Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

LABORATORIUM TEKNIK MATERIAL I


MODUL F UJI IMPAK
Oleh:
Nama

: Retnadiah Puteri Utami

NIM

: 13713008

Kelompok

: 13

Anggota

: Rudy Yohansya

(13712026)

Retnadiah Puteri Utami

(13713008)

Puti Keswara Sudarsono

(13713029)

Hasan Basri Nasution

(13713032)

Mardi Longolayuk

(13713033)

Tanggal Praktikum

:3 Maret 2015

Nama Asisten

: Dimas Palgunadi (13711058)

Tanggal Penyerahan : 6 Maret 2015

LABORATORIUM METALURGI
PROGRAM STUDI TEKNIK MATERIAL
FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Suatu

material

tentulah

mempunyai

sifat-sifat

tersendiri

yang

menjadikannya berbeda dengan material lainnya. Sifat material merupakan


karakter dari sebuah material yang pada umumnya dapat diquantifikasi. Sifat-sifat
material terdiri dari sifat fisik berupa densitas, titik cair atau beku, koefisien muai
panjang, konduktivitas termal dan listrik. Sifat mekanik berupa kekuatan,
kekerasan, ketangguhan, keuletan, modulus young. Sifat kimia berupa ketahana
korosi. Serta sifat teknologi berupa mampu las, mampu cor, mampu tempa,
mampu mesin atau ketermesinan.
Sifat mekanik dari suatu material dapat dievaluasi dengan beberapa cara
yakni dengan pemberian beban terhadap material tersebut. Pembebenan terhadap
material dibedakan menjadi 2 yaitu pembebanan statik yang terdiri dari uji tarik,
uji tekan, uji puntir, uji lentur, uji keras, uji mulur, dan uji bentur, serta
pembebanan dinamik yang terdiri dari uji lelah dan uji impak. Pada uji impak
terjadi pembebanan cepat (rapid loading) yaitu adanya penyerapan energi beban
yang menumbuk oleh spesimen. Dari proses inilah, dapat diketahui respon
material seperti deformasi plastis, terjadi patah ulet atau patah getas.
Dengan uji impak kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan
kegagalan pada suatu material akibat pembebanan dinamis yang berulang-ulang.
Diantara salah satu faktornya ialah adanya temperatur transisi yang menyebabkan
suatu material berubah sifat yang semula beersifat ulet menjadi getas. Alasan
inilah yang menjadi dasar dilakukannya pengujian impak. Seperti yang telah
terjadi pada kapal titanic yang sedang berlayar dilautan es dan menabrak gunung
es sehinga kapal tersebut terbelah dan kemudian tenggelam. Hal ini terjadi karena
kegagalan material dari kapal tersebut dalam menahan beban impak pada suhu
yang sangat rendah.

II. TUJUAN PRAKTIKUM


1. Menentukan harga impak dari baja dan alumunium pada temperatur 25 oC,
45oC, 80oC, -20oC,-30oC.
2. Menentukan jenis patahan yang terbentuk pada temperatur 25oC, 45oC,
80oC, -20oC,-30oC
3. Menentukan kurva antara temperatur terhadap energi yang diserap oleh
spesimen
4. Menentukan pengaruh temperatur pada ketangguhan baja dan alumunium.
5. Menentukan temperatur transisi pada baja dan alumunium

BAB II
DASAR TEORI
Untuk menentukan sifat perpatahan suatu logam, keuletan maupun
kegetasannya, dapat dilakukan suatu pengujian yang dinamakan dengan uji
impak. Umumnya pengujian impak menggunakan batang bertakik. Berbagai jenis
pengujian

impak

batang

bertakik

telah

digunakan

untuk

menentukan

kecenderungan benda untuk bersifat getas. Dengan jenis uji ini dapat diketahui
perbedaan sifat benda yang tidak teramati dalam uji tarik. Hasil yang diperoleh
dari uji batang bertakik tidak dengan sekaligus memberikan besaran rancangan
yang dibutuhkan, karena tidak mungkin mengukur komponen tegangan tiga
sumbu pada takik.
Prinsip pengukuran uji impak adalah dengan menghitung energi yang
diserap oleh spesimen ketika menerima beban secara tiba-tiba. Energi yang
terserap oleh benda dapat diukur dari perbedaan harga energi potensial dari bandul
pada saat sebelum dan sesudah menumbuk spesimen. Energi yang diserap ini,
dinyatakan dalam Joule, terbaca secara langsung pada cakra angka pada alat uji.
Harga impak dinyatakan sebagai energi yang diserap per satuan luas penampang
spesimen yang dinyatakan dalam persamaan :

