Anda di halaman 1dari 6

Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Ideologi Nasional Serta Identitas

Nasional

Pancasila Sebagai Dasar Negara


Pancasila sebagai dasar negara sering disebut dasar falsafah negara (dasar filsafat
negara/philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara (staatsidee). Dalam hal ini
Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Dengan kata lain,
Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara seperti dimaksud tersebut sesuai dengan
bunyi Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang secara jelas menyatakan, "Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang
berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia."
Sebagai dasar negara, Pancasila digunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan
bangsa dan negara Indonesia, artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan
sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI) harus berdasarkan
Pancasila. Hal ini juga berarti bahwa semua peraturan yang berlaku di negara Republik
Indonesia harus bersumberkan kepada Pancasila. Pancasila menurut Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000merupakan "sumber hukum dasar nasional".
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, maka Pancasila berfungsi sebagai:

1. Sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan
demikian Pancasila merupakan asas kerohanian tertib hukum Indonesia;
2. Suasana kebatinan (geistlichenhinterground) dari UUD;
3. Cita-cita hukum bagi hukum dasar negara;
4. Norma-norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara memegang teguh cita-cita moral
rakyat yang luhur;
5. Sumber semangat bagi UUD 1945, penyelenggara negara, pelaksana pemerintahan.
Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Seperti kita ketahui, selain sebagai Dasar Negara, Pancasila juga menjadi ideologi
bangsa. Sebagai ideologi nasional, Pancasila berfungsi menggerakkan masyarakat untuk
membangun bangsa dengan usaha-usaha yang meliputi dalam semua bidang kehidupan.
Pancasila tidak menentukan secara apriori sistem ekonomi dan politik, tetapi sistem apa pun
yang dipilih harus mampu menyalurkan aspirasi utama tersebut.
Istilah ideologi berasal dari kata idea yang artinya gagasan, konsep, pengertian dasar,
cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian, ideologi berarti ilmu pengetahuan
tentang ide-ide atau ajaran. Secara umum ideologi dapat dikatakan sebagai kumpulan
gagasan-gagasan, ide-ide atau keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis, yang
menyangkut dan mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan (politik,
sosial, budaya bahkan keagamaan).
Pancasila sebagai Ideologi Nasional yang pada dasarnya menampilkan nilai-nilai
universal menunjukan wawasan yang integral integratif dan sebagai ideologi modern mampu
memberikan gairah dan semangat yang tinggi. Berbeda dengan ideologi-ideologi Barat,
Pancasila yang dilahirkan dalam budaya dan sejarah peradapan timur sangat menjunjung
tinggi peran religiusitas yang justru sangat didambakan dalam alam kehidupan dan peradapan
teknokratis sekarang ini.
Sebagaimana kita ketahui, kondisi masyarakat sejak permulaan hidup kenegaraan
adalah serba majemuk. Masyarakat Indonesia bersifat multietnis, multireligius, dan
multiideologis. Kemajemukan tersebut menunjukkan adanya berbagai unsur yang saling
berinteraksi. Berbagai unsur dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat merupakan benihbenih yang dapat memperkaya khazanah budaya untuk membangun bangsa yang kuat, tetapi

sebaliknya dapat memperlemah kekuatan bangsa dengan berbagai percekcokan dan


perselisihan.
Pancasila Sebagai Identitas Nasional
Identitas Nasional secara etimologi terdiri dari dua kata. Identitas berasal dari kata
identity yang berarti ciri-ciri, atau tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang yang
membedakannya dari orang lain. Dan kata nasional berarti bersifat kebangsaan merujuk
kepada persekutuan kelompok hidup manusia yang diikat oleh kesamaan-kesamaan ras,
agama, budaya, bahasa dan sebagainya. Identitas nasional adalah ciri atau jati diri suatu
bangsa yang melekat berfungsi membedakan suatu bangsa dengan bangsa lainnya.
Isi sila-sila pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas hakikat pancasila yang
umum dan universal sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai
dasar negara dan juga hakikat pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit sebagai nilai-nilai
serta realisasi pengamalan pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dari sila pertama sampai
kelima merupakan cita-cita,harapan dan dambaan bangsa Indonesia untuk diwujudkan dalam
kehidupan,agar terwujud Negara yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai dasar negara republik
Indonesia, pancasila mempunyai kedudukan sebagai ideologi bangsa yang mencerminkan
identitas bangsa Indonesia, karena pada dasarnya pancasila merupakan penjelmaan dari nilainilai bangsa ini yang diangkat dan selanjutnya dijadikan dasar negara. Maka kedudukan
pancasila dapat dikembalikan kepada dua kedudukan dan fungsi pokok yaitu sebagai dasar
Negara dan sebagai ideologi dan pandangan hidup yang mencerminkan identitas bangsa.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar Negara Republik Indonesia merupakan
suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara. Konsekuensinya seluruh
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala perundang-undangan termasuk
proses reformasi dalam segala bidang, dijabarkan dan diderivasikan dari nilai-nilai pancasila.
Kasus 1
Seorang nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari
penjara karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik
PT. Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang biasa saja.
Saat itu, Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus 2009.
Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang

memanen kedelai, Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar
memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya.
Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu
saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao
PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah
mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh
dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak
akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor
tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset.
Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat
panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus
duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari
dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Pemecahan Masalah
Kasus yang dialami oleh nenek Minah ini jelas telah melanggar hukum yang berlaku
di Indonesia. Akan tetapi dalam kasus penegakan hukum ini kenyataan yang terjadi justru
menegakkan hukum dengan melanggar hukum.
Jika dilihat dari segi sosiologis, kasus tersebut tidak perlu dilanjutkan ke proses
peradilan, meskipun tindakan nenek Minah telah melanggar pasal 362 tentang pencurian
dengan ancaman pidana penjara 5 tahun. Nenek Minah yang sudah tua dan tidak dapat
membaca papan peringatan PT. RSA, serta sikapnya yang mengembalikan buah kakao dan
meminta maaf kepada mandor seharusnya menjadi bahan pertimbangan PT. RSA sebelum
membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Selain itu, harga buah kakao di pasaran tidak lebih
dari Rp 3.000,00, tidak sebanding dengan proses peradilan yang dijalani oleh nenek Minah.
PT. RSA dan pihak kepolisian seharunya berinisiatif untuk menyelesaikan masalah kecil
tersebut secara kekeluargaan.
Dalam kasus ini, para aparat hukum terlalu berpatokan kepada apa yang tertulis di
dalam KUHP. Seharusnya dalam menangani perkara hukum , aparat tak hanya mengeja atau
membaca teks KUHP. Aparat mestinya juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal

sehat. Dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani, hasil yang akan didapatkan adalah
keadilan yang substansial.
Kasus 2
Penduduk asli Kalimantan Barat adalah Suku Dayak yang hidup sebagai petani dan
nelayan Selain suku asli, suku lainnya yang juga telah masuk ke bumi Kalimantan adalah
Melayu, Cina, Madura, Bugis, Minang dan Batak.
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia
atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah,
kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali
ditemui kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara
dengan orang Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh Orang
Dayak sebagai kesombongan dan kekasaran.
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu
konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada
konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus
Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk
Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat. Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan
dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis terjadi
lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke
semua wilayah di Kalimantan Tengah.
Pemecahan Masalah
Dari kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadi konflik adalah
kurangnya pemahaman terhadap sosial budaya masing-masing suku yang berbeda antara suku
Dayak dan Madura. Perselisihan antara suku Dayak dan Madura jelas-jelas telah menyimpang
dari Pancasila sila ke-3 yang bunyinya Persatuan Indonesia.
Kurangnya pendidikan dan kesadaran pentingnya makna Pancasila di mata masyarakat
bisa menjadi pemicu kasus tersebut. Oleh karenanya, pemerintah sebagai fasilitator harus
memperhatikan pendidikan Pancasila, terutama di daerah terpencil. Mengucapkan sila-sila
Pancasila di kelas sebelum pelajaran dimulai merupakan kegiatan wajib yang harus dilakukan
di setiap sekolah. Namun tidak sekedar mengucapkan dan membaca saja, makna Pancasila
juga harus dipelajari, dipahami dan diamalkan.

Tidak hanya pendidikan di sekolah saja, pemahaman tentang Pancasila juga perlu
dilakukan di elemen masyarakat. Masyarakat perlu menyadari makna Pancasila dalam rangka
mempertahankan kesatuan antar suku dan budaya di Indonesia yang beragam.

Anda mungkin juga menyukai