Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb) merupakan tumbuhan yang
termasuk suku Iridaceae. Tumbuhan ini berasal dari wilayah Amerika yang beriklim tropis,
namun saat ini telah dibudidayakan di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa,
Sumatera dan Kalimantan. Tumbuhan yang termasuk suku Iridaceae ini secara empiris
diyakini dapat menyembuhkan penyakit antara lain kanker usus, kanker payudara, diabetes
melitus, hipertensi, dan menurunkan kolesterol. Ciri spesifik tumbuhan ini adalah umbi
berwarna merah menyala. Letak daun berpasangan dengan komposisi daun bersirip ganda
dengan tipe pertulangan daun sejajar dan bentuk daun berbentuk pita. Bunga kecil berkelopak
lima dan warnanya putih. Tumbuhan ini memiliki adaptasi yang baik, dapat tumbuh dalam
berbagai tipe iklim dan jenis tanah. Selain itu, tumbuhan ini juga dapat diperbanyak dan di
panen dalam waktu yang singkat, sehingga dapat dengan mudah dikembangkan untuk skala
industri ( Ronny, 2013). Studi fitokimia menunjukkan adanya kandungan alkaloid, glikosida,
flavanoid, fenolik, steroid dan tannin pada umbi bawang sabrang (Saleh, 2010).
Potensi umbi bawang sabrang sebagai obat antikanker telah diyakini secara turun
temurun oleh masyarakat di Kalimantan, termasuk di Kalimantan Tengah. Kanker adalah
suatu penyakit yang dicirikan dengan adanya kegagalan pengendalian pembelahan sel,
sehingga pertumbuhan sel-sel tersebut menekan jaringan normal. Perubahan sel normal
menjadi sel kanker merupakan akibat perubahan gen yang mengendalikan pembelahan sel.
Sampai saat ini belum ditemukan obat antikanker yang dapat mengatasi penyakit
tersebut hingga tuntas dan aman. Hal ini mendorong eksplorasi terhadap tumbuhan yang
berpotensi mengandung senyawa antikanker. Salah satu syarat senyawa yang memiliki
khasiat antikanker adalah bersifat sitotoksik (Ramdhini, 2010), yaitu senyawa yang mampu
menghambat dan menghentikan pertumbuhan sel kanker (Yusni, 2008). Salah satu cara untuk
mendeteksi bioaktivitas suatu senyawa berkhasiat antikanker adalah dengan uji Brine Shrimp
Lethality Test (Mutia, 2010; Muaja dkk, 2013). Metode ini digunakan untuk indikator umum
untuk mendeteksi toksisitas dan panduan untuk mendeteksi senyawa yang berkhasiat
antitumor.

Keuntungan penggunaan uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah mudah,
murah sederhana, cepat dan telur Artemia salina L. mudah diperoleh. Dalam uji tersebut yang
digunakan adalah larva Artemia salina L. Hewan ini digunakan untuk uji karena memiliki
kesamaan respon dengan mamalia.
Ekstrak bawang sabrang mampu menekan pertumbuhan sel lini kanker kolon (Yusni,
2008) dan menghambat siklus sel pada sel lini kanker payudara (Fitri, dkk, 2014). Walaupun
khasiat umbi bawang telah diteliti manfaatnya, namun perlu dilakukan uji Konsentrasi Letal
50%, sehingga dapat diketahui batas aman penggunaan esktrak bawang sabrang. Berdasarkan
alasan tersebut, akan dilakukan penelitian Uji Sitotoksitas Ekstrak Etanol Umbi Bawang
Sabrang (Eleutherine americana L. Merr.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT).
1.2 Identifikasi Masalah
Salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional adalah umbi bawang
sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb). Potensi umbi bawang sabrang sebagai obat
antikanker telah diyakini secara turun temurun oleh masyarakat di Kalimantan, termasuk di
Kalimantan Tengah. Namun demikian batas aman penggunaan umbi bawang sabrang sebagai
antikanker belum terbukti secara klinis. Oleh karena kandungan tanin, flavonoid dan
polifenol yang ada pada umbi bawang sabrang memiliki sifat toksisitas tinggi. Oleh karena
itu perlu dilakukan uji Konsentrasi Letal 50%, sehingga dapat diketahui batas aman
penggunaan esktrak umbi bawang sabrang. Berdasarkan masalah tersebut, akan dilakukan
penelitian Uji Sitotoksitas Ekstrak Etanol Umbi Bawang Sabrang (Eleutherine americana L.
Merr.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
1.3 Batasan Masalah
Penelitian ini hanya terbatas pada :
1) Umbi bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb) yang diekstrak menggunakan
pelarut etanol, di Laboratorium Farmasi Institut Teknologi Bandung.
2) Hewan uji yang digunakan adalah Artemia salina Leach berumur 48 jam, dan secara
anatomi tidak tampak cacat.
3) Hasil penelitian adalah untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak etanol umbi bawang sabrang
berdasarkan hasil uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menggunakan Artemia salina
Leach.

