Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1

Latar Belakang
Abortus (keguguran) merupakan salah satu penyebab perdarahan yang terjadi
pada kehamilan trimester pertama dan kedua. Perdarahan ini dapat menyebabkan
berakhirnya kehamilan atau kehamilan terus berlanjut. Secara klinis, 10-15% kehamilan
yang terdiagnosis berakhir dengan abortus (Wiknjosastro, 2006).
Menurut definisi WHO,

abortus didefinisikan sebahai hilangnya janin atau

embrio dengan berat kurang dari 500 gram setara dengan sekitar 20-22 minggu
kehamilan. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan,
sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan disebut abortus provokatus
(Dwilaksana, 2010).
Berdasarkan data WHO, presentase kemungkinan terjadinya abortus cukup
tinggi, sekitar 15-40% angka kejadian, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif
hamil dan 60-75% angka abortus terjadi sebelum usia kehamilan 12 minggu
(Lestariningsih, 2008).
Menurut WHO tahun 2006, tingkat kasus aborsi di Indonesia tercatat yang
tertinggi di Asia Tenggara, mencapai dua juta kasus dari sekitar 4,2 juta jumlah kasus
per tahun yang terjadi di negara-negara Association Of South East Asian Nation
(ASEAN)
Saat ini abortus merupakan salah satu masalah reproduksi yang banyak
dibicarakan di Indonesia bahkan di dunia. Masalah abortus perlu dibahas, mengingat
abortus merupakan salah satu penyebab terjadinya perdarahan, dan sebagai penyebab
langsung kematian ibu/maternal. Kematian maternal merupakan masalah besar
khususnya di negara berkembang. Sekitar 98-99% kematian maternal terjadi di negara
berkembang, sedangkan di negara maju hanya sekitar 1-2% (Manuaba, 2007).
Sekitar satu dari enam kehamilan berakhir dengan keguguran paling sering
antara minggu ke-6 dan ke-10 kehamilan. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa
usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30 tahun. Penyebab abortus
dari faktor reproduksi di antaranya adalah faktor usia ibu, dimana keguguran wanita
hamil pada usia di bawah 20 tahun ternyata lebih tinggi dari usia 20-29 tahun, kemudian
meningkat kembali sesudah usia 30 sampai 35 tahun (Bantuk Hadijanto, 2008)
Kasus abortus masih menarik untuk dipelajari, terutama di negara berkembang
termasuk Indonesia, karena faktor predisposisi yang masih sulit dihindari, prevalensinya
masih tinggi serta punya andil besar dalam angka kematian maternal yang merupakan
salah satu parameter pelayanan kesehatan.

2
1
2
3

Tujuan
Mengetahui diagnosis, penatalaksanaan dan perawatan abortus pada kasus yang
diajukan.
Mengetahui faktor risiko, pencegahan, dan pada kasus yang diajukan.
Manfaat
Penulisan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai abortus dalam hal pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan penunjang, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan perawatan.

BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1

Identitas
No Reg

: 10815137

Nama

: Ny. P

Umur

: 25 tahun

Alamat

: Jl sambong permai L7 jombang

Pendidikan

: S1

Pekerjaan

: Swasta

Status

: Menikah 1x

Lama Menikah

: 2 Tahun

Kehamilan

: P1001Ab000

Riwayat KB

: tidak pernah menggunakan KB

Tanggal Poli

: 26 Februari 2015

2.2

Subjektif

2.2.1

Keluhan utama
Keluar flek-flek dengan warna darah segar disertai nyeri perut bawah

2.2.2

Anamnesis
Pasien mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir sejak pagi hari .Sekarang tinggal
flek-flek saja. Pasien pernah merasakan keluhan seperti ini pada tanggal 16 Februari
2015, lalu dibawa ke IGD. Setelah itu keluhan ini muncul lagi

2.2.3

Riwayat Pernikahan
Perkawinan 1 kali, dengan suami sekarang selama 2 tahun.

