Anda di halaman 1dari 5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Drosophila melanogaster
Menurut Strorer dan Usinger (1957), sistematika dari Drosophila melanogaster
adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Insecta

Subclass

: Pterygota

Ordo

: Diptera

Subordo

: Cyclorihapha

Family

: Drosophilidae

Subfamily

: Drosophilinae

Marga

: Drosophila

Spesies

: Drosophila melanogaster

2.2 Karakteristik D.melanogaster


Drosophila melanogaster telah dikenal di setipa kontinen di bumi,kecuali satu
daerah yaitu Antartika. Pada daerah lain,penyebarannya hanya dibatasi oleh jarak
pegunungan dan gurun. (Demerec,1950; Patterson anad Stone,1952 dalam Miller
2000)
Drosphila melanogaster merupakan jenis lalat buah yang memiliki warna
tubuh kuning kecoklatan dengan lingkaran berwarna hitam di tubuh bagian belakang.
Pada lalat betina memiliki ukuran panjang sekitar 2,5 mm. Sedangkan lalat jantan
memiliki ukuran yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan lalat betina. Di
samping itu, lalat jantan juga memiliki tanda hitam yang berada di ujung tubuh bagian
belakang.
Menurut T.H Morgan, Drosophila melanogaster sering digunakan sebagai
hewan percobaan dalam mempelajari ilmu-ilmu biologi,khususnya ilmu genetika.
Karena hewan ini mudah di dapat dan mudah di kembangkan, ukuran tubuhnya kecil,
mempunyai siklus yang pendek, hanya memiliki 4 pasang kromosom, dapat

menghasilkan ratusan telur yang dibuahi dalam siklus hidupnya yang pendek tersebut.
(Champbell,2010)
Strain pada D. melanogaster mempunyai ciri atau karakter yang berbedaa pada
masing masing strain. Untuk mengetahui jenis kelaminnya dari D. melanogaster
dilihat dari warna ujung posterior abdomennya. Pada D. melanogaster secara umum
memiliki warna hitam pada ujung posterior lebih banyak dan jelas dibandingkan
dengan yang betina
2.3 Peristiwa Gagal Berpisah pada Drosophila melanogaster
Peristiwa gagal berpisah pertama kali dilaporkan oleh T.H. Morgan dan Bridges
yang menyatakan bahwa diantara 2000 turunan F1 hasil persilangan antara Drosophila
melanogaster

strain white

betina dan strain

normal jantan, ditemukan satu

penyimpangan entah betina bermata putih atau jantan bermata merah. Bridges
menduga bahwa penyimpangan itu terjadi karena gagal berpisah pada kromosom
kelamin X. Dalam hal ini kedua kromosom kelamin X gagal memisah selama meiosis
sehingga keduanya menuju ke kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki
dua kromosom kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X maupun
yang tidak memiliki kromosom kelamin X ( Corebima, 2013)
Gagal berpisah adalah suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari sepasang
kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya pada
meiosis I, atau dimana kromatid saudara gagal berpisah selama meosis II. Pada kasus
ini, satu gamet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet lainnya tidak
mendapat salinan sama sekali (Campbell dkk. 2002). Dalam hal ini kedua kromosom
kelamin X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju ke kutub yang
sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang
tidak memiliki kromosom kelamin X (Corebima, 2013).
Menurut Pai (1987), nondisjuction adalah penyimpangan pembelahan sel,
dimana kromosomkromosom atau kromatidkromatid yang secara normal berpisah
pada waktu anafase tetap tinggal bersama, menghasilkan sel anak dengan kebanyakan
atau kekurangan kromosom.

Gambar 1: Persilangan pada Drosophila melanogaster antara individu betina bermata