HI

E mg(h 2 h1 )

A
A

Keterangan :
HI = Harga impak (Joule/mm2)
E = Energi yang diserap (Joule)
m = massa bandul (kg)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
h1 = tinggi pusat massa bandul ke spesimen sebelum dilakukan pengujian (mm)
h2 = tinggi pusat massa bandul sesudah dilakukan pengujian (mm)
A = luas permukaan spesimen dibawah takikan = h x l (mm2)

Gambar 1. Contoh spesimen ujo charpy dan izod


Pengujian impak yang dilakukan pada praktikum ini sesuai dengan ASTM E 23
untuk metode Charpy dan Izod. Metode yang digunakan pada praktikum ini
adalah metode Charpy.

Gambar 2. Metode Izod dan Charpy

Gambar 3. Ukuran standar spesimen Charpy dan Izod


a. Metoda Charpy
Batang impak biasa, banyak di gunakan di Amerika Serikat. Benda uji
Charpy mempunyai luas penampang lintang bujursangkar (10 x 10 mm) dan
mengandung takik V-45o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm.
Benda uji diletakan pada tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang tak
bertakik diberi beban impak dengan ayunan bandul (kecepatan impak sekitar 16
ft/detik). Benda uji akan melengkung dan patah pada laju regangan yang tinggi,
kia-kira 103 detik.
b. Metoda Izod
Dengan batang impak kontiveler. Benda uji Izod lazim digunakan di Inggris,
namun saat ini jarang digunakan. Benda uji Izod mempunyai penampang lintang
bujursangkar atau lingkaran dan bertakik V di dekat ujung yang dijepit.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya patah getas pada suatu


material :
1. Triaxial state of stress
2. Temperatur rendah
3. Kecepatan pembebanan

BAB III

DATA PERCOBAAN
Data Uji Impak
Jenis Mesin

: Wolpert

Kapasitas mesin

: 300 J

Standar Pengujian

: ASTM E 23

Penguji

: Dimas Palgunadi

Tanggal Pengujian

: 3 Maret 2015

Asisten

: Dimas Palgunadi

Bahan
Baja A
Baja B
Baja C
Baja D
Baja E
Alumunium A
Alumunium B
Alumunium C
Alumunium D
Alumunium E

p
mm
61
61
61
61
61
60
60
60
60
60

l
T
h
T Luas Energi
HI
Permukaan
mm mm mm oC Mm2 Joule Joule/mm2
Patahan
10
10
8 25,5 80
170
2,125
Ulet
10
10
8
45
80
181
2,2625
Ulet
10
10
8
80
80
69
0,8625
Ulet
10
10
8
-20
80
3
0,0375
Getas
10
10
8
-30
80
3
0,0375
Getas
8
8
6 25,5 48
12
0,25
Ulet
9
9
7
45
63
11
0,1746
Ulet
9
9
7
80
63
50
0,7936
Ulet
9
9
7
-20
63
60
0,9523
Ulet
9
9
7
-30
63
21
0,3333
Ulet

Pengolahan Data
ABaja A = h x l
= 8 mm x 10 mm

AAlumunium A

= hxl
= 6 mm x 8 mm

= 80 mm2

= 48 mm2

ABaja B = h x l

AAlumunium B

= hxl

= 8 mm x 10 mm

= 7 mm x 9 mm

= 80 mm2

= 63 mm2

ABaja C = h x l

AAlumunium C

= hxl

= 8 mm x 10 mm

= 7 mm x 9 mm

= 80 mm2

= 63 mm2

ABaja D = h x l

AAlumunium D

= hxl

= 8 mm x 10 mm

= 7 mm x 9 mm

= 80 mm2

= 63 mm2

ABaja E = h x l

AAlumunium E

= hxl

= 8 mm x 10 mm

= 7 mm x 9 mm

= 80 mm2

= 63 mm2

HI =

HI = Harga Impak (Joule/mm2)

