Anda di halaman 1dari 27

Case Report Sesion

KARSINOMA NASOFARING
Oleh :
Metha Arsilita Hulma

0910313245

Rizqa Fiorendita Hadi

0910312088

Thinagarayan Brabu

07120149

Pembimbing :
dr. Jacky Munilson, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


KEPALA LEHER
RS DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal dari epitel
atau mukosa dan kripta yang melapisi permukaan nasofaring. Keganasan ini
sering disebut sebagai kanker tenggorok. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah
keganasan yang jarang di sebagian besar dunia dan salah satu yang paling
membingungkan, sering salah terdiagnosis, dan sulit dimengerti. Insiden KNF
rendah di sebagian besar tempat seperti Eropa dan Amerika Utara, juga Jepang
dan India, kurang dari 1 per 100.000 orang, tetapi tinggi di Cina Selatan,
Hongkong, Alaska dan Greenland. Pola insidens menunjukkan prevalensi KNF
lebih tinggi pada orang Cina ke mana pun mereka bermigrasi. Di Indonesia, KNF
adalah kanker terbanyak kelima, sekitar 5,78% dari seluruh kanker dengan
insidens 6,2/100.000 populasi per tahun. KNF dalam beberapa dekade terakhir
telah menarik perhatian dunia karena interaksi kompleks atara genetik, virus,
faktor lingkungan, dan makanan, yang boleh jadi berhubungan dengan etiologi
penyakit ini.1,2
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, tetapi cukup sulit dilakukan
karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di
bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring
yang tidak mudah diperiksa, seringkali tumor ditemukan terlambat dan
menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.1
1.2

Rumusan Masalah
Makalah ini membahas mengenai karsinoma nasofaring meliputi anatomi

nasofaring, definisi karsinoma nasofaring, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko,


patogenesis, klasifikasi, gejala dan tanda klinis, diagnosis, tata laksana,
komplikasi, prognosis.
1.3

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami mengenai anatomi


nasofaring, definisi karsinoma nasofaring, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko,
patogenesis, klasifikasi, gejala dan tanda klinis, diagnosis, tata laksana,
komplikasi, prognosis.
1.3.1

Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah dengan studi kepustakaan dengan

merujuk pada berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi Nasofaring1
Nasofaring merupakan bagian teratas dari komponen faring, yang

berhubungan dengan cavum nasi melalui koana dan telinga bagian tengah melalui
muara tuba eustachius. Ukuran nasofaring pada orang dewasa yaitu tinggi 4 cm,
lebar 4 cm, dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8
cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung.
Batas-batas nasofaring :

1. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai
dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra servikal 1 dan 2.
2. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang
merupakan batas koana posterior.
3. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral
merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior.
Tuba Eustachius masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di
fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di atas batas superior
muskulus konstriktor faring superior yang disebut fossa russenmuller (resessus
faringeal). Fossa Rossenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior
nasofaring yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar kanker
nasofaring dan yang paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada
nasofaring.

Gambar 1. Anatomi faring2

Gambar 2. Penampang Otot Faring2


Tepat di atas apeks dari fossa Rossenmuller terdapat foramen laserum,
yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Tepat
di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang berjalan di
dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa
russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI,
dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial.1
Secara histologi, nasofaring memiliki lapisan :
1. Dekat koana dan daerah di sekitar atap: mukosa dengan epitel kubus berlapis
semu bersilia.
2. Daerah posterior dan inferior nasofaring: epitel skuamosa berlapis.
3. Daerah pertemuan antara atap nasofaring dan dinding lateral: epitel
transisional.3
Arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah arteri faringeal
asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang faringeal
arteri sfenopalatina. Pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna
dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah membran mukosa
yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan fasia posterior
atau vena jugularis interna di bawahnya. 1,2
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas
otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeal terdiri dari serabut sensoris

saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X), dan serabut saraf
ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim
tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion
sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).1,2
2.2. Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala leher yang
terbanyak di Indonesia.1
2.3. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai
penderita di bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 54 tahun. Lakilaki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara 23 : 1. Kanker
nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa
kejadian tumor ini di Amerika Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000.4
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring
sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Disebahagian provinsi di
Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30 per 100.000 penduduk.
Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou,dilaporkan
sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden tetap tinggi untuk
keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini
menunjukkan sebuah kecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan
dengan lingkungan pemicu.5 Di Indonesia, KNF menempati urutan ke-5 dari 10
besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di
bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala
dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas
hidung dan sinus paranasal (18%), tumor ganas laring (16%), serta tumor ganas
rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.1

