Anda di halaman 1dari 4

ALERGI

Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak tepat dan kerap kali
membahayakan terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya.Reaksi alergi
merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi antara antigen
dan antibodi. Kalau tubuh diinvasi oleh antigen biasanya berupa protein yang dikenali
tubuh sebagai benda asing, maka akan terjadi serangkaian peristiwa dengan tujuan
untuk membuat penginvasi tersebut tidak berbahaya, menghancurkannya dan
kemudian membebaskan tubuh darinya. Kalau limfosit bereaksi terhadap antigen,
kerap kali antibodi dihasilkan. Reaksi alergi umum akan terjadi ketika sistem imun
pada seseorang yang rentan bereaksi secara agresif terhadap suatu substansi yang
normalnya tidak berbahaya (mis debu, tepung sari gulma). Produksi mediator kimia
pada reaksi alergi dapat menimbulkan gejala yang berkisar dari gejala yang ringan
hingga gejala yang dapat membawa kematian (Brunner & Suddarth, 2001).
Sistem imun tersusun dari banyak sel serta organ dan substansi yang
disekresikan oleh sel-sel serta organ-organ ini. Pelbagai bagian dari sistem imun ini
harus bekerja bersama untuk memastikan pertahanan yang memadai terhadap para
penginvasi (yaitu virus, bakteri, substansi asing lainnya) tanpa menghancurkan
jaringan tubuh sendiri lewat reaksi yang terlampau agresif (Brunner & Suddarth,
2001).
Hipersensitivitas
Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi sesudah kontak
pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kontak-ulang sesudah
seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi. Sensitisasi memulai
respon humoral atau pembentukan antibodi. Untuk menambah pemahaman mengenai
imunopatogenesis penyakit, reaksi hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Gell
dan Coombs menjadi empat tipe reaksi yang spesifik. Sebagian besar alergi dikenali
sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I atau tipe IV (Brunner & Suddarth, 2001).

Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)


Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika dengan reaksi
yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen.
Kalau mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlangsung sampai
selama 24 jam. Rekasi ini diantarai oleh antibodi IgE (reagin) dan bukan oleh
antibodi IgG atau IgM. Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya
dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi IgE oleh sel-sel
plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper
membantu menggalakkan rekasi ini. Antibodi IgE akan terikat dengan reseptor
membrane pada sel-sel mast yang dijumpai dalam jaringan ikat dan basofil. Pada saat
terjadi kontak ulang, antigen akan terikat dengan antibodi IgE di dekatnya dan
pengikatan ini mengaktifkan reaski seluler yang memicu proses degranulasi serta
pelepasan mediator kimia (histamine, leukotrein, dan ECF-A [eosinophil chemotactic
factor of anaphylaxis]) (Brunner & Suddart, 2001).
Mediator kimia primer bertanggung jawab atas pelbagai gejala pada
hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, pari-paru dan traktur
gastrointestinal. Gejala klinis ditentukan oleh sejumlah allergen, jumlah mediator
yang dipeas, sensitivitas target organ dan jalur masuknya allergen. Reaksi
hipersensitivitas tipe I dapat mencakup anafilaksis local dan sistemik (Brunner &
Suddart, 2001).
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a) Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE.
b) Fase aktivitasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen
spesifik. Akibat aktivitas ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan
yang berbebtuk granul yang dapat menimbulkan reaksi.
c) Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat
pengepsan mediator.

Penyakit Atopik
Respons hipersensitivitas tipe I mengakibatkan penyakit atopik (alergi) yang
mengenai 10% hingga 20% dari populasi penduduk di AS. Faktor genetik memainkan
peranan dalam kerentanan terhadap penyakit ini. Gangguan yang ditandai oleh sifat
atopik adalah anafilaksis, rinokunjungtivitis alergik, dermatitis atopik, urtikaria serta
angioedema, alergi gastrointestinal dan asma (Brunner & Suddart, 2001).
Hipersensitivitas sitotoksik (Tipe II)
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karna
terbentunya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan selsel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat
mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.
Menifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti
anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis
interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
Hipersensitivitas Kompleks Imun (Tipe III)
Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini
mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disni ialah IgM dan IgG.
Kompleks ini akab mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan
komplemen.
Menifestsi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria. Angiodema, eritema. Makulopapula, eritema multiforme, dan lain2.
3.
4.
5.

lain. Gejala tersebut sering disertai pruritus


Deman
Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi
Limfadenopati
Lain-lain
Kejang perut, mual

Neuristik optik
Glomerulonefritis
Sindrom lupus eritematosus sestemik
Gejala vaskulitas lain

Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemerian obat, tetapi bila sebelumnya
pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dlam waktu 1-5 hari.
Hipersensitivitas Tipe-Lambat (Tipe IV)
Reaksi tipe IV disebutDelayed Type Hypersensitivity (DHT) jga dikenal sebagai Cell
Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi.
Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity):
1.
2.
3.
4.

Contaneus basophil hypersensivitasi.


Hipersensivitas kontak (contact dermatitis.)
Reaksi tuberkulin
Reaksi granuloma

Menisfestasi kliniksreaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering
menyebabkan raksi ini yaitu nitrofurantion, Nefritis interstisial, esenfalomielitis, dan
hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi alergi obat.
Namun demikian dermatitis merupakan menisfestasi yang paling sering.
Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya
pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif,
gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.

Anda mungkin juga menyukai