Jurnal Sridanti
Jurnal Sridanti
Walaupun kesempatan atau peluang sebenarnya sudah terbuka lebar bagi kaum
perempuan untuk terjun keduniapolitik, akan tetapi dalam kenyataannya, masih sangat
sedikit perempuan yang terjun kea rah politik dan ikut dalam pengambilan keputusan
terhadap kebijakan publik. Sebagai gambar, persebtase keterwakilan perempuan dalam
keanggotaan legislatif dari perioda dapat dilihat dalam table di bawah ini:
Persentase Kertewakilan Perempuan
Dalam Keanggotaan Lembaga Legislatif ( DPR-RI)
Dari Tahun 1971 2009
Periode Tahun
1971 1977
1977 1982
1982 1987
1987 1992
1992 1997
1997 1999
1999 2004
2004 2009
Sumber : Riniti, 2007
Keterwakilan Perempuan
2
2
4
5
5
5
1 (PAW)
4
kesenjangan gendar masih cukub besar di bidang politik Kenyataan yang cukup menarik
dari angka angka teresut di atas adalah bahwa keterlibatan perempuan di tingkat pusat
ternyata lebih tinggi dibandingkan di daerah, dan di daerah provinsi lebih tinggi
dibandingkan di tingkat kabupaten/kota. (11,2% : 10% : 8%).
Rendahnya keterlibatan perempuan dibidang politik sampai saat ini tidak
terlepas dari adanya berbagai hambatan. Pada garis besarnya, hambatan tersebut berasal
dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) perempuan itu sendiri. Terkait dengan
faktor ekternal, dalam booklet yang dikeluarkan oleh Yayasan Internasional untuk
Sistem Pemilu Tahun 2001 dikemukaakan adanya tiga faktor utama yang memiliki
pengaruh paling signifikan terhadap keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga
yang anggotanya dipilih, yaitu : 1) sistem Pemilu, 2) Perana dari Partai Politik, 3)
penerimaan kultural.
Sitem pemilu ada banyak jenisnya, antara lain sitem pluralisme/mayoritas, sitem
representative (sistem perwakilan berimbang), juga sistem proporsional. Berdasarkan
catatan Pippa Norris tentang Keterwakilan Perempuan dan sistem pemilu, dalam
Insiklopidia Pemilu, tercatat bahwa perbandingan rata-rata keterwakilan perempuan
dalam berbagai sistem Pemilu tersebut adalah sebagai berikut : Sistem
pluralisme/mayoritas (10,8 %), Sistem campuran dan seni proporsionalisme(15,1%),
dan sistem Representasi Proporsional mencapai 19,8%. Sistem campuran dan semi
proporsionalisme ( 15,1%), dan sistem Representasi Proposional mencapai 19,8%. (Ayu
Nantri, tt). Berdasarkan angka-angka tersebut dan pendapatan dari ilmuwan politik
bahwa sistem representattif Proporsional memberikan kesempatan terbaik bagi
perempuan untuk keterwakilnya dalam badan legislatif.
Partai Politik tidak kalah pentingnya dalam penentuannya dalam penentuan
tingkat keterwakilan perempaun pada lembaga legislatif. Terkait dengan masalah partai
politik, faktor-faktor yang berpengaruh antara lain struktur organisasinya, misalnya
struktur kepengurusannya apakah memperhatikan adanya perempuan, atauran partainya
apakah memungkinkan bagi perempuan untuk masuk sebagai anggota ataupun pengurus
partai, ideology partainya apakah menerima idiologi gender, dan aktifitas partainya
apakah melibatkan perempuan untuk ikut berpartisipasi.
Faktor yang ketiga adalah kultur masyarakat, apakah cenderung menerima
ataukah menolak keterwakilan perempuan di bidang politik. Terkait dengan faktor yang
terakhir ini, umumnya kondisi sosial budaya masyarakat belum sepenuhnya dapat
menerima keterlibatan perempuan dalam politik, karena selama ini masih ada kesan
bahwa persoalan politik tersebut merupakan urusan laki-laki, karena politik merupakan
arena keras dan permainan kotor yang dianggapnya tidak cocok dengan karakter
perempuan. (Astiti, tt)
Selain faktor-faktor tersebut diatas yang berasal dari luar, faktor-faktor dari
dalam diri perempauan juga tidak kalah pentingnya mempengaruhi rendahnya
keterwakilan perempuan dalam bidang politik. Tidak dapat di pungkiri bahwa SDM
perempuan di bidang politik memang masih rendah karena kurang pendidikan politik
bagi perempuan. Kurangnya pengalaman dan partisipasi perempuan dalam
berogranisasi, karena kebanyakan perempuan lebih suka menyibukkan diri dengan
peran domenstiknya Secara umum kaum perempuan juga kurang percaya diri dan
kurang berani dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang terkait dengan
kebijakan public.
Dalam kedudukannya yang sub-ordinatif, perempuan umumnya menunjukan
sikap yang sub-asertif , yaitu sikap ragu-ragu dalam menge;uarkan pendapat, kurang
berani mengamil resiko, sehingga lebih banyak menunggu dan mengantungkan diri
kepada kaum laki-laki dalam mengamil keputusan sehingga terkesan ikut-ikutan
misalnya terserah ayah, terserah suami, terserah pimpinan, atau hanya ikutikutan teman. Sikap semacam itu menunjukan bahwa perempuan belum bisa mandiri
dalam pengambilan keputusan. Sikap demikian, sudah tentunya menghambat
perempuan untuk maju memerankan hak politikny. (Astiti, tt)
Dengan melihat kenyataan sekarang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka
ke depan diharapkan lebih banyak perempuan perempuan yang merasa terpanggil untuk
masuk ke arena politik. Untuk itu perlu mempersiapkan dan meninkatkan SDM
perempuan dalam bidang polotik. Terkait dengan hal ini tentu saja peranan partai politik
sangat menetukan dalam memberikan pendidikan politik bagi perempuan sesuai dengan
ketentuan Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Partai Politik (Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 yang menetukan :
Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggungjawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesentaraan gender ..
Selain itu, penentuan kuota minimal 30% bagi perempuan harus dipahami oleh semua
pihak sebagai tindakan sementara dan di dalamnya mengandung keberpihakan terhadap
perempuan sebagai ditentukan dalam Pasal 4 ayat 1 Konvensi Wanita sebagai berikut :
Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-negara peserta
yang ditunjukan untuk mempercepat persamaan de facto antara pria dan
wanita, tidak danggap seperti diskriminasi sepert ditegskan dalam Konvensi
yang sekarang ini dan sama sekali tidak harus membawa konsenkuensi
pemeliharaan norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturanperaturan ini dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah
tercapai.