HIBaja A =

HI Alumunium A

= 2,125 Joule / mm2

HIBaja B =

= 0,25Joule/mm2

HI Alumunium B

= 2,2625 Joule / mm2

HIBaja C

= 0,1746 Joule / mm2

HI Alumunium C

= 0,8625Joule / mm2
HIBaja D =

= 0,7936 Joule / mm2


HI Alumunium D

= 0,0375 Joule / mm2


HIBaja E =

= 0,9523 Joule / mm2


HI Alumunium E

= 0,0375Joule / mm2

=
= 0,3333 Joule/ mm2

Grafik 1. Kurva Energi Yang Diserap Terhadap Temperatur

Grafik 2. Kurva Harga Impak Terhadap Temperatur

BAB IV

ANALISIS
Pada percobaan yang kami lakukan kali ini, kami menggunakan metoda
charpy. Metoda ini kami gunakan dikarenakan selain lebih menguntungkan karena
hasil yang didapatkan lebih akurat dibandung metoda izod dan pembacaan
energinya dapat langsung dilihat melalui jarum pada mesin tersebut juga karena
tidak adanya mesin pengujian untuk metoda izod. Energi yang terbaca pada mesin
penguji didapatkan dari hasil perubahan energi yang terjadi pada pendulum saat
sebelum menumbuk spesimen dan saat menumbuk spesimen. Perubahan energi ini
terjadi karena adanya perbedaan ketinggian dari pendulum tersebut.
Spesimen yang kami gunakan merujuk pada spesimen standart ASTM
E23, namun belum terlalu spesifik dikarenakan ukuran dimensinya masih banyak
berbeda. Aadanya takikan pada spesimen bertujuan untuk menginisiasi tegangan
tiga sumbu. Tegangan tiga sumbu ini akan menyebabkan gaya geser yang bekerja
menjadi berkurang. Takikan juga akan menyebabkan konsentrasi tegangan tiga
sumbu lebih terpusat pada daerah takikannya sehingga menyebabkan material
lebih mudah patah. Bentuk takikan yang digunakan adalah bentuk V-notch.
Bentuk ini lebih mudah patah jika dibandingkan dengan bentuk U-notch dan key
hole-notch karena takikan V-notch memiliki luas penampang lebih kecil
dibandingkan dua jenis takikan tersebut. Tegangan yang dialami material akan
lebih besar jika luas penampangnya lebih kecil. Spesimen yang kami gunakan kali
ini adalah 5 buah spesiemen terbuat dari baja dan 5 buah spesimen terbuat dari
alumunium. Alasan digunakannya spesimen yang terbuat dari baja dan alumunium
karena kami ingin melihat perbedaan struktur kristal antara baja dan alumunium
serta hubungannya terhadap energi yang diserapnya di berbagai temperatur yang
diberikan. Disini dapat terlihat bahwa struktur kristal yang dimiliki oleh baja
adalah BCC sedangkan alumunium FCC, itu dapat dibuktikan dengan kurva
antara energi yang diserap terhadap temperatur bahwa struktur kristal FCC tidak
terlalu dipengaruhi oleh temperatur artinya cenderung konstan, sebaliknya
struktur kristal BCC dipengaruhi oleh temperatur.

Berdasarkan data dan kurva yang kami dapatkan, ternyata pada kurva
energi yang diserap terhadap temperatur untuk alumunium menunjukkan bahwa
tidak terjadi perubahan energi yang terserap yang besar untuk setiap perubahan
temperatur. Dengan kata lain, gradiennya sangat kecil dan tidak terlalu besar. Hal
ini sesuai dengan teori dari literatur yang menyebutkan bahwa struktur kristal
alumunium selalu sama untuk temperature berapapun, sehingga tidak punya
temperature transisi. Namun salah satu yang bertolak belakang dari hasil yang
kami dapatkan dengan literatur adalah saat kami menaikkan suhu dari 25oC
menjadi 45oC energi yang diserap ternyata lebih kecil dibanding energi yang
diserap sebelumnya, yakni dari 12 Joule menjadi 11 joule, hal ini terjadi
kemungkinan adalah karena terlalu lamanya saat pendulum dilepaskan dari
ketinggiannya sampai menumbuk spesimen, mungkin temperatur saat pendulum
mulai turun menuju spesimen sudah turun melebihi 25oC sehingga energi yang
terbaca menjadi lebih kecil. Alumunium selalu bersifat ulet pada temperature
berapapun karena struktur kristalnya FCC. Struktur kristal FCC mempunyai slip
plant dan slip direction yang lebih banyak dibandingkan dengan struktur kristal
BCC artinya besar dislokasi yang terjadi juga semakin besar hasil yang kami
dapatkan sesuai dengan literatur yakni struktur alumunium merupakan FCC dan

