Anda di halaman 1dari 16

BAB IGubernur

DKI Sutiyoso menyatakan akan menggunakan sistem polder untuk


menanggulangi banjir di Jakarta, khususnya untuk 40% wilayah Jakarta yang katanya berada
di bawah permukaan laut. Sistem polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan
tim (dengan banjir kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon terhadap
banjir besar yang melanda Batavia tahun 1918. Sayangnya rencana yang bagus ini belum bisa
terealisasi sepenuhnya hingga saat ini. Di Jakarta sendiri sistem polder ini sebenarnya sudah
diterapkan di kawasan perumahan elit di tepi laut Jakarta Utara.
Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis artifisial
yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike). Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air
hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada
polder yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal
yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan
tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, dan bisa juga berupa konstruksi beton dan
perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direkalamasi. Sistem
polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, dan juga pada manajemen
air buangan (air kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan
sungai.
Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di
bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin pompa,
kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain yang lebih
tinggi. Bicara tentang banjir kita perlu banyak belajar dari negara ini yang sudah kenyang
bergulat memerangi banjir sejak abad ke-17 karena morfologi alamnya sebagian besar yang
berupa rawa dan dataran rendah. Di negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut
melalui gelombang pasang dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel,
Maar, dan Rijn akibat mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder
dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah
delta dan daerah aliran sungai.
Di negara ini, rencana penanganan banjir ditetapkan pada level nasional, provinsi, dan
kotapraja. Terdapat Badan Manajemen Air yang sejajar dengan pemerintahan lokal dan
berperan khusus dalam perencanaan, manajemen aktivitas yang berkait dengan air, juga
upaya mitigasi bencana banjir. Upaya penanganan banjir juga melibatkan masalah
penyediaan perumahan, tempat kerja, suplai air minum, pertanian, lingkungan ekologis,
galian mineral, bahkan pariwisata dan rekreasi. Sungai Rijn (Rheine) yang menyebabkan
banjir adalah lintasan jalur wisata perahu pesiar yang bermula di Swis, melewati Jerman, dan
berakhir di Belanda.
Berkaitan dengan aspek ruang, bermacam kemungkinan terjadinya banjir (ketinggian, daerah
tergenang) dari beragam periode ulang (return period) dikaji untuk menentukan sistem
pengaliran air dan batas polder. Ada beberapa daerah di sekitar badan sungai yang memang
disiapkan untuk digenangi ketika banjir besar (periode yang lebih lama) melanda. Daerah ini
biasanya dimanfaatkan untuk fungsi pertanian atau daerah hijau. Ketentuan sempadan sungai
dan tanggul juga diterapkan untuk menjamin tidak ada bangunan pada daerah tersebut.
Kontrol pada pemanfaatan lahan agar sesuai dengan peruntukannya amatlah ketat, dimulai
dari kelayakan pada saat perijinan, pengawasan rutin, hingga penggunaan foto udara
kawasan. Selain ditunjang sumberdaya manusia, teknologi, dan finansial, upaya penegakan
hukum dan peraturan merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan banjir di
negara ini.

Untuk menerapkan sistem polder di Jakarta, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat mungkin, paling tidak
sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar.
Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa berupa
taman ataupun jalan. Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang
seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga harus benar-benar
dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk menghabiskan anggaran pemerintah.
Kedua, ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari laut juga perlu
diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal
banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup
sewaktu-waktu.
Ketiga, sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai, serta
kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah polder. Aspek perawatan (sumber
daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan
anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana publik
ketimbang merawatnya.
Keempat, resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah resapan mikro seperti
taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi
buangan air hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Disini, peran
arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan sebagian
lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan sumur resapan. Daerah
resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru
kota tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam
tanah.
Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang konsekuensinya jelas
adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk pembebasan tanah,
pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesin-mesin dan peralatan.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non-struktural yang berkaitan dengan
pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti tidak membuang sampah di saluran
air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grass-block dan pavingblock yang permeabel, atau bahkan bagaimana bersikap ketika banjir datang akan jauh lebih
berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat banjir yang bisa datang
setiap tahun.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bencana banjir merupakan permasalahan umum terutama di daerah padat penduduk
pada kawasan perkotaan, daerah tepi pantai atau pesisir dan daerah cekungan. Masalah banjir
bukanlah masalah baru bagi Kota Solo, tetapi merupakan masalah besar karena sudah terjadi
sejak lama dan pada beberapa tahun terakhir ini mulai merambah ke tengah kota. Hal tersebut
di atas terjadi dikarenakan adanya faktor alamiah dan perilaku masyarakat terhadap alam dan
lingkungan.

Sementara itu proses terjadinya banjir sendiri pada dasarnya dikarenakan oleh faktor
antroposentrik, faktor alam dan faktor teknis. Faktor antroposentrik adalah aktivitas dan
perilaku manusia yang lebih cenderung mengakibatkan luasan banjir semakin meningkat.
Sedangkan pembangunan ke arah pantai dengan reklamasi menyebabkan luasan rawa
menjadi berkurang sehingga mengakibatkan luasan tampungan air sementara juga berkurang.
1.2. Tujuan
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Menjelaskan definisi dan teori terjadinya banjir.


