatkan
pada konsentrasi 30% v/v. Hasil ini
diduga disebabkan karena semakin
besar
konsentrasi
dekok
yang
diberikan
semakin
besar
pula
konsentrasi
bahan
aktif
yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan
MRSA, sehingga pertumbuhan MRSA
menjadi semakin sedikit.
Bahan aktif dalam kulit buah
klerak yang diperoleh dari proses
dekok dan diduga berperan sebagai
antibakteri adalah utamanya saponin
serta flavonoida. Saponin dari klerak
merupakan surfaktan alami yang
digunakan
dalam
Ayuvreda
(pengobatan tradisional India) sebagai

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efek antibakteri dekok
kulit buah klerak (Sapindus rarak)
terhadap MRSA secara in vitro.
Metode yang digunakan adalah
metode dilusi tabung dalam dua tahap
perbenihan, yaitu tahap pertama
MRSA ditumbuhkan dalam media cair
Nutrient Broth yang dicampur dengan
dekok klerak dan diinkubasi selama 18
- 24 jam untuk diamati kekeruhannya
untuk menentukan KHM. Tahap kedua
adalah penggoresan (streaking) pada
NAP kemudian diinkubasi selama 18 24 jam untuk dihitung jumlah koloninya
dengan menggunakan colony counter
untuk menentukan KBM. Kemudian
hasilnya dianalisis dengan uji statistik.
Bakteri yang digunakan dalam
penelitian ini adalah empat macam
isolat bakteri MRSA yang berasal dari
swab tenggorok dan disediakan oleh
Laboratorium
Mikrobiologi
FKUB.
Bakteri
diidentifikasi
dengan
pewarnaan Gram dan diamati di
bawah mikroskop dengan perbesaran
1000x. pada pengamatan didapatkan
bakteri bentuk kokus berwarna ungu
yang menunjukkan sifat Gram positif.
Pada tes katalase, didapatkan hasil
positif, yang berarti bahwa bakteri
tersebut merupakan Staphylococcus.
Kemudian pada tes koagulase,
didapatkan
hasil
positif,
yang
menunjukkan bahwa bakteri tersebut
adalah Staphylococcus aureus. Untuk
menguji
sensitivitas
terhadap
methicillin, bakteri tersebut diuji
menggunakan metode difusi cakram
cefoxitin 30 g. dengan metode difusi
cakram cefoxitin, didapatkan zona
inhibisi < 21 mm, yang menunjukkan
bahwa
Staphylococcus
tersebut
resisten terhadap methicillin, atau
MRSA.
Pada penelitian ini digunakan
dekok kulit buah klerak (Sapindus
rarak) yang bahannya diperoleh dari
Pasar Besar Malang. Untuk membuat
larutan dekok, kulit buah klerak yang
telah dipotong-potong serta dicuci
9

Jurnal Penelitian
pembersih, pencuci rambut, terapi
eksim, dan terapi psoriasis. Klerak
memiliki sifat insektisidal lemah
sehingga dapat digunakan untuk
mengatasi pedikulosis. Saat ini buah
klerak mulai popular digunakan di
Negara-negara
Barat
sebagai
alternatif ramah lingkungan bagi
deterjen buatan pabrik11,12.
Secara struktural, saponin
tersusun atas satu atau lebih pecahan
hydrophilic
glycoside
yang
terkombinasi dengan derivat polycyclic
aglycone. Bahan aktif ini bekerja
menghambat sintesis protein melalui
penghambatan
translasi
dan
transkripsi13,14.
Saponin
dapat
melisiskan membran sel bakteri dan
dapat bekerja menghambat DNA
polimerase sehingga sintesa asam
nukleat terganggu. Aktivitas flavonoid
kemungkinan
disebabkan
oleh
kemampuannya
untuk
mengikat
adhesin,
membentuk
kompleks
dengan protein ekstraseluler dan
terlarut,
dan
juga
membentuk
kompleks dengan dinding sel bakteri,
serta sifat lipofiliknya juga mungkin
dapat merusak membran mikroba15.
Dari hasil anlisis data dengan
uji one-way ANOVA didapatkan
signifikansi sebesar 0.000 (p<0,05).
Hal ini berarti terdapat perbedaan
nyata antar konsentrasi dekok kulit
buah
klerak
terhadap
rata-rata
pertumbuhan koloni isolat MRSA.
Berdasarkan Post Hoc test (Tukeys
Test)
antara
setiap
perlakuan
menunjukkan
bahwa
terdapat
perbedaan bermakna jumlah koloni
bakteri MRSA yang dihasilkan pada
medium
NAP
antara
berbagai
konsentrasi dekok kulit buah klerak
(p<0.05), namun jumlah koloni bakteri
MRSA antara konsentrasi 27,5% dan
30% tidak berbeda bermakna satu
sama lain (p>0.05).
Dari uji korelasi diketahui
bahwa pemberian dekok kulit buah
klerak sebagai antibakteri terhadap
jumlah koloni bakteri MRSA yang
dihasilkan pada medium NAP (R=0.922, p=0.000) mempunyai hubungan
(korelasi) yang kuat dan signifikan