2.4. Etiologi dan Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring


Penyebab dari kanker nasofaring adalah virus Epstein-Barr karena pada
semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-EBV yang cukup tinggi. Virus ini
bukan satu-satunya faktor penyebab timbulnya kanker nasofaring. Faktor-faktor
lain yang memungkinkan timbulnya kanker ini adalah faktor genetik dan faktor
lingkungan.1
a. Faktor Genetik
Kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring. Berdasarkan penelitian, kanker nasofaring berhubungan dengan
kelemahan lokus pada region HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Orang dengan
yang memiliki gen ini memiliki risiko dua kali lebih besar menderita karsinoma
nasofaring.5

b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Komsumsi ikan asin dan
makanan yang diawetkan yang mengandung volatile nitrosamin merupakan faktor
karsinogenik yang berhubungan dengan kanker nasofaring. Telah terbukti bahwa
mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan risiko kanker nasofaring
di Cina Selatan. Ventilasi rumah yang jelek dengan asap yang terperangkap di
dalam rumah juga dapat meningkatkan angka kejadian kanker nasofaring karena
asap yang berasal dari kayu bakar mengandung zat karsinogen yang akan
terakumulasi pada dinding nasofaring posterior dan lateral, dengan waktu terpapar
sampai beberapa jam sehari selama bertahun-tahun. Merokok juga berhubungan
dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya
paparan jangka panjang dari bahan-bahan polusi memegang peranan dalam
patogenesis karsinoma nasofaring.1,6
7

2.5.

Patogenesis Kanker Nasofaring


Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring

adalah virus Epstein-Barr karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer
anti EBV yang cukup tinggi. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi
sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini
sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa,
penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Melalui tempat replikasinya di
orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten
pada sel ini, menetap pada pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu
penyakit yang berarti.1,3
Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA
dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel.
Jenis infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan
di dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut
menjadi keganasan.3 Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang
mengandung nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai
resiko untuk terjadinya KNF pada umur dewasa.3
2.6. Klasifikasi Kanker Nasofaring
Klasifikasi gambaran histopatologi kanker nasofaring dibagi atas 3 tipe,
yaitu : 1
1.

Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa berkreatinisasi (Keratinizing Squamous

2.

Cell Carcinoma).
Tipe 2 : Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe

3.

ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa.
Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini, sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya, batas
sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,

yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu


radiosensitif. Karsinoma tidak berdiferensiasi ini adalah yang tersering dan paling
erat kaitannya dengan EBV. Neoplasma tidak berdiferensiasi ini juga ditandai

dengan sel epitel besar dengan batas tak jelas dan nukleolus eosinofilik yang
mencolok. 5,7
Cara lain untuk menentukan stadium karsinoma nasofaring adalah dengan
kriteria

yang

ditetapkan

AJCC/UICC

(American

Joint

Committee

on

Cancer/International Union Against Cancer) tahun 2010 yaitu sebagai berikut.


Tumor Primer (T)
Tx
Tumor primer tidak dapat dinilai
T0
Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis
Karsinoma in situ
T1
Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan
T2
T3

atau kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring


Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring
Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan atau sinus

T4

paranasal
Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terlibatnya saraf
kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa

infratemporal/ruang mastikator
KGB Regional (N)
NX
KGB regional tidak dapat dinilai
N0
Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1
Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter
terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan atau
unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan
N2

diameter terbesar 6 cm atau kurang


Metastasis KGB bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau

kurang, di atas fossa supraklavikular


Metastasis pada KGB diatas 6 cm dan atau pada supraklavikular
N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm
N3b Meluas ke fossa supraklavikular
Metastasis jauh (M)
M0
Tanpa metastasis jauh
M1
Metastasis jauh
N3

Stadium karsinoma nasofaring berdasarkan AJCC 2010 adalah sebagai berikut.