Mengetahui penyebab terjadinya banjir.
Memahami cara menanggulangi banjir dengan sistem polder.
Memahami cara menanggulangi banjir dengan sistem-sistem lainnya.
Menjelaskan solusi persoalan banjir.
Mengetahui cara antisipasi bencana banjir.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Banjir
a. Pengertian Banjir
Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam
daratan. Dalam arti "air mengalir", kata ini juga dapat berarti masuknya pasang laut. Banjir
diakibatkan oleh meningkatnya volume air di sungai atau danau sehingga air keluar dari
bendungan atau batas alaminya. Banjir umumnya terjadi karena saluran air yang ada tidak
mampu menampung limpahan air, pada daerah yang relatif datar dan dekat daerah aliran
sungai (DAS). Gelombang banjir berjalan kearah hilir sistem sungai yang berinteraksi dengan
kenaikan muka air dimuara akibat badai.
b. Teori Terjadinya Banjir
Banjir adalah air yang melimpas dari badan air seperti selokan, saluran, drainase,
sungai, situ atau danau, dan menggenangi bantaran serta kawasan sekitarnya (Siswoko,
2002). Definisi lain menyebutkan bahwa banjir merupakan keadaan aliran air dan atau elevasi
muka air dalam sungai atau kali atau kanal yang lebih besar atau lebih tinggi dari normal.
Banjir menimbulkan masalah dan menjadi bencana akibat banjir dapat terjadi karena faktor
alam dan faktor manusia. Faktor alam yang dimaksud adalah hujan dan pengaruh air pasang
(rob), sedangkan faktor manusia adalah pengaruh perilaku dan perlakuan masyarakat
terhadap alam serta lingkungannya yang antara lain mengakibatkan perubahan pada tata guna
lahan. Perubahan penggunaan lahan, dapat memberi dampak pada aliran permukaan (run-off).
Air hujan yang jatuh ke bumi, menurut Kodotie dan Sjarief (2006: 165-166), akan
mengalami dua hal : meresap ke dalam tanah; atau menjadi aliran permukaan di atas tanah.

Kecepatan aliran permukaan berkisar antara 0,1 m/s 1 m/s, tergantung pada kemiringan
lahan aliran dan penutup lahan. Kecepatan air yang meresap ke dalam tanah tergantung pada
jenis tanah. Pada lahan dari jenis tanah lempung (clay), kecepatan aliran atau resapan di
dalam tanah sangat kecil. Pada tanah jenis pasir kecepatan aliran atau resapan lebih besar dari
tanah lempung.
2.2. Penyebab Terjadinya Bencana Banjir
Apabila diklasifikasikan berdasarkan asalnya, penyebab banjir dapat dibagi menjadi 2
macam, yaitu: banjir akibat tindakan manusia dan akibat kejadian alam. Berikut ini beberapa
penyebab banjir akibat tindakan manusia.
Perubahan tata guna lahan (land-use).
Pembuangan sampah
Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase
Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat.
Penurunan tanah dan rob
Tidak berfungsinya sistem drainase lahan
Bendung dan bangunan air
Kerusakan bangunan pengendai banjir

Kemudian yang termasuk sebab sebab alami diantaranya adalah :


Erosi dan Sedimentasi
Curah Hujan
Pengaruh fisiografi/geofisik sungai
Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
Pengaruh air pasang
Penurunan tanah dan rob
Drainase lahan
Bencana banjir dapat diakibatkan oleh faktor alam dan juga disebabkan karena ulah
manusia itu sendiri. Hal ini dapat dilihat seperti permalahan bencana banjir akibat luapan
Sungai Citarum di wilayah Kabupaten Bandung yang disebabkan oleh curah hujan yang
tinggi dalam beberapa hari sehingga membuat air dalam sungai meluap. Selain itu hal ini juga
tidak lepas dari terjadinya penyempitan kali yang disebabkan bangunan di bantaran kali
memberi kontribusi penyebab banjir.
Banjir terjadi juga dapat terjadi karena air limpasan macet. Macetnya air limpasan
terjadi karena kapasitas air limpasan melebihi saluran yang dapat menampungnya dan
kecepatan mengalirnya air di saluran tidak lebih cepat dari curah hujan. Dalam istilah teknik
ini yang disebut Debit Air. Debit air adalah volume air yang mengalir per satuan waktu,
dengan satuannya m3/detik. Macetnya air limpasan bisa terjadi karena debit air hujan > debit
air di saluran. Volume air hujan per detik lebih banyak daripada volume air per detik yang
dapat dialirkan lewat saluran. Oleh karena itu air meluap dari saluran ke jalan, bahkan bila
luapannya terlalu tinggi air akan masuk ke pemukiman. Dan air limpasan ini pada akhirnya
mengalir ke sungai. Luapan sungai Ciliwung (untuk kasus Jakarta) sudah pasti
mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai.
Selain itu penyebab air adalah semakin minim resapan air, karena semakin hari
semakin banyak pembangunan terutama di Kota-kota besar. Pembangunanpembangunan
seperti Gedung, mall, pemukiman, bahkan jalan-jalan di kampung yang diubah menjadi beton
akan mengurangi resapan air. Daerah rawa yang tadinya berfungsi sebagai daerah resapan air
diubah menjadi pemukiman beton. Karena itu tidak heran banjir di Kota Besar semakin tahun

akan makin parah, karena resapan air makin tahun makin berkurang, yang menjadikan ini
sebagai dampak negatif dari pembangunan. Oleh karena itu penting untuk memahami hal ini
sebelum menyusun solusi untuk mengatasi banjir.
Banjir bandang seperti di Daerah Wasior Propinsi Papua dapat terjadi sebagai akibat
dari rusaknya ekologis, yang didalamnya akibat pembabatan hutan, legal maupun illegal.
Banjir memang dipicu oleh hujan. Sekalipun tanpa hujan, banjir bandang ini bisa saja terjadi
akibat jebolnya DAM atau bendungan yang menahan genangan air. Hal yang kadang kurang
luput dari pengamatan kita berkaitan dengan hak perlindungan dan keselamatan adalah early
warning atau peringatan dini. Sebagai upaya kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana.
Selain juga, pengetahuan tentang ancaman bencana yang ada, kemampuan meminimalisasi
risiko dan kesiapan menghadapi kondisi kritis (emergency).
Banjir yang kerap melanda berbagai wilayah di Indonesia juga dapat disebabkan
karena sistem drainasi di wilayah tersebut yang buruk. Serta perkembangan pemukiman yang
tidak terkendali di daerah sekitar aliran sungan yang menyebabkan meningkatnya volume
sampah yang dibuang ke badan sungai.
Penyebab dari bencana banjir baik yang disebabkan alam dan ulah manusia
sebenarnya memperlihatkan bahwa kurangnya kesadaran manusia itu sendiri akan pentingnya
menjaga lingkungan.
2.3. Menanggulangi Banjir dengan Sistem Polder
a. Pengertian Sistem Polder
Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis
artifisial yang dikelilingi oleh tanggul. Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air
hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada
polder yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal
yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan
tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, bisa juga berupa konstruksi beton dan
perkerasan yang canggih.
Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direkalamasi. Sistem polder banyak
diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, dan juga pada manajemen air buangan (air
kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai.
Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan kelengkapan bangunan
sarana fisik, yang meliputi saluran drainase, kolam retensi, pompa air, yang dikendalikan
sebagai satu kesatuan pengelolaan. Dengan sistem polder, maka lokasi rawan banjir akan
dibatasi dengan jelas, sehingga elevasi muka air, debit dan volume air yang harus dikeluarkan
dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena itu, sistem polder disebut juga sebagai sistem
drainase yang terkendali.
b. Sejarah Sistem Polder
Sistem polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan tim (dengan banjir
kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon terhadap banjir besar yang
melanda Batavia tahun 1918. Namun sayangnya rencana yang bagus ini belum bisa
terealisasi sepenuhnya hingga saat ini. Di Jakarta sendiri sistem polder ini sebenarnya sudah
diterapkan di kawasan perumahan elit di tepi laut Jakarta Utara.
Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya
berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya
mesin pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain
yang lebih tinggi. Bicara tentang banjir kita perlu banyak belajar dari negara ini yang sudah