1.4 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1) Apakah ekstrak etanol umbi bawang sabrang meningkatkan angka kematian Artemia
salina Leach?
2) Berapakah Nilai LC50 ekstrak etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT) ?

1.5 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengetahui pengaruh ekstrak etanol umbi bawang sabrang terhadap peningkatan
kematian Artemia salina Leach.
2) Mengetahui Nilai LC50 ekstrak etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT).

1.6 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini adalah :
1) Mengetahui konsentrasi ekstrak bawang sabrang yang aman untuk digunakan sebagai
obat.
2) Mengetahui potensi ekstrak etanol bawang sabrang sebagai

tanaman berkhasiat

antikanker.
3) Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi akademis dibidang kesehatan serta masyarakat
yang memanfaatkan bawang sabrang sebagai obat tradisional.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1

Deskripsi Bawang Sabrang

Bawang sabrang dikenal dengan nama ilmiah Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb, dengan
sinonim Eleutherine Palmifolia L.Merr. (Gambar 1), termasuk suku Iridaceae. Tumbuhan ini
berasal dari Amerika pada kawasan yang beriklim tropik, dengan ciri-ciri herba menahun,
dengan akar rimpang, umbi atau umbi lapis. Daun-daun semua atau sebagian berdesakdesakan pada pangkal batang, kerapkali dengan salah satu tepi menghadap batang (berbentuk
pedang) dan satu sama lain memeluk dengan pangkalnya yang serupa pelepah. Bunga
berkelamin 2, beraturan, terdapat dalam seludang bunga, tiap bunga memiliki daun pelindung
bunga. Tenda bunga berwarna, melekat, taju 6 dalam dua lingkaran, mekar pada waktu sore
hari dalam beberapa jam. Benangsari 3, kebanyakan bebas. Bakal buah tenggelam, beruang 3;
bakal biji per ruang banyak. Tangkai putik bercabang 3. Buah kotak berbiji banyak (van
Steenis, 2013). Bawang sabrang tumbuh di daerah pegunungan antara 600 - 1500 m dpl.
Tanaman ini menyukai tempat-tempat terbuka yang tanahnya kaya dengan humus dan cukup
lembab.

Gambar 1. Eleutherina bulbosa (Mill.) Urb.


(diunduh dari situs http://ff.unair.ac.id/sito/)
2.1.2

Tinjauan tentang Kanker

Kanker adalah suatu penyakit dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme
pengaturan multiplikasi pada organisme multiseluler sehingga terjadi perubahan yang tidak
terkontrol. Perubahan sel (transformasi) ini disebabkan oleh perubahan gen di dalam sel.
Sel-sel yang telah mengalami transformasi terus menerus berproliferasi dan menekan
pertumbuhan sel normal. Pertumbuhan kanker yang tidak terkendali tersebut diikuti
dengan invasi ke jaringan sekitar dan metastase ke bagian tubuh lain.
Perubahan sel normal menjadi sel kanker melalui 3 tahap yaitu tahap inisiasi,
promosi dan progresi. Pada tahap inisiasi, terdapat faktor inisiator yang memulai
pertumbuhan sel yang abnormal seperti radiasi, bahan kimia mutagenic, virus, mutasi
spontan. Pada tahap promosi dipicu oleh promotor seperti tumor promotor, gowth faktor,
virus sehingga terbentuk sel- sel yang polimorfis dan anaplastik. Pada tahap progresi ditandai
dengan adanya invasi sel ganas ke membrana basalis atau kapsul. Perubahan keganasan
melibatkan beberapa gen yaitu onkogen, gen penekan tumor, gen yang berperan dalam
perbaikan DNA (DNA repair gen), dan gen pengatur apoptosis.
Onkogen adalah gen yang berkaitan dengan terjadinya transformasi neoplastik.
Onkogen ini berasal dari protoonkogen yang mengalami mutasi. Protoonkogen adalah
gen yang mengatur proliferasi normal. Perubahan yang dialami protoonkogen seluler
pada aktivasi menjadi onkogen selalu bersifat mengaktivasi, artinya mereka menstimuli
suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Walau ada sel yang
mengalami pembelahan diri secara tak terkendali, masih belum mengarah ke bentuk
kanker, karena sel-sel sekitar akan bereaksi dengan mengeluarkan growth inhibitor (zat
penghambat pertumbuhan). Zat penghambat pertumbuhan ini akan mengikat ke reseptor sel
yang malfungsi, mengirimkan signal ke inti sel, mengaktifkan gen penekan tumor.
Proses timbulnya keganasan pada tingkat molekuler dapat diamati dari produksi protein
yang berlebihan yang dihasilkan oleh onkogen. Aktivasi onkogen merangsang produksi
reseptor faktor pertumbuhan yang tidak sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan
terus-menerus meskipun tidak ada rangsang dari luar. Proses proliferasi yang tidak
terkendali tanpa diiringi maturasi sel dapat mengakibatkan gangguan diferensiasi sel.
Pada tahap selanjutnya, gangguan diferensiasi sel akan mencerminkan progesifitas sel
menjadi ganas.
Gen penekan tumor berfungsi sebagi penghambat pertumbuhan sel, apabila diaktifkan
maka akan menghentikan siklus pembelahan sel, sehingga dapat mencegah pembelahan
sel selanjutnya. Tetapi apabila gen penekan tumor malfungsi disebabkan mutasi, maka sel
abnormal yang terus membelah diri tidak menanggapi

