Anda di halaman 1dari 14

MALARIA FALCIPARUM

Pendahuluan
Malaria merupakan penyakit infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh
protozoa dari genus Plasmodium. Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium
ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab paling banyak pada anak dan
dapat menimbulkan komplikasi sehingga dapat menyebabkan kematian.1
Malaria diperkirakan telah menginfeksi sekitar 350-500 juta anak dengan
angka kematian mencapai satu juta kasus per tahun di seluruh dunia. Sebagian
besar kematian terjadi pada anak-anak dibawah usia 5 tahun. 2,3 Malaria
mempengaruhi angka kesakitan dan kematian pada bayi, anak balita di Indonesia
dengan derajat endemisitas yang berbeda. Berdasarkan laporan World Health
Organization (WHO), angka kejadian malaria di Indonesia pada tahun 2006
adalah 1.327.431 kasus dengan angka kematian adalah 494 kasus. Prevalensi
nasional malaria pada tahun 2007 adalah 2,85%. Ada tiga provinsi dengan
prevalensi malaria klinis tinggi yaitu Papua barat (26,1%), Papua (18,4%), dan
Nusa tenggara timur (12,0%).4,5
Pada daerah endemis malaria, dapat menyebabkan anak mengalami infeksi
kronis dengan parasitemia berulang yang mengakibatkan anemia berat dan sering
menimbulkan kematian. Setiap tahun dilaporkan ada kejadian luar biasa (KLB)
malaria yang menyebabkan kematian. Menurut data Pemberantasan Penyakit
Menular Depkes RI tahun 2008, provinsi Sumatera barat termasuk daerah risiko
tinggi malaria, antara lain Mentawai, Pesisir selatan, Pasaman, Sawahlunto
Sijunjung dan Solok selatan.6
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan malaria di
Indonesia adalah terjadinya penurunan efikasi pada penggunaan beberapa obat
anti malaria, bahkan terdapat resistensi terhadap obat klorokuin. Pada tahun 1973
ditemukan pertama kali adanya kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap
klorokuin di Kalimantan timur. Keadaan seperti ini dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas akibat penyakit. Oleh sebab itu upaya untuk

menaggulangi

resistensi

beberapa

obat

anti

malaria,

pemerintah

telah

merekomendasikan obat pilihan pengganti klorokuin terhadap plasmodium yaitu


kombinasi artemisin (Artemisinin Combination Therapy) yang biasa disebut
dengan ACT.6 Presentasi kasus ini bertujuan untuk melaporkan kasus malaria
falciparum berat dan membahas pendekatan diagnosis dan penatalaksanaannya.

TINJAUAN PUSTAKA
MALARIA FALCIPARUM RESISTEN KLOROKUIN
Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut kronis yang disebabkan oleh parasit
protozoa Plasmodium yang menyerang sel darah merah, ditandai dengan gejala
demam rekuren, anemia, dan hepatosplenomegali.7
Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium, pada manusia
Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. 7,9,10
Epidemiologi
Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama, karena
mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita serta dapat menimbulkan Kejadian
Luar Biasa (KLB).8 Malaria menyebabkan sekitar 1 hingga 2,5 juta kematian
setiap tahunnya dan hampir sebagian besar kematian terjadi pada anak. Daerah
transmisi malaria adalah Afrika Sub-sahara, Asia, Timur Tengah, Amerika Selatan,
Hispaniola, dan Oceania.9
Di Indonesia malaria tersebar diseluruh pulau dengan derajat endemisitas
yang berbeda-beda dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800
meter di atas permukaan laut. Angka kesakitan malaria masih cukup tinggi,
terutama di luar Jawa dan Bali, karena di daerah itu terdapat campuran penduduk
yang berasal dari daerah endemis dan non endemis malaria.7
Salah

satu

masalah

yang

dihadapi

pelaksana

program

dalam

pemberantasan malaria antara lain adalah menurunnya sensitivitas parasit


Plasmodium falciparum terhadap obat antimalaria klorokuin.6

Siklus hidup plasmodium


Plasmodium malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu
manusia dan nyamuk Anopheles betina. Siklus aseksual didalam hospes vertebrata
dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di
dalam nyamuk sebagai sporogoni.7
1. Siklus aseksual pada manusia (hospes perantara)
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit
yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama
lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam jaringan
parenkim

