Jumal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 05/No. 02/2002
BENCHMARKING SISTEM AKREDITASI RUMAH SAKIT
DI INDONESIA DAN AUSTRALIA
BENCHMARKING OF HOSPITAL ACCREDITATION SYSTEM
IN INDONESIA AND AUSTRALIA
Pangestuti Soepojo! , Tjahjono Koentjoro”, Adi Utarini?
‘Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah
*Balai Pelatinan Kesehatan Gombong, Jawa Tengah
*Bagian limu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta
ABSTRACT
Background: Hospital accreditation is one strategy to evaluate quality of health care
services. The Accreditation system influences the success of its implementation. In
Indonesia, accreditation for hospitals is carried out by the Joint Commission on Hospital
Accreditation (KARS). The result of accreditation, however, has not improved the quality
of hospital service. Therefore, in order to improve the accreditation system
benchmarking was carried out with a recognized accreditation body in Australia
Method: External benchmarking was conducted to compare accreditation body in
Indonesia and Australia. The following organizations were chosen: the Australian
Council on Healthcare Standards (ACHS) and KARS. The questionnaire was based
on the ISQua 10 standards for accreditation body. Similarities and differences were
documented taking into considerations several factors that are not comparable.
Result and discussion: The differences of these accreditation bodies were concerning
the institution and the standards, ACHS is an independent body and EQuIP (Evaluation
and Quality Improvement Program) was applied in the accreditation process. The
commitment of ACHS to continuously improve quality of hospital service was written
in a four year contract, of which accreditation was part of the quality improvernent
process. EQUIP is an international standard, focusing on patient safety and in
corporating clinical indicators. While KARS is a functional team under the Directorate
General of Medical Service that undertakes hospital accreditation using structure
and partly process oriented standards. Uncomparable factor was considered,
complete insurance coverage in Australia. Only accredited hospitals in Australia can
provide services to those covered by insurance.
Conclusion and recommmendation: KARS should be modified into an independent
body and applies optimum-international standards. Health service facilities may join
the certification process carried out by a provincial quality council before participating
in an accreditation program. Both minimum and optimum standards should consider
patient safety as the most important character, and use clinical indicators to measure
quality.
Keywords: accreditation, quality improvement, external benchmarking
Benchmarking Sistem Akreditasi
93Benchmarking Sistem Akreditasi
PENGANTAR
Akreditasi merupakan salah satu cara
untuk mengevaluasi mutu pelayanan termasuk
pelayanan di rumah sakit. Akreditasi rumah
sakit dimaksudkan sebagai upaya untuk
melindungi pasien dari pelayanan sub-standar
dan melindungi petugas kesehatan terhadap
tuntutan hukum melalui pelayanan yang sesuai
dengan standar dan prosedur.
Program akreditasi rumah sakit di Indone-
sia dimulai pada tahun 1996 dan dilaksanakan
oleh Komisi gabungan Akreditasi Rumah Sakit
(KARS), sebuah tim fungsional yang bersifat
non struktural yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal
Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan.!
Standar pelayanan yang digunakan adalah
standar pelayanan rumah sakit yang tercantum
dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 436/
Menkes/SK/V1/1993, terdiri dari 20 standar
yang dilaksanakan secara bertahap (lima, 12,
kemudian 20 standar). Dengan seluruh sur-
veyor yang berjumlah 101 orang, 415 (35%)
dari 1186 rumah sakit di Indonesia telah
mengikuti akreditasi lima pelayanan, Dari 415
rumah sakit tersebut, 358 (86,3%) dinyatakan
lulus penuh, 32 (7,7%) lulus bersyarat, dan 25
(6%) tidak ulus akreditasi, Berdasarkan lokasi
rumah sakit, 88 (21,2%) dari 445 rumah sakit
berada di propinsi Jawa Tengah.