pesan growth

inhibitor yang

dikeluarkan oleh sel sekitarnya untuk menghentikan pembelahan sehingga terjadi proses
malignansi.
2.1.3

Mekanisme Kerja Senyawa Antikanker

Mekanisme flavonoid sebagai antikanker ada beberapa teori, yaitu :


1) Flavonoid sebagai oksidan yakni melalui mekanisme pengaktifan jalur apoptosis sel
kanker. merupakan akibat fragmentasi DNA. Mekanisme apoptosis sel pada teori ini
diawali dengan dilepasnya rantai proksimal DNA oleh senyawa oksigen reaktif seperti
radikal hidroksil. Senyawa ini terbentuk dari reaksi redoks Cu(II). Senyawa tembaga ini
dimobilisasi oleh flavonoid baik dari ekstrasel maupun intrasel terutama dari kromatin.
2) Flavonoid sebagai antioksidan. antioksidan flavonoid terutama berupa proteksi terhadap
Reactive Oxygen Species (ROS).
3) Flavonoid sebagai penghambat proliferasi tumor/kanker yang salah satunya dengan
menginhibisi aktivitas protein kinase sehingga menghambat jalur tranduksi sinyal dari
membran sel ke inti sel.
4) Dengan menghambat aktivitas reseptor tirosin kinase. Karena aktivitas reseptor tirosin
kinase yang meningkat berperan dalam pertumbuhan keganasan.
2.1.4

Tinjauan tentang Uji Toksisitas

Toksisitas didefinisikan sebagai segala hal yang memiliki efek berbahaya dari zat
kimia atau obat pada organisme target. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas
umum (akut, subakut/subkronis, kronis) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan
karsinogenik). Pada awal mulanya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun.
pada saat itu pengertian racun masih dipisahkan dengan makanan. Bahan pangan atau zat
kimia yang dengan jelas berbahaya bagi tubuh disebut racun, sedangkan yang bermanfaat
bagi tubuh disebut makanan. Untuk meneliti berbagai macam efek yang berhubungan dengan
masa pemejanan, uji toksikologi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
1) Uji Toksisitas Akut
Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi
dalam masa pemejanan dengan waktu yang singkat atau pemberiannya dengan takaran
tertentu. Uji ini dilakukan dengan cara pemberian konsentrasi tunggal senyawa uji pada
hewan uji. Takaran konsentrasi yang dianjurkan paling tidak empat peringkat konsentrasi,
berkisar dari konsentrasi terndah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji
sampai dengan konsentrasi tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh

hewan uji. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu
selama 7-14 hari.
2) Uji Toksisitas Subkronis atau Subakut
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji tersebut secara
berulang-ulang terhadap hewan uji selama kurang dari 3 bulan. Uji ini ditujukan untuk
mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji, serta untuk melihatkan apakah spectrum
toksik itu berkaitan dengan takaran konsentrasi.
3) Uji Toksisitas Kronis
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia secara berulang-ulang pada hewan uji
selama lebih dari 3 bulan atau sebagian besar dari hidupnya. Meskipun pada penelitian
digunakan waktu lebih pendek, tetapi tetap lebih lambat dibandingkan Uji Toksisitas Akut
maupun Uji Toksisitas Sub Akut.
2.1.5