kenyang bergulat memerangi banjir sejak abad ke-17 karena morfologi alamnya sebagian
besar yang berupa rawa dan dataran rendah.
Di negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut melalui gelombang pasang
dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat
mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder dipakai untuk
mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah
aliran sungai. Di negara ini, rencana penanganan banjir ditetapkan pada level nasional,
provinsi, dan kotapraja. Terdapat Badan Manajemen Air yang sejajar dengan pemerintahan
lokal dan berperan khusus dalam perencanaan, manajemen aktivitas yang berkait dengan air,
juga upaya mitigasi bencana banjir. Upaya penanganan banjir juga melibatkan masalah
penyediaan perumahan, tempat kerja, suplai air minum, pertanian, lingkungan ekologis,
galian mineral, bahkan pariwisata dan rekreasi. Sungai Rijn (Rheine) yang menyebabkan
banjir adalah lintasan jalur wisata perahu pesiar yang bermula di Swis, melewati Jerman, dan
berakhir di Belanda.
Berkaitan dengan aspek ruang, bermacam kemungkinan terjadinya banjir (ketinggian,
daerah tergenang) dari beragam periode ulang (return period) dikaji untuk menentukan
sistem pengaliran air dan batas polder. Ada beberapa daerah di sekitar badan sungai yang
memang disiapkan untuk digenangi ketika banjir besar (periode yang lebih lama) melanda.
Daerah ini biasanya dimanfaatkan untuk fungsi pertanian atau daerah hijau. Ketentuan
sempadan sungai dan tanggul juga diterapkan untuk menjamin tidak ada bangunan pada
daerah tersebut. Kontrol pada pemanfaatan lahan agar sesuai dengan peruntukannya amatlah
ketat, dimulai dari kelayakan pada saat perijinan, pengawasan rutin, hingga penggunaan foto
udara kawasan. Selain ditunjang sumberdaya manusia, teknologi, dan finansial, upaya
penegakan hukum dan peraturan merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan
banjir di negara ini.
Untuk menerapkan sistem polder di Jakarta, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat mungkin, paling tidak
sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar.
Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa berupa
taman ataupun jalan. Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang
seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga harus benar-benar
dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk menghabiskan anggaran pemerintah.
Kedua, ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari laut juga perlu
diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal
banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup
sewaktu-waktu.
Ketiga, sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai, serta
kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah polder. Aspek perawatan (sumber
daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan
anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana publik
ketimbang merawatnya.
Keempat, resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah resapan mikro seperti
taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi
buangan air hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Disini, peran
arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan sebagian
lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan sumur resapan. Daerah
resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru
kota tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam
tanah. Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang
konsekuensinya jelas adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk

pembebasan tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesinmesin dan peralatan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non-struktural yang
berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti tidak membuang
sampah di saluran air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grassblock dan paving-block yang permeabel, atau bahkan bagaimana bersikap ketika banjir
datang akan jauh lebih berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat
banjir yang bisa datang setiap tahun.
c. Konsep
1) Konsep Sistem Polder
a) Tanggul
Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air atau
daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada elevasi di sekitar kawasan
tersebut, yang bertujuan untuk melindungi kawasan tersebut dari limpasan air yang berasal
dari luar kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air merupakan daerah yang
memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Jenis jenis tanggul, antara lain :
tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul beton dan tanggul infrastruktur.
Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara alamiah dari bentukan
tanah dengan sendirinya. Contohnya bantaran sungai di pinggiran sungai secara memanjang.
Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan menimbun tanah atau material
lainnya, di pinggiran wilayah. Contohnya tanggul timbunan batuan di sepanjang pinggiran
laut. Tanggul beton merupakan tanggul yang sengaja dibangun dari campuran perkerasan
beton agar berdiri dengan kokoh dan kuat. Contohnya tanggul bendung, dinding penahan
tanah ( DPT ).
Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain dan dibangun secara
kuat dalam periode waktu yang lama dengan perbaikan dan pemeliharaan secara terus
menerus, sehingga seringkali dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misal jalan raya.
b) Kolam Retensi
Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung atau
meresapkan air didalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam.
Kolam retensi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kolam alami dan kolam non alami.
Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa cekungan atau lahan resapan yang sudah
terdapat secara alami dan dapat dimanfaatkan baik pada kondisi aslinya atau dilakukan
penyesuaian. Pada umumnya perencanaan kolam jenis ini memadukan fungsi sebagai kolam
penyimpanan air dan penggunaan oleh masyarakat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Kolam
jenis alami ini selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan, juga dapat meresapkan pada
lahan atau kolam yang pervious, misalnya lapangan sepak bola ( yang tertutup oleh rumput ),
danau alami, seperti yang terdapat di taman rekreasi dan kolam rawa.
Kolam non alami yaitu kolam retensi yang dibuat sengaja didesain dengan bentuk dan
kapasitas tertentu pada lokasi yang telah direncanakan sebelumnya dengan lapisan bahan
material yang kaku, seperti beton. Pada kolam jenis ini air yang masuk ke dalam inlet harus
dapat menampung air sesuai dengan kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat
mengurangi debit banjir puncak (peak flow) pada saat over flow, sehingga kolam berfungsi
sebagai tempat mengurangi debit banjir dikarenakan adanya penambahan waktu kosentrasi
air untuk mengalir dipermukaan.
2) Konsep Pengeringan Polder
a) sistem Pompa

Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk mengeluarkan air
yang sudah terkumpul dalam kolam retensi atau junction jaringan drainase ke luar cakupan
area. Prinsip dasar kerja pompa adalah menghisap air dengan menggunakan sumber tenaga,
baik itu listrik atau diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau sungai/banjir kanal
yang bagian hilirnya akan bermuara di laut. Biasanya pompa digunakan pada suatu daerah
dengan dataran rendah atau keadaan topografi atau kontur yang cukup datar, sehingga
saluran-saluran yang ada tidak mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas
pompa yang disediakan di dalam stasiun pompa harus disesuaikan dengan volume layanan air
yang harus dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga listrik, disebut dengan pompa
jenis sentrifugal, sedangkan pompa yang menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar
solar adalah pompa submersible.
Perencanaan pompa harus diperhatikan mengenai tinggi tekan pompa dan pengaruh
kehilangan tenaga yang akan mempengaruhi daya pompa yang dibutuhkan. Selain itu
perencanaan kolam retensi memiliki keterikatan dengan pompa yang akan digunakan
semakin besar volum tampungan yang tersedia, semakin kecil kapasitas pompa yang
dibutuhkan dan sebaliknya.
b) Pompa
Pompa Drainase Perkotaan ( Stormwater Pumping ) adalah pompa air yang umum
dipakai untuk membantu mengalirkan aliran dari satu bidang ke bidang lainnya yang lebih
tinggi. Jenis Pompa yang ada dan biasa dipergunakan adalah sebagai berikut :
Poros Tegak ( Vertikal propeiier and mixed flow)
Pompa dalam air ( Submersible vertical dan horizontal )
Centrifugal (horizontal non clog )
Skrup (screw)
Volute or Angle flow ( Vertical)
Secara umum pompa-pompa tersebut adalah pompa yang menggunakan tenaga listrik
tetapi ada juga yang menggunakan diesel.
Pengoperasian pompa pada system folder lebih ditentukan oleh kondisi Muka Air di
waduk/long storage /kolam yang disebabkan oleh hujan atau buangan domestik. Pompa ynag
alirannya dibuang ke Laut akan sedikit berbeda dengan yang dibuang di Kanal. Pompa yang
membuang kelaut tidak terlalu terpengaruh oleh pasang surutnya air laut., tetapi yang
membuang ke kanal umumnya perbedaan tinggi tanggul kanal dapat menjadi kendala.
Beberapa kondisi keduanya adalah sebagai berikut :
1) Pemompaan dari polder ke laut Kondisi muka air di waduk sbb:

Muka Air Rendah (normal) pada kondisi tidak hujan, pompa diistirahatkan untuk dilakukan
pengecekan ringan, pemberian pelumas, pengecekan kelancaran arus listrik dari sumber dan
panel.
Muka Air naik karena buangan air domestik masuk biasanya waktu pagi dan sore hari.
Pompa dioperasikan sampai muka air di waduk kembali normal.
Terjadi hujan ringan pompa dioperasikan jika tinggi muka air terjadi kenaikan.
Terjadi hujan lebat diarea folder otomatis tinggi muka air akan naik maka poma harus
dioperasikan secara maksimal untuk mengembalikan kondisi tinggi muka air menjadi normal
kembali.
Untuk menjaga agar supaya pompa tidak memompa sampai kering dan akan merusak baling
baling (propeller) rusak maka harus ditentukan batas tinggi muka air terendah. Tinggi muka
air terendah ini berada beberapa centimeter diatas mulut bawah pompa.
Tinggi muka air normal berada pada level tinggi muka air tanah. Sekalipun waduk dibuat
dalam maka setelah dipompa muka air akan kembali ke level normal lagi. Volume waduk

yang operasional untuk musim kemarau dimulai dari muka air normal sampai muka air
maksimal. Untuk musim hujan volume waduk operasioanal mulai darimuka air terendah
mulut pompa sebab volume tampungan dibutuhkan lenbih besar sesuai bsarnya debit yang
masuk lewat inlet.
2) Pemompaan ke kanal Pemompaan ke badan air berupa kanal atau sungai prosedurnya sama
denagan ke laut. Hanya saja terkadang untuk meletakkan pompa terkendala oleh adanya
tanggul. Apalagi kalau diameter pompanya besar dapat mengganggu lalu lintas diatasnya jika
pompa harus diletakkan diatas tanggul.
c) Pemeliharaan Pompa
Gedung instalasi sekalipun dibangun dengan konstruksi beton bertulang tetap harus
dipelihara agar jangan terkesan angker dan kumuh untuk itu secara rutin petugas harus
menjaga kebersihan lingkungan Instalasi.
Secara berkala gedung harus dicat agar dari segi estatika indah nyaman untuk dijadikan
sarana rekreasi bila perlu.
Sewaktu Pompa tidak dioperasikan periksa kellengkapa saringan sampah dibagian depan
pompa. Terutama dari sampah- sampah plastik yang dapat merusak poros dan propeller
pompa.
Untuk waduk yang ditumbuhi oleh gulma seperti eceng gondok., bila perlu ajak pihak swasta
untuk memanfaatkan eceng gondok menjadi komoditi yang berguna seperti pembuatan tas,
tikat serta mungkin dapat diolah menjadi gas bio.
Periksa secara rutin panel operasi jangan sampai ada kabel yang putus karena termakan usia
arau oleh binatang pengerat seperti tikus dll.
Perhatikan engsel-engsel pintu instalasi agar jangan sampai kering . Sebab semua petugas
operasional pompa harus tetap siaga menjaga kemungkinan terjadi banjir dadakan
Sistem polder (non gravitasi) adalah suatu sistem dimana kawasan tersebut diisolasi
terhadap pengaruh muka air banjir/muka air laut pasang yang ada di luar kawasan reklamasi
dan juga elevasi muka air banjir yang terjadi akibat hujan lokal yang turun di dalam kawasan
tersebut dapat dikendalikan.
Komponen drainase sistem polder terdiri dari :
Tanggul berfungsi untuk mengisolasi kawasan tersebut terhadap limpasan/bocoran dari luar
sistem, seperti banjir dan air laut pasang.
Pintu air berfungsi untuk menahan air banjir/air laut pasang dari luar sistem agar tidak masuk
ke kolam retensi/saluran dan untuk menyalurkan debit banjir keluar sistem pada saat terjadi
kerusakan pompa dan muka air di luar sistem lebih rendah dari muka air di dalam system.
Pompa air berfungsi untuk menyalurkan debit banjir ke luar sistem pada saat terjadi hujan.
Kolam retensi berfungsi untuk menampung debit banjir pada saat terjadi hujan.
Jaringan saluran drainase berfungsi untuk menyalurkan debit banjir dari seluruh sistem ke
kolam retensi/stasiun pompa.
Contoh polder:
Tanah yang direklamasi dari badan air misalnya danau yang dikeringkan dan dijadikan
kawasan tertentu.
Dataran banjir yang dipisahkan dari laut atau sungai menggunakan tanggul, rawa yang
dikelilingi air yang kemudian dikeringkan.
Tanah dasar berupa rawa yang dikeringkan akan surut seiring berjalannya waktu,
namun seluruh polder akan dengan cepat berada dibawah muka air di sekitarnya bila terjadi
kenaikan muka air, misalnya ketika pasang atau banjir. Air di sekitar polder akan mulai