hati dan tumbuh sebagai skizon selama 7-10 hari (stadium ekso-

eritositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap
tidur (dormant) yang disebut hipnozoit. Plasmodium falciparum hanya terjadi satu
kali stadium pra eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahuntahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang
berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam
eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh
sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit
membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit.
Setelah proses pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa
akan keluar dan berada dalam plasma, parasit akan difagositosis oleh Retikulo
Endotelial Sistem (RES). Plasmodium yang dapat menghindar akan masuk
kembali ke dalam eritosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa
merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni,
yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut
disebut sebagai masa tunas intrinsik.7
2. Siklus seksual pada nyamuk Anopheles betina.
Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni).
Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Apabila nyamuk Anopheles betina
menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet
jantan dan gamet betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang

menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding


luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi
sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia. Sporozoit
ini akan dilepaskan dan masuk kedalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut
disebut masa tunas ekstrinsik.11,12,13

Gambar 1. Daur hidup dan transmisi plasmodium falciparum14


Patogenesis
Pathogenesis malria sangat kompleks, dan seperti pathogenesis penyakit infeksi
pada umumnya melibatkan factor parasit, factor penjamu, factor social , dan
lingkungan. Ketiga factor tersebut saling terkait satu sama lain dan menentukan
manisfestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang paling berat, yaitu
malaria dengan komplikasi gagal organ (malaria berat), malaria ringan tanpa
komplikasi, atau yang paling ringan, yaitu infeksi asimptomatik.

Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang


mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel
makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin,
antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor). TNF akan dibawa oleh darah ke
hipotalamus yang merupakan pusat pengaturan suhu tibuh dan terjadi demam.
Proses skizoni Plasmodium falciparum memerlukan waktu 36-48 jam.7

Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang
tidak terinfeksi. Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah
merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis. 7 Anemia
terutama terlihat jelas pada malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum
dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat dan pada malaria menahun.
Jenis anemia pada malaria ini adalah hemolitik, normokrom dan normositik.
Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak. Secara ringkas,
anemia disebabkan oleh beberapa faktor : 3,7,13

Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak


mengandung parasit terjadi di dalam limpa. Dalam hal ini faktor autoimun

memegang peranan.
Eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat hidup lama

(reduced survival time).


Gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam
sumsum tulang, retikulosit tidak dilepaskan dalam peredaran perifer
(diseritropoesis).
Anemia pada malaria dapat terjadi, baik akut maupun kronis. Pada

keadaan akut, penurunan hemoglobin terjadi cepat. Pada malaria akut juga terjadi
penghambatan eritropoesis pada sum-sum tulang, tetapi bila parasitemia
menghilang, sum-sum tulang menjadi hiperemis, pigmentasi aktif dengan
hiperplasia dan normoblast. Pada daerah tepi dapat dijumpai poikilositosis,
anisositosis, polikromatosis, dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia
pernisiosa. Dijumpai pula trombositopenia sehingga mengganggu koagulasi.
Anemia berat dapat terjadi pada malaria falciparum yaitu apabila kadar
haemoglobin kecil dari 5 gr/dl atau hematokrit kecil dari 15%.15
Splenomegali
Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium dihancurkan
oleh sel-sel magrofag dan limfosit. Penambahan sel-sel radang ini akan
menyebabkan limpa membesar.7