(p<0.05) dengan arah korelasi yang


negatif,
artinya
peningkatan
konsentrasi dekok kulit buah klerak
cenderung akan menurunkan jumlah
koloni bakteri MRSA yang dihasilkan
pada medium NAP, dibandingkan
dengan jumlah koloni bakteri MRSA
pada konsentrasi yang lebih rendah
maupun pada kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil analisis
regresi, pengaruh pemberian dekok
kulit buah klerak terhadap jumlah
koloni bakteri MRSA yang dihasilkan
pada medium NAP sebesar 85%,
sedangkan 15% keragaman jumlah
koloni bakteri MRSA yang dihasilkan
pada
medium
NAP
tersebut
dipengaruhi
oleh
faktor
lain,
kemungkinan karena faktor resistensi
dari bakteri terhadap dekok dan
pengaruh lama penyimpanan dekok.
Berdasarkan hasil penelitian
dan analisa data di atas, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan, yang
pertama bahwa dekok kulit buah
klerak memiliki efek antibakteri
terhadap MRSA secara in vitro,
dimana semakin tinggi konsentrasi
dekok maka akan semakin sedikit
jumlah koloni bakteri yang tumbuh.
Kedua, keberhasilan penelitian pada
empat
macam
isolat
MRSA
menunjukkan bahwa penelitian dapat
digeneralisasikan, dengan kata lain
memiliki validitas eksternal yang tinggi.
Aplikasi klinis dari penelitian ini
memang masih memerlukan penelitian
lebih lanjut mengenai bahan aktif apa
saja yang terkandung dalam kulit buah
klerak yang dapat berpotensi sebagai
antibakteri dan berapa konsentrasi
yang efektif sebagai antibakteri. Selain
itu masih perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui batasan
dosis yang aman untuk dekok kulit
buah klerak sebagai antimikroba bagi
MRSA agar dapat digunakan sebagai
pengobatan alternatif oleh masyarakat
luas. Karena kandungan utama dari
klerak adalah saponin yang dapat
melisiskan sel darah merah, maka
penggunaan dekok secara topikal
harus dihindari pada kulit yang tidak
intak.
10