2.2.4

Riwayat Obstetri
P1001Ab000, tidak pernah menggunakan KB, anak terakhir 1 tahun

2.2.5

Riwayat Haid
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 14 November 2014
Siklus

: 28 hari

Lamanya haid

: 4-5 hari

Jumlah haid

: biasa

2.2.6

Riwayat Nyeri Perut

: tidak ada

2.2.7

Riwayat Keputihan

: tidak ada

2.2.8

Riwayat Keadaan Umum


Nafsu makan

: biasa

Berat badan

: tetap

2.2.9

Miksi

: dalam batas normal

Defekasi

: dalam batas normal

Riwayat Operasi/Penyakit

: disangkal

2.2.10 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki penyakit yang serupa.
2.2.11 Riwayat Pengobatan
Vitamin Sulfat Ferous 2x1 dan asam folat 1x1
2.2.12 Riwayat Sosial
Senang makan dan minum manis.
2.3

Obyektif

2.3.1

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum

: baik

Kesadaran

: compos mentis

BB

: 67 Kg

TB

: 155 cm

Tekanan darah

120/70 mmHg

Nadi

: 88 x/menit, reguler

RR

: 20 x/menit

Suhu aksiler

: 36,40C

Suhu rectal

: 36,80C

Kepala dan leher

: anemis - / - , icterus - / -

Thorax

: cor/ S1S2 tunggal, murmur (-)


Pulmo/

Abdomen

vv

Rh - -

Wh - -

vv

--

--

vv

--

--

: fundus uteri teraba dua jari dari symphisis pubis, ball(+),

BU(+)N
Ekstremitas

: akral hangat, edema =|=

Status Ginekologi
Genitalia Eksterna
Inspeksi

: v/v flux (+) minimal, fluor (-)

Inspekulo

: Flux (+) minimal, fluor (-), porsio multipara tertutup, licin,


tampak ada darah keluar dari portio tanpa disertai keluarnya
gumpalan daging.

Vaginal Touche

: porsio multipara tertutup licin


Cavum Douglasi dalam batas normal.

2.3.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang


Plano tes

: positif

Darah Lengkap

: 10,6/3,62/14,63/263.000

UL

Hasil USG

: Tampak janin intra uterin, kembar. Plasenta di interior

menutupi jalan lahir. Besar bayi sesuai dengan usia kehamilan. Kesimpulannya:
G2P1001 Ab000 gr 14-16 minggu G/H/H
2.4

Assessment
Abortus imminens

2.5

Planning
Planning Diagnosis

:-

Planning Terapi

: Terapi Konservatif
Per oral: Asam mefenamat k/p
Duphaston 3 x1
Amoxicilin 2 x 1
Roborensia 1x1

Planning Monitoring

: vital sign, keluhan subyektif pasien.

Planning Edukasi

: KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) dan informed consent


pasien dan keluarga tentang kondisi ibu saat ini serta resiko

terhadap janinnya

BAB 3
PERMASALAHAN
3.1 Diagnosa
Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus ini?
3.2 Penatalaksanaan dan prognosis
Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada kasus ini?

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anatomi Alat Reproduksi Wanita
Alat reproduksi wanita berada di bagian tubuh seorang wanita yang disebut
panggul. Secara anatomis alat reproduksi wanita dibagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian yang terlihat dari luar (genitalia eksterna) dan bagian yang berada di dalam
panggul (genitalia interna) (Manuaba, 1998).
4.1.1

Genetalia Eksterna
Alat kandungan luar dalam arti sempit adalah alat kandungan yang dapat dilihat

dari luar bila wanita dalam posisi litotomi. Fungsi alat kandungan luar dikhususkan untuk
kopulasi (koitus) (Mochtar, 1998). Menurut Manuaba (1998), organ genetalia eksterna
terdiri dari:
Mons veneris, disebut juga gunung venus, merupakan bagian menonjol di
bagian depan simfisis, terdiri dari jaringan lemak dan sedikit jaringan ikat. Setelah
dewasa tertutup oleh rambut bentuknya segitiga.
Bibir besar kemaluan (labia majora) berada pada bagian kanan dan kiri,
berbentuk lonjong. Kedua bibir ini bertemu membentuk perineum. Permukaan ini terdiri
dari bagian luar yang tertutup rambut dan bagian dalam yang tanpa rambut dan
mengandung kelenjar sebasea (lemak).
Bibir kecil kemaluan (labia minora) adalah lipatan di dalam labia mayora
tanpa rambut. Di bagian atas klitoris, labia minora membentuk prepusium klitoris dan di
bagian bawahnya bertemu membentuk prenulum klitoris. Labia minora ini mengelilingi
orifisium vagina.
Klitoris merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat erektil,
mengandung banyak pembuluh darah dan serat saraf sensoris sehingga sangat sensitif
dan analog dengan penis pada laki-laki.
Vestibulum merupakan alat reproduksi bagian luar yang dibatasi oleh kedua
bibir kecil, bagian atas klitoris, dan bagian belakang pertemuan kedua labia minora.
Pada vestibulum terdapat muara uretra, dua lubang saluran kelenjar Bartholini, dan dua
lubang saluran kelenjar Skene.
Kelenjar Bartholini adalah kelenjar yang penting di daerah vulva dan vagina,
karena dapat mengeluarkan lendir. Pengeluaran lendir meningkat saat hubungan seks.
Introitus vagina adalah pintu masuk ke vagina.
Selaput dara (hymen) merupakan jaringan yang menutupi lubang vagina,
bersifat rapuh dan mudah robek. Hymnen ini berlubang sehingga menjadi saluran dari
lendir yang dikeluarkan uterus dan darah saat menstruasi