meresap perlahan ke bawah tanggul dan keluar ke permukaan di dalam lingkungan polder
melalui aliran air tanah untuk menyeimbangkan air tekanan air, sehingga lama2 polder akan
tergenang. Ini berarti polder mengalami kelebihan air yang harus dipompa keluar atau
dikeringkan dengan membuka pintu air pada saat muka air laut surut. Namun, pengaturan
muka air dalam tanah tidak boleh terlalu rendah. Tanah polder yang terdiri dari peat / tanah
turf(bekas rawa) akan memperlihatkan percepatan pemampatan akibat dekoposisi tanah turf
pada saat kondisi kering.
d. Manfaat Sistem Polder
Polder senantiasa berada pada bahaya banjir, dan tanggul yang mengelilinginya harus
dijaga. Tanggul-tanggul tersebut biasanya dibangun dengan material yang tersedia di daerah
tersebut. Tanggul dari pasir rawan runtuh akibat oversaturation (tanah terlampau jenuh air),
sementara tanah peat kering malah lebih ringan daripada air sehingga berpotensi tidak stabil
pada musim kering. Beberapa jenis binatang dapat menggali dan membuat terowongan dan
sarang pada struktur tanggul. Polder seringkali diketemukan di delta sungai dan daerah tepi
pantai, walaupun tidak selalu ada.
Sistem ini dipakai untuk daerah-daerah rendah dan daerah yang berupa cekungan,
ketika air tidak dapat mengalir secara gravitasi. Agar daerah ini tidak tergenang, maka dibuat
saluran yang mengelilingi cekungan. Air yang tertangkap dalam daerah cekungan itu sendiri
ditampung di dalam suatu waduk, dan selanjutnya dipompa ke kolam tampungan.
Polder adalah suatu kawasan yang didesain sedemikian rupa dan dibatasi dengan
tanggul sehingga limpasan air yang berasal dari luar kawasan tidak dapat masuk. Dengan
demikian hanya aliran permukaan atau kelebihan air yang berasal dari kawasan itu sendiri
yang akan dikelola oleh sistem polder. Di dalam polder tidak ada aliran permukaan bebas
seperti pada daerah tangkapan air alamiah, akan tetapi dilengkapi dengan bangunan
pengendali pada pembuangannya dengan penguras atau pompa yang berfungsi
mengendalikan kelebihan air. Muka air di dalam sistem polder tidak bergantung pada
permukaan air di daerah sekitarnya karena polder mempergunakan tanggul dalam
operasionalnya sehingga air dari luar kawasan tidak dapat masuk ke dalam sistem polder.
Fungsi utama polder adalah sebagai pengendali muka air di dalam sistem polder
tersebut. Untuk kepentingan permukiman, muka air di dalam Sistem dikendalikan supaya
tidak terjadi banjir/genangan. Air di dalam sistem dikendalikan sedemikian rupa sehingga jika
terdapat kelebihan air yang dapat menyebabkan banjir, maka kelebihan air itu dipompa keluar
sistem polder.
2.4. Menanggulangi Banjir dengan Cara Lainnya
a. Metode Struktur dan Non-struktur Pengendalian Banjir
Upaya pengendalian banjir dapat di bedakan menjadi dua jenis yaitu : Upaya
berwujud fisik atau metode struktur (structural measures) dan upaya non-fisik atau metode
non-struktural (non-structural measures).
Metode struktur adalah kegiatan penanggulangan banjir yang antara lain meliputi
kegiatan perbaikan sungai dan pembutan tanggul banjir untuk mengurangi resiko banjir di
sungai, pembuatan saluran (floodway) untuk mengalirkan sebagian atau seluruh air, serta
pengaturan sistem pengaliran untuk mengurangi debit puncak banjir, dengan bangunan
seperti bendungan, dan kolam retensi.
Metode non-struktural adalah metode pengendalian banjir dengan tidak menggunakan
bangunan pengendali banjir. Aktivitas penanganan tanpa bangunan antara lain berupa
pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) untuk mengurangi limpasan air hujan, penanaman
vegetasi untuk mengurangi laju aliran permukaan di DAS, kontrol terhadap pengembangan di

daerah genangan, misalnya dengan peraturan-peraturan penggunaan lahan, sistem peringatan


dini, larangan pembuagan sampah di sungai, serta partisipasi masyarakat.