Deskripsi Artemia salina Leach sebagai Hewan Uji

Artemia salina masuk golongan udang-udangan yang kecil ukurannya. Bentuk


dewasanya mencapai ukuran 1 cm. Hidup di perairan yang kadar garamnya tinggi sekali,
dimana hanya beberapa jenis bakteri serta algae yang dapat bertahan hidup. Hewan ini makan
plankton, detritus serta butiran halus dalam air yang dapat masuk ke dalam mulutnya, jadi
termasuk "filter feeder". Dalam kondisi kadar garam tinggi Artemia akan menghasilkan kista
yaitu telur yang diselimuti oleh selubung kuat untuk melindungi embryo dari perubahan
lingkungan yang merugikan. Pada kadar garam yang tinggi, kista akan mengapung dan
mudah dikumpulkan, dibersihkan, dikeringkan selanjutnya dikalengkan dan dijual. Bila akan
digunakan sebagai makanan hidup, kista direndam dalam air laut dan akan menetas menjadi
nauplius. Nauplius inilah yang digunakan untuk makanan larva udang atau ikan.
Artemia yang baru menetas disebut nauplius, ini merupakan makanan hidup bagi larva
udang dan benih ikan. Dengan makanan hidup ini, mutu air dalam bak pemeliharaan larva
udang atau ikan akan tetap baik karena tidak ada sisa makanan yang membusuk. Lagi pula
makanan ini mempunyai nilai gizi yang tinggi serta mudah dicerna. Nilai nutrisi nauplius
yang baru menetas sebagai berikut : protein 40% - 50%, karbohidrat 15%-20%, lemak 15%20%, abu 3%-4% sedangkan nilai kalori adalah 5000 5500 kalori per gram berat kering.
Larva dapat makan (menangkap) nauplius kapan saja dia mau selama persediaan nauplius
masih ada dalam tempat pemeliharaan larva itu.

Dibandingkan dengan zooplankton yang lain penyediaan nauplius A. salina lebih


mudah dan efisien. Kista-kista A. salina dapat disimpan beberapa tahun. Setiap saat
diperlukan, kista-kista dapat diambil secukupnya untuk ditetaskan dan nauplius yang
dihasilkan dapat segera dimanfaatkan sebagai makanan larva ikan (Maria, 1984).
Artemia betina membentuk telur pada dua kantong telur kemudian kedua kantong
telur tersebut akan bergabung yang mempunyai satu saluran telur. Dari satu ekor induk betina
dihasilkan sekitar 20 - 50 butir telur. Sementara telur masih dalam kantong telur, induk telah
mulai memproduksi calon telur dan begitu seterusnya. Telur dapat dikeluarkan dalam bentuk
kista atau langsung menetas menjadi nauplius tergantung dari kondisi lingkungannya. Pada
kondisi lingkungan yang baik perkembangan embryonal di dalam kantong telur akan
berlanjut sehingga akhirnya terjadi penetasan. Hasil penetasan merupakan nauplius yang
berenang bebas. Pada kondisi lingkungan yang buruk perkembangan embryonal akan terhenti
pada stadium gastrula dan terbentuklah cangkang telur dari kitin. Dengan demikian terjadilah
kista atau sering disebut "resting eggs". Sifat "diam" dari telur-telur Artemia salina ini amat
bermanfaat bagi budidaya bahari yaitu sebagai makanan hidup. Setiap saat diperlukan, kistakista dapat ditetaskan dan nauplius dapat dipanen untuk makanan larva udang atau ikan.
Telur Artemia yang baru dibuka dari kaleng berbentuk bola kempes, jadi bukan
seperti bola bundar, Hal ini disebabkan karena waktu pemrosesan telur tersebut didehidrasi
sehingga kadar air tinggal sekitar 10 %. Telur yang dimasukkan dalam air dalam waktu satu
sampai dua jam telah menyerap air dan bentuknya menjadi bulat. Sekitar 15 jam kemudian
telur mulai menetas, dari dalam telur keluar bentuk bulat telur yang masih terbungkus dalam
selaput tipis, bentuk ini disebut "umbrella stage". Setelah beberapa jam, maka lapisan tipis ini
pecah dan keluarlah nauplius (Gambar 2).

Gambar 2. Nauplius Artemia salina Leach


(Diunduh dari : https://www.flickr.com/photos/chenhowen/2209391548/ )
Menurut Maria (1984) untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik, maka perlu
diperhatikan beberapa faktor :

1. Hidrasi dari kista-kista. Kista-kista yang dimasukkan ke dalam media air laut akan
segera mengalami hidrasi dan terjadilah perkembangan embryonal di dalam kista.
Hidrasi ini dapat terjadi pada kisaran salinitas antara 5 70.
2. Erasi. Oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan embryonal A. salina. Oleh
karena itu erasi harus diberikan terus sampai terjadi penetasan, Selain untuk
mencukupi kebutuhan akan oksigen, erasi dapat mencegah terjadinya pengendapan
kista-kista di dasar tangki. Pengendapan kista-kista dapat menimbul- kan kondisi
"anaerob" pada kista-kista tersebut sehingga perkembangan embryo akan terhambat.
Kandungan oksigen yang minimal untuk penetasan A. salina adalah 3 ppm.