putih dan jantan bermata merah, yang memperlihatkan peristiwa gagal berpisah pada
kromosom kelamin X (Ayala dkk., 1984 dalam Corebima, 2013)
Peristiwa nondisjunction dibedakan menjadi nondisjunction primer dan
sekunder. Nondisjunction primer dapat terjadi pada induk lalat yang belum mengalami
nondisjunction atau lalat normal, sedangkan non-disjunction sekunder terjadi pada
keturunan yang merupakan hasil non-disjunction primer. Seperti yang dijelaskan oleh
Corebima (2013) bahwa peristiwa itu disebut sebagai gagal berpisah sekunder karena
kejadiannya berlangsung pada turunan dari individu betina, yang keberadaannya
merupakan produk gagal berpisah primer. Dalam hal ini individu betina yang
dimaksud memiliki dua kromosom kelamin X dan satu kromosom Y.
Non-disjunction terjadi ketika terjadinya peristiwa meiosis pembentukan sel
gamet. Saat itu kromosom terbagi menjadi setengah set untuk setiap sel gamet yang
terbentuk. Ketika nondisjunction terjadi maka satu sel gamet itu tidak berisi setengah
dari kromosom sel induk, tapi tetap berisi satu set lengkap, dalam hal ini gamet yang
harusnya haploid menjadi diploid atau bahkan tidak berisi. Pai (1985) mengatakan
bahwa sel-sel diploid berisi dua perangkat kromosom yang lengkap, satu berasal dari
gamet ayah dan yang lainnya dari gamet ibu. Karena meiosis menghasilkan gametgamet semacam itu, akibatnya adalah bahwa reduksi meiosis 2n menjadi n pasti terjadi
7

sedemikian sehingga setiap produk meiosis yang haploid diberi jatah satu perangkat
kromosom lengkap yang berisi semua informasi genetik yang berkaitan dengan jenis
yang bersangkutan. Jadi penjatahan lengkap ini menjadi kunci kedua proses meiosis.
Peristiwa nondisjunction persisnya terjadi saat tahap anafase, baik anafase I
maupun anafase II. Jika nondisjuncton terjadi pada anafase I maka yang mengalami
gagal berpisah adalah kromosom homolog yang mana kedua kromosom homolog
sama-sama tertarik ke kutub yang sama. Sementara jika nondisjunction terjadi pada
anafase II maka yang mengalami gagal berpisah adalah sister kromosom. Pai (1985)
mengatakan bahwa nondisjungsi dapat terjadi baik sebelum pembelahan meitotik
pertama maupun kedua. Kejadian dasar pada nondisjungsi adalah kromosomkromosom tidak berpisah. Hal ini menyebabkan aneuploidi pada sel-sel anak.
Corebima (2013) menyatakan bahwa peristiwa gagal berpisah dibedakan
menjadi gagal berpisah primer dan gagal berpisah sekunder. Mengenai hal ini Pai
(1985) menyatakan jika nondisjungsi terjadi pada sel-sel benih yang normal, hal ini
disebut nondisjungsi primer. Namun jika individual trisomi bereproduksi, nondisjungsi
yang menyebabkan aneuploidi pada sel-sel benih disebut nondisjungsi sekunder. Lebih
lanjut Corebima (2013) menyatakan bahwa frekuensi kejadian gagal berpisah sekunder
(sebagaimana yang dilaporkan) adalah sekitar 100 kali lebih tinggi (1 dalam 25
turunan) daripada frekuensi kejadian gagal berpisah primer (1 dalam 2000 turunan).
2.4 Faktor-faktor Penyebab Gagal Berpisah
Peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) dipengaruhi oleh beberapa hal baik
dari faktor luar maupun faktor dalam. Faktor luar yang dapat meningkatkan peristiwa
gagal berpisah pada Drosophila menurut Herskowitz (1977) dalam Abidin (1997)
adalah energi radiasi tinggi, karbon dioksida, dan zat kimia lain. Faktor luar lain yang
dapat mempengaruhi gagal berpisah adalah suhu.
Faktor dari dalam lainnya yang berpengaruh terhadap gagal berpisah adalah
adanya gen mutan yang menyebabkan sentromer tidak berada pada keadaan normal
atau abnormal. Dalam keadaan normal dua sentromer sesaudara saling menutup. Satu
sentromer akan berorientasi ke salah satu kutub, sedang sentromer lain berorientasi ke
salah satu kutub yang berlawanan. Dengan adanya gen mutan, dalam hal ini gen meis332, yaitu gen semi dominan pada meiosis II Drosophila melanogaster, maka
metafase II dua sentromer sesaudara akan terletak memisah, sehingga kedua sentromer

tersebut akan berorientasi ke kutub yang sama, akibatnya pada anafase II terjadi
peristiwa nondisjunction atau gagal berpisah (Herskowitz, 1977).

Anda mungkin juga menyukai