Stadium I
:
T1N0M0
Stadium II
:
T1N1M0 atau T2N0-1M0
Stadium III :
T1-2N2M0 atau T3N0-2M0
Stadium IVA :
T4N0-2M0
Stadium IVB :
semuaTN3M0
Stadium IVC :
semuaTsemuaNM1
2.7.

Gejala dan Tanda Klinis Kanker Nasofaring

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari


nasofaring termasuk fossa rosenmuler yang kemudian dapat menyebar ke dalam
ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari
dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung, atau orofaring. Metastase
khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai
tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul
tergantung pada daerah yang terkena. Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi
dalam empat kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata
dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. 8
Gejala nasofaring dapat berupa :
1. Epistaksis ringan. Pada epistaksis, umumnya berupa ingus bercampur darah
yang dapat terjadi berulang-ulang dan biasanya dalam jumlah sedikit. Gejala
ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat
terjadi perdarahan.
2. sumbatan hidung. Pada gejala sumbatan hidung, gejala ini biasanya menetap
dan bertambah berat. Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor menutupi
koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman. Bila terjadi obstruksi hidung total menunjukkan stadium
yang lanjut dari karsinoma nasofaring.1,8
Gangguan pada telinga dapat berupa :
1. Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa nyeri di
telinga (otalgia), dan dapat disertai gangguan pendengaran yang biasanya tuli
konduktif dan bersifat unilateral. Gejala ini disebabkan karena pertumbuhan
atau infiltrasi tumor primer pada otot tuba dan mengganggu mekanisme
pembukaan ostia tuba. Tuba oklusi dapat menjadi permanen jika tumor
menyebar dan menyumbat muara tuba.1,8
Gejala mata dan saraf :
1. Gejala diplopia. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak
ke III, IV, VI dan dapat pula ke V.

10

2. Sindrom Jackson. Jika penjalaran melalui foramen jugulare akan mengenai


saraf otak ke IX, X, XI, dan XII. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut
sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak.1,8
Metastasis ke kelenjar leher ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe
regional yang merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF, dapat
terjadi unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere)
merupakan tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran
kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran KNF ke
kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe
jugulodigastrik), di bawah angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid,
konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel
tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya.1,8
2.8 Diagnosis
Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu
harus melakukan hal-hal berikut ini:
a.

Keluhan utama pasien


Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli

unilateral, lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, kelainan saraf kranial


dengan kausa tak jelas, dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga
nasofaringnya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik2,4.
b.
Pemeriksaan kelenjar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai
nervus aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat
pembesaran14.
c.
Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior4.
Rinoskopi posterior tanpa menggunakan scope
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus
untuk menilai nasofaring dan area yang dekat sekitarnya. Tumor
yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak

dengan mudah.
Rinoskop posterior menggunakan scope
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic
scope ( lentur, menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke

11

rongga hidung atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan


nasofaring.
Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan

d.

lidah kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif4.
e.

Pencitraan
Computed tomography (CT) scan nasofaring
Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2)
memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3) secara
tepat menetapkan zona target terapi; merancang medan radiasi; (4)
memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan

tindak lanjut2,4.
Chest x-ray
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray
dada mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke

paru2,4.
Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga
lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan
lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih
dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara
pasca fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga

lebih bermanfaat2,4.
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak

serta adanya metastasis jauh2,4.


Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke
tulang, lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya
lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen. Setelah dilakukan bonescan, lesi umumnya tampak
radioaktivitas;

sebagian

radioaktivitas2,4.
f.

Biopsy nasofaring

12

kecil

tampak sebagai akumulasi


tampak

sebagai

area

defek

Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop


oleh patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker9.
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam
biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy9.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan
melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.9
g.

Pemeriksaan histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma

(epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi),


karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi9.
h.

