Anda di halaman 1dari 5

PERANAN POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA

PELUANG DAN HAMBATAN


Oleh
Luh Putu Sridanti, SH.MH
Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah
mengamanatkan bahwa setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjungjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada
kecualinya. Ungkapan setiap warga Negara dalam ketentuan tersebut diatas tentu saja
berarti warga negara laki-laki maupun negara perempuan. Walaupan tidak dinyatakan
secara ekspilisit, berdasarkan ketentuan Pasal 27 tersebut dapat diartikan pula bahwa
UUD 1945 sudah menganut prinsip non diskriminatif. Dengan prinsip non diskriminatif
tersebut, maka perempuan sebagai warganegara dapat dikatakan memperoleh peluang
yang sama dengan laki-laki dalam pemerintahan.
Tahun 1978 merupakan tonggak sejarah yang mempunyai arti yang amat penting
bagi kaum perempuan Indonesia, karena pada tahun tersebut tercantum untuk pertama
kali Garis-Garis Besar Hukum Negara (GBHN) dan Pelita III secara ekspilisit memuat
butir-butir tentang peranan perempuan dalam pembangunan dan pembinaan bangsa.
Pada tahun itu juga pada Kabinet Pembangunan III dibentuk suatu lembaga, yaitu
Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia secara sadar mengakui pentingnya peranan perempuan sebagai mitra
sejajar laki-laki dalam pembangunan.
Pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia juga telah ikut meratifikasi Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi
Wanita). Lahirnya Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan Kovensi
Wanita tersebut juga mempunyai arti yang amat penting bagi perempuan Indonesia,
karena dengan ikut sertanya Negara Indonesia meredifikasi Konvensi tersebut, berarti
pemerintah mempunyai komitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Pasala 3 Konvensi tersebut mengesahkan komitmen Negara
peserta untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi melalui peraturan perundangundangan, yang dirumuskan sebagai berikut:
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidanng politik,
sosial, ekonomi, dan budaya untuk menjamin perkembangan dan kemajuan
wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan
menikmati hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar
persamaan dengan pria.
Terjaminnya kebebasan-kebebasan pokok yang dimaksud dalam pasal tersebut,
termasuk di dalamnya kebebasan untuk mengemukakan pendapata, untuk berserikat,
berkumpul dan lain sebagainbya, juga untuk ikut berorganisasi, baik di bidang sosial
maupun politik.
Dalam GBHN 1988, telah dirumuskan pula 7 esensi terkait dengan peranan
perempuan, antara lain disebutkan bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan nasional. Pernyataan ini
menunjukan bahwa perempuan juga merupakan subyek pembangunan yang berarti ikut
menentukan pembangunan itu dalam semua tahapan melalui dari perencanaan,

pelaksanaan, maupun motiroring dan evaluasi. Dalam GBHN-GBHN (Propenas)


selanjutnya, peranan perempuan sangat ditingkatkan, dan dengan Inpres No. 9 tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gendar (PUG) mengisyaratkan bahwa pembangunan
nasional harus berprespektif gendar. Artinya, bahwa setiap kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan harus selalu mempertimbangkan dari sisi laki-laki dan
perempuan baik mencangkup partisipasi, akses, kontrol, atau manfaat yang akan
diperoleh oleh laki-laki maupun perempuan. Pengarusutamaan Gender (PUG)
merupakan strategi yang ditempuh pemerintah untuk mempercepat tercapainya
kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan, dalam hal ini tentunya termasukjuga
kebijakan di bidang politik.
Upaya kearah tersebut antara lain telah diwujudkan dengan keluarnya UndangUndang No. 12 tahun 2003 yaitu Undang-undang tentang Pemilihan Umum anggota
DPR, DPD, DAN DPRD, yang dalam salah satu pasalnya (Pasal 65) mencantumkan
tentang kuota minimal 30% bagi keterwakilan perempuan. Kelihatannya, dengan
dicantumkan kuota 30% tersebut, peluang bagi perempuan untuk memasuki rana public
khususnya rana politik praktis semakin tebuka, walaupun sebebarnya undang-undang
tersbut masih setengah hati memberikan kesempatan kepada perempuan, karena
dalam rumusnya menggunakan kata-kata dapat yang berarti boleh-boleh saja (tidak
harus) bagi partai politik untuk mengajukan bakal calon perempuan sesuai kota tersebut.
Peluang bagi perempuan untuk masuk ke arena politik praktis selangkah lebih
maju dibandingkan sebelumnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 dan Pasal 55
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota DPR,
DPD, dan DPRD yang baru. Dalam Pasal 53 ditentukan bahwa daftar bakal calon
membuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, dan dalam Pasal 55 ayat 2
menentukan bahwa dalam daftar bakal calon yang dimaksud itu, setiap tiga bakal calon
di dalamnya terapat sekurang-kurangnya satu bakal calon perempuan. Pasl ini
menunjukkan adanya peluang yang cukup besar bagi perempuan, asalkan Partai Politik
engan konsekuen dan betul-betul mempunyai komitmen melaksanakan amanat yang
terkandung didalamnya.
Dalam Undang-Undang Partai Politik yang baru, yaitu Undang-Undang No. 2
Tahun 2008 merumuskan dengan lebih tegas daru undang-undang sebelumnya, dan
lebih menjamin keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 5 yang menentukan sebagai berikut: Kepengurusan
Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan. Dalam pasal 20 juga
ditentukan bahwa : Kepengurusan Partai Politik tingkat propinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART
Partai Politik masing-masing.
Jika diperhatikan dengan cermat mulai dari Konsitusi, GBHN, Proponas sampai
dengan perundang-undangan di bawahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat
dikatakan bahwa secara normatif peluang bagi perempuan untuk memasuki ranah
publuk, khusunya di bidang politik semakin meningkat. Yang menjadi pertanyaan,
apakah peluang yang cukup besar itu sudah mampu diisi oleh kaum perempuan sendiri?
Dalam kenyataannya ternyata tidak begitu mudah bagi kaum perempuan untuk mengisi
peluang yang telah tersedia itu. Apa yang menjadi penghambtnya? Pertayaan inilah
yang akan dibahas dalam uraian berikutnya, namun sebelumnya, perlu terlebih dahulu
dikemukakan seberapa besar peluang yang telah dapat dicapai dari waktu ke waktu.