3. Penyinaran pada kista yang sudah mengalami hidrasi. Cahaya dapat merangsang
pengaktifan kembali perkembangan embryo A. salina. Rangsangan cahaya ini hanya
efektif pada hidrasi aerob. Dengan demikian kista-kista yang sudah mengalami hidrasi
dapat dirangsang dengan penyinaran bersama-sama dengan erasi.
4. Suhu. Suhu yang optimum untuk memperoleh hasil penetasan yang baik adalah
berbeda-beda menurut strain yang dipergunakan. Suhu optimum untuk strain
California-USA adalah 28C, untuk strain Utah-USA adalah 30C dan untuk strain
RRC adalah 35C.
5. pH (derajat keasaman). Proses pecahnya. lapisan tipis pada saat "umbrella stage"
sangat dipengaruhi oleh enzym penetas, dimana enzym ini pada pH 8,0 9,0
mempunyai aktivitas yang optimum. Penetasan tidak terjadi bila pH kurang dari 7,0
terutama bila kepadatan telur yang tinggi. Untuk menaikkan pH air laut dapat
ditambah dengan 1 2 g kapur per liter atau dengan NaOH 0,5 N sebanyak 1,5 per
liter air.

6. Kepadatan. Untuk penetasan yang efisien kepadatan 10 g/L memberi hasil yang
memuaskan. Pada saat proses penetasan, telur menghasilkan enzym trehalose dan ini
akan mempercepat penetasan telur di sekitarnya. Dengan kepadatan yang cukup maka
trehalose ini cepat mempengaruhi telur di sekitarnya dan proses penetasan dapat
berlangsung lebih serentak.

2.1.6

Uji Brine Shrimp Lethality Test

Brine Shrimp Lethality test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk menguji
bahan-bahan yang bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach
sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut
dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat setelah pemberian

dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas komponen aktif tanaman
terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu ekstrak dikatakan aktif sebagai antikanker
berdasarkan metode BSLT jika harga LC < 1000 g/ml. Penelitian Carballo dkk
menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara sitotoksisitas dan letalitas Brine
shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BST dapat dipercaya untuk menguji aktivitas
toksikologi dari bahan-bahan alami.
2.2 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan yang dijadikan acuan dalan pengajuan penelitan adalah :
1) Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Anggur (Vitis vinifera) Terhadap Larva Artemia
salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) oleh Dita Mutia dan
Suhardjono pada tahun 2010. Peneltian ini menggunakan hewan uji 250 ekor larva yang
dibagi dalam 5 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 10 ekor, dengan replikasi 5 kali
tiap kelompok. Kemudian ekstrak anggur diberikan ke dalam media dengan konsentrasi
akhir, berturut-turut kelompok 1,2,3,4 dan 5 adalah 2000 g/ml, 1000 g/ml, 500 g/ml,
200 g/ml dan 0 g/ml sebagai kontrol negatif. Hasil pengamatan adalah terhadap larva
yang mati 24 jam setelah pemberian bahan uji. Berdasarkan data, LC 50 ekstrak etanol
buah anggur ditentukan dengan analisis probit menggunakan SPSS 16.0 for windows.
Hasil dari analisis probit menunjukkan harga LC50 dari ekstrak buah anggur adalah
648.004 g/ml. Sedangkan dari analisis regresi, akan didapatkan persamaan LC 50 =
0.239log konsentrasi - 0.125. Pemberian ekstrak buah anggur pada penelitian ini,
menunjukkan potensi toksisitas akut terhadap larva Artemia salina Leach menurut
metode BST. Hal ini ditunjukkan dengan harga LC 50 <1000 g/ml.

2) Pengaruh Ekstrak Umbi Bawang Sabrang (Eleutherine americana Merr.) yang Diberikan
Pada Tahap Pascaimplantasi terhadap Perkembangan Fetus Mencit (Mus musculus L.)
Swiss Webster oleh Suharti pada tahun 2007. Subjek penelitian ini adalah mencit betina
yang berumur 10-12 minggu dan sedang estrus dengan berat berkisar antara 25-30 gram,
dikawinkan dengan mencit jantan 1:1. Kelompok kontrol diberi aquabides steril dan
kelompok perlakuan diberi larutan ekstrak umbi bawang sabrang secara gavage dengan
dosis masing-masing 144,5 mg/kg bb, 289 mg/kg bb dan 578 mg/kg bb, berturut-turut
pada umur kebuntingan 8 sampai 11 hari. Pengamatan dilakukan dengan mengamati efek
toksik dan teratogenik. Efek toksik diketahui dengan mengamati berat badan induk, berat
badan fetus, jumlah korpus luteum, jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, jumlah fetus
mati serta jumlah embrio yang diresorpsi, sedangkan efek teratogenik diketahui dengan

