NIM
: 13713008
Kelompok
: 13
Anggota
: Rudy Yohansya
(13712026)
(13713008)
(13713029)
(13713032)
Mardi Longolayuk
(13713033)
Tanggal Praktikum
:3 Maret 2015
Nama Asisten
LABORATORIUM METALURGI
PROGRAM STUDI TEKNIK MATERIAL
FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Suatu
material
tentulah
mempunyai
sifat-sifat
tersendiri
yang
BAB II
DASAR TEORI
Untuk menentukan sifat perpatahan suatu logam, keuletan maupun
kegetasannya, dapat dilakukan suatu pengujian yang dinamakan dengan uji
impak. Umumnya pengujian impak menggunakan batang bertakik. Berbagai jenis
pengujian
impak
batang
bertakik
telah
digunakan
untuk
menentukan
kecenderungan benda untuk bersifat getas. Dengan jenis uji ini dapat diketahui
perbedaan sifat benda yang tidak teramati dalam uji tarik. Hasil yang diperoleh
dari uji batang bertakik tidak dengan sekaligus memberikan besaran rancangan
yang dibutuhkan, karena tidak mungkin mengukur komponen tegangan tiga
sumbu pada takik.
Prinsip pengukuran uji impak adalah dengan menghitung energi yang
diserap oleh spesimen ketika menerima beban secara tiba-tiba. Energi yang
terserap oleh benda dapat diukur dari perbedaan harga energi potensial dari bandul
pada saat sebelum dan sesudah menumbuk spesimen. Energi yang diserap ini,
dinyatakan dalam Joule, terbaca secara langsung pada cakra angka pada alat uji.
Harga impak dinyatakan sebagai energi yang diserap per satuan luas penampang
spesimen yang dinyatakan dalam persamaan :
HI
E mg(h 2 h1 )
A
A
Keterangan :
HI = Harga impak (Joule/mm2)
E = Energi yang diserap (Joule)
m = massa bandul (kg)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
h1 = tinggi pusat massa bandul ke spesimen sebelum dilakukan pengujian (mm)
h2 = tinggi pusat massa bandul sesudah dilakukan pengujian (mm)
A = luas permukaan spesimen dibawah takikan = h x l (mm2)
BAB III
DATA PERCOBAAN
Data Uji Impak
Jenis Mesin
: Wolpert
Kapasitas mesin
: 300 J
Standar Pengujian
: ASTM E 23
Penguji
: Dimas Palgunadi
Tanggal Pengujian
: 3 Maret 2015
Asisten
: Dimas Palgunadi
Bahan
Baja A
Baja B
Baja C
Baja D
Baja E
Alumunium A
Alumunium B
Alumunium C
Alumunium D
Alumunium E
p
mm
61
61
61
61
61
60
60
60
60
60
l
T
h
T Luas Energi
HI
Permukaan
mm mm mm oC Mm2 Joule Joule/mm2
Patahan
10
10
8 25,5 80
170
2,125
Ulet
10
10
8
45
80
181
2,2625
Ulet
10
10
8
80
80
69
0,8625
Ulet
10
10
8
-20
80
3
0,0375
Getas
10
10
8
-30
80
3
0,0375
Getas
8
8
6 25,5 48
12
0,25
Ulet
9
9
7
45
63
11
0,1746
Ulet
9
9
7
80
63
50
0,7936
Ulet
9
9
7
-20
63
60
0,9523
Ulet
9
9
7
-30
63
21
0,3333
Ulet
Pengolahan Data
ABaja A = h x l
= 8 mm x 10 mm
AAlumunium A
= hxl
= 6 mm x 8 mm
= 80 mm2
= 48 mm2
ABaja B = h x l
AAlumunium B
= hxl
= 8 mm x 10 mm
= 7 mm x 9 mm
= 80 mm2
= 63 mm2
ABaja C = h x l
AAlumunium C
= hxl
= 8 mm x 10 mm
= 7 mm x 9 mm
= 80 mm2
= 63 mm2
ABaja D = h x l
AAlumunium D
= hxl
= 8 mm x 10 mm
= 7 mm x 9 mm
= 80 mm2
= 63 mm2
ABaja E = h x l
AAlumunium E
= hxl
= 8 mm x 10 mm
= 7 mm x 9 mm
= 80 mm2
= 63 mm2
HI =
HIBaja A =
HI Alumunium A
HIBaja B =
= 0,25Joule/mm2
HI Alumunium B
HIBaja C
HI Alumunium C
= 0,8625Joule / mm2
HIBaja D =
= 0,0375Joule / mm2
=
= 0,3333 Joule/ mm2
BAB IV
ANALISIS
Pada percobaan yang kami lakukan kali ini, kami menggunakan metoda
charpy. Metoda ini kami gunakan dikarenakan selain lebih menguntungkan karena
hasil yang didapatkan lebih akurat dibandung metoda izod dan pembacaan
energinya dapat langsung dilihat melalui jarum pada mesin tersebut juga karena
tidak adanya mesin pengujian untuk metoda izod. Energi yang terbaca pada mesin
penguji didapatkan dari hasil perubahan energi yang terjadi pada pendulum saat
sebelum menumbuk spesimen dan saat menumbuk spesimen. Perubahan energi ini
terjadi karena adanya perbedaan ketinggian dari pendulum tersebut.