patahaannya bersifat ulet. Serta energi yang diserap tidak dipengaruhi oleh
perbedaan temperatur.
Pada baja, percobaan yang kami lakukan cukup berhasil karena kurva
yang kami dapatkan berbentuk seperti kenyatannya pada literature. Pada suhu
rendah, energy yang diserap rendah sehingga bersifat getas. Sementara itu, pada
suhu tinggi, sifatnya berubah jadi ulet. Fenomena tersebut sebenarnya berkaitan
dengan struktur Kristal baja yang bersifat BCC pada suhu rendah dan FCC pada
suhu tinggi. Pada kurva hasil uji impak pada baja, kami juga mendapatkan adanya
perubahan energi yang cukup tinggi pada temperatur anatar -200 C sampai 450C.
Pada selang ini terjadi perubahan sifat baja dari ulet menjadi getas. Daerah inilah
yang disebut temperatur transisi.
Patahan yang terbentuk pada spesimen alumunium adalah kasar berserat
dan terlihat terjadi deformasi plastis. Sifat-sifat patahan tersebut menunjukkan
patah ulet. Artinya, alumunium bersifat ulet baik pada temperatur kamar,
temperature rendah dan temperature tinggi. Hal ini sesuai dengan literature.
Sementara itu, patahan baja bervariasi. Pada sampel B dan C (baja dipanaskan),
baja tidak patah namun hampir patah. Pada patahannya, timbul serat-serat dan
kasar serta bekas deformasi. Artinya, baja bersifat ulet pada temperatur tinggi.
Sementara itu, pada sampel nomor D dan E( baja didinginkan), patahan baja lebih
halus dan rata. Permukaannya mengkilap dan tidak terlihat bekas deformasi
plastis. Jadi, pada suhu rendah, baja bersifat getas. Akan tetapi, pada sampel
nomor 1 yang bersuhu kamar, serat-serat dan bekas deformasi tidak terlalu
banyak. Hal ini dikarenakan pada temperatur ini baja sedang dalam peralihan dari
sifat getas menjadi ulet.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Harga Impak dari baja dan alumnium pada suhu 25 oC, 45oC, 80OC, -20OC,
-30OC berturut turut adalah :
Baja

: 2,125 Joule/mm2; 2,2625 Joule/mm2; 0,8625 Joule/mm2;


0,0375 Joule/mm2; 0,0375 Joule/mm2.

Alumunium : 0,25 Joule/mm2; 0,1746 Joule/mm2; 0,7936 Joule/mm2;


0,9523 Joule/mm2; 0,3333 Joule/mm2
2. Jenis patahan yang terbentuk oleh baja dan alumunium pada temperatur
25oC, 45oC, 80OC, -20OC, -30OC berturut turut adalah :
Baja

pada suhu 25oC, 45oC dan 80OC baja bersifat ulet

sedangkan pada temperatur -20OC dan-30OC bersifat


getas.
Alumunium

Semua

alumunium

pada

temperatur

manapun

patahannya bersifat ulet


3. Kurva antara temperatur terhadap energi yan diserap oleh spesimen baja
dan alumunium

4. Pengaruh temperatur pada ketangguhan baja dan alumunium.


Temperatur mempengauhi harga impak dari suatu material. Semakin rendah
suatu temperatur maka ketangguhan atau energi yang diserap oleh material
tersebut semakin kecil, sehingga kemungkinan kegagalannya dalam menerima
beban impak lebih tinggi dan patahannya bersifat getas. Sebaliknya semakin
tinggi temperatur maka ketangguhan atau energi yang diserap oleh material
tersebut juga semakin tinggi dan patahan yang terbentuk bersifat ulet.
5. Temperatur transisi baja : -200C sampai 450C.
Temperatur transisi aluminium tidak ada.
Kegunaan dari temperatur transisi adalah untuk mengetahui pada temperatur
berapa, suatu material akan mengalami perubahan sifat dari ulet menjadi
getas. Dengan mengetahui temperatur transisi, terjadinya patah getas dapat
dihindari sehingga produk yang menggunakan material tersebut masih dapat
berfungsi dengan baik

B.