Pemantauan pasca akreditasi di 30 rumah
sakit di propinsi Jawa Tengah menunjukkan
persepsi rumah sakit yang berbeda terhadap
program akreditasi, Pihak rumah sakit
berpendapat bahwa akreditasi menyebabkan
peningkatan biaya pengelolaan karena untuk
mempersiapkan dokumen, sarana dan
prasarana yang sesuai standar diperlukan
biaya yang sangat besar. Dalam pemantauan
tersebut juga ditemukan bahwa hampir 90%
rumah sakit belum melaksanakan rekomen-
dasi dari KARS. dan belum menggunakan
standar pelayanan sebagai acuan untuk
melaksanakan kegiatan, narmun hanya sebagai
94
dokumen arsip. Kemungkinan penyebab
tingginya rumah sakit yang belum melaksana-
kan rekomendasi KARS adalah: (1) pada saat
persiapan akreditasi, hanya beberapa orang
yang terlibat dalam menyusun prosedur tetap
sebagai upaya memenuhi persyaratan
dokumen akreditasi; (2) keterpaksaan rumah
sakit untuk mengikuti akreditasi oleh karena
terkait dengan perijinan; dan (3) belum adanya
pedoman pemantauan pasca akreditasi.
Untuk mengembangkan lebih lanjut sistem
akreditasi rumah sakit di Indonesia, dilakukan
studi benchmarking dengan tujuan memban-
dingkan struktur dan proses lembaga
akreditasi. Studi ini merupakan bagian dari
penelitian akreditasi lembaga pelayanan
rumah sakit yang bertujuan untuk merancang
sistem akreditasi bagi organisasi pelayanan
kesehatan dan institusi pendidikan tenaga
kesehatan. Hasil studi benchmarking rumah
sakit dan lembaga akreditasi akan disajikan
dalam makalah ini.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan cara
benchmarking untuk meningkatkan efisiensi
operasional dan stratejik yang merupakan inti
dari kegiatan organisasi, memulai proses untuk
menjadi learning organization dengan hasil
akhir berupa peningkatan kinerja organisasi?
Berdasarkan aspek yang dibandingkan’ dan
generasi benchmarking, studi ini
menggunakan external benchmarking dengan
proses bisnis sebagai fokus utama
Fokus benchmarking
Langkah pertama dalam proses
benchmarking adalah mengidentifikasi
kebutuhan informasi dalam kegiatan
benehmarking. Studi ini memfokuskan pada
lembaga akreditasi, proses pengembangan
standard, dan persiapan rumahsakit untuk
proses akreditasiMitra benchmarking
Australia dipilih sebagai mitra benchmark,
dengan alasan: (1) Merupakan negara terdekat
yang mempunyai lembaga akreditasi yang
sudah diakui secara internasional, Di negara
ini, akreditasi dilakukan oleh Australian Coun-
cil for Healthcare Standards (ACHS) sebagai
lembaga terbesar, serta lembaga akreditasi
lain; dan (2) Standar akreditasi rumahsakit di
Indonesia sebagian mengadopsi dari standar
ACHS.*
Tim benchmark
Berbagai faktor yang dipertimbangkan
dalam menyusun komposisi tim yang bench-
mark adalah: pelaku proses atau kegiatan yang
akan dibenchmark, komposisi kualifikasi teknis
yang beragam, pengalaman melakukan
benchmarking sebelumnya, komitmen,
pengetahuan mengenai organisasi serupa
disini, kemampuan untuk bekerja secara
independen, waktu, kemampuan berpikir
kreatif dan analitic. Komposisi tim benchmark
adalah: (1) konsultan manajemen mutu dan
benchmarking; (2) direktur rumah sakit dan
surveyor akreditasi rumah sakit; (3) Bidang
Registrasi dan Akreditasi, (eks) Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Propinsi Jawa Tengah;
(4) Organisasi profesi Ikatan Dokter Indone-
sia; dan (5) Peneliti manajemen mutu.