Spesimen yang kami gunakan merujuk pada spesimen standart ASTM
E23, namun belum terlalu spesifik dikarenakan ukuran dimensinya masih banyak
berbeda. Aadanya takikan pada spesimen bertujuan untuk menginisiasi tegangan
tiga sumbu. Tegangan tiga sumbu ini akan menyebabkan gaya geser yang bekerja
menjadi berkurang. Takikan juga akan menyebabkan konsentrasi tegangan tiga
sumbu lebih terpusat pada daerah takikannya sehingga menyebabkan material
lebih mudah patah. Bentuk takikan yang digunakan adalah bentuk V-notch.
Bentuk ini lebih mudah patah jika dibandingkan dengan bentuk U-notch dan key
hole-notch karena takikan V-notch memiliki luas penampang lebih kecil
dibandingkan dua jenis takikan tersebut. Tegangan yang dialami material akan
lebih besar jika luas penampangnya lebih kecil. Spesimen yang kami gunakan kali
ini adalah 5 buah spesiemen terbuat dari baja dan 5 buah spesimen terbuat dari
alumunium. Alasan digunakannya spesimen yang terbuat dari baja dan alumunium
karena kami ingin melihat perbedaan struktur kristal antara baja dan alumunium
serta hubungannya terhadap energi yang diserapnya di berbagai temperatur yang
diberikan. Disini dapat terlihat bahwa struktur kristal yang dimiliki oleh baja
adalah BCC sedangkan alumunium FCC, itu dapat dibuktikan dengan kurva
antara energi yang diserap terhadap temperatur bahwa struktur kristal FCC tidak
terlalu dipengaruhi oleh temperatur artinya cenderung konstan, sebaliknya
struktur kristal BCC dipengaruhi oleh temperatur.
Berdasarkan data dan kurva yang kami dapatkan, ternyata pada kurva
energi yang diserap terhadap temperatur untuk alumunium menunjukkan bahwa
tidak terjadi perubahan energi yang terserap yang besar untuk setiap perubahan
temperatur. Dengan kata lain, gradiennya sangat kecil dan tidak terlalu besar. Hal
ini sesuai dengan teori dari literatur yang menyebutkan bahwa struktur kristal
alumunium selalu sama untuk temperature berapapun, sehingga tidak punya
temperature transisi. Namun salah satu yang bertolak belakang dari hasil yang
kami dapatkan dengan literatur adalah saat kami menaikkan suhu dari 25oC
menjadi 45oC energi yang diserap ternyata lebih kecil dibanding energi yang
diserap sebelumnya, yakni dari 12 Joule menjadi 11 joule, hal ini terjadi
kemungkinan adalah karena terlalu lamanya saat pendulum dilepaskan dari
ketinggiannya sampai menumbuk spesimen, mungkin temperatur saat pendulum
mulai turun menuju spesimen sudah turun melebihi 25oC sehingga energi yang
terbaca menjadi lebih kecil. Alumunium selalu bersifat ulet pada temperature
berapapun karena struktur kristalnya FCC. Struktur kristal FCC mempunyai slip
plant dan slip direction yang lebih banyak dibandingkan dengan struktur kristal
BCC artinya besar dislokasi yang terjadi juga semakin besar hasil yang kami
dapatkan sesuai dengan literatur yakni struktur alumunium merupakan FCC dan
patahaannya bersifat ulet. Serta energi yang diserap tidak dipengaruhi oleh
perbedaan temperatur.