Gambar 2.2 Pengendalian Banjir Metode Struktur dan Metode Non-Struktur

1) Metode Struktur
a) Pengelolaan Banjir dalam Konteks Tata Ruang Wilayah Sungai

Penanganan banjir merupakan suatu pekerjaan yang kompleks yang tidak dapat
dilakukan secara terpenggal-penggal atau bagian per bagian. Pekerjaan ini menuntut
pendekatan yang integral, karena menyangkut berbagai aspek. Aspek fisik menyangkut
karateristik sungai, tata guna lahan. Serta tingkah laku sosial ekonomi masyarakat di wilayah
itu, yang kesemuanya saling mempengaruhi dan berdampak langsung terhadap tata air.
Dari aspek tata ruang, aliran sungi merupakan bagian atau unsur dari ruang yang perlu
mendapat tempat dan perlakuan yang layak dari masyarakat sebagaimana halnya dengan
jaringan infrastruktur lainnya seperti jalan raya, jaringan drainase, sanitsi, dan jaringan
utilitas lainnya. Perlakuan yang salah terhadap sistem tata air dapat mengakibatkan bencana
seperti munculnya banjir atau bahkan kekeringan.
Dalam konteks tata ruang wilayah sungai (yang juga bisa mencakup kawasan
perkotaan di dalamnya), pengendalian banjir dan pemanfaatan air secara garis besar
dilakukan sebagai berikut:
Bagian Hulu
Fungsinya sebagai penahan (retention) air hujan supaya run off tidak langsung mengalir ke
sungai, tapi masuk sebagian ke dalam tanah, untuk menjadi bagian air tanah.
Bagian Tengah
Fungsinya sebagai penyimpanan air (storage). Air hujan atau air sungai ditahan sementara
untuk menyimpan air pada saat musim hujan, dan dimanfaatkan pada saat musim kemarau,
dan juga sebgai pengisi air tanah.
Pemanfaatan ruang: waduk, situ, empang, balong, kolam, embung, badan sungai, dan
bantaran sungai.
Bagian Hilir
Fungsinya sebagai genangan dan memerlukan pembuangan air (drainage). Genangan air
hujan yang ada di kawasan urban dialirkan melalui saluran drainase ke badan sungai dan
terus ke laut.

b) Program Normalisasi Sungai dan Saluran


Pemerintah melakukan normalisasi sungai adalah untuk menciptakan kondisi sungai
dengan lebar dan kedalaman tertentu sehingga sungai tersebut mampu mengalirkan air
sampai pada tingkat tertentu sehingga tidak terjadi luapan dari sungai tersebut. Kegiatan
normalisasi sungai berupa membersihkan sungai dari endapan lumpur dan memperdalamnya
agar kapasitas sungai dalam menampung air dapat meningkat. Ini dilakukan dengan cara
mengeruk sungai tersebut di titik titik rawan kemacetan aliran air.
Upaya pemulihan lebar sungai merupakan bagian penting dari program normalisasi
sungai. Pelebaran sungai juga meningkatkan kapasitas sungai dalam menampung dan
mengalirkan air ke laut. Dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat karena Jakarta
menjadi tumpuan untuk mendapatkan mata pencaharian, permukiman ilegal dapat ditemukan
dimana-mana. Bantaran sungai menjadi sasaran utama bagi rumah-rumah ilegal ini, karena
dekat dengan sumber air. Semakin banyak rumah yang dibangun di bantaran sungai-sungai
yang melewati Jakarta ini, akan semakin sempit sungai tersebut, dan semakin rendah
kemampuannya untuk menampung air dan semakin tinggi kemungkinan untuk menimbulkan
banjir dan genangan air di sekitar permukiman yang letaknya dekat sungai.
c) Antisipasi Pasang dan Pembuatan Tanggul

Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah banjir yang disebabkan oleh
gelombang pasang laut yang sering disebut sebagai banjir rob. Banjir tersebut tidak saja
disebabkan oleh kenaikan tinggi permukaan air laut akibat pasang surut laut tetapi juga
karena banyak lokasi memang berupa dataran rendah dengan ketinggian di bawah permukaan
laut, sehingga bila terjadi gelombang pasang laut agak besar banjir pun melanda pemukiman
warga. Selain itu, ada tanda-tanda bahwa lokasi-lokasi ini masih terus mengalami penurunan
muka tanah yang disebabkan oleh penyedotan air bawah tanah oleh penduduk untuk
kepentingan rumah tangga sehari-hari dan untuk industri.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun tanggul Rob Muara Angke,
Muara Karang, Pluit, Luar Batang, Cilincing, Marunda dan Martadinata di bagian Pantai
Utara Jakarta pada tahun 2008 dan 2009 untuk melindungi warga dari banjir rob. Tanggul
beton maupun tanggul batu kali yang dibangun panjangnya kurang lebih 3000 meter dengan
ketinggian yang bervariasi antara 1 sampai dengan 3 meter di atas permukaan tanah. Jika
terjadi pasang naik, limpahan air laut akan tertahan tanggul beton dan tidak membanjiri
warga.
d) Pembangunan Pompa
Pembangunan Pompa disini dimaksudkan untuk mengalirkan genangan air ke laut.
Pembangunan pompa ini banyak dilakukan di tempat yang lokasinya berupa daratan rendah
dengan ketinggian di bawah permukaan laut. Selain memasang pompa-pompa yang
berkekuatan besar, juga dibangun sistem polder yang sering mengalami penggenangan air.
Sistem polder adalah suatu cara penangangan banjir dengan bangunan fisik yang
terdiri dari sistem drainase, kolam retensi (penahan), tanggul yang mengelilingi kawasan,
serta pompa dan atau pintu air sebagai satu kesatuan pengelolaan air yang tidak dapat
dipisahkan19. Semua elemen di atas memainkan peran penting dalam melindungi wilayah
dari banjir. Keunggulan sistem polder adalah kemampuannya mengendalikan banjir dan
genangan akibat aliran dari hulu, hujan setempat dan naiknya air laut.
Kunci utama sistem poder adalah tanggul atau waduk. Tanggul berfungsi untuk
menahan air dari luar area, sedangkan waduk berfungsi untuk menampung air baik dari dalam
maupun luar area. Pompa-pompa air berfungsi untuk membuang air dari dalam waduk. Setiap
saat air meninggi dengan cepat pompa akan mengalirkan air ke laut.
2.5. Solusi Persoalan Banjir
Persoalan banjir merupakan persoalan bersama yang harus dilakukan secara tepat dan
baik demi kehidupan yang lebih baik dan nyaman. Solusi persoalan banjir dapat dilakukan
dengan mewujudkan sistem drainase kota yang dapat memberikan alternatif penyelesaian
masalah banjir. Melalui penerapan lubang resapan dengan teknik Biopori ini, dapat dilakukan
konservasi air, sehingga air dapat disimpan di dalam tanah. Diharapkan pada musim kemarau
tidak terjadi kekeringan dan sebaliknya di musim hujan tidak banjir. Lebih jauh lagi, sampah
rumah tangga yang selama ini disia-siakan pengelolaannya dan seringkali menjadi salah satu
penyebab terjadinya banjir besar di kota Jakarta, dapat dikendalikan, bahkan bisa menjadi
kompos sehingga lingkungan akan menjadi lebih hijau, bersih, indah, nyaman dan aman.
Minimnya ruang terbuka hijau, membuat limpahan air hujan langsung terbuang.
Masalah ini dapat diatasi jika setiap bangunan memiliki sumur resapan, sehingga air tidak
melimpah ke sungai dan saluran air, sekaligus juga menjadi cadangan air tanah.
Penghijauan Lingkungan sebagai area resapan air dan paru-paru kota. Selain itu,
ada juga Sewer System yang dilengkapi tanki raksasa. Tanki raksasa itu digunakan sebagai
penampung cadangan guna mengantisipasi debit air yang berlebih. Solusi banjir juga dapat
dilakukan dengan pembangunan waduk dank anal. Serta yang tidak kalah penting adalah
menghargai lingkungan sekitar kita dan juga daerah aliran sungai seperti jangan membuang