mengamati kelainan-kelainan morfologi eksternal dan internal yang muncul. Berat badan
induk, berat badan fetus, jumlah korpus luteum dan jumlah implantasi dianalisis dengan
Uji t-Student, sedangkan jumlah fetus hidup dan kematian intrauterus dianalisis dengan
Uji Wilcoxon. Hasil analisis Uji t-Student dan Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa ekstrak
umbi bawang sabrang pada semua dosis mengakibatkan penurunan berat badan induk,
penurunan berat badan fetus, dan penurunan jumlah fetus hidup yang sangat berbeda
nyata dengan kontrol. Penurunan jumlah fetus hidup terutama disebabkan oleh kematian
intrauterus. Sedangkan kelainan morfologi eksternal dan internal tidak ditemukan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekstrak umbi bawang sabrang bersifat toksik
dan embriotoksik sejalan dengan kenaikan dosis tetapi tidak bersifat teratogenik pada
fetus mencit.
2.3 Kerangka Pikir

10 ekor Larva Artemia salina Leech

P1

P2

P3

0 g/mL

10 g/mL

100 g/mL

1.000 g/mL

%ase larva
yang mati

%ase larva
yang mati

%ase larva
yang mati

%ase larva
yang mati

Analisis statistik

Gambar 3. Skema Kerangka Pikir

2.4 Pengajuan Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:


1) Ekstrak etanol umbi bawang sabrang meningkatkan angka kematian Artemia salina
Leach
2) Ekstrak etanol umbi bawang sabrang memiliki sifat sitotoksik.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan pendekatan post test-only
control group design karena adanya kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol
umbi bawang sabrang dan kelompok kontrol tanpa pemberian ekstrak etanol umbi bawang
sabrang terhadap larva Artemia salina Leach. Eksperimen yang dilakukan berupa Uji
Sitotoksitas Ekstrak Etanol Umbi Bawang Sabrang (Eleutherine americana L. Merr.)
menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dimulai sejak bulan April sampai dengan Mei 2015.
Dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Palangka Raya.
3.3 Populasi dan sampel
Populasi pada penelitian ini adalah larva Artemia salina Leach. Sampel penelitian
Larva Artemia salina Leach berumur 48 jam, dan secara anatomi tidak tampak cacat. Jumlah
larva Artemia yang digunakan adalah 10 ekor larva tiap vial. Pada penelitian ini terdapat
empat kelompok perlakuan, dengan ulangan sebanyak lima kali untuk tiap kelompok. Jadi,
jumlah sampel total yang diperlukan adalah 200 ekor.
3.4 Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Perlakuan yang akan dilakukan sebanyak 4 perlakuan dengan pengulangan sebanyak
5 kali. Pengacakan dan tata letak percobaan RAL diperoleh dengan menggunakan program
Microsoft Excel.
Penentuan posisi vial pengamatan dan pengambilan vial pengamatan dilakukan secara
acak tanpa membedakan kontrol dan perlakuan. Hewan uji yang digunakan adala Artemia
salina Leach hasil kultur yang berumur 48 jam dengan jumlah Artemia 10 ekor tiap vial. Satu
block design terdiri atas 5 perlakuan dengan 5 kali pengulangan maka akan digunakan 25 vial
berukuran sama (5 ml) dan memerlukan 250 ekor Artemia salina yang berumur 48 jam.
Pengamatan 12 jam dan 24 jam masing-masing menggunakan satu block design maka akan
ada 60 unit pengamatan.

Gambar tata letak percobaan


Keterangan :
P1 = Konsentrasi 0 g/mL Ekstrak etanol umbi bawang dayak (Eleutherine bulbosa) /
kontrol.
P2 = Konsentrasi 10 g/mL Ekstrak etanol umbi bawang dayak (Eleutherine bulbosa)
P3 = Konsentrasi 100 g/mL Ekstrak etanol umbi bawang dayak (Eleutherine bulbosa)
P4 = Konsentrasi 1000 g/mL Ekstrak etanol umbi bawang dayak (Eleutherine bulbosa)
3.5 Variabel penelitian
3.5.1 Variabel Bebas
Variabel Bebas, dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol umbi bawang sabrang
dengan konsentrasi 0, 10, 100 dan 1.000 g/mL
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam peneltian ini adalah efek sitotoksik ekstrak etanol umbi bawang
sabrang terhadap larva Artemia salina Leach dengan parameter LC50.
3.6 Instrument Penelitian
3.6.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, neraca analitik, pipet,
batang pengaduk kaca, lup, vial atau botol kaca, kain saring, penangas air, akuarium, aerator
dan lampu pijar 40 watt.
3.6.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol umbi bawang
sabrang, larva Artemia salina Leach, permipan sebagai pakan larva udang, dan air laut buatan
(Air mineral + garam dapur).