Pada baja, percobaan yang kami lakukan cukup berhasil karena kurva
yang kami dapatkan berbentuk seperti kenyatannya pada literature. Pada suhu
rendah, energy yang diserap rendah sehingga bersifat getas. Sementara itu, pada
suhu tinggi, sifatnya berubah jadi ulet. Fenomena tersebut sebenarnya berkaitan
dengan struktur Kristal baja yang bersifat BCC pada suhu rendah dan FCC pada
suhu tinggi. Pada kurva hasil uji impak pada baja, kami juga mendapatkan adanya
perubahan energi yang cukup tinggi pada temperatur anatar -200 C sampai 450C.
Pada selang ini terjadi perubahan sifat baja dari ulet menjadi getas. Daerah inilah
yang disebut temperatur transisi.
Patahan yang terbentuk pada spesimen alumunium adalah kasar berserat
dan terlihat terjadi deformasi plastis. Sifat-sifat patahan tersebut menunjukkan
patah ulet. Artinya, alumunium bersifat ulet baik pada temperatur kamar,
temperature rendah dan temperature tinggi. Hal ini sesuai dengan literature.
Sementara itu, patahan baja bervariasi. Pada sampel B dan C (baja dipanaskan),
baja tidak patah namun hampir patah. Pada patahannya, timbul serat-serat dan
kasar serta bekas deformasi. Artinya, baja bersifat ulet pada temperatur tinggi.
Sementara itu, pada sampel nomor D dan E( baja didinginkan), patahan baja lebih
halus dan rata. Permukaannya mengkilap dan tidak terlihat bekas deformasi
plastis. Jadi, pada suhu rendah, baja bersifat getas. Akan tetapi, pada sampel
nomor 1 yang bersuhu kamar, serat-serat dan bekas deformasi tidak terlalu
banyak. Hal ini dikarenakan pada temperatur ini baja sedang dalam peralihan dari
sifat getas menjadi ulet.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Harga Impak dari baja dan alumnium pada suhu 25 oC, 45oC, 80OC, -20OC,
-30OC berturut turut adalah :
Baja
Semua
alumunium
pada
temperatur
manapun
B.
SARAN
1. Ukuran sampel atau spesimen sebaiknya dibuat seragam sehingga kita
tidak perlu mengukur satu-satu lagi dimensinya
2. Kesigapan saat pengukuran temperatur dan pelepasan pendulum
sehingga penurunan temperatur tidak terlalu jauh dan hasilnya akan
lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Dikutip
Material
Temperatur
Permukaan
(oC)
Patahan
Baja A
25,5
Ulet-Getas
Baja B
45
Ulet
Baja C
80
Ulet
Baja D
-20
Getas
Analisis
Di bagian tengah permukaan
ulet, namun pada bagian pinggir
permukaan getas. Hal ini
disebabkan Baja A berada pada
temperatur ruang yang berada
pada temperatur transisi
Terjadi patahan trans-granular.
Terjadi pada suhu transisi
Terjadi patahan trans-granular.
Terjadi pada suhu transisi
Karena memasuki temperatur
rendah (NDT) saat materialnya
berubah dari ulet menjadi rendah
Karena memasuki temperatur
Baja E
-30
Getas
Material
Alumunium A
Temperatur
Permukaan
(oC)
25,5
Patahan
Ulet
Analisis
Karena struktur
kristalnya FCC,
Alumunium B
45
Ulet
Alumunium C
80
Ulet
Alumunium D
-20
Ulet
Alumunium E
-30
Ulet
RANGKUMAN PRAKTIKUM
Uji impak merupakan salah satu uji destruktif yaitu uji yang benda kerjanya
mengalami kerusakan dan tidak bisa digunakan kembali
Spesimen Baja A
Spesimen Baja C
Spesimen Baja D
Spesimen Baja E
Spesimen Alumunium B
Spesimen Alumunium C
Spesimen Alumunium D
Spesimen Alumunium E
TUGAS TAMBAHAN.
1. Jelaskan 50% patahan (Effect of Metal Alloying, ASM)!
1.
Takik Segitiga V
Memiliki energi impact yang paling kecil, sehingga paling mudah patah. Hal
ini disebabkan karena distribusi tegangan hanya terkonsentrasi pada satu titik saja,
yaitu pada ujung takikan.
2.
3.