SARAN
1. Ukuran sampel atau spesimen sebaiknya dibuat seragam sehingga kita
tidak perlu mengukur satu-satu lagi dimensinya
2. Kesigapan saat pengukuran temperatur dan pelepasan pendulum
sehingga penurunan temperatur tidak terlalu jauh dan hasilnya akan
lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Callister, William D. 1994.Materials Science and Engineering: An


Introduction. John Wiley&Sons, Inc.
2. Dieter, George E. 1976.Mechanical Metallurgy. Second Edition. McGrawHill Inc.
3. Sitohang, Ramona D. R. 2010. Laporan Praktikum Laboratorium Teknik
Material I Modul F Uji Impak.
4. http://yopyhenpristian.blogspot.com/2013/06/uji-impak.html.
pukul 21.50 tanggal 5 februari 2015

LAMPIRAN

Dikutip

TUGAS SETELAH PRAKTIKUM


1. Buatlah kurva yang menghubungkan antara Temperatur dengan Energi yang
diserap oleh spesimen, baik Aluminum dengan Baja, dengan menggunakan
Microsoft Excel!

2. Tentukan temperatur dari kedua material tersebut! Apakah kegunaan dari


Temperatur transisi suatu material! Jelaskan dengan baik dan tepat!
berdasarkan, kurva di atas, kita dapat melihat bahwa batas temperature transisi
sekitar suhu -20 0C hingga 450 C. Jadi FTP = 45 0C dan NDT = -200C.
Sementara itu, FATT kita dapatkan dengan merata-ratakan NDT dan FTP.
FATT = (-20 + 45 )/2 = 12,50C
Sementara itu, pada lumunium, tidak ditemukan selang temperatur transisi
karena sifatnya yang selalu ulet pada temperature berapapun.
Temperatur transisi berguna untuk mencari daerah aman material. Daerah aman
yang dimaksud adalah daerah dimana material tersebut tidak berubah menjadi
getas secara tiba-tiba. Jadi, kita dapat menghindari terjadinya patah getas
karena telah mengetahui daerah di mana material mengalami patah ulet dan
patah getas.

3. Buatlah analisis mengenai bentuk permukaan patahan untuk semua spesimen!

Material

Temperatur

Permukaan

(oC)

Patahan

Baja A

25,5

Ulet-Getas

Baja B

45

Ulet

Baja C

80

Ulet

Baja D

-20

Getas

Analisis
Di bagian tengah permukaan
ulet, namun pada bagian pinggir
permukaan getas. Hal ini
disebabkan Baja A berada pada
temperatur ruang yang berada
pada temperatur transisi
Terjadi patahan trans-granular.
Terjadi pada suhu transisi
Terjadi patahan trans-granular.
Terjadi pada suhu transisi
Karena memasuki temperatur
rendah (NDT) saat materialnya
berubah dari ulet menjadi rendah
Karena memasuki temperatur

Baja E

-30

Getas

rendah (NDT) saat materialnya


berubah dari ulet menjadi rendah

Material
Alumunium A

Temperatur

Permukaan

(oC)
25,5

Patahan
Ulet

Analisis
Karena struktur
kristalnya FCC,

Alumunium B

45

Ulet

Alumunium C

80

Ulet

Alumunium D

-20

Ulet

Alumunium E

-30

Ulet

sehingga patahan intergranuler


Karena struktur
kristalnya FCC,
sehingga patahan intergranuler
Karena struktur
kristalnya FCC,
sehingga patahan intergranuler
Karena struktur
kristalnya FCC,
sehingga patahan intergranuler
Karena struktur
kristalnya FCC,
sehingga patahan intergranuler
kristalnya FCC

RANGKUMAN PRAKTIKUM
Uji impak merupakan salah satu uji destruktif yaitu uji yang benda kerjanya
mengalami kerusakan dan tidak bisa digunakan kembali

Daerah elastis menghasilkan toughness (ketangguhan) yang diukur salah satunya


melaluii uji impak.
Dibandingkan dengan uji tarik uji impak itu lebih mudah untuk mengukur
ketangguhan karena pada uj impak niali energinya sudah langsung dapat dibaca
pada alat, sedangkan pada uji tarik harus menggunakan banyak rumus
Daerah elastis + plastis maka akan menghasilkan modulus of toughness
Harga Impak = Energi / Luas daerah dibawah takik
Material mengalami deformasi plastis ketika beban mekaniknya melebihi yield
strengthnya
Alasan digunakannya alumunium dan baja karena selain massa jenisnnya yang
berbeda alumunium dan baja memiliki struktur kristal yang berbeda yatu
Alumunium FCC baja BCC sehingga keduanya memiliki sifat yang berbeda dan
temperatur transisinya juga berbeda