Gambar 4.1
4.1.2

Anatomi Genetalia Eksterna Wanita (Standring, 2008)

Genetalia Interna
Menurut Mochtar (1998) yang termasuk alat kandungan dalam (genetalia
interna) adalah:
Liang sanggama (vagina) adalah liang atau saluran yang menghubungkan
vulva dengan rahim, terletak diantara saluran kemih dan liang dubur. Di bagian ujung
atasnya terletak mulut rahim. Fungsi penting dari vagina ialah sebagai saluran keluar
untuk mengalirkan darah haid dan sekret lain dari rahim, alat untuk bersanggama,
dan jalan lahir pada waktu bersalin.
Rahim (uterus) adalah suatu struktur otot yang cukup kuat, bagian luarnya
ditutupi oleh peritoneum sedangkan rongga dalamnya dilapisi oleh mukosa rahim.
Dalam keadaan tidak hamil, rahim terletak dalam rongga panggul kecil di antara
kandung kemih dan dubur. Rahim mempunyai rongga yang terdiri dari tiga bagian
besar, yaitu badan rahim (korpus uteri), leher rahim (serviks uteri), dan rongga rahim
(kavum uteri)

Saluran telur (tuba Falopii) adalah saluran yang keluar dari kornu rahim
kanan dan kiri, panjangnya 12-13 cm, diameter 3-8 mm. Bagian luarnya diliputi oleh
peritoneum viseral yang merupakan bagian dari ligamentum latum. Bagian dalam
saluran dilapisi silia, yaitu rambut getar yang berfungsi untuk menyalurkan telur dan
hasil konsepsi. Fungsi saluran telur adalah sebagai saluran untuk membawa ovum
yang dilepaskan e indung telur ke tempat terjadi fertilisasi.
Indung telur (ovarium) terdapat dua indung telur, masing-masing di kanan
dan kiri rahim, dilapisi mesovarium dan tergantung di belakang ligamentum latum.
Seumur hidupnya, seorang wanita diperkirakan akan mengeluarkan sel telur kira-kira
400 butir. Fungsi indung telur yang utama adalah menghasilkan sel telur (ovum),
menghasilkan hormon-hormon (progesteron dan estrogen), dan ikut serta mengatur
haid.

Gambar 4.2

Anatomi Genetalia Interna Wanita (Martini, 2006)

4.2 Fisiologi Alat Reproduksi Wanita


4.2.1

Fisiologi Menstruasi
Pada wanita yang sehat dan tidak hamil, setiap bulan secara teratur
mengeluarkan darah dari alat kandungannya, dan ini disebut menstruasi. Pada siklus
menstruasi, mukosa rahim dipersiapkan secara teratur untuk menerima ovum yang
dibuahi setelah terjadinya ovulasi, keadaan ini dikontrol oleh hormon-hormon yang
dapat dideteksi dalam air kemih. Yang diperiksa adalah air kemih 24 jam dan diukur
kadar estriol dan pregnandiolnya. (Mochtar, 1998).
Satu siklus menstruasi terdiri dari beberapa fase (stadium) yaitu:

Stadium menstruasi (deskuamasi) berlangsung selama 4 hari dimana


endometrium lepas dari dinding rahim disertai dengan penrdarahan dan hanya
lapisan tipis (stratum basale) yang tinggal. Darah menstruasi terdiri dari potonganpotongan endometrium dan lendir dari serviks. Darah tidak membeku karena adanya
fermen yang mencegah pembekuan darah dan mencairkan potongan-potongan
mukosa. Banyaknya darah selama menstruasi 50-150 cc.