1)
2)
3)
4)

(1)
(2)
(3)
(4)

dampah di daerah alisarn sungai. Karena itu penting memiliki rencana strategis dalam
menangani masalah banjir demi mengurangi dan menghindari daerah dari bencana benjir.
Pencegahan Bencana Banjir
Ada dua jenis banjir, yakni banjir daerah hulu dan banjir daerah hilir, yang pencegahan dan
penanggulangannya tentu berbeda. Selama ini pedoman dasar yang dipergunakan untuk
pengelolaan air, yaitu air hujan yang jatuh ke permukaan tanah yang penting dapat dialirkan
menuju saluran, parit, sungai kecil, sungai besar dan seterusnya akhirnya ke laut. Pedoman
ini harus diganti dengan mengusahakan agar air hujan sebanyak mungkin diresapkan ke
dalam tanah dan sedikit mungkin mengalir di permukaan tanah.
Beberapa kesalahan pengelolaan di wilayah hulu yang menyebabkan banjir dan
longsor dikarenakan rendahnya kapasitas permukaan tanah menyerap air hujan. Semua ini
merupakan kontribusi dari:
Penggundulan, penebangan pohon, atau pembalakan liar di wilayah hutan;
Kesalahan pengelolaan pertanian lahan kering.
Tidak ditanaminya daerah kawasan selebar sedikitnya 100 meter kanan-kiri sepanjang sungai
(besar) dengan pohon-pohonan sebagai kawasan hijau.
Di daerah perbatasan antara wilayah hulu dan hilir, konversi lahan pertanian menjadi
kawasan pemukiman, perdagangan, industri, infrastruktur jalan, fasilitas umum, dan lain
sebagainya yang menyebabkan kapasitas resapan area menjadi jauh berkurang.
Untuk wilayah hulu yang terkena banjir, banjir biasanya terjadi karena meluapnya
sungai utama dan jebolnya tanggul sungai yang melewati daerah-daerah tersebut. Daerah
yang terkena banjir meluas mulai dari pinggir sungai atau tanggul yang jebol sampai ke
wilayah tertentu yang posisinya lebih rendah. Banjir yang terjadi di Solo dan Madiun akibat
meluapnya Sungai Bengawan Solo dan jebolnya tanggul sungai merupakan contoh dari kasus
banjir tipe wilayah hulu.
Pencegahan dan penanggulangan banjir untuk wilayah hulu (atas) karena air luapan
sungai utama adalah:
Memperbaiki kondisi daerah aliran sungai di wilayah hulunya sebagai daerah resapan air
yang efektif agar tidak menghasilkan debit air sungai yang sangat besar ketika periode musim
hujan tiba;
Memperbaiki kondisi hutan yang ada di wilayah hulu;
Memperbaiki sistem pertanian lahan kering yang ada di wilayah hulunya;
Menjaga dan memelihara kawasan kanan-kiri sungai selebar 100 meter dan tanggul sungai
sepanjang sungai utama sebagai kawasan hijau pohon-pohonan.

Untuk mengendalikan banjir yang terjadi tipe wilayah hulu agar cepat teratasi jika
datang air luapan dari sungai yang melaluinya, perlu:
(1) Memperkuat tanggul-tanggul sungai agar tidak mudah jebol;
(2) Membuat sistem distribusi pengairan air untuk mengalirkan air banjir tersebut ke daerah lain
tanpa menimbulkan perluasan area banjir;
(3) Meningkatkan kapasitas resapan air di wilayah daerah banjir.
Sedangkan kesalahan pengelolaan wilayah hilir yang menyebabkan banjir di wilayah
hilir (mendekati pantai) adalah;
Tidak ditanaminya kawasan selebar sedikitnya 100 meter kanan-kiri sepanjang sungai;
Penyempitan area aliran sungai, daerah kawasan kanan-kiri sungai, dan bahkan bagian dari
tanggul sungai dan bantaran sungai yang digunakan sebagai permukiman penduduk;
Sistem pengaturan tata air (perkotaan) lambat mengalirkan air yang berasal dari hulu menuju
ke laut;

Sistem drainase bagian hilir (perkotaan) yang tidak efektif dan lambat mengalirkan air ke laut,
seperti saluran terlalu sempit dan sumbatan sampah;
Kurangnya luasan daerah-daerah resapan air di wilayah perkotaan.