Dislokasi adalah suatu cacat garis


Slip adalah proses terjadinya deformasi plastis karena pergerakan dislokasi
Slip system merupakan gabungan antara slip direction dan slip plane. Dislokasi
tidak bergerak pada arah yang sama. Terdapat sebuah bidang yang bergerak
dengan arah tertentu ketika terjadi pergerakan dislokasi. Bidang tersebut
mengikuti arah pergerakan dan arah tersebut disebut slip direction.
Slip system adalah kombinasi antara slip plant dan slip direction
Slip plane kerapatan atomnnya paling tinggi
Slip direction
Pada BCC mempunyai 8 slip direction dan 6 slip plane sehingga total slip
systemnya menjadi 48
Sedangkan pada FCC slip planenya ada 12 dan slip directionnya ada 6, sehingga
total slip systemnya ada 72
Semakin banyak slip direction maka makin besar dislokasi yang terjadi dan makin
uletlah material tersebut, oleh sebab itu alumunium bersifat ulet karena dia tidak
punya temperatur transisi

Energi impak FCC tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan tempertur


Patahan ulet terjadi karena mengikuti batas butir
Patah ulet disebabkan oleh adanya tegangan geser pada spesimen, sedangkan
patah getas terjadi apabila terdapat tegangan normal pada spesimen. Pada
takikan, hanya terdapat tegangan normal pada tiga sumbu dan tidak ada
tegangan geser. Tanpa adanya tegangan geser, material tidak dapat mengalami
deformasi plastis. Hal tersebut membuat material mengalami patah getas.

Gambar Lingkaran Mohr untuk tegangan tiga sumbu

Foto Hasil Patahan yang Terbentuk

Spesimen Baja A

Spesimen Baja C

Spesimen Baja D

Spesimen Baja E

Spesimen Alumunium B

Spesimen Alumunium C

Spesimen Alumunium D

Spesimen Alumunium E

TUGAS TAMBAHAN.
1. Jelaskan 50% patahan (Effect of Metal Alloying, ASM)!

2. Jelaskan cara menghitung kerapatan atom!


Kerapatan atom dapat dihitun dengan menggunakan persamaan

3. Jelaskan pengaruh aspek metalurgi terhadap temperatur transisi!


Temperatur transisi bergantung pada berbagai hal, salah satunya aspek
metalurgi material, yaitu kadar karbon. Material dengan kadar karbon yang
tinggi akan semakin getas, dan harga impaknya kecil, sehinga temperatur
transisinya lebih besar. Tempartur transisi akan mempengaruhi ketahan
material terhadap perubahan temperatur. Jika temperatur transisinya kecil
maka material tersebut tidak tahan terhadap perubahan temperatu.
Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi memiliki sifat yang kuat
dan getas sehingga membutuhkan energy yang tidak besar. Sedangkan
material yang kadar karbonnya rendah memiliki sifat yang ulet dan lunak
sehingga membutuhkan energy yang besar dalam perpatahannya.

4. Jelaskan pengaruh pengerolan pada spesimen!


Dalam proses pengerolan maka material yang melalui alat pengerol akan
memiliki kekerasan yang merata karena pada saat mengerol tekanan pada
tiap titik akan sama. Dalam hal ini proses pengerolan akan lebih unggul
dalam kekerasan yang merata, berbeda dengan cara pengerjaan
konvensional yang kekerasannya belum tentu rata akibat dari gaya yang
berbeda-beda.
5. Cari jenis-jenis Notch

1.

Takik Segitiga V
Memiliki energi impact yang paling kecil, sehingga paling mudah patah. Hal
ini disebabkan karena distribusi tegangan hanya terkonsentrasi pada satu titik saja,
yaitu pada ujung takikan.

2.

Takik Setengah Lingkaran U


Memiliki energi impact yang terbesar karena distribusi tegangan tersebar pada
setiap sisinya, sehingga tidak mudah patah.

3.

Takik Segi Empat


Memiliki energi yang lebih besar pada takikan segitiga karena tegangan
terdistribusi pada 2 titik pada sudutnya.

Anda mungkin juga menyukai