Malaria berat akibat Plasmodium mempunyai patogenesis yang khusus. Eritrosit


yang terinfeksi Plasmodium falciparum akan mengalami proses sekuestrasi yaitu
tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam
tubuh. Selain itu pada permukaaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knop
yang berisi berbagai antigen Plasmodium falciparum. Pada saat terjadi proses
sitoadherensi, knop tersebut akan berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler.
Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler
yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga
didukung oleh proses terbentuknya rosette" yaitu bergerombolnya sel darah
merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya.7
Pada proses sitoaderensi ini diduga juga terjadi proses imunologik yaitu
terbentuknya mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, interleukin), dimana
mediator tersebut mempunyai peranan dalam gangguan fungsi pada jaringan
tertentu.7
Patogenesis Malaria Berat
Patogenesis malaria
Manifestasi klinis
Perjalanan penyakit malaria terdiri dari serangan demam yang disertai oleh
gejala lain diselingi oleh periode bebas penyakit, gejala khas demam adalah
periodisitasnya.7,13 Gejala klinis malaria secara umum berupa Trias Malaria
yaitu stadium dingin, stadium demam, stadium berkeringat, kemudian ditemukan
splenomegali, hepatomegali dan anemia.7,9
Pada malaria tanpa komplikasi, anak mulanya menjadi letargik,
mengantuk atau gelisah, anoreksia, pada anak besar dapat mengeluh sakit kepala
dan mual.7
Diagnosis malaria

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala serta tanda klinis. Diagnosis pasti apabila
ditemukan parasit di dalam darah dengan pemeriksaan hapusan darah tepi dengan
pewarnaan Giemsa.7
Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari
retikulosit sampai eritrosit yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi,
dijumpai parasit muda bentuk cincin (ring form). Pada kasus berat disertai
komplikasi, dapat dijumpai gametosit dan bentuk skizon.7

Pengobatan
Obat antimalaria dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok yaitu: 18
1. Skizontosid jaringan primer: obat yang merusak skizon jaringan primer
(pra-eritrositik) di dalam hepar segera setelah infeksi. Contoh: primakuin.
2. Skizontisid darah: Obat antimalaria yang membunuh parasit stadium
eritrositer pada malaria akut. Contoh: kina, meflokuin, klorokuin dan
amodiakuin.
3. Gametosida: obat antimalaria yang berfungsi menghancurkan semua
bentuk seksual termasuk gametosida plasmodium falciparum. Contoh:
primakuin sebagai gametosida keempat spesies.
4. Sporontisida: obat yang membantu membasmi penyakit ini dengan
mencegah sporogoni dan perkembang-biakan parasit di dalam nyamuk.
Contoh: primakuin, kloroguanil dan pirimetamin.
5. Skizontisid jaringan sekunder: mengobati dengan cara merusak skizon
jaringan sekunder yang berkembang di dalam hepar, dapat membunuh
parasit siklus pra-eritrositer plasmodium vivax dan ovale dan digunaka
untuk pengobatan radikal sebagai anti relaps. Contoh: primakuin.
Pengobatan malaria ringan tanpa komplikasi dapat dilakukan pengobatan
secara rawat jalan atau rawat inap sebagai berikut : Klorokuin basa diberikan total
25 mg/kgbb selama 3 hari: hari pertama: 10 mg/kgbb (maksimal 600mg basa), 6
8

jam kemudian dilanjutkan 10 mg/kgbb (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgbb


pada 24 jam (maksimal 300 mg basa) atau hari pertama dan kedua masing-masing
10 mg/kgbb dan hari ketiga 5 mg/kgbb. Pada malaria tropika ditambahkan
primakuin 0,75 mg/kgbb satu hari.7
Pada saat ini sudah lebih dari 25% provinsi di Indonesia telah terjadi
multiresistensi terhadap obat standar yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi
Ahli Malaria (KOMLI) menganjurkan strategi baru pengobatan malaria pada
daerah-daerah

tersebut

dan

sesuai

dengan

rekomendasi

World

Health

Organization (WHO) untuk secara global menggunakan obat artemisinin yang


dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal sebagai Artemisinin
based Combination Therapy (ACT).7
Pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi:
Lini pertama: Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama yang bertujuan untuk
membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan untuk
membunuh gametosit yang berda di dalam darah. Setiap kemasan Artesunat dan
Amodiakuin terdiri dari 2 blister, yaitu blister Amodiakuin terdiri dari 12 tablet,
masing-masing 200 mg yang setara dengan 153 mg Amodiakuin basa, dan blister
artesunat terdiri dari 12 tablet masing-masing 50 mg. Obat kombinasi diberikan
per oral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian: Amodiakuin basa 10
mg/kgbb dan Artesunat 4 mg/kgbb.6
Obat malaria kombinasi (ACT) yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
kombinasi artesunat + amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquine atau
artesumoon. Obat ini tersedia untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi
yang terdapat resistensi tinggi (25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksinpirimetamin.7
Lini kedua = kina + doksisiklin atau tetrasiklin + primakuin
Klorokuin