(1)
(2)
(3)
(4)

(5)

Penyebab banjir untuk wilayah hilir atau daerah pantai, pengaruh laut terutama
pasang-surut laut dan ketinggian elevasi daratan sangat mempengaruhi. Meskipun air kiriman
melalui sungai besar tertentu dari wilayah hulu tetap sebagai pemicu banjir, namun tanpa air
kiriman itu wilayah hilir pun dapat juga mengalami banjir karena hujan lokal yang intensif
dengan iystem drainase yang buruk serta air yang berasal dari pasang laut. Kasus banjir rob di
wilayah pantai utara Jakarta merupakan contoh dari kasus ini.
Beberapa prinsip atau upaya utama pencegahan banjir untuk tipe wilayah hilir adalah:
Membangun sistem pengairan yang mampu mengalirkan air hujan yang berkumpul di
seluruh wilayah tersebut ke laut secara cepat dan efektif;
Membangun sistem pengairan yang mampu mengalirkan air sungai yang berasal dari wilayah
hulu menuju ke laut;
Meningkatkan kapasitas resapan air di seluruh wilayah hilir;
Mengendalikan atau mengurangi volume air sungai yang berasal dari wilayah hulunya
dengan cara memperbaiki kondisi daerah aliran sungai wilayah hulunya atau sebagai daerah
resapan air yang efektif agar tidak menghasilkan debit sungai yang besar ketika periode
musim hujan tiba;
Menjaga dan memelihara kawasan kanan-kiri sungai selebar sedikitnya 100 meter dan
tanggul sungai sepanjang sungai utama sebagai kawasan hijau pohon-pohonan.
Sedangkan untuk mengendalikan banjir yang terjadi tipe wilayah hilir atau daerah
pantai ketika terjadi banjir adalah membangun tanggul-tanggul penahan ombak untuk
penahan air pasang atau banjir rob, dan membangun sistem pemompaan air untuk memompa
air laut ke laut secara efektif.

o
o
o

2.6. Antisipasi Banjir


Secara filosofis, ada tiga metode penanggulangan banjir, yaitu:
Pertama, memindahkan warga dari daerah rawan banjir. Walau setiap tahun rumahnya
terendam banji tetpi kebanyakan warga tidak mau pindah dan tetap menetap di daerah yang
rawan banjir itu sehingga dapat menyusahkan diri sendiri.
Kedua, memindahkan banjir keluar dari warga. Normalisasi sungai, mengeruk endapan
lumpur, menyodet-nyodet sungai. Faktanya banjir masih terus akrab melanda permukiman
warga.
Ketiga, hidup akrab bersama banjir. Membangun rumah-rumah panggung setinggi di atas
muka air banjir.
Secara normatif, ada dua metode penanggulangan banjir, yaitu:
Pertama, metode struktur, yaitu dengan konstruksi teknik sipil, antara lain membangun
waduk di hulu, kolam penampungan banjir di hilir, tanggul banjir sepanjang tepi sungai,
sodetan, pengerukan dan pelebaran alur sungai, sistem polder, membuat sumur resapan yang
bisa bermanfaat bagi warga apabila terjadi kekeringan karena tedapat sumur resapan sehingga
air hujan bisa tertampung di sumur tersebut sertapemangkasan penghalang aliran. Anggaran
tak seimbang dalam pertemuan-pertemuan antar pemangku kepentingan (stakeholder)
tentang penanggulangan banjir, telah ada political will dari pemerintah, yaitu akan
melaksanakan penanggulangan banjir secara hibrida, dengan melaksanakan gabungan metode
struktur dan non-struktur secara simultan.
Bahkan, telah dibuat dalam perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang. Namun, dalam implementasinya, penanggulangan banjir yang dilakukan

pemerintah masih sangat sektoral, alokasi anggaran antarsektor tidak seimbang. Anggaran
penanggulangan banjir metode struktur alias konstruksi teknik sipil lebih besar dibandingkan
dengan anggaran metode nonstruktur yang lebih berbasis masyarakat.
Kedua, penanggulangan banjir dengan metode nonstruktur berbasis masyarakat tidak kalah
pentingnya. Pertama, berupa manajemen di hilir di daerah rawan banjir, antara lain
pembuatan peta banjir, membangun sistem peringatan dini bencana banjir, sosialisasi sistem
evakuasi banjir, kelembagaan penanganan banjir, rekonstruksi rumah akrab banjir,
peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir, serta
kemungkinan asuransi bencana banjir. Kedua, berupa manajemen di hulu daerah aliran
sungai, antara lain pengedalian erosi, pengendalian perizinan pemanfaatan lahan, tidak
membuang sampah dan limbah ke sungai, kelembagaan konservasi, pengamanan kawasan
lindung, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bencana banjir merupakan bencana yang sering terjadi di wilayah Indonesia ini.
Permasalahan banjir ini akan mengakibatkan kerugian secara materiil, banjir menimbulkan
kesan ketidak nyamanan dan mengganggu aktivitas sehingga akan mengganggu pertumbuhan
kota. Banjir terdiri dari berbagai jenis banjir seperti banjir air, banjir cileuncang, banjir
bandang, banjir rob, banjir lahar dingin dan banjir lumpur. Bencana banjir dapat diakibatkan
oleh faktor alam dan juga disebabkan karena ulah manusia itu sendiri. Bencana banjir dapat
juga disebabkan faktor faktor akibat luapan Sungai, sistem drainasi yang buruk, dari rusaknya
ekologis, yang didalamnya akibat pembabatan hutan, legal maupun illegal dan lain-lain.
Solusi permasalahan bencana banjir dapat dilakukan dengan membuat drainase yang
baik, sewr system, pembangunan waduk dan kanal, membuat sumur resapan,membuat lubang
biopori dan lain-lain.
3.2. Saran
Bencana banjir merupakan persoalan bersama sebaiknya dilakukan kebijakan strategis
untuk menyelesaikan persoalan banjir ini, serta diperlukan koordinasi yang baik antar
pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah dalam menyatukan persepsi dan mencari solusi
tentang persoalan banjir. Sehingga diharapkan akan tercipta solusi yang baik dalam
penanganan masalah banjir tersebut.
Selanjutnya diperlukan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan dan darah
aliran sungai sehingga masyarakat tidak akan membuang sampah dan limbah rumah tangga
ke badan sungai yang menyebabkan penyempitan badan aliran sungai tersebut. Selanjutnya di
perlukan tata ruang dalam pembangunan kota yang baik dan terus mempertahankan
penghijauan lingkungan yang ada karena sangat penting bagi perespan air.

Anda mungkin juga menyukai