Gambar 4.3 Siklus Ovulasi dan Menstruasi Normal Wanita (Shien et al., 1999)
Stadium regenerasi

sudah dimulai waktu stadium menstruasi dan

berlangsung 4 hari. Pada saat ini tebal endometrium kira-kira 0.5 mm. Luka yang
terjadi karena endometrium dilepaskan berangsur ditutup kembali oleh selaput lendir
baru dari sel epitel kelenjar endometrium.
Stadium proliferasi berlangsung dari hari ke 5-14 dari hari pertama
menstruasi. Pada stadium ini endometrium tumbuh menjadi tebal 3.5 mm.
Stadium sekresi dimana endometrium tebalnya tetap tetapi bentuk kelenjar
menjadi panjang dan berkelok mengeluarkan getah. Dalam endometrium tertimbun
glikogen dan kapur (Ca) sebagai makanan untuk ovum. Stadium ini dipersiapkan
untuk menerima ovum dan berlangsung dari hari ke 14-28. Kalau tidak terjadi

kehamilan maka endometrium dilepas dengan perdarahan dan berulang lagi siklus
menstruasi (Guyton dan Hall, 2006).
Proses menstruasi dipengaruhi oleh hormon-hormon. Hormon yang berperan
adalah FSH (Follicle Stimulating Hormone) dikeluarkan oleh hipofise lobus depan,
estrogen dihasilkan oleh ovarium, LH (Luteinzing Hormone) dihasilkan hipofise, dan
progesteron dikeluarkan oleh indung telur (Mochtar, 1998).
Kapan terjadinya ovulasi atau keluarnya sel telur dari indung telur perlu kita
ketahui untuk menentukan hari subur seorang wanita, karena kehamilan hanya
mungkin terjadi bila sanggama (koitus) dilakukan pada sekitar saat ovulasi. Biasanya
ovulasi terjadi kira-kira 14 hari sebelum haid yang akan datang. Dengan kata lain,
diantara dua haid yang berurutan, indung telur akan mengeluarkan ovum, setiap kali
satu dari ovarium kanan dan lain kali dari ovarium kiri. Cara menentukan adanya
ovulasi antara lain dengan biopsi endometrium, suhu basal badan, sitologi vaginal,
getah serviks, pH getah vagina, dan endoskopi (Mochtar, 1998).
4.2.2

Fisiologis Kehamilan normal


Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil
normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama
haid terakhir. Kehamilan dibagi dalam 3 triwulan yaitu triwulan pertama dimulai dari
konsepsi sampai 3 bulan, triwulan kedua dari bulan keempat sampai 6 bulan,
triwulan ketiga dari bulan ketujuh sampai 9 bulan. (Prawirohardjo, 2007)

4.2.3

Fisiologis Persalinan normal


Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun
ke dalam jalan lahir. Kelahiran disebut juga proses pengeluaran janin dan ketuban
didorong keluar melalui jalan lahir. Sehinggga persalinan dan kelahiran normal,
proses dimana terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan
dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa
komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. (Prawirohardjo, 2007)
Persalinan dibagi dalam 4 kala, yaitu:
Kala I dimulai dari saat persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm).
Proses ini terbagi dalam 2 fase, fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3 cm
dan fase akhir (7 jam) serviks membuka dari 3 sampai 10 cm. Kontraksi lebih kuat
dan sering selama fase aktif.
Kala II dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini
biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada multi.

Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang
berlangsung tidak lebih dari 30 menit.
Kala IV dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama postpartum
(Prawirohardjo, 2007).
4.3 Abortus
4.3.1 Definisi
Menurut definisi WHO, abortus didefinisikan sebagai hilangnya janin atau
embrio dengan berat kurang dari 500 gram setara dengan sekitar 20-22 minggu
kehamilan, sedangkan menurut Prawirohardjo, 2008, abortus adalah berakhirnya
suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau janin belum mampu untuk hidup di luar kandungan.
Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus
provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis dan
disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi
akibat tindakan atau disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat
(Sastrawinata et al., 2005).
Abortus spontan merujuk kepada keguguran pada kehamilan kurang dari 20
minggu tanpa adanya tindakan medis atau tindakan bedah untuk mengakhiri
kehamilan (Griebel et al., 2005). Abortus spontan adalah merupakan mekanisme
alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28
minggu. Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebabsebab lain yang pada umumnya berhubungan dengan kelainan pada sistem
reproduksi (Syafruddin, 2003).
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh
bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi
plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya
kontraksi uterus dan mengawali adanya proses abortus (Sewarts, 2005)
4.3.2 Etiologi dan Faktor Presdiposisi
Etiologi penyebab abortus adalah sebagai berikut:
-

Faktor dari janin (Fetal), yang terdiri dari: kelainan genetik (kromosom),
Abnormalitas kromosom adalah hal yang utama pada embrio dan janin yang
mengalami abortus spontan, serta merupakan sebagian besar dari kegagalan
kehamilan dini. Kelainan dalam jumlah kromosom lebih sering dijumpai daripada
kelainan struktur kromosom. Abnormalitas kromosom secara struktural dapat

diturunkan oleh salah satu dari kedua orang tuanya yang menjadi pembawa
abnormalitas tersebut (Cunningham, 2010).
-