Klorokuin telah digunakan sejak tahun 1940, dan merupakan obat terpilih untuk
malaria di seluruh dunia. Klorokuin pada umumnya terdapat dalam bentuk tablet
difosfat dan sulfat. Klorokuin difosfat mengandung 3/5 klorokuin basa, sedang
klorokuin sulfat mengandung 2/3 klorokuin basa. Pada kasus malaria falciparum
yang berat dapat diberikan klorokuin secara intramuskular atau injeksi sub kutan
atau intravena. Sediaan klorokuin dalam bentuk ampul 1 ml dan 2 ml larutan 8 %
atau 10% klorokuin difosfat setara dengan 80 mg atau 100 mg basa per ml.17,18,19
Klorokuin sangat efektif terhadap semua spesies malaria, terhadap infeksi
Plasmodium falciparum, klorokuin dapat memberi kesembuhan radikal, oleh
karena itu klorokuin merupakan obat pilihan untuk serangan malaria akut.18
Klorokuin mempunyai kemampuan untuk menghalangi sintesa enzim di
dalam tubuh parasit dalam pembentukan DNA dan RNA. Obat ini bersenyawa
dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan RNA terganggu.
Penggunaan klorokuin dalam dosis pengobatan malaria menimbulkan efek
samping berupa gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri perut dan
diare yang sering terjadi bila obat diminum dalam keadaan perut kosong. Gejala
lain yang jarang terjadi adalah pandangan kabur, nyeri kepala, pusing (vertigo)
dan gangguan pendengaran yang akan hilang bila pengobatan dihentikan atau
dosis dikurangi. Untuk mengurangi efek samping ini maka klorokuin harus
diminum dalam jangka waktu 1 jam sesudah makan.7
Primakuin
Primakuin termasuk ke dalam kelompok antimalaria skizontisid jaringan primer
yaitu obat yang merusak skizon jaringan primer (pra-eritrositik) di dalam hepar
segera setelah infeksi dan juga bersifat gametosid yaitu mencegah infeksi pada
nyamuk sehingga mencegah penyebaran infeksi oleh nyamuk dengan merusak
gametosit di dalam darah. Primakuin terdapat dalam bentuk difosfat berupa tablet
25 mg yang setara dengan 15 mg basa. Primakuin cepat diserap usus dan cepat
pula dieksresikan melalui urin setelah dimetabolisme oleh hati.18
Amodiakuin

10

Amodiakuin adalah senyawa 4-aminokuinolin yang merupakan yang merupakan


obat antimalaria skizontisid darah dengan srtuktur dan aktivitas yang mirip
dengan klorokuin. Setelah diminum peroral, amodiakuin dimetabolisme dengan
cepat menjadi bentuk aktif metabolit desemetilamodiakuin. Efek samping
penggunaan amodiakuin (dosis standar) untuk terapi malaria dapat berupa
penurunan retikulosit, mual, muntah, sakit perut, diare, gatal-gatal.18

Prognosis
Infeksi Plasmodium falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai satu tahun.
Infeksi plasmodium falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila
tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada
gizi buruk.7
Pencegahan
Penyakit malaria dapat dicegah dengan:
1.Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non endemik apabila masuk ke daerah endemik malaria,
maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah
endemik malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria:
a. Klorokuin basa 5 mg/kgbb, maksimal 300 mg basa sekali seminggu
atau
b. Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,5-0,75 mg/kgbb atau
sulfadoksin 10-15 mg/kgbb sekali seminggu ( hanya untuk umur 6
bulan atau lebih).
2.Menghindar dari gigitan nyamuk, memakai kelambu, menggunakan obat
pembunuh nyamuk.

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Krause PJ, et al. Malaria (Plasmodium). In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editors. Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia:
Saunders; 2007.p. 1477-84.
2. Nugroho A. Patogenesis malaria berat. Dalam: Harijanto PN, Gunawan
CA, editor. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit Buku kedokteran EGC; 2008.h.38.
3. Skarbinski J, Wilson CM, Parise ME. Plasmodium species (Malaria). In:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, editor. Principles and practice of
pediatric

infectious

2008.p.1260-66.
4. World
Malaria

disease.