Walaupun kesempatan atau peluang sebenarnya sudah terbuka lebar bagi kaum
perempuan untuk terjun keduniapolitik, akan tetapi dalam kenyataannya, masih sangat
sedikit perempuan yang terjun kea rah politik dan ikut dalam pengambilan keputusan
terhadap kebijakan publik. Sebagai gambar, persebtase keterwakilan perempuan dalam
keanggotaan legislatif dari perioda dapat dilihat dalam table di bawah ini:
Persentase Kertewakilan Perempuan
Dalam Keanggotaan Lembaga Legislatif ( DPR-RI)
Dari Tahun 1971 2009
Periode Tahun
1971 1977
1977 1982
1982 1987
1987 1992
1992 1997
1997 1999
1999 2004
2004 2009
Sumber : Riniti, 2007

Keterlibatan Perempuan (%)


7,8
6,3
8,3
13
12,5
10,8
9
11,8

Keterlibatan laki-laki (%)


92,2
93,7
91,7
87
87,5
89,2
91
88,2

Selain ketertiban perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,


pada Pemilu 2004, sebanyak 27 orang (21,1%) dari jumlah 128 Dewan Perwakilan
Daerah adalah perempuan. Pada tingkat provinsi, keterwakilan perempuan mencapai
10% (188 dari jumlah 1850), dan ditingkat kabupaten/kota hanya mencapai 8% (1090
dari jumlah 13125).
Di Provinsi Bali sendiri, keterlibatan perempuan di DPRD 1 hanya berkisar 1-5
orang dari tahun 1971 sekarang. Secara rinci, jumlah perempuan yang terlibat sebagai
anggota dewan dapat dilihat dalam table di bawah ini.
Jumlah Perempuan yang Terlibat sebagai Anggota DPRD I
Di Provinsi Bali dari tahun 1971 sampai sekarang
Periode Tahunan
1971 1977
1977 1982
1982 1987
1987 1992
1992 1997
1997 1999
1999 2004
2004 2009
Sumber : Riniti, 2007
Dalam
Kelungkung)
mencapai 11
mencapai 11

Anggota DPRD Bali


45
45
45
45
45
45
55
55

Keterwakilan Perempuan
2
2
4
5
5
5
1 (PAW)
4

seleksi KPUD provinsi, dan kabupaten/kota se Bali (kecuali


baru-baru ini (Agustus-September 2008), keterwakilan perempuan
bulan orang (Agustus-September 2008), keterwakilan perempuan
orang (24, 5%) Angka-angka tersebut di atas menunjukan bahwa