Instrumen dan pengumpulan data
Cara pengumpulan data yang digunakan
adalah menggunakan kuesioner terbuka dan
pengumpulan data sekunder. Pedoman
benchmarking disusun secara rinci oleh tim
benchmarking, Instrumen yang digunakan
adalah berupa kuesioner dengan pertanyaan
terbuka yang dikembangkan berdasarkan
standar |SQua untuk akreditasi lembaga
akreditasi.® Instrumen tersebut telah dikirim
dan dibahas sebelumnya dengan mitra
benchmarking, dan digunakan untuk
Benchmarking Sistem Akreditasi
menyusun program visitasi. Kuesioner terdiri
dari 2 bagian utama:
1, Aktivitas utama: faktor pendorang,
kebijakan dan peraturan yang relevan
dengan akreditasi, corporate governance
dan perencanaan stratejik, standar kinerja
organisasi, manajemen survei, serta
proses akreditasi.
2. Kegiatan pendukung: manajemen sumber
daya manusia, manajemen surveyor,
manajemen keuangan, sistem informasi
manajemen, persiapan rumah sakit
menghadapi akreditasi
ANALISIS
Strategi analisis yang digunakan adalah
analisis kualitatif menggunakan pre-deter-
mined categories, sesuai dengan pertanyaan
dalam kuesioner. Tujuan analisis adalah untuk
mengidentifikasi perbedaan dan persamaan
kinerja organisasi serta memahami proses
kerja dan isi kegiatan yang membuat suatu
organisasi mampu mencapai penampilan
kinerja yang prima. Untuk itu, perlu juga
diperhatikan faktor-faktor yang tidak bisa
dibandingkan untuk membuat perbandingan
yang proporsional. Berdasarkan hasil analisis,
dilakukan identifikasi peluang perubahan dan
strategi implementasi untuk menghasilkan
peningkatan dan mengurangi perbedaan yang
ada.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Benchmarking lembaga akreditasi
ACHS adalah organisasi independen non
profit yang bertujuan mengembangkan mutu
pelayanan kesehatan di Australia, Lembaga ini
didirikan pada tahun 1974 oleh the Australian
Medical Association cabang New South Wales
dan the Australian Hospital Association cabang
Victoria, Program akreditasi telah dimulai pada
tahun 1978 dan pada akhir 1999/2000 terdapat
lebih dari 1000 anggota organisasi pelayanan
95Benchmarking Sistem Akreditasi
kesehatan, 739 (73,9%) diantaranya telah
diakreditasi. Pada tahun 1994 untuk
mengintegrasikan konsep pengembangan
mutu dan pengukuran dengan program
akreditasi, ACHS melakukan suatu review 34
standar pelayanan yang digunakan dan
hasilnya adalah program Evaluation and
Quality Improvement Program (EQuIP). EQuIP
terdiri dari 6 fungsi, yaitu: (1) Continuum of care
yang melihat pelayanan sejak mengakses
hingga manajemen di masyarakat, yang
didukung oleh kelima fungsi berikut; (2)
Leadership and management; (3) Human
resource management; (4) Safe practice and
environment; (5) Management information
system; dan (6) Improving performance. Berikut
adalah perbedaan antara KARS dan ACHS
(tabel 1),
Tabel 1. Perbedaan antara lembaga akreditasi ACHS dan KARS berdasarkan
standar akreditasi bagi lembaga akreditasi menurut ISQua°
STANDAR ACHS KARS
Penyusunan ~ Disusun oleh konsil ~ Disusun oleh staf Depkes
Misi dan - Terdapat indikator dan outcome + Belum disusun incikator dan outcome
perencanaan ~ Sttuktur organisasi terpisah antara —- Struktur organisasi dicominasi oleh
stratejk penentu kebijakan dan pelaksana staf Depkes
harian
Preslasi = Terdapat direktur board yang dipiih__- Kelua KARS dijabat oleh Kepala