Faktor dari ibu (maternal), yang terdiri dri: infeksi kelainan hormonal seperti
hipotiroidisme, diabetes melitus, malnutrisi, penggunaan obat-obatan, merokok,
konsumsi alkohol, faktor imunologis, dan defek anatomis seperti uterus didelfis,
inkompetensia serviks (penipisan dan pembukaan serviks sebelum waktu inpartu,
umumnya pada trimester kedua) dan sinekhiae uteri karena sindrom Asherman.
Kejadian abortus meningkat pada wanita hamil yang berumur 30 tahun atau 35
tahun, hal ini disebabkan meningkatnya kelainan genetik seperti mutasi dan
kelainan maternal pada usia tersebut. Menurut Llewellyn-Jones (2002) frekuensi
abortus meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas. Apabila
terdapat riwayat abortus, maka kemungkinan terjadi abortus pada kehamilan yang
selanjutnya akan meningkat (Henderson dan Jones, 2006).

Faktor dari ayah (paternal): kelainan sperma. Sperma yang mengalami translokasi
kromosom apabila berhasil menembus zona pellusida dari ovum akan
menghasilkan zigot yang memiliki material kromosom yang tidak normal sehingga
dapat menyebabkan keguguran (Prawirohardjo, 2008).

4.3.3 Epidemiologi
Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun terjadi 2 juta kasus. Ini artinya
terdapat 43 kasus abortus per 100 kelahiran hidup. Menurut sensus penduduk tahun
2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15-49 tahun, dan dari jumlah tersebut
terdapat 23 kasus abortus per 100 kelahiran hidup (Utomo, 2001).
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan
kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih
jauh, abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka
chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi
(Prawirohardjo, 2008).
WHO memperkirakan di seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun terdapat
20 juta kejadian abortus. Sekitar 13% dari jumlah total kematian ibu di seluruh dunia
diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya meninggal karena
komplikasi abortus dan sekurangnya 95% (19 dari setiap 20 abortus) di antaranya
terjadi di negara berkembang (Dwilaksana, 2010).
4.3.4 Klasifikasi
1. Abortus spontan

Abortus

yang

terjadi

tanpa

tindakan

mekanis

atau

medis

untuk

mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain
yang luas digunakan adalah keguguran (Miscarriage) (Sastrawinata et al., 2005).
2. Abortus imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20
minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi
serviks. Abortus iminens didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada
20 minggu mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut
beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri perut bawah
atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Polip serviks, ulserasi vagina,
karsinoma serviks, kehamilan ektopik, dan kelainan trofoblast harus dibedakan dari
abortus iminens karena dapat memberikan perdarahan pada vagina. Pemeriksaan
spekulum dapat membedakan polip, ulserasi vagina atau karsinoma serviks,
sedangkan kelainan lain membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi (Sastrawinata
et al., 2005).
3. Abortus insipiens (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam
uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan
bertambah. Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan
perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri
karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks sehingga jari
pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan
dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat
menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan. Janin biasanya
sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan
kontraindikasi (Sastrawinata et al., 2005).
4. Abortus inkomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis
servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau sudah
menonjol dari ostium uteri eksternum. Abortus inkomplet didiagnosis apabila
sebagian dari hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian
tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung,
banyak, dan membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada
benda di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus alienum). Oleh
karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi

sehingga ibu merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika
hasil konsepsi lahir dengan lengkap, maka disebut abortus komplet. Pada keadaan
ini kuretase tidak perlu dilakukan (Sastrawinata et al., 2005).
5. Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di
keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan
lengkap. Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim
dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama
sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai.
Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih
ada perdarahan juga, abortus inkompletus atau endometritis pasca abortus harus
dipikirkan (Sastrawinata et al., 2005).
6. Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan
di dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih (Prawirohardjo,
2007). Pada abortus tertunda akan dijumpai amenorea, yaitu perdarahan sedikitsedikit yang berulang pada permulaannya, serta selama observasi fundus tidak
bertambah tinggi, malahan tambah rendah. Pada pemeriksaan dalam, serviks
tertutup dan ada darah sedikit (Sastrawinata et al., 2005).
7. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)
Abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut- turut, yang
disebabkan oleh anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu hamil,
dan kelainan struktural uterus merupakan penyebab langsung pada abortus
habitualis (Jauniaux et al., 2006). Menurut Mochtar (1998), abortus habitualis
merupakan abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih. Etiologi abortus ini
adalah kelainan