3.7 Prosedur Penelitian


3.7.1. Pembuatan ekstrak etanol bawang sabrang

Bawang sabrang dibeli di pasar Kahayan, Palangka Raya selanjutnya diekstraksi


menggunakan etanol sebagai pelarut di Laboratorium Sekolah Farmasi, Institut Teknologi
Bandung.
3.7.2. Penyiapan Larva Artemia salina Leach
Penyiapan larva Artemia salina Leach dilakukan dalam beberapa tahapan, Tahap
penyiapan air laut buatan dan tahap penetasan larva Artemia salina Leach.
a. Penyiapan air laut buatan
Air laut buatan dibuat dengan cara melarutkan 15 gram garam tidak beryodium dalam
1 Liter air mineral kemudian disaring.
b. Penetasan larva Artemia salina Leach
Penyiapan larva dilakukan dengan menetaskan telur Artemia salina Leach. Langkahlangkah yang dilakukan dalam penetasan adalah sebagai berikut :
1. Telur Artemia salina Leach diambil sebanyak 0,5 g. Kemudian direndam dalam air
mineral sebanyak 100 mL. Satu jam kemudian telur yang mengapung dibuang,
kemudian telur yang berada didasar air dimasukkan kedalam air laut buatan sebanyak
1 L untuk dilakukan penetasan.
2. Selama dilakukan penetasan, tempat penetasan diberi penerangan dengan lampu pijar
40 watt serta diaerasi selama 24 jam. Bagian dari air laut yang tidak berisi telur larva
diberi penerangan. Hal ini bertujuan agar larva yang sudah menetas bergerak menuju
cahaya, sehingga terpisah dari cangkang telurnya.
3. Setelah 24 jam, tidak semua telur Artemia yang dapat menetas, ada sebagian yang
tidak dapat menetas. Maka dilakukan pemisahan antara larva artemia yang telah
menetas dengan telur yang tidak dapat menetas bersama cangkang telur, dengan cara
membuang telur yang tidak dapat menetas dan cangkang telur menggunakan pipet,
kemudian dilakukan penyaringan pada larva Artemia.
4. Larva Artemia yang telah disaring dipindah ke akuarium yang berisi air laut buatan
yang baru. Kemudian diaerasi selama 24 jam untuk dilakukan uji penelitian.
5. Larva artemia yang bermur 48 jam siap untuk menjadi hewan uji penelitian.

3.7.3. Sterilisasi Alat


Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian akan disterilisasi terlebih dahulu,
prosedurnya sebagai berikut.
1.

Alat dicuci dengan sabun hingga bersih lalu dikeringkan.

2.

Alat disterilisasi menggunakan alkohol 90 %.

3.

Alat dibungkus menggunakan kertas koran

4.

Alat disterilisasi menggunakan oven pada suhu 1800 C selama 20

menit.

3.7.4.

Penyiapan Larutan Stok Ekstrak Etanol Umbi Bawang Sabrang

Larutan stok dibuat dengan cara melarutkan 500 mg ekstrak etanol umbi bawang
sabrang dalam 50 mL air laut buatan, sehingga diperoleh konsentrasi 10 mg/mL. Kemudian
dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 10 g/mL, 100 g/mL, dan 1000 g/mL.
3.7.5.

Uji Toksisitas Menggunakan Metode BSLT

Uji toksisitas dilakukan dengan memasukkan 10 ekor larva Artemia berumur 48 jam ke
dalam vial yang mengandung ekstrak etanol umbi bawang sabrang dengan konsentrasi 0, 10,
100 dan 1000 g/mL dalam air laut buatan dengan volume dalam masing-masing vial
sebanyak 5 ml. Vial uji lalu diletakkan di bawah penerangan selama 24 jam, kemudian
dihitung jumlah larva udang yang mati. Kriteria standar untuk menilai kematian larva udang
adalah bila larva udang tidak menunjukkan pergerakan selama beberapa detik observasi.
Setiap konsentrasi perlakuan dilakukan replikasi sebanyak lima kali. Apabila nilai LC50
kurang dari 1000 mg/ml, ekstrak tumbuhan tersebut dikatakan toksik. Tingkat toksisitas
tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antikanker.
3.8 Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini data yang diperoleh berupa data primer hasil uji toksisitas dengan
mengamati jumlah kematian pada Artemia salina Leach dan mengamati nilai konsentrasi
yang mengakibatkan 50% kematian Artemia salina. Alur penelitian dapat dilihat pada
gambar.
3.7 Analsisis Data
Data yang diperoleh data primer yang berupa jumlah larva Artemia yang mati 24 jam
setelah perlakuan pada tiap konsentrasi ekstrak etanol umbi bawang sabrang yang digunakan
pada penelitian ini. Prosentase larva Artemia yang mati dihitung menggunaan persamaan 1,
bila pada kontrol tidak ada larva yang mati dan persamaan 2, bila pada kontrol ada larva yang
mati menggunakan persamaan Aboot (Ramdhini, 2010). Data selanjutnya dianalisis probit
menggunakan BioStat versi 2009 for Windows.