organisasi dan leh angaota konsil dan CEO direktorat pelayanan medik spesialistik
mangjemen sebagai pelaksana tugas harian > Tidak ada kontrak
~ Antara ACHS dengan RS yang
menjad) anggota terikat kontrak
4 tahun biay kontrak tergantung
besar kecilnya fasiltas
Manajemen Terdapat kriteria persyaratan ~ Semua staf Depkes mengikuti aturan
‘Sumber Daya sebagai staf penilaian kinerja, PNS
Manusta penanganan keluhan staf
Pemitihan ~ Terdapat kriteria persyaratan dan = Terdapat persyaratan, namun tidak
surveyor proses seleksi ada seleksi secara formal
Manajemen Keuangan dan sumberdaya dikelola __- Anggaran dari Depkes dan biaya dari
keuangan dan secara efektif dan efisien rumah sakit untuk: mengikuti akreditasi
sumberdaya ~_Diaudit oleh auditor independen = Bolum diaudit
Sistem informasi Berbasis Komputer dan mempunyai___- Belum dikembanakan sistem
manajemen website, dapat dimanfaatkan oleh informasi manajemen
rumah sakit anggota
Manajemen ~ Program empat tahunan sesuai ~ Rumah sakit yang ingin diakreditasi
survei siklus EQuiP mengajukan peririohonan untuk di survei
~ Momfasiitasi rumah sakit supaya
memenuhi standar
Proses = Sesuiai program empat tahunan ~ KARS hanya mengusulkan status
akreditasi EQuIP fokus kepada perbaikan akreditasi yang kemudian dlitetapkan
mulu sehingga selalu ada komunikasi —_ oleh Dirjen Pelayanan Medik
antara ACHS dengan RS
= ACHS menetapkan status akreditasi
berdasarkan usulan surveyor
Pengembangan —_- Standar dikembangkan secara ~ Mekanisme pengembangan standar
standar reguler berdasarkan standar belum baku
internasional dan dikxonsultasikan
dengan organisasi pelayanan
kesehatan
Edukasi dan = Menyediakan buku panduan, ~ Terdapat buku panduan dan pedoman
Informasi pedoman, perpustakaan dan fasilias _ namun kurang disosialisasikan,
96
internet
belum ada fasilitas perpustakaanStruktur organisasi kedua lembaga
akreditasi sangat berbeda. KARS didominasi
oleh unsur Departemen Kesehatan (Depkes)
dan sekretariat KARS masih menjadi bagian
dari kegiatan di seksi akreditasi, Direktorat
Pelayanan Medik Spesialistik Depkes; struktur
di ACHS lebih berbentuk dewan yang
mencerminkan unsur keanggotaan yang lebih
representatif dan adil. Jumiah anggota dewan
menjadi 26 stakeholder pada tahun 1999,
dengan kriteria utama komitmen dan perhatian
terhadap mutu rumah sakit. Kedua lembaga
akreditasi memiliki sistem manajemen
operasional, namun ACHS lebih mempunyai
pemisahan yang jelas antara manajemen dan
governance dengan adanya pemisahan fungsi
strategis dan operasional. Sebagai organisasi
yang bergerak di bidang mutu, KARS belum
mempunyai kebijakan mutu internal organisasi,
sedangkan ACHS memiliki mekanisme untuk
review eksternal dan prosedur penyampaian
dan penanganan keluhan.
Perbedaan struktur organisasi juga
tercermin dalam kebijakan dan manajemen
sumber daya manusia di KARS yang dikelola
sesuai dengan peraturan dan kebijakan
Depkes karena masih menggunakan tenaga
Depkes. Hal ini berbeda dengan ACHS
sebagai lembaga independen yang memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk secara
berkesinambungan meningkatkan pengembangan
profesionalisme staf, memperdalam dan
memperluas keahlian staf serta menginden-
tifikasi kepuasan karyawan. Persyaratan,
pelatihan dan orientasi surveyor telah
didokumentasikan pada kedua lembaga.