dari ovum

atau

spermatozoa,

dimana sekiranya

terjadi

pembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi tiroid, kesalahan korpus
luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan
progesteron sesudah korpus luteum atropi juga merupakan etiologi dari abortus
habitualis (Sastrawinata et al., 2005).
8. Abortus Septik (Septic abortion)
Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran
kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Hal ini sering
ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan, terutama yang kriminalis

tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Bakteri yang dapat


menyebabkan abortus septik adalah seperti Escherichia coli, Enterobacter
aerogenes, Proteus vulgaris, Hemolytic streptococci dan Staphylococci (Mochtar,
1998; Dulay, 2010).
4.4. Penegakan Diagnosis
4.4.1 Anamnesis
Anamnesa merupakan suatu cara penegakan diagnosis yang dilakukan
pertama kali. Di mana anamnesa yang baik dan benar dapat mengarahkan
diagnosis. Anamnesa pada kasus obstetri dan ginekologi memiliki prinsip yang sama
dengan anamnesa pada umumnya, yaitu meliputi identitas, keluhan utama, penyakit
saat ini, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat pengobatan, riwayat keluarga, riwayat
sosial. Pada kasus obstetri dan ginekologi, anamnesis dititikberatkan pada riwayat
perkawinan, kehamilan, siklus menstruasi, penyakit yang pernah diderita khususnya
penyakit obstetri dan ginekologi, serta pengobatan, riwayat KB, serta keluhankeluhan seperti perdarahan dari jalan lahir, keputihan (fluor albus), nyeri, maupun
benjolan (Prawirohardjo, 2011). Anamnesa dilakukan untuk mencari etiologi dari
abortus. Dengan anamnesa yang teliti dan menjurus maka akan dikembangkan,
pemikiran mengenai pemeriksan selanjutnya yang dapat memperkuat dugaan kita
pada suatu etiologi yang mendasari terjadinya abortus. Hal ini akan berpengaruh
juga pada rencana terapi yang akan dilakukan sesuai dengan etiologinya (Fransisca,
2007).
Pada anamnesa didapatkan pasien seorang wanita berusia 19 tahun
(tergolong usia reproduktif), 1 kali menikah selama 9 bulan, riwayat kehamilan 1 kali
Pertama kali menstruasi (menarche) pada usia 12 tahun dengan siklus haid pasien
teratur yaitu 28 hari dan lama haid 7 hari. HPHT pasien 23 oktober 2014.
Pasien datang ke Poliklinik Ginekologi RSUD Dr.Saiful Anwar Malang pada
tanggal 24 november

2014

dengan keluhan utama perdarahan dari jalan lahir

seperti menstruasi sejak 5 hari yang lalu. Perdarahan disertai dengan rasa nyeri dari
perut bagian bawah menembus dubur dan menjalar sampai ke paha. Rasa nyeri
terasa hilang timbul, namun menyusahkan pasien untuk melakukan aktivitas seharihari. Pasien pernah jatuh terpeleset dikamar mandi 1 hari yang lalu, kemudian
besoknya perdarahan dan tidak berobat.
Menurut Sastrawinata et al., pada tahun 2005, abortus memiliki manifestasi
klinik sebagai berikut:
-

Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu

Pendarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.

Rasa mulas atau kram perut didaerah atas simfisis, sering disertai nyeri
pinggang akibat kontraksi uterus.
Adanya keluhan perdarahan dari jalan lahir yang mungkin disertai keluarnya

jaringan konsepsi, rasa mulas atau kram perut didaerah atas simfisis, sering disertai
nyeri pingang adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus abortus. Hal tersebut
terjadi karena uterus berkontraksi untuk mengeluarkan jaringan sisa hasil konsepsi
yang gugur yang telah dianggap sebagai benda asing.
Menurut WHO, setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua dari
tiga gejala seperti; (i) perdarahan pervaginam, (ii) nyeri pada abdomen bawah, (iii)
riwayat amenorea, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya abortus. Dari hasil
anamnesa pada pasien, didapatkan memenuhi ketiga gejala tersebut. Oleh karena
itu, kemungkinan terjadinya abortus harus dipikirkan.
4.4.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik untuk penegakan diagnosis abortus menurut Prawirohardjo, 2007
adalah sebagai berikut:

Inspeksi Vulva: Pendarahan pervaginam ada atau tidaknya jaringan hasil


konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.