Pemeriksaan serologis EBV


Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi

kanker nasofaring4,9:
Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >= 1:80
Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin)
EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang
tinggi kontinu atau terus meningkat.
2.9.

Tatalaksana
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama. Pengobatan tambahan

yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan
tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap
terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan)1,2,5.
a.
b.
c.

Stadium I
: Radioterapi.
Stadium II&III
: Kemoradiasi.
Stadium IV dengan N<6cm
: Kemoradiasi.
13

d.

Stadium IV dengan N>6cm

Kemoterapi

dosis

penuh

dilanjutkan

kemoradiasi1.
a.

Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi

atau radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat
pertumbuhan sel kanker.

Sumber radiasi menggunakan radiasi

Co-60,

radiasi energi tinggi atau radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama
dengan radiasi luar isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu
ditambah radioterapi stereotaktik2,5.
b.

Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap

periode diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan


tubuh melakukan recover. Siklus-siklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3
sampai 4 minggu. Kemoterapi sering tidak dianjurkan bagi pasien yang
kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut bukanlah penghalang
mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati
karsinoma nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai bagian
dari kemoradiasi, tetapi boleh dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorourasil (5FU) jika diberikan setelah terapi radiasi.2,5
c.
Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak adanya
ditemukan metastsis jauh.1,5
d.

Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring

adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat


diberikan imunoterapi.2
e.

Terapi paliatif

14

Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat
disembuhkan lagi.
Tujuan terapi paliatif adalah:

Meningkatkan kualitas hidup penderita


Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita
atas kematian penderita.1,5
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap

dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak.1,5
2.10

Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada

tulang, batuk-batuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain6,9.
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,
fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus,
kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi
pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis.
Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran
sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi.
Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang
menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari
mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan
perawatan gigi yang tepat9.
2.11

Prognosis
Prognosis

karsinoma

nasofaring

secara

umum

tergantung

pada

pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi


cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi,
walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada yang non keratinasi
dan tidak berdiferensiasi. Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti
15

stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan
dan ras Cina daripada ras kulit putih9.
Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah
meyebar luas keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
angka bertahan hidup 5 tahun setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95%
untuk KNF stadium I dan 70-80% untuk KNF stadium II. Stadium III dan stadium
IV yang cuma mendapat terapi radiasi, angka bertahan hidup 5 tahun berkisar
antara 24-80%. Kira-kira sepertiga penderita meninggal dunia karena metastasis
jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru, dan hati8.

BAB III
ILUSTRASI KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

:Tn. R

Jenis kelamin :Laki-laki


Umur

:18 tahun

Pekerjaan

:Pekerja di pabrik batu bata

Suku

:Minang

No. MR

:85.68.32

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Bicara pelo sejak 6 bulan yang lalu sebelum masuk rumah
sakit
Keluhan tambahan : Riwayat penyakit sekarang :

Bicara pelo sejak 6 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien
berbicara tidak jelas saat diajak berkomunikasi. Lidah pasien miring ke
kiri sejak 2 bulan yang lalu.
16

Hidung kiri tersumbat sejak 6 bulan SMRS. Keluar darah dari hidung
disangkal pasien.

Pusing berputar sejak 3 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien merasa nyeri
kepala, hilang timbul namun semakin memberat.

Telinga kiri berdenging dan terasa penuh sejak 2 bulan yang lalu, nyeri
pada telinga tidak ada.

Pasien mengeluh penglihatan ganda sejak 2 bulan yang lalu.

Pipi kiri terasa kaku sejak 2 bulan yang lalu.

Pasien memiliki riwayat merokok sejak 3 tahun yang lalu, 5 batang per
hari.

Riwayat mengkonsumsi mie instan 1 bungkus setiap hari.

Riwayat sering makan ikan asin tidak ada.

Riwayat konsumsi alkohol tidak ada.

sesak nafas tidak ada.

Riwayat pernah bekerja di tempat pembuatan batu bata.

Penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir, saat ini BB pasien 38 kg


dibandingkan sebelumnya 45 kg.

Benjolan di leher tidak ada.

Riwayat penyakit dahulu : tidak pernah menderita penyakit seperti ini


sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang menderita
penyakit seperti ini.
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, dan kebiasaan :

Pasien adalah tamatan SMK, riwayat pernah bekerja di tempat pembuatan


batu bata.

Riwayat merokok sejak 3 tahun yang lalu, sebanyak 5 batang per hari.

Riwayat mengkonsumsi mie instan sebanyak 1 bungkus per hari.

1. Pemeriksaan Fisik
17

Status generalisata

Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi nafas
Suhu

:Sakit sedang
:Komposmentis kooperatif
:110/70
:80x/menit
:18x/menit
:370C

Pemeriksaan fisik umum

Kepala
Mata

Thoraks
Abdomen
Ekstremitas

:normochepal, tidak terdapat kelainan


:konjungtiva anemis -/-; sklera ikterik -/pergerakan bola mata kiri ke lateral terbatas
:cord an pulmo dalam batas normal
:tidak terdapat kelainan
:tidak terdapat kelainan

Status lokalis THT


Telinga
Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Daun Telinga

Kelainan kongenital

Trauma

Radang

Kelainan metabolik

Nyeri tarik

Hiperemis

Edema

Massa
Bau

Warna

kekuningan

kekuningan

Jumlah

sedikit

sedikit

Jenis

serumen

Serumen

Liang

Nyeri tekan tragus


dan Cukup lapang (N)

dinding telinga

Sekret/serumen

Membran timpani

18

Utuh

Warna

suram

suram

Refleks cahaya

(+) arah jam 5

(+) arah jam 7

Bulging

Retraksi

Atrofi
Jumlah perforasi

Jenis

Kuadran

Pinggir
Gambar membrane timpani

Mastoid

Tanda radang

Fistel

Sikatrik

Nyeri tekan

Nyeri ketok
Rinne

+/-

Schwabach

sama dengan pemeriksa / memanjang

Weber

Lateralisasi ke telinga kiri

Kesimpulan
Audiometri

Tuli konduktif
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Timpanometri

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Perforasi

Tes Garpu Tala

Hidung
Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Hidung Luar

Deformitas

Kelainan congenital

Trauma

Radang

Massa

19

Sinus Paranasal

Nyeri tekan

Vestibulum

Vibrise

tertutup tampon

tertutup tampon

Cavum nasi

Radang
Cukup lapang (N)

tertutup tampon
tertutup tampon

tertutup tampon
tertutup tampon

Sempit

tertutup tampon

tertutup tampon

Lapang
Lokasi

tertutup tampon
tertutup tampon

tertutup tampon
tertutup tampon

Jenis

tertutup tampon

tertutup tampon

Jumlah

tertutup tampon

tertutup tampon

Bau
Ukuran

tertutup tampon
tertutup tampon

tertutup tampon
tertutup tampon

Warna

tertutup tampon

tertutup tampon

Permukaan

tertutup tampon

tertutup tampon

Edema
Ukuran

tertutup tampon
tertutup tampon

tertutup tampon
tertutup tampon

Warna

tertutup tampon

tertutup tampon

Permukaan

tertutup tampon

tertutup tampon

Edema
Cukup lurus/deviasi

tertutup tampon
tertutup tampon

tertutup tampon
tertutup tampon

Permukaan

tertutup tampon

tertutup tampon

Warna

tertutup tampon

tertutup tampon

Spina

tertutup tampon

tertutup tampon

Krista

tertutup tampon

tertutup tampon

Abses

tertutup tampon

tertutup tampon

Perforasi
Ada/tidak

tertutup tampon
tertutup tampon

tertutup tampon
tertutup tampon

Rinoskopi anterior

Sekret

Konka inferior

Konka medial

Septum

Massa

Gambar rinoskopi anterior

20

Rinoskopi Posterior (Nasofaring)


Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Koana

Cukup lapang (N)

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Sempit

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Lapang
Warna

sulit dilakukan
sulit dilakukan

sulit dilakukan
sulit dilakukan

Edema

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Jaringan granulasi
Ukuran

sulit dilakukan
sulit dilakukan

sulit dilakukan
sulit dilakukan

Warna

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Permukaan

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Edema
Ada/tidak

sulit dilakukan
sulit dilakukan

sulit dilakukan
sulit dilakukan

tuba Tertutup sekret

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Edema mukosa
Lokasi

sulit dilakukan
sulit dilakukan

sulit dilakukan
sulit dilakukan

Ukuran

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Bentuk

sulit dilakukan

sulit dilakukan

Permukaan
Ada/tidak

sulit dilakukan
sulit dilakukan

sulit dilakukan
sulit dilakukan

Dekstra

Sinistra

Mukosa

Konka inferior

Adenoid
Muara
eustachius
Massa

Post nasal drip

Gambar rinoskopi posterior

Orofaring dan Mulut


Pemeriksaan

Kelainan

Trismus

21

Uvula
Palatum
dan

Edema

Bifida
mole Simetris/tidak

tidak simetris

Arkus Warna

merah muda

Faring
Dinding faring

Bercak/eksudat
Warna

Tonsil

Permukaan
Ukuran

T1

T1

Warna

Merah muda

Merah muda

Permukaan

Licin

Licin

Muara kripti

tidak terlihat

tidak terlihat

Detritus

Eksudat
Warna

Merah muda

Merah muda

Edema

Abses
Lokasi

Tidak terlihat

Tidak terlihat

Bentuk

tidak terlihat

tidak terlihat

Ukuran

tidak terlihat

tidak terlihat

Permukaan

tidak terlihat

tidak terlihat

Gigi

Konsistensi
Karies/radiks

tidak terlihat
-

tidak terlihat
-

Hygiene mulut baik


merah muda

Hygiene mulut baik

Lidah

Kesan
Warna
Bentuk

tidak simetris

Deviasi

kea rah kiri

Peritonsil

Tumor

merah muda
licin

Massa
Gambar orofaring/mulut

Laringoskopi indirek
Epiglotis

Sulit dinilai

22

Sulit dinilai

Aritenoid

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Ventrikular band

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Plika vokalis

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sinus piriformis

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Valekulae

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Gambar laringoskopi indirek

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening

Inspeksi
Palpasi

: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

3.4 Resume
3.4.1 Anamnesis

Bicara pelo sejak 6 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien
berbicara tidak jelas saat diajak berkomunikasi. Lidah pasien miring ke
kiri sejak 2 bulan yang lalu.

Hidung kiri tersumbat sejak 6 bulan SMRS.

Pusing berputar sejak 3 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien merasa nyeri
kepala, hilang timbul namun semakin memberat.

Telinga kiri berdenging dan terasa penuh sejak 2 bulan yang lalu, nyeri
pada telinga tidak ada.

Pasien mengeluh penglihatan ganda sejak 2 bulan yang lalu.

Pipi kiri terasa kaku sejak 2 bulan yang lalu.

Pasien memiliki riwayat merokok sejak 3 tahun yang lalu, 5 batang per
hari.

Riwayat mengkonsumsi mie instan 1 bungkus setiap hari.

Riwayat pernah bekerja di tempat pembuatan batu bata.

23

Penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir, saat ini BB pasien 38 kg


dibandingkan sebelumnya 45 kg.

3.4.2 Pemeriksaan Fisik


Telinga : AD : liang telinga cukup lapang, membran timpani utuh, warna suram,
retraksi (+), reflex cahaya (+) arah jam 5
AS : liang telinga cukup lapang, membran timpani utuh, warna suram,
retraksi (+), reflex cahaya (+) arah jam 7
Tes penala :
Rinne : +/Weber : lateralisasi ke telinga kiri
Schwabach : sama dengan pemeriksa / memanjang
Orofaring dan mulut : trismus (+)
arkus faring tidak simetris
tidak terlihat massa tumor
lidah deviasi ke kiri
3.4.3 Diagnosis Utama
Susp. Karsinoma Nasofaring stadium III
3.4.4 Diagnosis Banding
Angiofibroma Nasofaring Belia
3.4.5 Pemeriksaan Anjuran
- Biopsi
- CT scan kepala
3.4.6 Terapi
Kemoradiasi
3.4.7 Prognosis