Selain itu ACHS telah mengembangkan
pelatinan secara berkelanjutan, program
pendukung dan pengembangan staf dan
sistem umpan balik kinerja, sedangkan KARS
belum mengembangkan proses seleksi sur-
veyor secara langsung (wawancara).
Independensi ACHS juga tercermin dari
sumber dan manajemen keuangan dan
sumber dayanya. ACHS dapat menetapkan
prioritas keuangan dan sumber daya sesuai
Benchmarking Sistem Akreditasi
dengan kebutuhan organisasi. Di lain pihak,
KARS belum memiliki sistem manajemen dan
keuangan yang memadai. Sumber keuangan
masih tergantung pada anggaran Depkes dan
sebagian dari biaya rumah sakit yang
mengikuti akreditasi. Selain itu juga belum
dilakukan audit keuangan oleh auditor
independen, tidak seperti halnya ACHS.
Sistem informasi manajemen yang ter-
komputerisasi telah dikembangkan oleh ACHS
dan seluruh kegiatan utama yang terkait
dengan proses akreditasi telah terhubung
dalam jaringan sistem ini.
Dalam hal manajemen survei, kedua
lembaga memiliki prosedur untuk mengikuti
program akreditasi. ACHS mempunyai
keunggulan dalam memelihara komunikasi
dengan pelanggan selama proses survei dan
adanya prosedur evaluasi pasca survei yang
jelas. Proses survei ACHS mengikuti sikius
empat tahunan EQuiP dengan penekanan
pada perbaikan kinerja selama masa kontrak
empat tahun. Proses survei terdiri dari self-
assessment, self-assessment support service,
periodic review, quality action plan, seff-as-
sessment support service, organization-wide
survey, dan ACHS accreditation. Sedangkan
manajemen survei KARS terdiri dari 3 tahapan:
(1) Survei pra akreditasi dengan cara se/f-as-
sessment oleh rumah sakit sendiri setelah
menerima kuesioner pra akreditasi; (2)
Penilaian hasil self-assessment oleh KARS
dan pemberian umpan balik untuk perbaikan;
dan (3) Survei akreditasi yang dilakukan oleh
surveyor KARS. Keputusan status akreditasi
ditetapkan oleh Dirjen Pelayanan Medik atas
usulan KARS; sedangkan di Australia hal ini
menjadi tanggung jawab ACHS. Selanjutnya
ACHS menginformasikan daftar rumah sakit
yang telah terakreditasi melalui konperensi
pers, surat kabar dan internet. Pembinaan
berkelanjutan menjadi bagian dari siklus 4
tahunan ACHS yang terikat dalam kontrak
dengan rumah sakit, sedangkan di Indonesia
kewajiban pembinaan tidak dilakukan oleh
KARS melainkan diserahkan kepada dinas
kesehatan tingkat propinsi
97Benchmarking Sistem Akreditas!
Mekanisme pengembangan standar
dilakukan secara reguler di ACHS dengan
mengacu pada konsep internasional dan
dibahas bersama sarana pelayanan kesehatan
dan para profesional yang terkait melalui
konsultasi intensif. Standar beriokus pada
keselamatan pasien dan perbaikan mutu, serta
dikembangkan indikator klinik untuk mengukur
outcome mutu pelayanan. Di Indonesia,
pengembangan standar ditakukan oleh KARS
bersama organisasi profesi. Setelah standar
disusun diadakan pertemuan dengan rumah
sakit untuk mendapatkan masukan, kemudian
diujicobakan pada beberapa rumah sakit,
diseminarkan hasilnya dan dioperasionalkan,
Sosialisasi standar dilaksanakan melalui
semiloka, edaran Dirjen Pelayanan Medik
kepada dinas kesehatan, dan buletin KARS.