kesenjangan gendar masih cukub besar di bidang politik Kenyataan yang cukup menarik
dari angka angka teresut di atas adalah bahwa keterlibatan perempuan di tingkat pusat
ternyata lebih tinggi dibandingkan di daerah, dan di daerah provinsi lebih tinggi
dibandingkan di tingkat kabupaten/kota. (11,2% : 10% : 8%).
Rendahnya keterlibatan perempuan dibidang politik sampai saat ini tidak
terlepas dari adanya berbagai hambatan. Pada garis besarnya, hambatan tersebut berasal
dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) perempuan itu sendiri. Terkait dengan
faktor ekternal, dalam booklet yang dikeluarkan oleh Yayasan Internasional untuk
Sistem Pemilu Tahun 2001 dikemukaakan adanya tiga faktor utama yang memiliki
pengaruh paling signifikan terhadap keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga
yang anggotanya dipilih, yaitu : 1) sistem Pemilu, 2) Perana dari Partai Politik, 3)
penerimaan kultural.
Sitem pemilu ada banyak jenisnya, antara lain sitem pluralisme/mayoritas, sitem
representative (sistem perwakilan berimbang), juga sistem proporsional. Berdasarkan
catatan Pippa Norris tentang Keterwakilan Perempuan dan sistem pemilu, dalam
Insiklopidia Pemilu, tercatat bahwa perbandingan rata-rata keterwakilan perempuan
dalam berbagai sistem Pemilu tersebut adalah sebagai berikut : Sistem
pluralisme/mayoritas (10,8 %), Sistem campuran dan seni proporsionalisme(15,1%),
dan sistem Representasi Proporsional mencapai 19,8%. Sistem campuran dan semi
proporsionalisme ( 15,1%), dan sistem Representasi Proposional mencapai 19,8%. (Ayu
Nantri, tt). Berdasarkan angka-angka tersebut dan pendapatan dari ilmuwan politik
bahwa sistem representattif Proporsional memberikan kesempatan terbaik bagi
perempuan untuk keterwakilnya dalam badan legislatif.
Partai Politik tidak kalah pentingnya dalam penentuannya dalam penentuan
tingkat keterwakilan perempaun pada lembaga legislatif. Terkait dengan masalah partai
politik, faktor-faktor yang berpengaruh antara lain struktur organisasinya, misalnya
struktur kepengurusannya apakah memperhatikan adanya perempuan, atauran partainya
apakah memungkinkan bagi perempuan untuk masuk sebagai anggota ataupun pengurus
partai, ideology partainya apakah menerima idiologi gender, dan aktifitas partainya
apakah melibatkan perempuan untuk ikut berpartisipasi.
Faktor yang ketiga adalah kultur masyarakat, apakah cenderung menerima
ataukah menolak keterwakilan perempuan di bidang politik. Terkait dengan faktor yang
terakhir ini, umumnya kondisi sosial budaya masyarakat belum sepenuhnya dapat
menerima keterlibatan perempuan dalam politik, karena selama ini masih ada kesan
bahwa persoalan politik tersebut merupakan urusan laki-laki, karena politik merupakan
arena keras dan permainan kotor yang dianggapnya tidak cocok dengan karakter
perempuan. (Astiti, tt)
Selain faktor-faktor tersebut diatas yang berasal dari luar, faktor-faktor dari
dalam diri perempauan juga tidak kalah pentingnya mempengaruhi rendahnya
keterwakilan perempuan dalam bidang politik. Tidak dapat di pungkiri bahwa SDM
perempuan di bidang politik memang masih rendah karena kurang pendidikan politik
bagi perempuan. Kurangnya pengalaman dan partisipasi perempuan dalam
berogranisasi, karena kebanyakan perempuan lebih suka menyibukkan diri dengan
peran domenstiknya Secara umum kaum perempuan juga kurang percaya diri dan
kurang berani dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang terkait dengan
kebijakan public.
Dalam kedudukannya yang sub-ordinatif, perempuan umumnya menunjukan
sikap yang sub-asertif , yaitu sikap ragu-ragu dalam menge;uarkan pendapat, kurang

berani mengamil resiko, sehingga lebih banyak menunggu dan mengantungkan diri
kepada kaum laki-laki dalam mengamil keputusan sehingga terkesan ikut-ikutan
misalnya terserah ayah, terserah suami, terserah pimpinan, atau hanya ikutikutan teman. Sikap semacam itu menunjukan bahwa perempuan belum bisa mandiri
dalam pengambilan keputusan. Sikap demikian, sudah tentunya menghambat
perempuan untuk maju memerankan hak politikny. (Astiti, tt)
Dengan melihat kenyataan sekarang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka
ke depan diharapkan lebih banyak perempuan perempuan yang merasa terpanggil untuk
masuk ke arena politik. Untuk itu perlu mempersiapkan dan meninkatkan SDM
perempuan dalam bidang polotik. Terkait dengan hal ini tentu saja peranan partai politik
sangat menetukan dalam memberikan pendidikan politik bagi perempuan sesuai dengan
ketentuan Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Partai Politik (Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 yang menetukan :
Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggungjawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesentaraan gender ..
Selain itu, penentuan kuota minimal 30% bagi perempuan harus dipahami oleh semua
pihak sebagai tindakan sementara dan di dalamnya mengandung keberpihakan terhadap
perempuan sebagai ditentukan dalam Pasal 4 ayat 1 Konvensi Wanita sebagai berikut :
Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-negara peserta
yang ditunjukan untuk mempercepat persamaan de facto antara pria dan
wanita, tidak danggap seperti diskriminasi sepert ditegskan dalam Konvensi
yang sekarang ini dan sama sekali tidak harus membawa konsenkuensi
pemeliharaan norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturanperaturan ini dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah
tercapai.

Anda mungkin juga menyukai