Persamaan 1:
larva mati
100
( larvatotal
awal )

%ase Kematian=
Persamaan 2:

larva kontrolmati
( larvamati
) 100
larvatotal awal

%ase Kematian=

3.8 Definisi Operasional Variabel


1. Uji toksisitas akut : merupakan uji tunggal di mana efek toksik dari suatu senyawa
ditentukan dalam waktu singkat (selama 24 jam) setelah pemberian konsentrasi yang
digunakan untuk uji.
2. Brine Shrimp Lethality Test (BST) : adalah metode untuk uji toksisitas akut dengan
menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba dan digunakan sebagai
suatu bioassay yang sederhana untuk penelitian bahan alam.
3. Artemia salina Leach: adalah hewan sejenis udang-udangan yang termasuk dalam suku
Artemiidae, dari filum Arthropoda.
4. Ekstrak etanol umbi bawang sabrang : adalah sediaan yang dibuat dengan mengekstraksi
umbi bawang sabrang menggunakan pelarut etanol.
5. LC 50 (Lethal Concentration 50) : merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan
terjadinya kematian pada 50% larva.

3.9 Alur Penelitian

Ekstrak etanol umbi


bawang sabrang

Pembuatan air laut


buatan

Larutan stok dengan


konsentrasi 10 mg/mL

Penetasan telur Artemia


salina
larva Artemia salina
umur 2 hari, masingmasing 10 ekor

Kontrol
0 g/mL

Perlakuan
1

Perlakuan 2
100 g/mL

10 g/mL

Perlakuan
3
1000
g/mL

Pengamatan mortalitas larva Artemia salina 24 jam, 48


jam dan 96 jam

Analisis statistik

Gambar 3. Skema Alur Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Albuntana, A., Yasman, dan Wardhana, W. 2011. Uji Toksisitas Ekstrak Empat Jenis Teripang
Suku Holothuriidae Dari Pulau Penjaliran Timur,
Kepulauan Seribu, Jakarta
Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis 39 (1); 65-72.
Fitri, Y., Rosidah, Suwarso, E. 2014. Effects of Inhibition Cell Cycle and Apoptosis of
Sabrang Onion extract (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) on Breast Cancer Cells.
International Journal of PharmTech Research 6 (4); 1392-1396.
Muaja, D.M., Koleangan, HSJ., dan Runtuwene, MRJ. 2013. Uji Toksisitas dengan Metode
BSLT dan Analisis Kandungan Fitokimia Ekstrak Daun Soyogik (Saurauia bracteosa
DC) dengan Metode Soxhletasi. Jurnal MIPA UNSRAT Online 2(2): 115-118.
Mutia, D. 2010. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Anggur (Vitis vinifera) Terhadap
Larva Artemia salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Program
Pendidikan Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Tidak
dipublikasikan.
Nguta, J.M., Mbaria, J.M., Gakuya, D.W., Gathumbi, P.K., Kasaba, J.D., dan Kiama, S.G.
2012. Evaluation of Acurate Toxicity of Crude Plant Extracts from Kenyan Biodiversity
using Brine Shrimp, Artemia salina L. (Artemiidae). The Open Conference Proceedings
Journal 3(30-34).
Panggabean, M.G.L. 1984. Teknik Penetasan dan Pemanenan Artemia salina. Pusat
Penelitian Ekologi Laut, Lembaga Oseanologi Nasional- LIPI. Jakarta. ISSN 0216
1877.
Ramdhini, R.N. 2010. Uji Toksisitas Terhadap Artemia Salina Leach. Dan Toksisitas Akut
Komponen Bioaktif Pandanus Conoideus Var. Conoideus Lam. Sebagai Kandidat
Antikanker. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
van Steenis, CGGJ, den Hoe, Bloembergen, S., dan Eyme, PJ. 2013. Flora Untuk Sekolah di
Indonesia. Cetakan ke 13. Balai Pustaka. Jakarta.
Yusni, M.A., 2008. Perbedaan Pengaruh Pemberian Fraksi Etanolik Bawang Dayak
(Eleutherine Palmifolia L.Merr) Dengan 5-Fluorouracil Terhadap Penghambatan
Pertumbuhan Galur Sel Karsinoma Kolon HT29 dan ekspresi p53 mutan. Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret /RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Tidak dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai