Oleh :
Dedi Febriandaru
G.99122029/D2-2014
G.99122091/D6-2014
Pembimbing :
Dra. Suci Murti Karini, M.Si.
Hari Wahyu Nugroho, dr., M.Kes., SpA.
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: An. A
Umur
: 1 tahun 5 bulan
Tanggal Lahir
: 24 Januari 2013
Berat Badan
: 7,2 kg
Panjang Badan
: 70 cm
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Jebres
Pemeriksaan
: 18 Juni 2014
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap perawat yang
merawat penderita.
A. Keluhan Utama
Perkembangan tidak sesuai usia
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan anak yang dirawat di Yayasan Pemeliharaan
Anak dan Bayi Permata Hati. Perawat mengeluh bahwa anak tersebut
perkembangannya lebih lambat daripada anak seusianya. Anak tidak
banyak bersuara dan belum bisa menirukan bunyi kata-kata, hanya bisa
mengucap a,i,u,e,o dan kadang memberi respon bila dipanggil. Anak
belum bisa mendongakkan kepala, belum bisa bertepuk tangan dan belum
bisa berjalan.
Saat dilakukan pemeriksaan rutin, didapatkan BAB (+) 3x dalam
sehari dengan konsistensi cair, warna kuning, lendir dan darah (-). Muntah
(-), rasa haus (+), rewel, sadar, BAK terakhir tidak ada keluhan, demam
(-), sesak (-), kejang (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
(+)
Polio
(-)
Bronkitis
(-)
Morbili
(-)
Cacingan
(-)
Pertusis
(-)
Gegar otak
(-)
Difteri
(-)
Fraktur
(-)
Varicella
(-)
Kolera
(-)
Malaria
(-)
TB paru
(-)
Usia 0-10 bulan : ASI saja, frekuensi minum ASI tiap kali bayi
menangis atau minta minum, sehari biasanya 8 kali per hari dan lama
menyusui 10 menit, bergantian kiri kanan.
Usia 10-15 bulan : nasi tim 2-3 kali sehari satu mangkok kecil dengan
sayur hijau/bayam, telur, tahu, tempe, dengan diselingi dengan ASI dan
susu buatan (Nestle) jika bayi masih lapar. Frekuensi minum susu
buatan 2 kali per hari dengan takaran cangkir kecil.
1.
Jenis
BCG
I
1 bulan
II
-
2.
DPT
2 bulan 3 bulan
4 bulan
3.
Polio
0 bulan 2 bulan
3 bulan
4.
Campak
9 bulan
5.
Hepatitis B
Lahir
2 bulan
4
III
-
3 bulan
IV
4 bulan
4 bulan
L. Keluarga Berencana
Ibu tidak menggunakan KB
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Derajat Kesadaran
: compos mentis
Status gizi
2. Tanda vital
S
: 37,1oC
RR
BB
: 7,2 kg
TB
: 70 cm
Status gizi :
BB/U : 7,2/11,4 x100 % = 63,15 %
kelenjar
limfe
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Kiri atas
: SIC II LPSS
Kiri bawah
: SIC IV LMCS
Kanan atas
: SIC II LPSD
Pulmo :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Batas paru-hepar
: SIC V kanan
14. Abdomen :
Redup relatif di
: SIC V kanan
Redup absolut
Auskultasi
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: tympani
Palpasi
sianosis -
oedem -
TB/U
Bayi
Permata
Hati.
Perawat
mengeluh
bahwa
anak
tersebut
frekuensi: 110 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup, frekuensi
nafas: 30 x/menit, tipe abdominal, kedalaman cukup, dan reguler. Hasil tes
perkembangan Denver yaitu, personal sosial setara dengan anak usia 4,5
bulan, adaptif-motorik halus setara dengan anak usia 4,5 bulan, dan bahasa
setara dengan anak usia 8 bulan, serta motorik kasar setara dengan anak usia 4
bulan.
VII.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
ASSESMENT
Down Syndrome
Global Delayed development
Keterlambatan perkembangan personal sosial setara usia 4,5 bulan
Keterlambatan perkembangan adatif motorik halus setara usia 4,5 bulan
Keterlambatan perkembangan bahasa setara usia 8 bulan
Keterlambatan perkembangan motorik kasar setara usia 4 bulan
VIII.
PENATALAKSANAAN
A. Edukasi :
-
Stimulasi di rumah
Konseling
IX.
PLANNING
Konsul RM
Terapi Physiotherapy:
o Speech therapy
o Ocupation therapy
8
X.
PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan
satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal
hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah
keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh
(Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi
dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam
tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari
semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet, 2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua
yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan
karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus
(Lancet, 2003).
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja
yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe
mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan (Lancet, 2003).
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211), sindrom Down merupakan
kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia.
Diperkirakan angka kejadian terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup
dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. penurunan ini
diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang
10
berumur. Diperkirakan 20% anak dengan sindrom Down dilahirkan oleh ibu
yang berumur di atas 35 tahun.
Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa
angka kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam,
tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian pada
berbagai golongan sosial ekonomi adalah sama.
III. ETIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211-212), selama satu abad sebelumnya
banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi
sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun
1959,
maka
sekarang
perhatian
dipusatkan
pada
kejadian
non-
terhadap
non-
terdapat
predisposisi
genetic
11
4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down
adalah aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan
dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu
yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang
umurnya sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunctional pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estriadol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating
Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunctional.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan
adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak
dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra
kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi
dengan umur ibu.
Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan
kimia dan frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai
penyebab dari sindrom Down.
IV. FAKTOR RISIKO
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita
yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang
12
hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan
sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi
dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang
pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun kebanyakan kasus
yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal (Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30
V. SCREENING
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test
dan atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil
pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak
(American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14 kehamilan.
Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin.
Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti
dengan tehnik ini (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah
ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan
adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG).
Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan
13
pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom
janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga 14.
Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom janin.
Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan
sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko
keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER), 2011).
VI. PATOFISIOLOGI
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ
dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses
hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan
survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak
anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik,
maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas,
anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis
molekular
menunjukkan
regio
21q.22.1-q22.3
pada
kromosom
21
14
sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang
diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak
dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung
(Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat
dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi
kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto.
Penderita
dengan
sindrom
Down
sering
kali
menderita
Menurunnya
buffer
proses
metabolik
menjadi
faktor
seperti
Transient
Myeloproliferative
Disorder
dan
Acute
15
itu,
penyakit
seperti Atresia
Esofagus
dengan
atau
tanpa
fistula
Pemeriksaan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas.
Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri
yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu
lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki
dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%)
(Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka
didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis
16
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima,
elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50.
Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat.
Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang
spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang
kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa
ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003).
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering
didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang
cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang
disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit
vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu,
pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada
penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering
terjadi pada orang orang lanjut usia (Am J., 2009).
Penderita sindrom Down sering menderita
Brachycephaly,
microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang
besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya
lipatan epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga
50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis,
ruptur
kanal
nasolacrimal,
katarak
kongenital,
17
(Lanzkowsky, 2005).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita
sindrom Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus
lebih sering ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan
penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.
Antara
penyakit
jantung
kongenital
yang
ditemukan
18
dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering
ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic
Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah
terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang
dirawat, kira kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada
jantung mereka (Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana
terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial
cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang
sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan
anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga
sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula
timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula
mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya akan
menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti
akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain
takipnu dan penurunan berat badan (William 2002).
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan
pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada
penderitadengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior
dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi
komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal
sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler
yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi
jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan
lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
19
20
restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih
kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen
bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar
ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah
pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis
yang minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru.
Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru
adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K,
2008).
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si
anak gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya
terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas
yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan
penderita (Amik K, 2008).
d Imunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka
e
yang
dapat
ditemukan
adalah
atresia
atau
stenosis,
21
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik
pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga
DQ8.
f
Dilaporkan
juga
terdapat
kaitan
yang
kuat
antara
primer,
autoimun
tiroiditis,
dan
compensated
22
23
X. PENATALAKSANAAN
Menurut Soetjiningsih (1998: 217-220), anak dengan sindrom Down
memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup hal-hal berikut:
1. Penanganan secara medis
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan
medis yang sama dengan anak yang normal. Mereka memerlukan
pemeliharaan kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan
dan bimbingan dari anggota keluarganya. Tetapi terdapat beberapa
keadaan dimana anak dengan sindrom Down memerlukan perhatian
khusus, yaitu dalam hal :
a. Pendengaran
70-80% anak dengan sindrom Down dilaporkan terdapat gangguan
pendengaran. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan telinga sejak
awal kehidupannya, serta dilakukan tes pendengaran secara berkala
oleh ahli THT.
b. Penyakit jantung bawaan
30-40% anak dengan sindrom Down disertai dengan penyakit
jantung bawaan. Mereka memerlukan penanganan jangka panjang
oleh seorang ahli jantung anak.
c. Penglihatan
Anak dengan kelainan ini sering mengalami gangguan penglihatan
atau katarak. Sehingga perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
d. Nutrisi
Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan congenital yang
berat lainnya, akan terjadi gangguan pertumbuhan pda masa
bayi/prasekolah. Sebaliknya ada juga kasus justru terjadi obesitas
pada masa dewasa atau setelah dewasa. Sehingga diperlukan
kerjasama dengan ahli gizi.
e. Kelainan tulang
24
pemeriksaan
radiologist
untuk
memeriksa
spina
25
26
molecular, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal juga sebagai
homologous recombination sebuah gene dapat dinonaktifkan. Tidak
terkecuali suatu saat nanti, gen-gen yang terdapat di ujung lengan panjang
kromosom 21 yang bertanggungjawab terhadap munculnya fenotip sindrom
Down dapat dinonaktifkan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving
Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.
biomedsearch.com.
Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Lancet. 2003. Antenatal Screening for Downs Syndrome. The Lancet volume 362,
issues 9377, p 81.
American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.
www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013
Tyler, C V, Zyzanski SJ, Runser, L. 2004. Increased Risk of Symptomatic
Gallbladder Disease in Adults with Down Syndrome. American Journal of
Medical Genetics vol 130 A, issue 4, pp 351-3
Livingstone C. 2006. Heart Related Down Syndrome. repository.usu.ac.id
Galley R. 2005. Medical Management of the Adult Patient with Down Syndrome.
Journal of the American Academy of Physician Assistant Apr: 18(4): 4552.
Baliff J B. 2005. New Development in Prenatal Screening for Down Syndrome.
University of Rochester School of Medical.
Kallen B, Mastroiacovo P, Robert E. 1996. Major Congenital Malformations in
Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8911611
28