Inspekulo: Pendarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup
ada atau tidaknya jaringan keluar dari ostium, ada atau tidaknya cairan atau
jaringan berbau busuk dari ostium.

Colok Vagina: Porsio terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan
dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak
nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada peraban adneksa, kavum douglasi
tidak menonjol dan tidak nyeri.
Abortus inkompletus didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah

lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta).
Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan membahayakan ibu. Sering
serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai
benda

asing

(corpus

alienum).

Oleh

karena

itu,

uterus

akan

berusaha

mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri,


namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika hasil konsepsi lahir dengan lengkap,
maka disebut abortus komplet. Pada keadaan ini kuretase tidak perlu dilakukan. Pada
abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan

selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam


masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan
segera menutup kembali. Apabila 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga,
abortus inkompletus atau endometritis pasca abortus harus dipikirkan (Sastrawinata et
al., 2005).

Gambar 4.1 Tabel kriteria diagnosis abortus (WHO, 2013)


Pada pemeriksaan didapatkan pasien dalam keadaan baik, status generalis
dalam batas normal. Tidak ada anemia maupun ikterus. Kondisi jantung maupun paru
juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen terlihat membesar, namun
bising usus terdengar normal dan tidak ada shifting dullness. Inspeksi pada genitalia
eksterna terlihat darah keluar minimal tanpa disertai fluor. Kemudian dilakukan
pembukaan dengan spekulum tampak adanya portio nullipara terbuka kurang lebih 1
jari, licin, tampak adanya perdarahan minimal dan jaringan. Pemeriksaan kemudian
dilanjutkan dengan melakukan vaginal touch tidak didapatkan kelainan dan corpus
uteri retroflexi, dindingnya dalam batas normal. Dalam corpus uteri teraba adanya
jaringan. Pada pemeriksaan adnexa perimetrium dextra dan sinistra tidak didapatkan
massa ataupun nyeri.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
perdarahan minimal benar keluar dari jalan lahir disertai dengan jaringan dengan
kondisi portio terbuka.
4.4.3 Pemeriksan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk konfirmasi anamnesa dan
pemeriksaan fisik pada kasus abortus adalah:

Pemeriksan laboratorium darah lengkap, hematokrit, golongan darah, serta reaksi


silang analisis gas darah, kultur darah, teresistensi.

Tes kehamilan: positif jika janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus.

Pemeriksan dopler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.

Pemeriksan kadar fibrinogen darah pada missed abortion (Fransisca, 2007)

4.4.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan keluar darah dan flek dari jalan
lahir sejak 11 hari yang lalu. Kemudian didapatkan riwayat jatuh terpeleset satu hari
sebelum masuk rumah sakit dan keluar darah bergumpal. Didapatkan pula tandatanda hamil muda pada pasien seperti terlambat haid.
Pada pemeriksaan fisik inspekulo didapatkan fluxus + minimal, portio nullipara,
licin, terbuka 1 jari dan tampak jaringan keluar dari OUE. Pada pemeriksaan VT
didapatkan fluxus + minimal, portio nullipara, licin dan teraba jaringan keluar dari OUE.
Kemudian didapatkan CURF 6-8 minggu. Sedangkan dari pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan didapatkan tes kehamilan (+).
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien memenuhi kriteria
diagnostik abortus inkomplit.

4.4.5 Komplikasi Abortus


Komplikasi yang berbahaya pada abortus menurut Saifuddin et.al (2004)
adalah:
a

Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jka perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena perdarahan
dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam

posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan teliti.
Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas
dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi
uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan
gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan
kandung kemih atau usus. Degan adanya dugaan atau kepastian terjadinya
perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cidera,
untuk selanjutnya mengambil tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, lebih

sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis.


Umumnya pada abortus infeksius infeksi terbatas pada desidua.
Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan

karena infeksi berat (syok endoseptik)


4.4.6 Penatalaksanaan dan Perawatan Abortus
Menurut WHO tahun 2013, penatalaksaan dan perawatan pertama kali pada
kasus abortus adalah sebagai berikut:

Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tandatanda vital (nadi, tekanan darah, pernafasan, suhu)
-

Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik < 90
mmHg).

Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi


berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
-

Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 gram diberikan setiap 6 jam


Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam

Segera rujuk ibu ke rumah sakit

Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan
konseling kontrasepsi pasca keguguran.

Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.