3rd

Report.

edition.

WHO.

Churchill
2008.

Livingstone;

diakses

dari

http://www.who.int/topics/malaria/en.
5. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional. 2007.
6. DITJEN PPM DAN PL. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di
Indonesia. Departemen Kesehatan. Jakarta. 2008.
7. Rampengan TH. Malaria. Dalam: Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR,
Satari HI, penyunting. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.408-37.
8. Laihad FJ, Arbani PR. Situasi malaria

di

Indonesia

dan

penanggulangannya. Dalam: Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi 2.


Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.1.
9. Barnett ED. Malaria. In: Feigin RD, Cherry JD, editors. Textbook of
Pediatric Infectious Disease. 6th edition. Philadelphia. Saunders. 2009. p.
2899-902
10. Schwartz MW, editor. Malaria. Dalam: Pedoman klinis pediatri. Alih
bahasa, Brahm U, Hartawan B, Iqbal M, Yurita. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004.h.691.
11. Malaria. In: Zeibig EA. Clinical Parasitology. Philadelphia, USA:
Saunders. 1997. p.78-93.
12. Biggs BA, Brown GV. Malaria. In: Gillespie SH, Pearson RD, editors.
Principles and Practice Clinical Parasitology. England.: British Library
Cataloguing in Publication Data. 2001. p. 53-7.
13. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W, editor. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2002. p.171-97.

12

14. Rosenthal PJ. Artesunate for the treatment of severe falciparum malaria. N
Engl J Med. 2008; p.1831.
15. Taylor HM, Kyes SA, Newbold CL. Var gene diversity in Plasmodium
falciparum is generated by frequent recombination events. Mol. Biochem
Parasitol.2000.110:391-7.
16. Bull PC, Kortok M, Kai O. Plasmodium falciparum infected erythrocytes:
agglutination by diverse Kenyan plasma is associated with severe disease
and young host age. J Infect Dis. 2000.182:252-9.
17. Nadia A, John CC. Malaria. In: Samir S, editor. Pediatric Practice
Infectious Disease. United States. The McGraw Hill Companies. 2009.p.
687-99.
18. Baratawidjaja, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI. 2009.h.443.
19. Lethal Toxins in Small doses. In: Erickson TB, et al. Pediatric Toxicology,
Diagnosis and Management of the Poisoned Child. United Stated of
America. McGraw Hill, Medical Publishing Division. 2004.p.199.
20. Katzung BG, Goldsmith RS. Obat anti protozoa. Dalam: Katzung BG.
Farmakologi Dasar dan Klinik. Alih bahasa, Kotualubun BH, dkk. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995.h. 736-47.
21. Antiprotozoal Drugs. In: Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Moore PK.
Pharmacology. 5th edition. London. Churchill Livingstone. 2003.p.677.
22. Chemotherapy of parasitic infections. In: Goodman, Gilmans. Manual of
pharmacology and Therapeutics. Mc Graw Hill. 2007.p.661-74
23. Cecilia M. Infection in travelers and adoptees from abroad. In: Bergeison
JM, Shah SS, Zaoutis TE. Pediatric Infectious Disease. Mosby Elsevier.
Philadelphia. 2008.p.322.
24. Yoel C. Clinical Symptoms and Electrolytes Description of Children with
Malaria

in

Mandailing

Natal.

Majalah

Kedokteran

Nusantara.

2007;40:1:1-4.
25. Trape JF. The public health impact of chloroquine resistance in Africa.
The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2001;p.12-7.
26. Thayeb AH, Rampengan N, Johannes E. Resistensi plasmodium
falciparum terhadap pengobatan kombinasi klorokuin dan primakuin pada
anak. Majalah Kedokteran Indonesia. 2005;55:12:.724-9.
27. Jalaluddin, Khan SA, Ally SH. Malaria in children: Study of 160 cases at a
private clinic in Mansehra. J Ayub Med Coll Abbottabad.2006;18:3:44-45

13

28. Marsh K, Forster D, Waruiru G, Mwangi I, Winstanley M, Marsh V, et al.


Indicators of life threatening malaria in African children. N Engl J Med.
1995; 332:21: 1399-403.

14

Anda mungkin juga menyukai