Jurnal Penelitian
2. Ryan, KJ, Ray, GC. 2004.
Sherris Medical Microbiology
4th Ed. USA. Mc Graw Hill. P:
261-271
3. Sheen, B. 2010. Diseases and
Disorders: MRSA. USA. Lucent
Books. Chap 1.
4. Gorwitz, RJ. 2008a. A review
of
community-associated
methicillin-resistant
Staphylococcus aureus skin
and soft tissue infections.
Atlanta. Journal of Infectious
Diseases 27(1):1-7
5. National Agency for Export
Development (NAFED). 2006.
Biodiversity, Traditional
Medicine and Sustainablle Use
of Indigenous Medicinal Plants
in Indonesia (Online).
(Kementrian Perdagangan
Republik Indonesia.
http://www.nafed.go.id/docs/fea
turedpublications/Export_Agust
us_tradisional%20medicine_ok
.pdf. Diakses tanggal 9
Desember 2010 )
6. Mansfeld, R. 2001. Mansfeld's
Encyclopedia of Agricultural
and Horticultural Crops. New
York: Springer
7. Hadi, S. 2009. Sabun Gratis
untuk Batik (Online),
(http://sadhonohadi.com/index.
php?option=com_content&task
=view&id=84&Itemid=74.
Diakses tanggal 1 Desember
2010)
8. Irham,
F.
2007.
Efek
Antibakteri Berbagai Sediaan
dari Buah Lerak Terhadap
Streptococcus mutans. Skripsi.
Tidak diterbitkan, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas
Sumatra Utara.
9. Soetan, KO, Oyekunle, MA,
Aiyelaagbe, OO, Fafunso, MA.
2006. Evaluation of the
antimicrobial activity of
saponins extract of Sorghum
Bicolor L. Moench. African
Journal of Biotechnology 5
(23): 2405-2407.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang
telah
dilakukan,
dapat
disimpulkan bahwa:
Dekok kulit buah klerak
(Sapindus
rarak)
efektif
sebagai antibakteri terhadap
MRSA dan dapat menghambat
serta
membunuh
bakteri
secara in vitro yang dibuktikan
dengan
semakin
tinggi
konsentrasi dekok, semakin
rendah pertumbuhan MRSA.
Kadar Hambat Minimum (KHM)
dalam penelitian ini pada
konsentrasi 27,5% v/v dan
Kadar Bunuh Minimum (KBM)
dalam penelitian ini pada
konsentrasi 30% v/v.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang
telah dikemukakan maka diberikan
saran-saran
untuk
mengadakan
perbaikan di masa mendatang yaitu
sebagai berikut:
Diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai zat-zat aktif
lainnya dari kulit buah klerak
yang mempunyai efek sebagai
antibakteri.
Diperlukan penelitian lebih
lanjut terhadap efek dekok kulit
buah klerak in vivo pada
hewan coba, untuk mengetahui
farmakokinetik,
farmakodinamik, batasan dosis
yang aman maupun dosis yang
toksik, serta kemungkinan
adanya efek samping.
DAFTAR PUSTAKA
1. Daisy, P, Selvakumar, BN,
Jasmine, R. 2007. Saponins
from Eugenia jambolana with
antibacterial activity against
Beta-Lactamase
producing
Methicillin
Resistant
Staphylococcus
aureus.
Pakistan. Research Journal of
Medicinal Plant (1):1-6
11

Jurnal Penelitian
10. Solimun. 2001. Diklat
Metodologi Penelitian LKIP dan
PKM Kelompok Agrokompleks.
Malang: Universitas Brawijaya.
11. Christman, S. 2008. Sapindus
(Online),
(http://www.floridata.com/ref/S/
sapi_sap.cfm. Diakses tanggal
13 Desember 2010)
12. Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R.,
Jamnadass, R., Anthony, S.
2009. Agroforestree Database:
a Tree Reference and
Selection Guide version 4.0
(Online)
http://www.worldagroforestry.or
g/sites/treedbs/treedatabases.a
sp. Diakses tanggal 14
Desember 2010

13. Cornell University. 2008.


Saponins, (Online).
(http://www.herbs2000.com/,
diakses tanggal 29 Oktober
2011).
14. Davidson. 2005. Tanaman
herbal. (Online),
(http://www.deherba.com/index
.php, diakses tanggal 13
Desember 2010)
15. Cowan, MM. 1999. Clinical
Microbiology Reviews-Plant
Products Antimicrobial Agent.
Ohio Department of
Microbiology, Miami University.
Vol 4, no 2, P564-582,
(Online). (http://smccd.net
/accounts//case/ref/564.pdf.
diakses tanggal 29 Oktober
2011).

12

Anda mungkin juga menyukai