Demikian pula dengan fungsi edukasi dan
informasi oleh lembaga akreditasi yang telah
disusun dalam bentuk program pendidikan dan
pelatinan tahunan oleh ACHS dan
disebarluaskan melalui brosur dan internet
Disediakan pula panduan berupa pedoman
perbaikan mutu pelayanan, fasilitas
perpustakaan dan konsultan akreditasi, Di
Indonesia, sosialisasi program pelatinan ke
rumah sakit belum dilakukan secara terarah.
PEMBAHASAN
Terdapat beberapa faktor yang tidak dapat
dikoreksi namun perlu dipertimbangkan dalam
membandingkan lembaga akreditasi di Aus-
tralia dan Indonesia secara lebih proporsional,
Faktor tersebut adalah:
1. Perbedaan dalam isi kegiatan: ACHS tidak
membatasi produk dan pelayanannya
hanya untuk akreditasi rumah sakit, tetapi
memiliki produk dan pelayanan mulal dari
akreditasi program spesifik hingga pro-
gram pendidikan dan publikasi.
2. Perbedaan dalam cakupan kegiatan
ACHS sebagai lembaga independen lebih
terintegrasi dalam bisnisnya, sedangkan
KARS masih bergantung pada Depkes
dalam berbagai fungsi bisnisnya
98
3. Perbedaan kondisi pasar: Di Australia
terdapat lebih dari satu lembaga yang
mengakreditasi rumah sakit dan
pelayanan kesehatan lainnya. Oleh
karenanya ACHS bergerak dalam pasar
yang lebih kompetitif, Situasi persaingan
dan pasar yang cukup merupakan
pendorong peningkatan mutu secara
berkelanjutan di ACHS. Sebaliknya
kebijakan Depkes menyebabkan KARS
tidak mempunyai pesaing dalam
melaksanakan proses bisnisnya, sehingga
tidak kondusif terhadap perbaikan mutu,
Selain itu KARS bergerak dalam situasi
pasar yang lebih terbatas.
4, Perbedaan kematangan organisasi: ACHS
sudah beroperasi sejak tahun 1976 melalui
berbagai tahap pengembangan,
sedangkan KARS baru berdiri pada tahun
1996 dan masih memerlukan beberapa
tahap pengembangan
6. Driving force: Dorongan untuk akreditasi
rumah sakit di Australia berasal dari
organisasi profesi dan industri pelayanan
kesehatan, sehingga menghasilkan
rancangan yang lebih inklusif dan market-
friendly, serta mendapat dukungan dari
organisasi profesi, Di indonesia dorongan
terutama berasal dari pemerintah
(Depkes) sehingga rancangannya lebih
bersifat birokratis. Selain itu, cakupan
asuransi di Australia yang hampir 100%
dibanding di 20% di Indonesia, sehingga
rumah sakit di Australia banyak menjalin
hubungan dengan pihak asuransi dan
akreditasi_ merupakan salah satu
persyaratannya.
Pembandingan kedua lembaga akrecitasi
mencerminkan akreditasi rumah sakit yang
dilakukan oleh tembaga akreditasi pemerintah
(Indonesia) dan lembaga akreditasi swasta
(Australia). Menurut The Joint Commission on
Accreditation of Hospital Organizations
(JCAHO), perbedaan antara lembagaakreditasi pemerintah dan swasta dapat dilihat
dari tujuh aspek, yaitu: partisipasi rumah sakit
(wajib dan sukarela), standard akreditasi (mini-
mal dan optimal), pembiayaan (pemerintah dan
swasta), kepemilikan (pemerintah dan swasta),
frekuensi review (terjadwal dan sentinel),
keterkaitan dengan kegiatan konsultasi
(terintegrasi dan terpisah), dan publikasi hasil
(umum dan terinci).* Ciri-ciri tersebut memang
lampak datam hasil studi benchmarking ini.