Pada keadaan abortus kompletus dimana seluruh hasil konsepsi dikeluarkan

(desidua dan fetus), sehingga rongga rahim kosong, terapi yang diberikan hanya
uterotonika. Untuk abortus tertunda, obat diberi dengan maksud agar terjadi his
sehingga fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil, dilatasi dan
kuretase dilakukan. Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus habitualis
lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya.
Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Pada serviks
inkompeten, terapinya adalah operasi (Mochtar, 2007).
Pada abortus inkomplet, bila ada tanda-tanda syok maka diatasi dulu dengan
pemberian cairan dan transfusi darah. Kemudian, jaringan dikeluarkan secepat
mungkin dengan metode digital dan kuretase. Setelah itu, beri obat-obat uterotonika
dan antibiotika (Mochtar, 2007). Pada pasien ini, dilakukan pengeluaran jaringan
dengan cunam abortus dan curetase biasa dan berhasil dikeluarkan jaringan plasenta
sebanyak kira-kira 10 gram dengan jumlah perdarahan selama kuretase sekitar 10 cc.
Kemudian diberikan methergin tab 0,125mg 2 x 1 dan amoxicillin tab 500mg 3x1.
Kemudian dilakukan KIE bahwa abortus spontan merupakan hal yang biasa
terjadi sekitar 1 dari 7 kehamilan. Ibu bisa hamil lagi jika kondisi sudah benar-benar
pulih (Saifuddin, 2010).
4.4.7 Prognosis
Prognosis pada kasus ini adalah mengarah ke baik (dubia ad bonam) karena
dengan kuretase berhasil mengeluarkan semua sisa jaringan sehingga resiko
perdarahan menjadi sangat minimal, setelah observasi dua jam pasca kuretase tidak
didapatkan keluhan dan keadaan umum pasien stabil. Selain itu pada pasien ini tidak
didapatkan adanya penyulit atau komplikasi yang berbahaya misalnya perdarahan,
perforasi, infeksi dan syok.

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan .
2. Faktor predisposisi terjadinya abortus yaitu faktor maternal, riwayat obstetri yang
kurang baik, riwayat infertilitas, adanya kelainan atau penyakit yang menyertai
kehamilan, berbagai macam infeksi, paparan dengan berbagai macam zat kimia,
trauma abdomen/pelvis pada trimester pertama, kelainan pertumbuhan hasil
konsepsi, kelainan pada plasenta, kelainan traktus genetalia seperti inkompetensi
serviks.
3. Patofisiologi terjadinya abortus yaitu berawal dari perdarahan desidua basalis, diikuti
nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap
benda asing dalam uterus dan uterus berkontraksi.
4. Manifestasi klinik abortus yaitu terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu,
keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau
menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau
meningkat, perdarahan pervaginam, rasa mulas atau kram perut di daerah atas
simfisis.
5. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu tes kehamilan, pemeriksaan Doppler
atau USG, pemeriksaan kadar fibrinogen darah.
6. Berdasarkan keadaan janin yang sudah dikeluarkan, abortus dibagi atas abortus
imminens, abortus insipiens, abortus inkomplit, abortus komplit, missed abortion,
abortus terapeutik dan abortus septik.
7. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari abortus adalah perdarahan, perforasi, syok,
infeksi dan kelainan pembekuan darah.
8. Penatalaksanaan pasca abortus adalah curetase, uterotonika dan antibiotik.
5.2 Saran
1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya
pencegahan

terjadinya

abortus

meliputi

infeksi

kelainan

hormonal

seperti

hipotiroidisme, diabetes melitus, malnutrisi, penggunaan obat-obatan, merokok,


konsumsi alkohol, dan faktor imunologis.
2. Pentingya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang mengalami
abortus untuk menjalani pengobatan yang tepat.

3. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya monitoring


berkala pada kasus abortus untuk perencanaan tatalaksana dan tindakan
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, Macdonald. 2010. William Obstetrics 23th edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Fransisca S,K. 2007. Aborsi/abortus. Probolinggo: Universitas Wijaya Kusuma
Guyton, AC, Hall, JE. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th Edition. Elsevier Inc.
Martini, FH. 2006. Fundamental of Anatomy and Physiology. Pearson Education Inc.
Mochtar R. 2007. Abortus dan kelainan dalam kehamilan. Dalam : Sinopsis Obstetri. Edisi
kedua. Editor : Lutan D. Jakarta: EGC.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Edisi 2. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo,S. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul bari. 2004. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Sastrawinata, Sulaeman. 2008. Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung
Shien, Butler, Lewis. 1999. Holes Human Anatomy and Physiology, 8th Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Standring, S. 2008. Grays Anatomy 40th Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone
WHO. 2013. Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Edisi 1.
Jakarta, Indonesia.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo.

Anda mungkin juga menyukai