Quo ad sanam : Dubia ad bonam

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

24

BAB IV
DISKUSI
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal dari
epitel atau mukosa dan kripta yang melapisi permukaan nasofaring. Keganasan ini
sering disebut sebagai kanker tenggorok. Di Indonesia, KNF adalah kanker
terbanyak kelima, sekitar 5,78% dari seluruh kanker dengan insidens 6,2/100.000
populasi per tahun. KNF dalam beberapa dekade terakhir telah menarik perhatian
dunia karena interaksi kompleks atara genetik, virus, faktor lingkungan, dan
makanan, yang boleh jadi berhubungan dengan etiologi penyakit ini.
Dari anamnesis didapatkan keluhan bicara pelo pada pasien sejak 6 bulan
yang lalu dan disertai dengan berbagai gejala lainnya yang menyertai seperti
hidung kiri tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, pusing berputar sejak 3 bulan yang
lalu, telinga kiri berdenging dan terasa penuh sejak 2 bulan yang lalu, penglihatan
ganda sejak 2 bulan yang lalu, pipi kiri terasa kaku sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
memiliki riwayat merokok sejak 3 tahun yang lalu, 5 batang per hari, riwayat
mengkonsumsi mie instan 1 bungkus setiap hari. Pasien memiliki riwayat pernah
bekerja di tempat pembuatan batu bata, penurunan berat badan dalam 3 bulan
terakhir, saat ini BB pasien 38 kg dibandingkan sebelumnya 45 kg.
Pada pemeriksaan fisik telinga ditemukan gambaran membran timpani
yang suram, tes penala yang dilakukan Rinne negatif pada telinga kiri, Schwabach
memanjang di telinga kiri, dan Weber lateralisasi ke telinga kiri sehingga
didapatkan kesan tuli konduktif. Pemeriksaan hidung tidak dapat dilakukan karena
tertutup tampon. Pada pemeriksaan mulut dan orofaring didapatkan trismus dan
arkus faring dan palatum mole yang tidak simetris. Pemeriksaan rinoskopi
posterior dan laringoskopi indirek sulit dilakukan pada pasien ini.
Penatalaksanaan pada pasien karsinoma nasofaring adalah dengan
melakukan kemoradiasi karena pada pemeriksaan fisik didapatkan kemungkinan

25

pasien tersebut didiagnosa dengan suspek karsinoma nasofaring grade III. Namun
pada pasien ini belum dilakukan terapi tersebut. Prognosis pada pasien ini curiga
ke arah yang buruk karena pada pasien ini sudah terjadi gejala saraf dan mata
sehingga sudah dicurigai pada pasien ini telah terjadi penyebaran hingga ke
foramen di basis kranii.

26

DAFTAR PUSTAKA
1.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. 2007.

2.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.


Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A step-by-step

Learning Guide. 2006. New York: Thieme.


3. McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC. The Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. 2001. Clin. Otolaryngol, vol. 26.
4. National Cancer Institute. Nasopharingeal Cancer Treatment. 2011. Available
from:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/pa
ge2
5. Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. 2008. Jakarta :
FKUI.
6. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology, Head and Neck
Surgery. Second edition. 2008. New York: McGraw Hill.
7. Blandino, Alfredo. Pandolfo, Ignazio. Neoplasms, Nasopharynx. Baert, Albert
L. In: Encyclopedia of Diagnostic Imaging. 2008. New York. Springer-Verlag
8.

Berlin Heidelberg.p1261-4
Brennan, Bernadette. Nasopharyngeal Carcinoma. Manchester. BioMed
Central Ltd. 2006. Available from http://www.ojrd.com/content/1/1/23.

Accessed October 17, 2011.


9. Krishnakan B.B, Samir K.B, Tilak M.S. Pharyngeal Tumors. In: A Short
Textbook Of ENT Disease For Student And Practioners. Edition 5.2002.
Mumbai: Usha Publications.

27

Anda mungkin juga menyukai