Sistem akreditasi yang dilakukan oleh lembaga
swasta diduga lebih kondusif terhadap
perbaikan mutu di rumah sakit. Disamping itu,
pemerintah dalam hal ini Depkes dapat secara
tegas membedakan antara fungsi inspeksi
yang dapat menggunakan standar minimum
dan akreditasi yang mengacu pada
pencapaian optimal fungsi penetap kebijakan
(oleh pemerintah) dan pelaksana kebijakan
yang dapat dilakukan oleh swasta, Standar
minimal dapat diterapkan melalui mekanisme
sertifikasi yang bersifat wajib, sedangkan
akreditasi dapat dilakukan secara sukarela dan
benar-benar mengukur penerapan standar
optimal
Demikian pula halnya dengan pembagian
kewenangan sesuai PP 25/2000 tentang
propinsi sebagai daerah otonom yang
mengubah hubungan langsung antara Depkes
dengan Dinas Kesehatan propinsi dan
kabupaten/kota.’ Pengembangan konsil mutu
di tingkat propinsi dengan keanggotaan dari
multiple stakeholders dapat pula dikembang-
kan untuk melakukan monitoring evaluasi mutu
pelayanan di berbagai sarana pelayanan
kesehatan, tidak hanya terbatas pada rumah
sakit. Konsil mutu yang bersifat independen ini
dapat mengkoordinasikan kegiatan lintas
kabupatenkota dalam meningkatkan mutu
pelayanan dengan dukungan perundangan
berdasarkan peraturan daerah. Dengan
perubahan infrastruktur dan peran berbagai
lembaga tersebut, akreditasi rumah sakit
diharapkan dapat dilaksanakan berdasarkan
filosofi perbaikan mutu pelayanan.
Benchmarking Sistem Akraditasi
Selain perbedaan lembaga akreditasi, juga
terdapat persamaan dalam akreditasi di
berbagai negara, yaitu: (1) Dilaksanakan oleh
suatu lembaga yang diakui; (2) Lembaga
tersebut menyusun dan menerbitkan standar-
standar; dan (3) Memacu perbaikan mutu
berkelanjutan.” Hal yang ketiga ini merupakan
salah salu perbedaan utama antara KARS dan
ACHS. Pembinaan pasca akreditasi di 30
rumah sakit di Jawa Tengah telah menunjukkan
bahwa rekomendasi dari KARS belum
dilaksanakan, sama halnya dengan penelitian
Lolo dkk.® yang menunjukkan bahwa pada
akreditasi 12 standar pelayanan di RS Stella
Maris Makassar, sebagian hasil penilaian 5
standar pelayanan justru mengalami
penurunan dibanding dengan ketika akreditasi
5 standar pelayanan.
Di Indonesia, fungsi pembinaan tidak
menjadi tanggung jawab KARS akan tetapi
diberikan kepada Dinas Kesehatan propinsi
Hal yang sebaliknya diterapkan oleh ACHS
dengan paradigma pembinaan. sehingga
justru penilaian akreditasi yang hanya
merupakan bagian dari siklus program
akreditasi yang secara keseluruhan bertujuan
untuk membina rumah sakit dalam melakukan
perbaikan mutu. Stamatis’ juga berpendapat
bahwa akreditasi tanpa dilkuti dengan
pembinaan hanya menilai kinerja organisasi
dalam waktu singkat (cross-sectional), berbeda
halnya dengan pendekatan total quality
management atau sistem mutu yang dapat
secara terus menerus membantu organisasi
memelihara apa yang sudah dicapai dan
meningkatkan pelayanan yang sub-standar.
Filosofi ini diterapkan pada rumah sakit Prince
of Wales Hospitals, Sydney, salah satu rumah
sakit yang dikunjungi pada saat visitasi, Di
rumah sakit ini, akreditasi tidak danggap
penting dalam peningkatan mutu pelayanan.
Strategi yang dilakukan adalah membangun
komitmen dari seluruh pihak terkait dalam
budaya mutu serta melakukan monitoring dan
evaluasi mutu pelayanan secara terencana,
99Benchmarking Sistem Akreditasi
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil benchmarking telah diidentifikasi
berbagai perbedaan dan persamaan lembaga
akreditasi di Indonesia (KARS) dan Australia
(ACHS) sesuai dengan 10 standar bagi
lembaga akreditasi yang dikembangkan oleh
|SQua.' Perbedaan yang utama terdapat pada
aspek corporate governance, yang berdampak
terhadap manajemen lembaga akreditasi
Berdasarkan hasil analisis dan peluang
perbaikan yang dimiliki, disarankan tindakan
perbaikan sebagai berikut. Pertama, perlu
ditinjau Kembali penataan fungsi dan peran
Depkes sebagai pengambil kebijakan dan
lembaga akreditasi sebagai pelaksana
kebijakan, dalam hal ini khususnya di bidang
mutu pelayanan. Kedua, pembedaan yang
tegas antara mekanisme sertifikasi dan
akreditasi, serta lembaga yang dapat
melaksanakan kebijakan tersebut. Ketiga,
standar pelayanan seharusnya diberlakukan
dengan peraturan pemerintah, sehingga dapat
dipatuhi oleh semua pihak terkait, dan terfokus
pada keselamatan pasien (patient safety).
Dengan demikian pengembangan indikator
klinik sebagai ukuran outcome mutu pelayanan
juga perlu dilakukan. Keempat, mengubah
paradigma yang digunakan dalam akreditasi,
yaitu dari penilaian menjadi pembinaan,
dengan menjadikan akreditasi sebagai bagian
dari kegiatan pembinaan untuk perbaikan
mutu. Kinerja lembaga akreditasi dapat
kemudian dikaitkan dengan kinerja lembaga
rumah sakit yang dibina.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah memberikan
dukungan sehingga penelitian ini dapat
terlaksana, khususnya kepada: (1) Health
Project V Jawa Tengah — The World Bank atas
dukungan finansial studi ini; (2) (Eks) Kantor
Wilayah Kesehatan Propinsi Jawa Tengah dan
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah; (3)
100
Tim benchmarking ke Australia: dr. Tjahjono
Koentjoro MPH, DrPH, Prof. Dr. dr. |. Riwanto
SpBD, dr. Sutoto MKes, dan dr. Jarir AtThobari;
(4) dr. Yodi Mahendradhata DIH, yang
memfasilitasi program kegiatan benchmarking
ini; dan (5) Lembaga akreditasi KARS di
Jakarta, Indonesia dan ACHS di Sydney, Aus-
tralia,
KEPUSTAKAAN
1. Departemen Kesehatan Republik Indone-
sia, Pedoman Akreditasi Rumah Sakit
Jakarta; Departemen Kesehatan, Jakarta,
4994.
2. Karlof, B and Ostblom, S. Benchmarking;
A Signpost to Excellence in Quality and
Productivity, New York: John Wiley & Sons,
New York, 1993.
3. Gregory H. Watson. Strategic
Benchmarking, Mengukur Kinerja
Perusahaan Anda Dibandingkan
Perusahaan-perusahaan Terbalk Dunia,
Percetakan PT.SUN, Jakarta, 1997.
4. ACHS, Annual Report 1999/2000 Sydney;
The Australian Council on Healthcare
Standards LTD, 2000
5. |SQua. International Standards for
Healthcare Accreditation Bodies. Alpha
Agenda; 2000:1(2) : 8-18.
6. Utarini, A. Laporan Studi Sistem Akreditasi
Organisasi Pelayanan Kesehatan, Profesi
Kesehatan dan Institusi Pendidikan
Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah,
2000.
7. PP.25 Th 2000 Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah otonom, 2000.
8 Lolo, F.A., Aplikasi Ebem untuk Self-
Assessment RS Stella Maris Makassar
Menghadapi Akreditasi, 2001;4(3):147-
157.
9. Stamatis, DH. Total quality Management
in Healthcare, Chicago, Irwin Professional
Publishing, Chicago, 1996.